“Lo mabuk, Ly!” sentak Yanuar ketika mendapati Lily, temannya mendadak datang ke rumah dan langsung menggerayanginya. “Lebih baik lo pulang sekarang!”Wanita itu menatap Yanuar satu. Lalu perlahan, ia menangis sejadinya yang memicu kebingungan Yanuar.“Nu, lo harus tolongin gue … please, Yanu ….” Lily terisak. Air matanya bergulir melalui dua sisi wajah hingga riasannya longsor.Yanuar bergidik ngeri menyaksikan Lily yang berbeda dari biasanya. Seolah tingkat stress wanita itu sudah di atas rata-rata. Dan Yanuar merasa tidak mampu membantunya. Sewaktu pekerja rumah tangganya melintas, Yanuar langsung memanggilnya dan meminta bantuan agar Lily menjauh. “Tolong, Bi. Jauhkan dia dari saya,” pinta Yanuar yang diangguki Bi Asih.Kalau terus dibiarkan, Lily akan berbuat lebih. Seperti tadi, Lily berhasil memberi ciuman kasar di lehernya tanpa sebab. Yanuar sudah memekik untuk menolak, tapi wanita itu benar-benar tidak sadar atas apa yang dilakukannya.“Pak, Bu Lily …” kata Bi Asih pelan
Semenjak dinyatakan positif hamil, Chiara menyadari ada banyak perubahan dalam dirinya. Selain tubuhnya yang bereaksi, juga suasana hatinya. Ia mudah emosi, kesal, sampai menangis tiba-tiba.Lalu sekarang, saat melihat leher jenjang suaminya, Chiara murka. Untuk sekadar melihat wajah Yanuar saja, Chiara ogah-ogahan. Lebih baik melihat dinding polos di hadapannya daripada menatap suami yang memiliki banyak tanda kemerahan di leher.Memang kejadian itu bukan kesengajaan, tapi tetap saja. Chiara benar-benar kesal. Ia ingin meneriaki segala sesuatunya untuk meredam amarah.“Chimil?” gumam Chiara pelan, mengulangi sebutan aneh itu.Sontak kepala Chiara menoleh pada sumber suara. Di dekatnya, Yanuar tengah berdiri di belakang sofa dengan raut wajah yang kusut.“Kamu manggil siapa?” tanya Chiara bersama lirikan tajam, menunjukkan kekesalan yang masih dirasakannya. Bahkan setelah Yanuar bersungguh-sungguh ingin menghapus jejak di leher akibat ulah wanita lain, Chiara masih jengkel dan tak te
Ada beberapa perubahan pada rumah yang dulu ditinggali Chiara semenjak lahir hingga sebelum menikah dengan Yanuar. Bagian teras lebih diperbesar, juga atapnya yang ditambah naungan agar lantai tak begitu basah saat hujan. Melihat itu, Chiara langsung menoleh ke sisi kursi pengemudi. Tepatnya pada Yanuar yang kemungkinan besar adalah otak dari perubahan rumah itu. Sebelum melepas sabuk pengaman, Chiara menahan lengan Yanuar supaya tak turun dari mobil lebih dulu sekalipun Bapak sudah menunjukkan dirinya dari pintu. “Kenapa?” Yanuar bertanya dengan kepala dimiringkan. “Perlu sesuatu? Atau ada yang ketinggalan?” Chiara menggeleng sungkan. “Makasih banyak,” katanya. “Dan maaf.” Iris Yanuar melebar spontan, kedua alisnya pun ikut terangkat. Lalu sorotnya berubah bingung mendengar dua kata yang bertolak belakang terlontar dari bibir istrinya. “Kita turun, yuk?” ajak Chiara kemudian yang tak memberi kesempatan Yanuar untuk berkomentar. “Bapak dan Ibu udah di teras.” “Oke.” Yanuar mengia
Menginap di rumah mertua adalah pengalaman pertama bagi Yanuar. Ia langsung mengiyakan tawaran mertua sekaligus kemauan istri yang sudah lama tak menginap semenjak menikah. Melihat mata Chiara yang langsung berbinar-binar, membuat Yanuar enggan menolak. Meskipun, setelah dipikir-pikir, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan. Seperti pakaian ganti yang mengharuskan Yanuar pergi ke supermarket terdekat. Yanuar baru kembali saat langit menggelap dan makan malam akan dimulai.“Kok masih di kamar?” tanya Yanuar begitu masuk ke kamar Chiara dan menemukan istrinya tengah mengikat rambut panjang. “Ibu udah siapin makanan di luar, Babe.”Chiara sontak bangkit dan menyambut kedatangannya. “Aku nunggu kamu,” katanya sambil memeluk lengan Yanuar. “Makan dulu aja, mandinya setelah ini.”“Hmm, okay.” Yanuar meletakkan kantung plastik belanjaannya hasil berburu bersama Ardan tadi. Kemudian melangkah bersama Chiara menuju ruang makan yang menyatu dengan ruang tengah dan dapur. Semua sudah berkumpul
