Raya membalikkan badan. Untuk sesaat ia menatap Dhani. Pria yang selalu mengumbar janji akan menikahinya selama setahun terakhir ini. Matanya menatap marah pada laki laki itu.
"Kembalikan jam tangan yang kau pakai itu, mas. Setengah tahun aku menabung demi memberimu hadiah itu. Sekarang, aku minta kembali jam tangan itu karena kita sudah tak ada hubungan lagi. Kita sudah mantan."****Wajah Dhani memerah. Malu dan marah dengan apa yang baru saja diucapkan Raya. Beberapa saat berlalu hingga akhirnya gadis kota yang berdiri disampingnya ikut bicara."Anda siapa ya? Kok lancang sekali!" ketus gadis itu sambil mendelik pada Raya."Lancang?""Ah, iya ... Kenalkan. Saya Raya, mantan calon istrinya, mbak," balas Raya ketus."Cepat lepas jam tangannya, mas. Atau aku akan melepasnya sendiri dari tanganmu," desak Raya.Laki laki itu berdecak kesal, tangannya terangkat pelan, seakan enggan melepas jam tangan yang melingkar di tangannya itu. Hingga membuat gadis kota itu melotot tajam padanya."Cepat lepas, mas. Aku mau pulang." "Katanya hadiah kok diambil, Mbak. Apa nggak malu?" Sindir gadis kota itu."Suka suka aku. Belinya juga pakai uangku. Harusnya kau bertanya mengapa laki laki ini berbohong dan mengkhianatiku. Bilangnya mau melamar. Nggak tahunya ...""Ah, sudahlah." Raya mengibaskan tangan."Apa benar mas, yang wanita ini katakan?" Hardik gadis kota itu pada Dhani.Pasangan kekasih itu terlihat bertengkar, untuk beberapa saat Raya mematung melihat drama menyebalkan itu, lalu mencebik kesal. Tak lama ia melepas sebuah cincin dijari manisnya."Kalian berdua, kalau mau main drama, jangan disini. Males lihatnya," ketus Raya."Nih mas, ambil kembali cincinmu ini, aku sudah tak butuh. Setidaknya jam tangan ini harganya lebih mahal dari cincinmu ini." Raya menarik paksa jam tangan yang sudah terlepas itu dari tangan Dhani, lalu, balas meletakkan cincin di telapak tangan laki laki itu.Setelah merasa hajatnya selesai, sambil menenteng keranjang kue milik emak. Raya melenggang santai meninggalkan mereka, menuju sepedanya. Tangan gadis itu masih terkepal. Karena kemarahannya yang masih belum hilang. "Ah, bodoh ... bodoh. Harusnya ku tampar saja laki laki pengkhianat itu tadi," sesalnya sambil menepuk kepalanya sendiri.Raut wajah masam terus diperlihatkan gadis itu sepanjang tujuh ratus meter perjalanan pulang menuju kerumahnya, mulutnya terus saja mengumpat selama ia mengayuh sepedanya."Haaish ...!""Dia kira siapa dirinya. Mentang mentang sudah kerja di kota, merasa sukses, lalu seenaknya saja mempermainkan perasaanku. Apa karena gadis itu kaya?""Awas saja kau, mas." Gadis itu masih menggerutu.****"Huaaaa ....""Dasar laki laki buaya, pengkhianat, pecundang, Giant, Suneo, Patrick, Squidward, plankton," sungut Raya sambil menyebut anggota keluarga bikin*i bottom itu.Shroott! Raya menggerutu panjang di hadapan Nita sambil membuang lendir dihidungnya karena terisak. Rasa kesal dan marah karena dikhianati Dhani masih menggerogoti hatinya. "Memang dia pikir siapa dia? Baru kerja setahun aja lagaknya sudah kayak orang terkenal. Pake bawa cewek lagi kesini. Mau pamer sudah jadi orang hebat atau mau ngajakin ribut!""Lalu, kenapa sampe nangis Bombay gitu?" Nita menggeleng melihat kelakuan sahabatnya."Lihat ini, Jam tangannya kan jadi mubazir Nit, hampir dua juta lho aku belinya, mana setengah tahun lebih ngumpulin duitnya. Sedih aku ...""Hiks ...!""Jadi kamu nangisin nih jam tangan. Ampun dah nih anak." "Lha iya, tentu saja. Ini belinya pake uang. Bukan pake perasaan. Apalagi dapet utangan. Aku menabung cukup lama untuk membeli jam tangan ini," curhat Raya.Shroot!Lagi, Raya membuang lendir yang memenuhi hidungnya. Membuat Nita akhirnya mencebik kesal padanya."jorok," ujar Nita spontan."Ya udah jual aja ke tukang loak aja. Lumayan kan!" Nita mencoba memberi solusi."What! Jual ke tukang loakan? Ini belinya muahaall! saranmu benar