Betapa hancurnya kepercayaan Chiara begitu ia mendapati anggukan kepala dari Yaya. Sosok teman dekat yang sudah seperti saudaranya sendiri itu diam-diam menusuk dari belakang. "Kenapa ... kenapa lo sampai bertindak kayak gitu, Ya?" Chiara menatap kecewa sang teman. "Emang gue salah apa sampai lo tega senar rumor kalau gue simpanan anak konglomerat?"Yaya menghela napas panjang seraya memalingkan wajah ke sisi dinding yang berlumut. "Lo itu pick me," pungkas gadis itu. "Merasa paling polos, tapi akhirnya kepincut juga sama orang kaya. Lo jilat prinsip lo sendiri, Chia!"Chiara menelan ludah kepayahan. Ia tertegun sambil menatap gampang Yaya cukup lama. Ia cerna pelan-pelan anggapan itu hingga kepalanya pusing karena mentok."Pick me? Jilat prinsip sendiri?" Chiara terkekeh tak habis pikir. Merasa sedang bermimpi karena ulah temannya sendiri. "Emang apa yang lo tahu soal prinsip hidup gue, Ya? Apa?"Selama ini, Chiara menyimpannya sendirian. Dari gosip yang menyeret namanya dengan Yanu
Bukan Chiara namanya jika terus memikirkan hal yang menyebabkannya sakit hati. Sebisa mungkin, ia mengabaikan semua yang berurusan dengan Yaya. Bahkan tiba di hari pertama kuliah, Chiara mengambil duduk di barisan paling depan.Selain meminimalisir pertemuannya dengan Yaya, Chiara ingin lebih fokus pada kuliahnya semester ini. Pun tatapan sekeliling tentangnya mudah diterka. Kebanyakan melabelinya dengan predikat wanita simpanan alias ani-ani.Mereka tak tahu saja jika predikat itu hanya omong kosong. Nyatanya, sekarang Chiara justru sudah menikah dan sah menjadi istri seorang Yanuar Atmajaya.“Lihat deh, masih punya muka dia ngampus lagi,” bisik seseorang yang berada di kelas yang sama dengan Chiara. “Bisa-bisanya masuk ke kelas. Nggak ada malunya sama sekali. Kalau gue sih, udah pindah ke luar negeri sekalian dibayarin buat tinggal di sana.”Di bawah meja, tangan Chiara meremas jemarinya satu sama lain. Berusaha menahan emosi yang berkobar-kobar akibat komentar pedas itu. Perhatian
Apa yang diucapkan Yaya sebelum ini tentang kemungkinan kehamilannya, Chiara jadi banyak berpikir di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit terdekat. Sambil menahan mual yang tak tertahankan, ia terus memikirkan hal itu.Chiara meraba perut bagian bawahnya. Mencoba merasakan sesuatu barangkali memang ada makhluk kecil yang berhasil tumbuh di sana. Sementara Yaya terus meminta sopir taksi online agar mempercepat laju kendaraan.Saat memasuki ruang pemeriksaan, seorang dokter menempelkan benda di beberapa tubuhnya untuk memastikan banyak hal. Setelahnya, sosok yang mengenakan APD itu mengangguk-anggukkan kepala."Gimana, Dok?" tanya Chiara langsung. "Apa benar saya hamil?"Si dokter mengulum senyum. "Untuk mengetahui lebih lanjut, dokter bagian obgyn akan memeriksa nanti," katanya. "Sekarang, saya akan beri obat pereda mual."Entah harus lega atau bagaimana, Chiara pun bingung. Haruskah ia mencegah pemeriksaan selanjutnya karena mual yang dirasakannya adalah hal biasa? Namun, ia tak me
Chiara dibantu Yaya dan pekerja rumah tangga rumahnya untuk berbaring di kamar. Rasa lemas nyatanya masih mendera dan membuatnya harus bergantung pada orang lain. Selepas itu, Chiara meminta Yaya tetap tinggal di kamarnya sampai Yanuar sampai di rumah. Ia juga ingin Yaya membantunya menyiapkan kejutan. “Ini hasil USG-nya mau ditaruh mana?” Yaya menyodorkan amplop berisikan hasil pemeriksaan janin. Raut Aura berubah cerah seketika. Ia mengamati lembaran foto itu lekat sambil tersenyum. Sementara Yaya mengambil kertas berisikan informasi terkait kehamilan pertama Chiara dari rumah sakit. “Tadi lo bilang baru 3 minggu?” kata Yaya memastikan. “Di surat hasil pemeriksaannya kok beda? Di sini 6 minggu, Chia.” “Hah?” Chiara dibuat melongo setelah asyik melihat janinnya. Lalu menatap Yaya bingung. “Apa gue salah dengar ya?” Yaya duduk di pinggiran ranjang. Kemudian berdecak heran, “Mungkin iya, lo setengah nggak fokus dengerin dokter ngomong. Tapi setahu gue, pemeriksaan USG itu baru ke
