Share

Bab 5

"Maaf Bi, sepertinya aku tak akan lama menumpang dirumahmu," tutur Raya pelan.

***

"Kau mau cari kost kostan?" Tanya Winda.

"Iya, aku nggak enak numpang terlalu lama dirumahnya Bi Lastri," sahut Raya.

"Udah dapet kerjaan belum? Di jakarta, biaya hidup disini itu mahal lho, nggak kayak di kampung, tempat kita."

"Aku udah kirim lamaran ke pabrik tempat Bi Lastri kerja, cuma belum ada jawaban. Katanya Bi Lastri kalau aku siapin uang pelicin tiga juta, bisa diterima," jelas Raya.

"Lalu ... Apa rencanamu, Raya?"

Mata Raya membulat begitu mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang membawanya harus bertemu dengan Winda, teman satu SMA dulu. Teman yang sejak lulus sekolah, langsung hijrah mencari penghasilan sendiri di Jakarta karena tak mampu melanjutkan kuliah.

"Justru karena itu aku belain sampe nyasar kesini, Win!"

"Cariin aku kerjaan, ya. Apa saja deh, yang penting bisa nabung buat beli berlian, sama beliin emak mobil. Udah!"

"Jidatmu lebar!" Winda mencebik.

"Ya sudah, mana berkas lamaranmu, Ntar aku bantu titip ke HRD kantorku. Kebetulan aku kenal baik seorang staf HRD disana."

Mata Raya mengerjab, bibirnya tersenyum lebar, dengan lidah yang tak henti memuji kebaikan sang teman.

Sebenarnya, sudah tiga hari belakangan ini Raya menghubungi beberapa teman yang ia ketahui menetap di jakarta. Namun, hanya Winda saja yang merespon baik dan mau mendengar keluhannya, sedang yang lain, entahlah, mungkin terlalu sibuk hingga tak sempat mengecek ponselnya, atau mungkin juga sedang asyik tidur.

Raya mengenal Winda karena mereka masih satu kampung dan bersekolah di SMA yang sama, meskipun mereka tak pernah satu kelas. Namun, hubungan pertemanan mereka terjalin dengan baik.

"Aku kerja sebagai SPG. Apa kau mau?"

"Nggak nolak. Yang penting aku bisa dapet duit."

"Ya sudah. Aku usahakan, Tapi, ngga janji ya diterima apa nggak nya," ungkap Winda.

"Aku percaya kemampuanmu merayu, Win," balas Raya terkekeh.

"Ehm ... Kalau boleh, sekalian aku numpang di kostanmu ya, ntar aku bantuin bayar," lanjut Raya.

Winda menghela nafas panjang, bibirnya terlihat maju beberapa kilometer, ketika mendengar ucapan temannya itu.

"Ya sudah, tapi begitu kau dapat pekerjaan, segera pindah! Aku tak suka kamarku sempit."

"Kau memang yang terbaik Win, the best pokoknya," puji Raya diikuti gelengan kepala Winda.

"Dasar," umpat Winda.

****

Mata bibinya melotot tajam kala Raya meminta izin untuk pindah ke kontrakan temannya. Beberapa kali ia meminta Raya untuk menunda niatnya karena tak yakin gadis itu bisa mandiri di kota metropolitan ini.

"Kau baru beberapa hari disini. Belum tahu arah pulang kalau kutinggal di Tanah Abang, malah sekarang bilang ingin nge kost. Apa kata emakmu nanti kalau tahu kau tidak tinggal disini, Raya?"

"Aku sudah bilang sama emak kok bi. Dan emak cuma bilang hati hati, pamit baik baik sama bibimu. Makanya sekarang aku menuruti ucapan emak. Pamit sama bibi," Jawab Raya lugas.

Untuk beberapa saat Lastri tak bisa bicara, matanya terus memindai sikap keponakannya itu. Ia masih tak yakin untuk melepas Raya dari rumahnya.

"Lalu, dimana kost temanmu itu?"