benar tak masuk akal.""Terus maunya apa?" Nita mulai mendelik. Tak sabar."Bantu aku jualin ya atau kau beli saja nih Jam. Aku kasih murah deh." Ucap Raya sambil mengedipkan kedua matanya dan tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya yang rapi."Asem!""Kau ternyata lebih menyebalkan daripada Tuan Crab yang pelit itu." Gerutu Nita sambil menjitak kepala sahabatnya itu."Sudahlah, bicara denganmu lama lama bikin aku kesal. Besok aku bantu jualin di grup jual beli barang bekas, atau di grup K*M, siapa tahu ada emak emak disana yang tertarik mau beli jam tanganmu itu."Senyum Raya mengembang. Meski rasa kesal atas perbuatan Dhani padanya masih terasa, namun, tak membuat gadis itu sedih berkepanjangan. Baginya yang penting jam itu bisa bertukar menjadi uang."Apa rencanamu selanjutnya setelah ini?"Tanya Nita, sambil bertopang dagu melihat Raya yang mengusap jam tangan itu."Cari duit yang banyaklah." Jawab Raya cepat."Entah mengapa aku bisa bertemu orang seperti kau didunia ini," rutuk Nita."Aku beneran mau cari duit yang banyak. Bila perlu cari pria kaya biar hidupku tidak susah lagi dan diremehkan orang." Jawab Raya antusias.****"Mak, aku mau ke tempatnya Bi Lastri di Jakarta," ucap Raya, seminggu setelah pertemuannya dengan Dhani.Wanita berdaster coklat itu, langsung menatap penuh tanya pada putrinya begitu mendengarnya. Janda yang masih cantik di usianya yang sudah kepala empat itu lalu mulai bertanya."Mau ngapain kesana?""Mau cari kerja, Mak. Bosen tinggal di kecamatan terus. Pengen lihat ibukota," ucap Raya sambil mengaduk adonan tepung dan telur."Jangan mendadak kesana, nanti bibimu kaget. Kasih kabar dulu. Biar bisa minta jemput, kamu kan belum pernah kekota, nak." Jelas Bu Hartati, emak Raya."Gak usah mak, aku tahu kok alamatnya Bi Lastri. Minggu depan aku berangkat ya Mak." Raya mulai merayu.Bu Hartati terdiam, sebenarnya berat untuk mengabulkan keinginan Raya, ada rasa tidak rela untuk melepas putri sulungnya itu."Nanti siapa yang bantu emak dirumah, terus kalau tersesat, gimana? Jakarta itu luas," Tanya Bu Hartati cemas."Nggaklah Mak. Anaknya ya di doain baik baik, lagipula kan masih ada Rifki dirumah, yang bisa bantuin emak, " ucap Raya."Adikmu itu mana bisa dimintai tolong cuci piring dan ngulek cabe, Raya," jawab Bu Hartati cepat."Tapi, mak ...." Mata Raya menatap wajah ibunya dengan penuh harap, melihat sikap putrinya yang begitu kekeuh ingin pergi, akhirnya hati Bu Hartati pun luluh."Ya, sudah. Tapi, jangan merepotkan bibimu disana. Minta dia carikan pekerjaan untukmu. Bila perlu, kalian kerja di pabrik yang sama." Ucap Bu Hartati, menyerah."Yes. Emak memang yang terbaik." Ucap Raya sambil mencium tangan ibunya, lalu beranjak pergi meninggalkan adonan yang baru setengah jadi itu."Mau kemana?" Teriak Bu Hartati."Jual jam tangan." Pekik Raya dari arah teras depan rumah mereka."Jual jam tangan, apa maksudnya?" Gumam Bu Hartati bingung dengan ucapan putrinya.Bersambung."Mau kemana?" Teriak Bu Hartati."Jual jam tangan." Pekik Raya dari arah teras depan rumah mereka."Jual jam tangan, Apa Maksudnya?" Gumam Bu Hartati bingung dengan ucapan putrinya.****"Jadi kau beneran mau ke Jakarta?" Tanya Nita."Iya." Jawab Raya cepat sambil menyeruput kuah mie instan rasa soto ayam itu."Enak mie nya?" Desis Nita sambil melotot kesal."Henak ... Pake banget malah, apalagi dimakan lagi panas panas begini. Muantap bener pedesnya, kau mau?" Ucap Raya cengengesan, sambil mengangkat mangkuk mienya."Jelaslah enak. Gratis, coba kalau bayar ... Lagipula itu mie kan punyaku, kau saja yang tak tahu malu langsung makan," rutuk Nita."Kau tak akan tega menarik bayaran sama gadis yang imut imut nan manis seperti ini, Nit!" Balas Raya mengedip ngedipkan matanya sambil tersenyum manis."Jangan dihabiskan mie nya, aku lapar tahu!" Sungut Nita."Ada urusan apa kau siang terik begini kerumahku? Bukannya semalam kau bilang sudah ada orang yang mau beli jam tanganmu itu." Tanya N