Tanda kemerahan di beberapa tubuh Chiara adalah mahakarya. Bagi Yanuar yang berulah, ia mengulum senyum saat melihatnya. Gerak-gerik Chiara selalu ia perhatikan. Bahkan saat si istri melepaskan napas terengahnya sebelum bergerak turun dari ranjang.“Mau ke mana?” Yanuar sigap mengikuti Chiara yang sibuk mengenakan pakaiannya kembali. Namun sesekali si istri menghentikan gerak dan memegangi pinggang sambil mengerutkan hidung.“Bebersih sekarang?” tanya Yanuar lagi.Baru kali itu Chiara menoleh dan mengangguk. “Mau bilas di kamar mandi biar nggak lengket.”Selalu seperti itu kebiasaan Chiara. Selepas mereka melakukan aktivitas bersama, si istri tak pernah absen ke kamar mandi untuk membilas bagian tubuhnya.Yanuar mengangguk dan cepat mengulurkan tangan, bersedia merangkul tubuh Chiara. “Aku bantu,” tawarnya yang dibalas persetujuan sang istri. “Pelan-pelan aja jalannya nggak pa-pa.”Walaupun ada sensasi senang dan puas mendapati istri yang berinisiatif meminta lebih dulu, Yanuar meras
Melihat reaksi dokter yang hanya tersenyum selama memeriksa kandungannya, Chiara makin dirayapi kepanikan saja. Genggamanannya di tangan besar Yanuar pun mengerat, walaupun sensasi nyeri di bagian perut bawahnya sudah tak sebanyak tadi.“Gimana, Dok?” tanya Yanuar seketika, tampak tak sabaran sekali.Si dokter mengarahkan Chiara dan Yanuar untuk duduk di bangku yang tersedia. Baru setelahnya, dokter siap menjelaskan. “Sejauh ini nggak ada yang bermasalah dengan kandungan Ibu Chiara. Bayinya juga sehat. Nyeri itu karena kram perut dan biasa terjadi setelah berhubungan badan ketika hamil.”Chiara dan Yanuar menyimak dengan baik tanpa menyela. Sampai dokter memberikan saran kalau-kalau rasa itu datang lagi.“Berarti aman ya, Dok?” tanya Chiara memastikan. “Takutnya ada sesuatu yang salah.” Ia menunduk, menatap perutnya yang buncit. “Soalnya saya nggak enak sama suami kalau harus absen berkegiatan.”“Nggak masalah.” Dokter mengulum senyum. “Untuk mengurangi reaksi nyeri, Pak Yanuar bisa
Chiara mengulurkan tangan guna memberikan tas sekaligus kotak bekal yang berisi masakannya pada sang suami. Setibanya di rumah siang ini, Yanuar sudah dihubungi lagi oleh Yabes agar secepatnya ke kantor karena ada hal yang urgen.“Begitu semuanya selesai, Mas segera pulang.” Yanuar menerima pemberian Chiara, lalu mengecup kening sang istri. “Apa pun itu, kabari Mas, ya. Makannya yang teratur, vitamin, dan susu juga jangan lupa juga. Nanti aku tanya ke Mbak di sini buat memastikan semuanya.”Chiara mengerjap dua kali dan mencebik pelan. “Iya, ih, bawel.”Yanuar tak langsung pergi rupanya, melainkan iseng mencubit ujung hidung Chiara. “Bawel gini juga kamu demen,” balasnya tak kalah menggoda. “Aku berangkat, ya.”Chiara mengangguk. “Hati-hati, Mas.”Chiara masih berdiri di dekat tiang besar rumah sampai mobil yang ditumpangi Yanuar menghilang begitu gerbang ditutup. Ia menunduk, menatap perutnya yang mulai membuncit. Kemudian menarik napas dan membuangnya secara perlahan.Semenjak menge
Seingatnya semalam, ia pergi ke kamar lebih dulu dan berusaha memejamkan mata, meski masih ada kesal dan amarah di dada. Namun tahu-tahu, pagi ini tepat di hadapannya sudah ada penampakan dada Yanuar yang menjadi sandaran keningnya.Sepasang alis Chiara naik spontan setelah menyadari sikapnya yang kurang waras. Semalaman ia memeluk suaminya sendiri seusai lontaran keluhan yang memenuhi benak. Bukankah ini gila?Buru-buru Chiara menjauh. Ia lekas bangkit duduk, sebelum akhirnya memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari itu ada kelas siang, tapi ia perlu ke kampus untuk menyerahkan berkas bersama Yaya dan teman-temannya yang lain.“Jam berapa ini, Babe?”Tubuh Chiara menegang seketika. Langkahnya terhenti tiba-tiba sebelum mencapai kamar mandi. Ia menolehkan kepalanya sedikit dan menjawab, “Jam 6.”Lekas Chiara melanjutkan langkah, tak peduli tanggapan Yanuar setelahnya. Ia tak ingin berlama-lama bersinggungan dengan suaminya sementara. Perasaannya masih jengkel bukan main.15