Berbekal dari suruhannya, Yanuar mengantongi rumah sakit dan ruangan di mana mantan mertuanya dirawat. Ia pergi bersama Yabes. Setibanya di tempat, Abi berada di depan ruang perawatan bersama beberapa orang berseragam hitam yang berjaga. "Punya nyali juga lo ke sini?" cibir Abi alih-alih menyambut niat baik Yanuar. "Gue ke sini hanya memastikan, apa benar ucapan lo bisa dipegang atau cuma kebohongan?" balas Yanuar tak kalah telak. "Kalau boleh, gue mau jenguk ke dalam." Abi tergelak. "Setelah apa yang lo lakukan siang tadi?" Yanuar mengangkat bahu. "Why not?" "Mas—" "Biarkan Yanu masuk, Bi." Seseorang menampakkan diri di balik pintu. Otomatis menyela ucapan putranya. "Mama mau ketemu saja dia." Abi tampak tak terima dan meminta ayahnya mengubah keputusan. Namun, Yanuar lebih dahulu diminta masuk. Dan mau tak mau Abi membiarkan hal itu terjadi di depan matanya sendiri. Yanuar melewati pintu sekaligus ayah Avita. Ia mengangguk sopan dan masuk kemudian. Tanpa diikuti Yabes—tentun
Sebuah cincin berlian melingkar indah di jari manisnya. Chiara memandangnya lekat dengan perasaan takjub dan masih tak percaya jika besok pagi, ia resmi menjadi istri Yanuar Atmajaya. Satu napasnya dilepaskan perlahan bersamaan detak jantung yang berdetak tak karuan. Rasanya baru kemarin Chiara menampar Yanuar di ruang kerjanya ketika dipaksa resign. Lalu sekarang, statusnya akan berubah.“Belum tidur, Neng?” Ibu muncul di balik pintu kamar. “Besok subuh kita udah harus siap-siap ke Plataran Candradimuka. Belum lagi proses riasnya. Istirahat ya?”Jangankan Ibu yang mengingatkan hal itu kesekian kali, Sukma dan Leona juga beberapa kali mengiriminya pesan. Tentang serentetan jadwal yang harus Chiara ingat besok di hari pentingnya.Kendati demikian, Yanuar belum menghubunginya dalam seminggu terakhir. Chiara juga demikian karena keduanya patuh akan aturan pingit. Walaupun rasa rindu sudah tak terelakkan.Chiara bangkit duduk. Ia meringis karena masih gugup. “Susah tidur, Bu,” akunya. “R
"SAH!" Seluruh orang yang hadir otomatis berseru kompak begitu mendapati Yanuar berhasil menyelesaikan ucapan ijab kabulnya. Senyum merekah pun tampak jelas di wajah Chiara saat itu. Yanuar menatap gadis yang kini berstatus menjadi istrinya dengan lekat sambil mengulum senyum bahagia. Kemudian sesi dilanjut doa, tukar cincin, dan berfoto bersama. Tangan Yanuar tampak betah melingkar di pinggang Chiara selagi fotografer mengarahkan mereka. Setelahnya, Yanuar sudah bersiap untuk memberi kecupan, baik di kening maupun bibir sang istri. Sayangnya pembawa acara yang diambil alih Junias yak memberi kesempatan tersebut. "Kok cemberut gitu?" celetuk Chiara seraya menatap ekspresi Yanuar yang terus ditekuk sejak tadi. "Nggak senang sama pernikahan ini? Atau perut kamu lapar?" Iris Yanuar sontak mendelik. "Aku senang banget bisa nikah sama kamu," jawabnya pelan. "Aku kesal karena belum cium istri. Padahal kita udah sah dari beberapa jam yanh lalu." "Apaan, sih?" Chiara berdecak untuk menyem
Yanuar tak berhenti memandangi wajah lelah Chiara yang meringkuk di bawah selimut dengannya. Bibir merah itu tampak bengkak karena ulahnya. Dan ia sama sekali tak menyesal sudah membawa istrinya melakukan kegiatan panas beberapa kali. Ia bergumam kecil karena bersyukur atas apa yang dialaminya sepanjang malam. Semua terasa indah dan nyata setelah beberapa waktu, ia merasa gagal menjadi seoranh pria. Dipandanginya bagian inti tubuhnya yang mulai mengeras begitu memikirkan Chiara memanggil namanya beberapa kali. "Sialan, gue jadi ketagihan gini," desisnya tak enak melihat sang istri masih tertidur pulas. Daripada ia merasa pusing karena hasratnya yang muncul, Yanuar memutuskan memejamkan mata dan berusaha tidur. Di sampingnya, Chiara menggeliat tak nyaman. Cahaya matahari mulai memasuki celah jendela dan membuat terang kamar hotel. Chiara membuka mata perlahan dan menangkap Yanuar tengah mendengkur di sela lelapnya. Ia merangkum wajah tampan itu lembut sebelum membenarkan posisi selim
