"Mau kemana?" Teriak Bu Hartati.
"Jual jam tangan." Pekik Raya dari arah teras depan rumah mereka."Jual jam tangan, Apa Maksudnya?" Gumam Bu Hartati bingung dengan ucapan putrinya.****"Jadi kau beneran mau ke Jakarta?" Tanya Nita."Iya." Jawab Raya cepat sambil menyeruput kuah mie instan rasa soto ayam itu."Enak mie nya?" Desis Nita sambil melotot kesal."Henak ... Pake banget malah, apalagi dimakan lagi panas panas begini. Muantap bener pedesnya, kau mau?" Ucap Raya cengengesan, sambil mengangkat mangkuk mienya."Jelaslah enak. Gratis, coba kalau bayar ... Lagipula itu mie kan punyaku, kau saja yang tak tahu malu langsung makan," rutuk Nita."Kau tak akan tega menarik bayaran sama gadis yang imut imut nan manis seperti ini, Nit!" Balas Raya mengedip ngedipkan matanya sambil tersenyum manis."Jangan dihabiskan mie nya, aku lapar tahu!" Sungut Nita."Ada urusan apa kau siang terik begini kerumahku? Bukannya semalam kau bilang sudah ada orang yang mau beli jam tanganmu itu." Tanya Nita sambil merebut mangkok berisi mie instan yang sudah tersisa separuhnya itu dari tangan Raya."Iya, katanya sih siang ini mau ambil. Aku ajak aja ketemuan di sini," Jawab Raya enteng."Disini? Maksudnya dirumahku begitu?" Mata Nita kembali melotot."Iya.""Me-memangnya siapa yang memberi izin padamu pakai rumahku untuk transaksi jual belimu itu?""Lagipula, siapa yang mau beli Jam tanganmu itu?" Lanjut Nita penasaran sambil mengambil segelas air dan meminumnya."Fiko," jawab Raya cepat.Byyurrr!Nita menyemburkan air yang baru saja diminumnya. Matanya menatap Raya tanpa berkedip. Seolah ingin memastikan apa yang diucapkan sahabatnya itu adalah suatu kebenaran."Fi- fiko, adiknya Mas Dhani? kau tawarkan jam tanganmu itu sama adiknya Mas Dhani? Gila juga kau." Nita terbata."Lho, kenapa? Nggak ada yang salah kan. Bisnis is bisnis. Lagipula kenapa kalau Fiko yang beli?""Bodo ah," Nita mencebik kesal padanya."Lihat, gara gara semburan maut mu itu, bajuku sampai basah," sungut Raya sambil mengelap kaus yang dipakainya."Kok bisa si Fiko?""Ya bisa lah. Nggak sengaja kemarin ketemu di jalan. Tiba tiba jiwa bisnisku meronta saat melihatnya, ya sudah langsung kupepet dan prospek saja dia. Hasilnya, taraaa ...! dia mau beli jam tanganku. He ... he ... he!" Jawab Raya terkekeh."Dasar, entah makhluk dari planet mana kau berasal. Kupikir setelah selesai dengan Mas Dhani, kau akan nangis nangis semalaman, sampai matamu itu bengkak. Nggak tahunya masih sempat sempetnya ngurusin jam tangan mantan.""Aku lebih sedih kehilangan uang, daripada kehilangan Mas Dhani. Lagipula, Pak lurah masih mau kok nampung aku jadi mantunya," desis Raya."Halo, aku juga mau kali jadi mantunya Pak lurah, secara si Febri, kan gantengnya pake banget, sebelas dua belas sama Song Jong Ki, si duda meresahkan itu. Ah ... Andai saja ..." Nita mulai terlihat senyum senyum sendiri. gadis itu mulai berangan- angan."Wes, bangun. Mimpimu ketinggian, nona." Raya menepuk pipi sahabatnya itu.Suara salam seseorang terdengar dari luar, menginterupsi pembicaraan mereka, tampak seorang pemuda berusia tujuh belas tahun, berdiri di teras rumah keluarga Nita. Membuat senyum Raya semakin merekah."Mana mbak, jam tangannya. Aku