Chiara dibantu Yaya dan pekerja rumah tangga rumahnya untuk berbaring di kamar. Rasa lemas nyatanya masih mendera dan membuatnya harus bergantung pada orang lain. Selepas itu, Chiara meminta Yaya tetap tinggal di kamarnya sampai Yanuar sampai di rumah. Ia juga ingin Yaya membantunya menyiapkan kejutan. “Ini hasil USG-nya mau ditaruh mana?” Yaya menyodorkan amplop berisikan hasil pemeriksaan janin. Raut Aura berubah cerah seketika. Ia mengamati lembaran foto itu lekat sambil tersenyum. Sementara Yaya mengambil kertas berisikan informasi terkait kehamilan pertama Chiara dari rumah sakit. “Tadi lo bilang baru 3 minggu?” kata Yaya memastikan. “Di surat hasil pemeriksaannya kok beda? Di sini 6 minggu, Chia.” “Hah?” Chiara dibuat melongo setelah asyik melihat janinnya. Lalu menatap Yaya bingung. “Apa gue salah dengar ya?” Yaya duduk di pinggiran ranjang. Kemudian berdecak heran, “Mungkin iya, lo setengah nggak fokus dengerin dokter ngomong. Tapi setahu gue, pemeriksaan USG itu baru ke
Pandangan Yanuar masih mengabur saat menatap lamat-lamat selembar foto hasil USG yang baru didapatkan belum lama ini. Memang bukan kali pertamanya Yanuar melihat keberadaan darah dagingnya. Sebelum ini, sewaktu menikah dengan Avita, Yanuar pun mendapatkan hal yang sama, meski waktunya cukup panjang dan berliku.Akan tetapi, perasaannya sama. Bahagia dan seperti mimpi. Yanuar kembali mengarahkan sorot pada Chiara yang tak berhenti tersenyum bahagia.“Kita jaga si baby sama-sama,” ujar Yanuar sambil mengusap perut Chiara yang masih rata. “Hi, baby. Ini Papi.” Yanuar mendekatkan wajah dan menyapa si jabang bayi yang bahkan belum memiliki tubuh lengkap di dalam perut Chiara.Chiara membelai rambut Yanuar dan sesekali memainkan helaiannya yang berantakan. Sejujurnya ia merasa geli saat jemari panjang suaminya terus meraba perut dan menggerak-gerakan jari di sana.“Are you happy, Mas?” “Mmm, banget.”Lagi, Yanuar kembali memeluk Chiara. “Apa pun yang kamu mau, akan Mas turuti. Pokoknya bil
Semenjak mengetahui istrinya hamil, Yanuar berusaha pulang lebih cepat. Beberapa jadwal rapatnya di luar pun diubah, mengingat Chiara membutuhkan banyak perhatian darinya. Akhir-akhir ini, Chiara lebih manja dan bersikap seolah tak bisa jauh darinya. Kalau sudah begitu, Yanuar tak mungkin sanggup menolak. Ia terlalu cinta Chiara sampai merelakan banyak waktu kerjanya demi istri dan calon bayi mereka.“Udah mulai ngidam belum?” Yabes bertanya di tengah perjalanan pulang. Sore itu, ia memang ditugaskan mengantar Yanuar sampai rumah dengan selamat. Melihat reaksi Yanuar yang santai dan tak begitu grasa-grusu, Yabes bisa menerka momen itu belum datang. “Ngidam makanannya mah belum, tapi kayaknya Chia ngidamnya gue, sih,” kelakar Yanuar yang memicu cebikan Yabes. “Tapi serius, Bes, Chia itu jadi manja banget. Selama gue kenal dia, baru kali ini gue lihat sosok Chia yang lain. Bener-bener beda!”Yabes terkekeh mengikuti gelak tawa yang dibuat Yanuar selama membicarakan istrinya. Mungkin
“Mami dengar, kakakmu akan berangkat ke luar negeri setelah diklat ya, Chia?” Pertanyaan itu terlontar tanpa pembukaan topik tentang Ardan. Chiara lumayan canggung ketika membicarakan soal keluarganya, terlebih kakaknya sendiri memang memerlukan biaya besar dan ia sudah mengusahakan untuk membantu semampunya. “Nunggu lunas dulu, Mami,” ungkap Chiara jujur. Di pertemuan terakhirnya di rumah, Chiara sempat mengobrol dengan orang tua dan dua saudaranya tentang rencana Ardan. Apa yang Chiara tangkap itu ya soal pelunasan biaya yang belum bisa dilakukan. Lalu sekarang, Mami—ibu dari Yanuar—sengaja mengulik topik tersebut. “Kok belum lunas, sih, Sayang?” Kedua alis Mami yang sudah dirapikan menggunakan pensil terlihat menyatu. “Bukannya Yanu udah bantu sebulan lalu? Kakakmu tinggal berangkat aja setelah diklat, nggak perlu lagi mikirin biaya.”Kini giliran Chiara memasang wajah bingungnya. Kata Mami, Yanuar sudah mengirimkan bantuan sebulan lalu? Lalu mengapa Chiara tak mendengarnya lan