Semalam, Chiara menghabiskan waktu tanpa harus merasa gugup dan gelisah. Yanuar tak meminta dilayani, mengingat malam pertama mereka sudah digunakan secara efektif. Pasalnya Chiara harus merasakan nyeri dan tak nyaman usai melaksanakan kewajibannya sebagai istri. Pagi itu, Yanuar baru saja menuntaskan sesi mandinya. Sejalan dengan gerak kaki, rambutnya yang masih basah mengucurkan tetesan air dari ujungnya. Lantas menyita perhatian Chiara. Chiara kontan meraih handuk kecil dan melangkah mendekati Yanuar yang berdiri di dekat jendela. Chiara sedikit menjinjit dan meletakkan handuk di kepala suaminya. Ia menggerakkan tangan dan mengeringkan rambut basah itu. “Duh, perhatian banget istriku,” tukas Yanuar sambil cengar-cengir. Chiara berdeham pelan saat sadar ditatap. “Biar nggak basah lantainya,” dalihnya sengaja. Yanuar mencolek dagu Chiara. “Kamu tuh lain di mulut lain di hati, ya,” sindirnya yang tahu betul gelagat malu-malu istrinya. Chiara mendengkus pelan, tapi tangannya masi
Permintaan Chiara langsung dipenuhi Yanuar saat itu juga. Ia memperpanjang sewa kamar hotel setelah mendapat bantuan Junias. Sebab hotel yang ditempatinya memang banyak peminat. Sisa waktu di Santorini digunakan keduanya untuk bersenang-senang. Chiara memutuskan menetap di hotel dan sesekali berenang di kolam yang tersedia di kamar. Begitu pula Yanuar yang memperhatikan istrinya menghabiskan waktu di sana. “Jangan lama-lama, nanti masuk angin,” ujar Yanuar yang sudah mempersiapkan jubah mandi milik Chiara di pinggiran kolam. “Sini naik, Sayang.”Chiara menatap sekilas. Lalu melanjutkan berendam dengan raut bahagianya. Wanita itu sedang mabuk kepayang setelah menemukan sensasi nikmat di ranjang akibat ulah Yanuar. Chiara baru sadar bahwa suaminya cukup lihai untuk membuatnya mencapai kepuasan berkali-kali.“Sayang ….” Yanuar memanggil lagi dan akhirnya Chiara menurut. Chiara mengenakan pakaian renang yang dibelikan Leona. Warnanya ungu pastel, tampak cocok dengan kulit putihnya. Jug
Chiara sama sekali tidak memprediksi apa pun selepas menikah dengan Yanuar. Paginya memang seperti yang sudah-sudah. Ia bangun dan menyiapkan keperluan suaminya sebelum berangkat ke kantor.Sayangnya, pekerja rumah tangga sudah membuat sarapan di atas meja. Padahal Chiara berkeinginan membuatkan Yanuar dengan tangannya sendiri.“Kenapa cemberut begitu?” Yanuar meraih kedua sisi pipi Chiara yang gembil, lalu memberikan kecupan manis. “Ada yang buat kamu nggak nyaman?”Chiara menggeleng pelan. “Nggak pa-pa,” balasnya berbohong. “Itu pakaian Mas udah aku taruh di atas tempat tidur. Sarapannya juga udah disiapkan sama Bibi di meja makan.”Yanuar yang saat itu hendak beranjak, akhirnya mengurungkan niat. Ia menatap Chiara dengan kerutan samar di kening.“Kamu nggak nyaman karena orang lain masak buat aku, ya?”Chiara menipiskan bibir. Lalu memalingkan pandangan. Ia pikir, Yanuar dengan mudahnya mampu membaca isi kepala dan perasaannya sekarang. Sampai-sampai bisa menebak dengan benar.“Say
Seolah seperti mimpi, Chiara kembali menjejakkan kaki di perusahaan yang sempat menjadi tempatnya magang dulu. Ia juga beberapa kali singgah ke bangunan megah itu untuk mengantar makanan. Begitu turun dari mobil, Chiara menatap bangunan itu lama. Sejak dulu, ia sudah memimpikan bekerja di kantor bergengsi tersebut. Namun sekarang, justru Tuhan memberikan status istri sebagai pewaris utama perusahaan impiannya. Seulas senyum takjub terulas di wajahnya. Lalu Chiara bergerak melangkah masuk dan menyapa baik satpam sekaligus resepsionis. Mereka sempat menanyakan kabar karena sudah lama tidak kelihatan. “Perlu diantar, Mbak Chia?” Petugas keamanan menawarkan. Chiara menggeleng dengan senyum tipis. “Masih ingat denah ruangan Pak Yanuar kok, Pak. Nggak bakal nyasar juga saya,” jawahnya iseng. Ia memasuki lift dan menekan lantai yang ingin dituju. Hampir seluruh pegawai di perusahaan Melintang Raya tak ada yang tahu soal siapa istri Yanuar saat ini. Mereka hanya diberi kabar soal status b