sudah lama sekali kepingin jam tangan yang sama kayak miliknya Mas Dhani." Ungkap Fiko tak sabar, begitu masuk kedalam rumah."Ini." Raya menyerahkan sebuah box persegi berwarna hitam itu padanya."Untung saja tuh kotaknya masih disimpan sama emak, kalau nggak, turun deh nilai jual tuh jam tangan," Bisik Raya pada Nita."Aku gak mau ikut campur." Balas Nita di telinga Raya."Bagaimana, suka sama jamnya?" Tanya Raya memastikan."Tentu mbak Raya. Ini keren. Sama persis, dengan miliknya Mas Dhani," Fiko memuji sambil mengelus jam tangannya."Tentu saja sama, itu kan jam tangan yang sama yang dimiliki kakakmu," desis Nita pelan di telinga Raya. membuat Raya seketika langsung mencubit pinggangnya."Ah ya, Ini uangnya. Dihitung dulu, mbak Raya," Ucap Fiko sambil menyerahkan segepok uang padanya.Senyum Raya langsung merekah ketika melihat setumpuk uang ditangannya. Matanya melirik kearah Nita yang menggeleng pelan karena tingkah aneh sahabatnya itu."Terima kasih ya, Fik, di pake terus ya jam tangannya," ucap Raya dengan memamerkan senyum manisnya."Sama sama mbak.""Kau benar benar manusia langka yang ada di planet ini," sungut Nita sambil melihat Raya yang sibuk menatap uang ditangannya."Berarti kau harus bersyukur karena sudah mengenal manusia langka ini," tutur Raya bangga."Bodo ah, mending cepat pulang sana, daripada terus membuatku kesal.""Nih, untukmu." Raya menyerahkan selembar uang merah pada Nita."Apa ini?""Uang untuk menutup mulutmu itu."" ... dan terima kasih atas rumahnya. Dah ya, aku mau pulang dulu. Kasihan emak nanti sedih karena anak gadisnya yang imut imut ini belum pulang." Ucap Raya yang langsung membalikkan badan, melangkah pergi meninggalkan Nita yang masih melongo, diam terpaku.****Keesokan harinya,"Untuk apa kau datang kerumahku, mas, aku tak punya urusan lagi denganmu," ketus Raya."Aku ingin ...""Ingin menjelaskan sesuatu? Maksudmu aku salah paham, tuh cewek sepupumu atau adik angkatmu begitu. Ah alasanmu basi, mas," pungkas Raya cepat."Katakan cepat, untuk apa kau kerumahku? Jangan bilang jika kau ingin kita balikan dan meminta jam tangan itu kembali" Lanjut Raya ketus."Tidak! Maaf, aku kesini karena disuruh ibu, untuk pesan kue buat acara syukuran besok malam, karena ibu sedang berhalangan."Hiks!Raya melongo sesaat begitu mendengar alasan yang dikemukakan Dhani. Gadis itu mengira kedatangan Dhani ke rumahnya untuk memperbaiki hubungan mereka. Ternyata, dugaannya meleset, membuatnya sedikit kecewa. Tak lama, ia berucap sinis."Emak lagi libur jualan.""Eh, nak Dhani. Ada apa? Mau ketemu Raya?" Suara Bu Hartati tiba tiba menyela."Nggak mak!" Raya langsung menjawabnya."Oh, bukan ya, lalu?" balas Bu Hartati."Ah, a-anu. Ini Bu, anu ...""Apaan sih mas, anu, anu, mau main anu anuan!" Gerutu Raya."Bi Marni mau pesan kue buat besok malam. Mak," jelas Raya mewakilinya bicara."Oh, berapa banyak?" sahut Bu Hartati sumringah.Dhani menjelaskan tujuannya pada Bu Hartati, tak lama wanita berusia empat puluhan itu, mengangguk menyanggupinya lalu pamit kedapur, meninggalkan Raya dan Dhani di teras depan rumah mereka."Kau marah?""Nggak, kita kan sudah mantan, buat apa marah? Mending sekarang kau pulang sana mas, toh urusanmu juga sudah