Hari-hari Chiara selama menunggu Yanuar menyelesaikan masalahnya adalah membantu Ibu di rumah. Ia juga banyak mengambil kelas tambahan secara online untuk menambah skill. Barangkali hal itu akan berguna di masa depan ketika nanti ada lowongan yang sesuai dengan kriterianya.Walau kemungkinan besar, setelah menjadi istri Yanuar nanti, ia akan dilarang bekerja di kantor. Semua sudah tergambar jelas dalam bayangannya, mengenai Yanuar yang kelewat protektif terhadapnya selama ini.“Chiara?” Ibu memanggil ketika jam dinding menunjukkan pukul setengah delapan pagi. “Kamu mau temani Ibu ke pasar? Atau masih ada kelas?”Tak biasanya Ibu mengajaknya bepergian. Semenjak kejadian yang menimpanya bersama Oky sebulan lalu, kedua orangtuanya selalu mengingatkannya untuk mengurangi pergi keluar rumah. Namun, pagi ini sepertinya Ibu sudah berubah pikiran.Chiara lantas bangkit dari ranjangnya. Meninggalkan beberapa buku pendamping kelas dan melangkah keluar kamar. Ibu sudah bersiap di dekat meja maka
Chiara baru kembali dari warung untuk membeli camilan. Sepulangnya, ia mendapati mobil mewah terparkir di luar pagar rumahnya. Begitu turun dari kendaraan roda dua, langkahnya terayun menuju teras rumah."Eh, Bu Sukma?" Chiara langsung menyalami ibu dari Yanuar yang dulu memberinya pekerjaan. Ia tak menduga akan kedatangan tamu sepenting ini di siang bolong. Mengingat kegiatannya hanya di rumah dengan mengenakan pakaian seadanya—kaus kebesaran dan celana tidur.Sukma mengulum senyum ramahnya. Saat itu Ibu yang bertugas meladeninya. Tampak dua cangkir teh terhidang di atas meja, sepertinya Sukma belum lama datang."Sini dong, Chia, duduk," tegur Sukma saat melihat calon mantunya hanya bergeming di tempat. "Ngapain bengong kayak gitu?"Seketika Chiara beradu pandangan dengan sang ibu. "I-iya, Bu," sahutnya yang kemudian mengambil duduk di sebelah ibunya sekaligus Sukma.Rasa gugup kini menyerangnya. Sungguh berbeda dengan reaksinya dulu sewaktu menghadapi Sukma di rumah Yanuar. Mungki
"Aku dengar, Mami ke rumah hari ini. Benar?"Suara berat Yanuar memenuhi telinga Chiara. Ia kelewat hanyut selama menikmati suara itu sampai-sampai Yanuar berdeham dan memanggilnya beberapa kali."Kamu dengar aku nggak? Atau sinyalnya ya yang bermasalah? Halo … Chiara?""Iyaaa, Bapak Yanuar Atmajaya!""Apa-apaan nih, kok tiba-tiba kamu panggil Bapak?" Suara berat itu berubah jengkel. "Chiara, please jangan gitu ya, aku nggak suka."Chiara terkekeh geli. Ia ingin mencubit pipi Yanuar rasanya kalau pria itu berada di sini. Namun, itu semua mustahil. Sekarang Yanuar masih berkutat dengan masalah yang harus diurus demi memenuhi syarat darinya."Maaf, Sayang," balasnya lirih.y "Jiah, udah berani panggil sayang gini?""Apa kamu mau dipanggil Om Kulkas yang lebih cocok?""Kenapa sih, kamu suka panggil aku Kulkas?" Akhirnya satu pertanyaan ini didapatinya juga dari mulut Yanuar langsung. Ingatan Chiara pun terlempar di momen di mana ia pertama kali bertemu dan bertengkar dengan Yanuar. Lalu
Suasana kian menegang ketika Prabu dan mantan besannya terus saja mencerocos—tak mau kalah. Sementara Yanuar menghela napas panjang dan berat selama menyaksikan dua orang tua beradu mulut dan entah kapan akan usai.Sampai kemudian, orang yang menjadi bahasan utama pun akhirnya muncul. Abi baru menuruni anak tangga dari lantai dua tanpa bantuan lift seperti biasa. Yanuar lumayan terkejut mendapati Abi yang terkenal manja bisa bergerak mandiri seperti itu.“Nah, biang kerok sudah datang!” seru Prabu penuh cibiran.Abi hanya mengulas senyum, tampak santai menyambut beberapa tamu penting di kediaman orangtuanya. Salah satunya Yanuar yang menjadi titik fokusnya sekarang.“Sekarang kamu mengaku saja, Abi,” imbuh Prabu sudah tak sabaran.Abi menduduki tempatnya yang berada di sebelah sang ayah. “Mengaku untuk?” Kepalanya dimiringkan sambil meluruskan pandangan ke arah Yanuar.Tanpa berlama-lama, pengacara Yanuar langsung memberikan setumpuk berkas di meja. Abi dan keluarganya menaikkan kedua