"Di daerah Radio Dalam, Bi. Katanya disana juga banyak kost kostan karyawan. Sudah, bibi nggak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri. Lagipula kalau aku kehabisan uang, nanti balik ke sini." Tutur Raya berusaha meyakinkan Lastri.

"Bibi tahu daerah itu, ya sudah, hati hati. Jangan lupa sering seringlah main kesini. Jangan sampai saat uangmu habis kau baru datang kesini." Lastri menyerah.

"Terima kasih banyak, bi." Raya mencium punggung tangan adik perempuan ibunya itu.

****

Sudah satu minggu Raya menumpang di kamar kost Winda. Wajah gadis itu terlihat sangat senang ketika mendengar kabar baik yang sampaikan temannya itu, saking bahagianya, ia langsung menelepon emak di kampung.

Berbekal baju dan tas pinjaman dari Winda. Gadis imut imut nan manis itu, bersiap untuk pergi wawancara kerja. Matanya terus menatap pantulan dirinya di cermin, melihat hasil polesan make-up Winda di wajahnya.

"Tuh, udah cantik. Nih, bawa bedak sama lipstik ini. Nanti kira kira sebelum masuk ruang interview, rapiin dulu lipstiknya biar wajahmu kelihatan segeran. Bila perlu oles yang tebal sekalian," saran Winda.

Raya tak menjawab, hanya mengangguk saja, dan memasukkan benda keramat wanita itu kedalam tas, karena ia masih tak henti mengagumi hasil karya Winda, di wajahnya.

"Ternyata aku bisa berubah jadi cantik ya, kalau dandan. Coba dari dulu aku berangkat ke jakarta, pasti penampilanku lebih cantik dari gadis kota itu. Mas Dhani juga nggak akan mungkin berpaling," curhat Raya.

"Masih aja mikirin mantan. Kalau aku mah ogah."

"Buktikan kalau kamu bisa sukses, Raya. Bikin dia menyesal, terus kamu bilang, Maaf, kita sudah mantan, gitu kan keren dengernya," ucap Winda mengompori temannya itu.

"Iya kau benar. Makanya itu, aku harus punya uang banyak. Bila perlu cari pria kaya disini, biar nggak perlu capek capek kerja," Jawab Raya terkekeh.

"Dasar, Sifat perhitunganmu itu masih sama saja seperti saat sekolah dulu. Entah kenapa aku selalu bisa terjebak denganmu." Winda mencebik kesal.

***

Sudah ada satu bulan sejak jadwal interview kerja dan sudah hampir tiga minggu terakhir ini Raya sudah mulai bekerja, baginya pekerjaan ini menyenangkan karena ia bisa bertemu dengan berbagai karakter orang.

Menjadi seorang Sales Promotion Girl sebuah ponsel pabrikan Korea Selatan itu membuatnya harus tampil cantik dan menarik. Demi mewujudkan impiannya memiliki suami kaya, Raya bahkan merelakan uangnya untuk perawatan wajah dan tubuh disalon. Bahkan ia juga membeli beberapa produk kosmetik sendiri, meski setelah itu menangisi isi dompetnya yang mulai menipis.

"Ah, tak apalah, yang penting sekarang cantik. Modal utama menggaet pria kaya adalah cantik," gumamnya menghibur diri.

Sejak tiga hari lalu, Raya sudah tidak menumpang lagi di kamar kost Winda. Ia menyewa kamar sendiri tepat disebelah kamar milik Winda, yang kebetulan kosong karena di tinggal penyewa sebelumnya pulang kampung karena mau menikah.

"Entah kenapa, orang menyebalkan seperti dirimu, hidupnya selalu saja beruntung, yah?" Cibir Winda saat mereka makan malam dengan dua mangkuk mie instan bersama di kamar Raya.

"Aku saja butuh tiga bulan disini, baru dapet kerjaan. Kau ...? Ah, sudahlah. Mungkin rejekimu saja lagi bagus." Lanjut Winda.

" ... Karena aku anak baik. Tidak macam macam, saking terlalu baiknya. Mas Dhani sampai membohongiku."