selesai kan dirumahku," usir Raya."Aku ...""Aku apa ...? Sudahlah, aku sudah tahu, namanya Siska, anak bosmu di kantor, iya kan?"Dhani menelan ludah, beberapa kali ia bersikap seperti seorang maling yang ketahuan mencuri. Beberapa kali pula ia menghindar dari sorot mata tajam Raya yang seakan ingin mengulitinya."Nggak perlu nanya aku tahu darimana!""Lagipula aku tahu diri kok, mana mau orang yang sudah berpendidikan dan mapan sama anak yang cuma lulus SMA," lanjut Raya seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Dhani."Sana pulang, mas. Maaf, aku sibuk!"Raya melangkah masuk meninggalkan Dhani yang masih terpaku. Tak lama terdengar suara seseorang menyeret langkah, segera saja gadis itu berbalik kembali, melihat mantan kekasihnya yang berjalan meninggalkan rumahnya."Kau meremehkanku mas.""Aku memang hanya lulusan SMA. Kau pikir aku sebodoh itu dan dengan mudah bisa membohongiku, asal kau tahu, adikmu berkata jujur saat ku tanya semua hal tentang dirimu. Meskipun aku terpaksa harus menjual jam tangan itu, setengah dari harga pasaran." Gumam Raya sambil berdecak kesal.Raya membalikkan badan, masuk kedalam kamarnya, lalu mengambil sesuatu dari dalam lipatan baju dilemarinya, sebuah amplop berisi uang tabungannya.Gadis itu mulai menghitung rupiah demi rupiah yang telah ia kumpulkan. Uang yang ia rencanakan untuk meringankan beban Ibunya atas biaya pernikahannya dengan Dhani kelak, kini sudah terkumpul cukup banyak. Untuk sesaat ia menatap uang itu, tak lama, terlihat ia menggigit bibirnya sambil mengepal kuat lembaran lembaran merah itu tangannya.Bersambung.Wajah sendu Bu Hartati terlihat kala melepas putri sulungnya ketika bus antar propinsi itu perlahan bergerak. Dibalik kaca jendela, Raya balas menatap ibunya, sambil mengulas senyum dan melambaikan tangan, seolah ingin memberi tahu jika ibunya tak perlu mengkhawatirkannya.Beberapa pesan dan nasihat sudah diucapkan Bu Hartati sebelum Raya berangkat tadi. Meski rasa khawatir dan takut melanda. Namun, wanita yang sudah menjanda sepuluh tahun itu berusaha tegar dan yakin jika putrinya bisa menjaga dirinya.Bus yang ditumpangi Raya terus bergerak melewati kota demi kota, masuk keluar hutan dan akhirnya menyebrangi lautan, jarak tempuh antara Palembang dan Jakarta membuatnya harus duduk diam selama lebih dari 20 jam di dalam bus.Pagi akhirnya menjelang ketika bus ini berbelok ke terminal Rawamangun. Rasa lelah melanda sekujur tubuhnya, namun, tak membuat semangatnya luntur. Gadis itu memandang ke depan, berharap impiannya untuk sukses dan memiliki banyak uang akan terkabul.Sejak semalam
"Maaf Bi, sepertinya aku tak akan lama menumpang dirumahmu," tutur Raya pelan.***"Kau mau cari kost kostan?" Tanya Winda."Iya, aku nggak enak numpang terlalu lama dirumahnya Bi Lastri," sahut Raya."Udah dapet kerjaan belum? Di jakarta, biaya hidup disini itu mahal lho, nggak kayak di kampung, tempat kita.""Aku udah kirim lamaran ke pabrik tempat Bi Lastri kerja, cuma belum ada jawaban. Katanya Bi Lastri kalau aku siapin uang pelicin tiga juta, bisa diterima," jelas Raya."Lalu ... Apa rencanamu, Raya?"Mata Raya membulat begitu mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang membawanya harus bertemu dengan Winda, teman satu SMA dulu. Teman yang sejak lulus sekolah, langsung hijrah mencari penghasilan sendiri di Jakarta karena tak mampu melanjutkan kuliah."Justru karena itu aku belain sampe nyasar kesini, Win!" "Cariin aku kerjaan, ya. Apa saja deh, yang penting bisa nabung buat beli berlian, sama beliin emak mobil. Udah!""Jidatmu lebar!" Winda mencebik."Ya sudah, mana berkas lamara