Mimpi apa Yanuar semalam, sekarang bisa memandangi pujaan hatinya yang tengah bergerak ke sana-sini di kitchen set. Tangan Chiara yang lihai tengah mengupas beberapa butir kentang dan menyiapkan bumbu untuk membuat perkedel. Beberapa waktu lalu, ia sempat ditanya oleh si gadis soal menu makan malam yang diinginkan.Tanpa berlama-lama, Yanuar langsung menjawab yang terbersit di kepala. Salah satunya perkedel kentang dan sayur yang diinginkan selama ini. Rupanya, ia tak hanya rindu Chiara, tapi juga masakan gadisnya.Lantas Yanuar bangkit dari sofa. Ingin memandangi Chiara dari dekat. Ia memasuki area dapur dan menduduki stool sembari memangku dagu dengan sebelah tangan.“Makin cantik aja, deh,” godanya sambil mengerlingkan mata.“Kalau ganteng namanya cowok,” timpal Chiara sama sekali tak terpengaruh gombalan Yanuar. “Mending duduk manis dan jangan banyak ngomong, apalagi gombal.”Yanuar meringis. Ia masih sulit tertawa karena memar dari tamparan yang didapatnya dari ibunda Avita bebe
"Itu bukan kesalahan kamu."Ujaran Chiara langsung menohok relung hati Yanuar. Setelah beberapa waktu lalu ia mendapat kabar dari Abi melalui telepon, lantas ia menceritakannya pada Chiara dan juga Leona yang saat itu membantu di dapur."Mau masuk rumah sakit atau nggak, namanya musibah nggak ada yang tahu." Leona menimpali. "Dan apa yang dibilang Chiara bener, bukan salah lo, Kak."Yanuar menggulung kemejanya hingga siku. Ia berusaha menenangkan diri sendiri dengan mengatur napas sekaligus pikiran. Selama bertahun-tahun ke belakang, ia sudah dituduh macam-macam. Bahkan ditekan dengan segala hal yang jelas bukan salahnya.Hingga kemudian, kepalanya terangguk pelan. "Fine," balasnya. "Musibah tetap musibah, right?"Di sana Chiara mengulas senyum bangga. Sementara Leona mengangkat dua ibu jarinya, menunjukkan rasa lega atas pilihan sang kakak."Akhirnya kakak gue berhasil lepas dari jerat keluarga jahanam!" sembur Leona tanpa menyaring kata-kata sama sekali.Sepasang mata melotot seketi
Berbekal dari suruhannya, Yanuar mengantongi rumah sakit dan ruangan di mana mantan mertuanya dirawat. Ia pergi bersama Yabes. Setibanya di tempat, Abi berada di depan ruang perawatan bersama beberapa orang berseragam hitam yang berjaga. "Punya nyali juga lo ke sini?" cibir Abi alih-alih menyambut niat baik Yanuar. "Gue ke sini hanya memastikan, apa benar ucapan lo bisa dipegang atau cuma kebohongan?" balas Yanuar tak kalah telak. "Kalau boleh, gue mau jenguk ke dalam." Abi tergelak. "Setelah apa yang lo lakukan siang tadi?" Yanuar mengangkat bahu. "Why not?" "Mas—" "Biarkan Yanu masuk, Bi." Seseorang menampakkan diri di balik pintu. Otomatis menyela ucapan putranya. "Mama mau ketemu saja dia." Abi tampak tak terima dan meminta ayahnya mengubah keputusan. Namun, Yanuar lebih dahulu diminta masuk. Dan mau tak mau Abi membiarkan hal itu terjadi di depan matanya sendiri. Yanuar melewati pintu sekaligus ayah Avita. Ia mengangguk sopan dan masuk kemudian. Tanpa diikuti Yabes—tentun
Sebuah cincin berlian melingkar indah di jari manisnya. Chiara memandangnya lekat dengan perasaan takjub dan masih tak percaya jika besok pagi, ia resmi menjadi istri Yanuar Atmajaya. Satu napasnya dilepaskan perlahan bersamaan detak jantung yang berdetak tak karuan. Rasanya baru kemarin Chiara menampar Yanuar di ruang kerjanya ketika dipaksa resign. Lalu sekarang, statusnya akan berubah.“Belum tidur, Neng?” Ibu muncul di balik pintu kamar. “Besok subuh kita udah harus siap-siap ke Plataran Candradimuka. Belum lagi proses riasnya. Istirahat ya?”Jangankan Ibu yang mengingatkan hal itu kesekian kali, Sukma dan Leona juga beberapa kali mengiriminya pesan. Tentang serentetan jadwal yang harus Chiara ingat besok di hari pentingnya.Kendati demikian, Yanuar belum menghubunginya dalam seminggu terakhir. Chiara juga demikian karena keduanya patuh akan aturan pingit. Walaupun rasa rindu sudah tak terelakkan.Chiara bangkit duduk. Ia meringis karena masih gugup. “Susah tidur, Bu,” akunya. “R