Sekalipun perutnya sudah mulai membuncit di balik pakaian longgar yang dikenakannya, Chiara masih bersemangat berangkat kuliah. Beberapa nasihat datang dari mertua, orangtua, hingga suaminya sendiri.Bahkan ketika ia sudah siap dengan tampilannya ke kampus, Yanuar masih memberikan tatapan was-was. Kedua matanya menyipit tengah menyelidik. Meskipun bibirnya sibuk mengunyah makanan.“Kenapa, sih?” tanya Chiara yang tak nyaman diperhatikan dengan cara seperti itu. “Aku ada kelas pagi, nanti makan siangnya biar sopir yang anter. Aku udah siapin bagiannya sendiri, kok.”Yanuar meletakkan alat makannya ke piring. Lalu mengambil segelas air dan meminumnya. Tatapnya masih mengarah pada Chiara yang getol menunggu jawaban.“Kamu yakin mau tetap lanjut kuliah?” Lagi, Yanuar menanyakan hal yang sama. Sikapnya jelas meragukan tindakan Chiara, ditambah kondisi wanita itu tengah hamil anaknya sekarang. “Akhir-akhir ini aku dengar dari Yaya, kamu masih suka mual di kampus. Kalau nanti terjadi sesuatu
“Lo mabuk, Ly!” sentak Yanuar ketika mendapati Lily, temannya mendadak datang ke rumah dan langsung menggerayanginya. “Lebih baik lo pulang sekarang!”Wanita itu menatap Yanuar satu. Lalu perlahan, ia menangis sejadinya yang memicu kebingungan Yanuar.“Nu, lo harus tolongin gue … please, Yanu ….” Lily terisak. Air matanya bergulir melalui dua sisi wajah hingga riasannya longsor.Yanuar bergidik ngeri menyaksikan Lily yang berbeda dari biasanya. Seolah tingkat stress wanita itu sudah di atas rata-rata. Dan Yanuar merasa tidak mampu membantunya. Sewaktu pekerja rumah tangganya melintas, Yanuar langsung memanggilnya dan meminta bantuan agar Lily menjauh. “Tolong, Bi. Jauhkan dia dari saya,” pinta Yanuar yang diangguki Bi Asih.Kalau terus dibiarkan, Lily akan berbuat lebih. Seperti tadi, Lily berhasil memberi ciuman kasar di lehernya tanpa sebab. Yanuar sudah memekik untuk menolak, tapi wanita itu benar-benar tidak sadar atas apa yang dilakukannya.“Pak, Bu Lily …” kata Bi Asih pelan
Semenjak dinyatakan positif hamil, Chiara menyadari ada banyak perubahan dalam dirinya. Selain tubuhnya yang bereaksi, juga suasana hatinya. Ia mudah emosi, kesal, sampai menangis tiba-tiba.Lalu sekarang, saat melihat leher jenjang suaminya, Chiara murka. Untuk sekadar melihat wajah Yanuar saja, Chiara ogah-ogahan. Lebih baik melihat dinding polos di hadapannya daripada menatap suami yang memiliki banyak tanda kemerahan di leher.Memang kejadian itu bukan kesengajaan, tapi tetap saja. Chiara benar-benar kesal. Ia ingin meneriaki segala sesuatunya untuk meredam amarah.“Chimil?” gumam Chiara pelan, mengulangi sebutan aneh itu.Sontak kepala Chiara menoleh pada sumber suara. Di dekatnya, Yanuar tengah berdiri di belakang sofa dengan raut wajah yang kusut.“Kamu manggil siapa?” tanya Chiara bersama lirikan tajam, menunjukkan kekesalan yang masih dirasakannya. Bahkan setelah Yanuar bersungguh-sungguh ingin menghapus jejak di leher akibat ulah wanita lain, Chiara masih jengkel dan tak te
Ada beberapa perubahan pada rumah yang dulu ditinggali Chiara semenjak lahir hingga sebelum menikah dengan Yanuar. Bagian teras lebih diperbesar, juga atapnya yang ditambah naungan agar lantai tak begitu basah saat hujan. Melihat itu, Chiara langsung menoleh ke sisi kursi pengemudi. Tepatnya pada Yanuar yang kemungkinan besar adalah otak dari perubahan rumah itu. Sebelum melepas sabuk pengaman, Chiara menahan lengan Yanuar supaya tak turun dari mobil lebih dulu sekalipun Bapak sudah menunjukkan dirinya dari pintu. “Kenapa?” Yanuar bertanya dengan kepala dimiringkan. “Perlu sesuatu? Atau ada yang ketinggalan?” Chiara menggeleng sungkan. “Makasih banyak,” katanya. “Dan maaf.” Iris Yanuar melebar spontan, kedua alisnya pun ikut terangkat. Lalu sorotnya berubah bingung mendengar dua kata yang bertolak belakang terlontar dari bibir istrinya. “Kita turun, yuk?” ajak Chiara kemudian yang tak memberi kesempatan Yanuar untuk berkomentar. “Bapak dan Ibu udah di teras.” “Oke.” Yanuar mengia