Mata Raya terbelalak lebar ketika mendengarnya. Membuatnya hingga tak mampu mengeluarkan suara untuk beberapa detik."Tunggu dulu, a-apa maksud ucapannya tadi, ca-calon istri? Me-menikah?" ****Raya memandang pria yang berada disampingnya tanpa berkedip. Mulutnya terbuka karena masih belum mengerti akan apa yang baru saja didengarnya.Sadar jika tangannya masih dipegang erat oleh pria itu, Raya berusaha melepaskannya, sayang, pria itu bukannya melepaskan tangannya, tetapi malah merangkul pinggangnya. Hingga tak ada jarak lagi diantara mereka."Ini gadis yang ingin kunikahi, kuharap setelah ini, mama berhenti mencarikan calon istri untukku."Wanita dengan hijab dikepala, berpenampilan yang anggun serta berkelas itu, menatap Raya dengan seksama, matanya memindai setiap centimeter tubuh Raya dari atas sampai kebawah, hingga akhirnya sebuah senyuman terbit di wajahnya."Cantik, dan sepertinya pekerja keras, mama suka pilihanmu, Alex.""Siapa namamu, nak?" "Maaf, bu sepertinya ada kesala
"Terserah kau saja," jawab Raya yang tak henti menepuk jok mobil yang didudukinya."Mobilmu nyaman ya, beda sekali dengan angkot yang tiap pagi kunaiki," tutur Raya polos.Mata Alex mendelik melihat tingkah Raya, senyum tipis tiba-tiba merekah dari bibir pria itu. Sebuah senyuman yang penuh arti.***"Andrew Rinindra Alexander Green."Raya mengeja sebaris nama di kartu identitas Alex yang dipegangnya. "Namamu keren ya. Orang bule ternyata.""Kalau sudah selesai membacanya, sini kembalikan KTP ku," sungut Alex."Ternyata sudah 25 tahun umurnya, pantesan sampe dicariin calon istri segala. Udah tua!" Lanjut Raya terkekeh.Merasa diejek, tangan Alex dengan cepat menyambar kartu identitasnya dari tangan Raya, wajah kesal ia perlihatkan pada gadis itu."Bukan urusanmu, nona." Ketusnya sambil meletakkan kartu identitasnya kedalam saku celana yang dipakainya."Perasaan nyonya yang tadi siang wajahnya Indonesia banget. Kok bisa punya anak kayak bule nyasar begini yah," tutur Raya sambil melir
"Kok aku jadi ngerasa kayak benalu banget. Sudah ya, aku mau masuk dulu, mau mandi. Terus tirakat semalaman. Biar impianku dapet suami kaya terkabul." Tangan Raya dengan cepat memutar pintu kamar kosnya."Yuk bobo cantik biar tambah imut imut," lanjut Raya pada Winda."Kenapa ada gadis yang selalu beruntung, seperti dirimu," keluh Winda."Karena aku manis dan imut imut" jawab Raya asal. ***Sejak pagi Raya sudah bersiap, gadis itu berdandan cantik, meski acara makan malam yang akan di hadirinya, masih beberapa jam lagi, tetap saja ia menjaga penampilannya.Sepanjang waktu, Raya terlihat bersemangat melayani calon pelanggan yang datang ke counter yang dijaganya. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Suasana hatinya terlihat sangat baik hari ini."Mbak Raya, baik baik saja, nggak demam atau lagi sakit kan?" Tanya Nanda, rekan kerjanya, sesama penjaga counter ini."Nggak, emang aku kenapa?" Balas Raya."Gak apa apa sih, cuma heran saja. Mbak Raya nggak kayak biasanya. Perasaan dar