Pandangan Yanuar masih mengabur saat menatap lamat-lamat selembar foto hasil USG yang baru didapatkan belum lama ini. Memang bukan kali pertamanya Yanuar melihat keberadaan darah dagingnya. Sebelum ini, sewaktu menikah dengan Avita, Yanuar pun mendapatkan hal yang sama, meski waktunya cukup panjang dan berliku.Akan tetapi, perasaannya sama. Bahagia dan seperti mimpi. Yanuar kembali mengarahkan sorot pada Chiara yang tak berhenti tersenyum bahagia.“Kita jaga si baby sama-sama,” ujar Yanuar sambil mengusap perut Chiara yang masih rata. “Hi, baby. Ini Papi.” Yanuar mendekatkan wajah dan menyapa si jabang bayi yang bahkan belum memiliki tubuh lengkap di dalam perut Chiara.Chiara membelai rambut Yanuar dan sesekali memainkan helaiannya yang berantakan. Sejujurnya ia merasa geli saat jemari panjang suaminya terus meraba perut dan menggerak-gerakan jari di sana.“Are you happy, Mas?” “Mmm, banget.”Lagi, Yanuar kembali memeluk Chiara. “Apa pun yang kamu mau, akan Mas turuti. Pokoknya bil
Semenjak mengetahui istrinya hamil, Yanuar berusaha pulang lebih cepat. Beberapa jadwal rapatnya di luar pun diubah, mengingat Chiara membutuhkan banyak perhatian darinya. Akhir-akhir ini, Chiara lebih manja dan bersikap seolah tak bisa jauh darinya. Kalau sudah begitu, Yanuar tak mungkin sanggup menolak. Ia terlalu cinta Chiara sampai merelakan banyak waktu kerjanya demi istri dan calon bayi mereka.“Udah mulai ngidam belum?” Yabes bertanya di tengah perjalanan pulang. Sore itu, ia memang ditugaskan mengantar Yanuar sampai rumah dengan selamat. Melihat reaksi Yanuar yang santai dan tak begitu grasa-grusu, Yabes bisa menerka momen itu belum datang. “Ngidam makanannya mah belum, tapi kayaknya Chia ngidamnya gue, sih,” kelakar Yanuar yang memicu cebikan Yabes. “Tapi serius, Bes, Chia itu jadi manja banget. Selama gue kenal dia, baru kali ini gue lihat sosok Chia yang lain. Bener-bener beda!”Yabes terkekeh mengikuti gelak tawa yang dibuat Yanuar selama membicarakan istrinya. Mungkin
“Mami dengar, kakakmu akan berangkat ke luar negeri setelah diklat ya, Chia?” Pertanyaan itu terlontar tanpa pembukaan topik tentang Ardan. Chiara lumayan canggung ketika membicarakan soal keluarganya, terlebih kakaknya sendiri memang memerlukan biaya besar dan ia sudah mengusahakan untuk membantu semampunya. “Nunggu lunas dulu, Mami,” ungkap Chiara jujur. Di pertemuan terakhirnya di rumah, Chiara sempat mengobrol dengan orang tua dan dua saudaranya tentang rencana Ardan. Apa yang Chiara tangkap itu ya soal pelunasan biaya yang belum bisa dilakukan. Lalu sekarang, Mami—ibu dari Yanuar—sengaja mengulik topik tersebut. “Kok belum lunas, sih, Sayang?” Kedua alis Mami yang sudah dirapikan menggunakan pensil terlihat menyatu. “Bukannya Yanu udah bantu sebulan lalu? Kakakmu tinggal berangkat aja setelah diklat, nggak perlu lagi mikirin biaya.”Kini giliran Chiara memasang wajah bingungnya. Kata Mami, Yanuar sudah mengirimkan bantuan sebulan lalu? Lalu mengapa Chiara tak mendengarnya lan
Sekalipun perutnya sudah mulai membuncit di balik pakaian longgar yang dikenakannya, Chiara masih bersemangat berangkat kuliah. Beberapa nasihat datang dari mertua, orangtua, hingga suaminya sendiri.Bahkan ketika ia sudah siap dengan tampilannya ke kampus, Yanuar masih memberikan tatapan was-was. Kedua matanya menyipit tengah menyelidik. Meskipun bibirnya sibuk mengunyah makanan.“Kenapa, sih?” tanya Chiara yang tak nyaman diperhatikan dengan cara seperti itu. “Aku ada kelas pagi, nanti makan siangnya biar sopir yang anter. Aku udah siapin bagiannya sendiri, kok.”Yanuar meletakkan alat makannya ke piring. Lalu mengambil segelas air dan meminumnya. Tatapnya masih mengarah pada Chiara yang getol menunggu jawaban.“Kamu yakin mau tetap lanjut kuliah?” Lagi, Yanuar menanyakan hal yang sama. Sikapnya jelas meragukan tindakan Chiara, ditambah kondisi wanita itu tengah hamil anaknya sekarang. “Akhir-akhir ini aku dengar dari Yaya, kamu masih suka mual di kampus. Kalau nanti terjadi sesuatu