Hiks!

"Aku gadis yang malang," ucap Raya dengan ekspresi wajah dibuat merana.

"Asem!" Gerutu Winda, membuat Raya akhirnya tertawa lebar.

****

Pagi ini seperti biasa, dengan menumpang angkot, Raya Berangkat menuju sebuah mall di bilangan pusat Jakarta. Pekerjaannya sebagai SPG sebuah merek ponsel terkenal, mengharuskannya mengenakan seragam khusus yang disediakan perusahaan saat bekerja.

"Aku memang terlihat keren kalau pakai seragam dan ID card seperti ini. Persis seperti orang orang sukses yang kerja kantoran di TV. Gak kalah cantik kok sama pemain sinetron ikatan karet gelang yang sering ditonton emak itu," bisik Raya ketika berkaca di etalase counter ini.

"Udah cantik kok Mbak Raya," tegur Nanda, rekan kerjanya.

"Ah, he ... he ...!"

"Tuh Mbak, kalau mau diprospek." Ucap Nanda ketika melihat seorang ibu dan seorang remaja masuk dan melihat lihat deretan ponsel yang terpajang di etalase.

Tanpa pikir panjang dan membuang waktu, gadis itu segera melesat menghampiri. Dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya, akhirnya sebuah ponsel seharga dua belas juta itu pun terjual.

"Kau memang pandai mbak Raya, rata rata konsumen yang kau pegang selalu beli," Nanda memuji.

"Ah, kebetulan saja, dulu sewaktu di kampung aku ikut bisnis MLM," jawab Raya malu.

"Mbak Raya, Ini kayaknya punya ibu tadi deh ketinggalan," tunjuk Nanda tiba-tiba pada sebuah paper bag merah yang ada dilantai.

Raya langsung menoleh melihat paper bag itu, seketika ia mengerutkan kening, mencoba mengingat.

"Ah iya, kau benar, aku kejar dulu ya, siapa tahu masih belum jauh," Sahut Raya lalu menyambar paper bag itu.

Dengan langkah cepat, Raya mencoba mengejar konsumennya tadi. Baru Lima menit berselang sejak ibu dan anak perempuannya tadi pergi meninggalkan counter. Rasanya belum terlalu jauh mereka berjalan.

Mata Raya terus memindai tiap sudutnya. Kerumunan pengunjung mall ini membuat pandangannya terhalang beberapa kali, hingga akhirnya ia melihat ibu dan anak tadi masuk kedalam sebuah restoran Jepang.

"Terima kasih banyak, mbak. Maaf ibu sampai lupa." Ucap ibu itu kepada Raya ketika gadis itu mengembalikan paper bag miliknya.

"Sama sama bu," ucap Raya hendak pamit.

"Tunggu Mbak, ini terimalah. Tolong jangan menolak." Ibu itu menyodorkan dua lembaran merah padanya.

Mata Raya berbinar ketika melihat warna uang itu, dengan senyum tertahan gadis itu menerimanya.

"Terima kasih, bu."

"Ini tak seberapa dengan barang dalam paperbag ini mbak. Terima kasih karena sudah mengembalikannya."

Raya mengangguk mengucapkan terima kasih sekali lagi, tak lama iapun pamit.

Senyum Raya terus tersungging di bibirnya kala ia melangkah keluar dari restoran itu, hatinya gembira karena rejeki yang baru diterimanya tadi, hingga Ia tak sadar jika tiba tiba seorang pria menarik tangannya.

"Aku sudah bilang jika punya calon istri sendiri, ma. Ini dia orangnya. Perkenalkan ini calon istriku, dan aku akan menikahinya bulan depan."

Mata Raya terbelalak lebar ketika mendengarnya. Hingga membuatnya tak mampu mengeluarkan suara untuk beberapa detik lamanya.

"Tunggu dulu, a-apa maksud ucapannya tadi, ca-calon istri? Me-menikah?"

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Aisha Arkana
astaga raya...kamu ini hemat atau pelit ya....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status