"Berhenti! Ku bilang, turunkan aku."Dengan terpaksa Alex menaikkan kembali kaca jendela mobilnya dan menghirup kembali parfum aroma melati itu, Merasa menang, Raya mengulas senyum.Mobil yang dikendarai Alex mulai membelah jalanan ibukota. Langit yang bertaburan bintang seolah-olah ikut menyambut kedatangan mereka diserpong. Tanpa di sadari, bahwa acara makan malam ini akan membuat babak baru dalam kisah hidup mereka.****Raya menatap takjub deretan bangunan mewah yang dilewatinya. Mobil yang dikemudikan Alex kini mulai bergerak pelan, berbelok dan berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua bergaya Mediterania klasik.Pagar setinggi dua meter itu langsung terbuka, begitu mobil ini menepi, seorang penjaga rumah terlihat melambaikan tangan, seakan telah mengenal pemilik Ferarri merah ini.Alex membuka sedikit kaca jendela mobilnya, dan membalas lambaian tangan itu dengan senyum tipis, lalu membawa mobilnya masuk ke area carport rumah ini."Aku ingin tahu latar belakangmu. Siapa kau
"Kita memang serasi ya," ucapnya dengan senyuman yang lebar. Membuat Alex berdecih pelan, lalu membuang muka.Pemuda bernama Arya itu duduk disamping Bu Sekar. Ia terlihat dingin. Hanya sesekali saja ia terlihat memaksakan diri untuk tersenyum. Berbeda sekali dengan Alex yang cukup banyak bicara, sosok Arya, cenderung diam."Secepatnya, aku ingin bertemu dengan ibumu, Raya," ungkap Bu Sekar."Be- bertemu ... tapi untuk apa, ma?" Tanya Alex gugup.***"Kok nanyanya begitu, nak. Ya untuk membicarakan tentang pernikahan kalian. Bukankah kau bilang kemarin ingin menikahinya bulan depan? Mama pikir juga sebaiknya begitu, semakin cepat akan semakin baik. Lagipula tak elok jika terlalu lama menunda, benar begitu kan, Raya?" Ucapan yang sangat jujur dan terbuka itu sontak membuat Alex salah tingkah. Ia tak mungkin menyanggah perkataan ibunya, karena sama saja seperti menjilat ludahnya sendiri. Tapi, jika secepat itu menikahi gadis yang baru belum genap dua hari dikenalnya ini, membuatnya har
"Ayo masuklah," ajak Alex sambil membuka pintu utama rumahnya."Terima kasih."Mereka berjalan beriringan melintas ruangan tamu, lalu menaiki tangga yang menuju ke lantai atas, sambil memegang selusur tangga ini, mata Raya tak sengaja melihat foto keluarga yang tergantung di dinding ini.Foto seorang anak laki laki berkemeja putih yang diapit kedua orang tuanya. Sebuah foto yang memperlihatkan kehangatan keluarga ini membuat Raya menghentikan langkahnya sejenak.***"Apa ini bapakmu?" "Iya, itu foto kedua orang tuaku. Sudah jelas kan sekarang jika aku bukan kapur yang berada di tumpukan arang," sindirnya."Masih ingat saja." Raya terkekeh.Alex membuang muka sambil mendengkus kesal, tak lama ia masuk kedalam sebuah kamar."Dengar, aku butuh waktu untuk membuang hajat. Kau bisa berkeliling rumah ini. Tapi ingat, Jangan sekali kali mencoba masuk ke kamarku.""Iya. Tapi jangan lama lama, aku mau pulang, aku mau istirahat," balas Raya."Kau benar benar gadis menyebalkan, nona," rutuk Ale