Wajah sendu Bu Hartati terlihat kala melepas putri sulungnya ketika bus antar propinsi itu perlahan bergerak. Dibalik kaca jendela, Raya balas menatap ibunya, sambil mengulas senyum dan melambaikan tangan, seolah ingin memberi tahu jika ibunya tak perlu mengkhawatirkannya.Beberapa pesan dan nasihat sudah diucapkan Bu Hartati sebelum Raya berangkat tadi. Meski rasa khawatir dan takut melanda. Namun, wanita yang sudah menjanda sepuluh tahun itu berusaha tegar dan yakin jika putrinya bisa menjaga dirinya.Bus yang ditumpangi Raya terus bergerak melewati kota demi kota, masuk keluar hutan dan akhirnya menyebrangi lautan, jarak tempuh antara Palembang dan Jakarta membuatnya harus duduk diam selama lebih dari 20 jam di dalam bus.Pagi akhirnya menjelang ketika bus ini berbelok ke terminal Rawamangun. Rasa lelah melanda sekujur tubuhnya, namun, tak membuat semangatnya luntur. Gadis itu memandang ke depan, berharap impiannya untuk sukses dan memiliki banyak uang akan terkabul.Sejak semalam
"Maaf Bi, sepertinya aku tak akan lama menumpang dirumahmu," tutur Raya pelan.***"Kau mau cari kost kostan?" Tanya Winda."Iya, aku nggak enak numpang terlalu lama dirumahnya Bi Lastri," sahut Raya."Udah dapet kerjaan belum? Di jakarta, biaya hidup disini itu mahal lho, nggak kayak di kampung, tempat kita.""Aku udah kirim lamaran ke pabrik tempat Bi Lastri kerja, cuma belum ada jawaban. Katanya Bi Lastri kalau aku siapin uang pelicin tiga juta, bisa diterima," jelas Raya."Lalu ... Apa rencanamu, Raya?"Mata Raya membulat begitu mendengar pertanyaan itu, pertanyaan yang membawanya harus bertemu dengan Winda, teman satu SMA dulu. Teman yang sejak lulus sekolah, langsung hijrah mencari penghasilan sendiri di Jakarta karena tak mampu melanjutkan kuliah."Justru karena itu aku belain sampe nyasar kesini, Win!" "Cariin aku kerjaan, ya. Apa saja deh, yang penting bisa nabung buat beli berlian, sama beliin emak mobil. Udah!""Jidatmu lebar!" Winda mencebik."Ya sudah, mana berkas lamara
Mata Raya terbelalak lebar ketika mendengarnya. Membuatnya hingga tak mampu mengeluarkan suara untuk beberapa detik."Tunggu dulu, a-apa maksud ucapannya tadi, ca-calon istri? Me-menikah?" ****Raya memandang pria yang berada disampingnya tanpa berkedip. Mulutnya terbuka karena masih belum mengerti akan apa yang baru saja didengarnya.Sadar jika tangannya masih dipegang erat oleh pria itu, Raya berusaha melepaskannya, sayang, pria itu bukannya melepaskan tangannya, tetapi malah merangkul pinggangnya. Hingga tak ada jarak lagi diantara mereka."Ini gadis yang ingin kunikahi, kuharap setelah ini, mama berhenti mencarikan calon istri untukku."Wanita dengan hijab dikepala, berpenampilan yang anggun serta berkelas itu, menatap Raya dengan seksama, matanya memindai setiap centimeter tubuh Raya dari atas sampai kebawah, hingga akhirnya sebuah senyuman terbit di wajahnya."Cantik, dan sepertinya pekerja keras, mama suka pilihanmu, Alex.""Siapa namamu, nak?" "Maaf, bu sepertinya ada kesala
"Terserah kau saja," jawab Raya yang tak henti menepuk jok mobil yang didudukinya."Mobilmu nyaman ya, beda sekali dengan angkot yang tiap pagi kunaiki," tutur Raya polos.Mata Alex mendelik melihat tingkah Raya, senyum tipis tiba-tiba merekah dari bibir pria itu. Sebuah senyuman yang penuh arti.***"Andrew Rinindra Alexander Green."Raya mengeja sebaris nama di kartu identitas Alex yang dipegangnya. "Namamu keren ya. Orang bule ternyata.""Kalau sudah selesai membacanya, sini kembalikan KTP ku," sungut Alex."Ternyata sudah 25 tahun umurnya, pantesan sampe dicariin calon istri segala. Udah tua!" Lanjut Raya terkekeh.Merasa diejek, tangan Alex dengan cepat menyambar kartu identitasnya dari tangan Raya, wajah kesal ia perlihatkan pada gadis itu."Bukan urusanmu, nona." Ketusnya sambil meletakkan kartu identitasnya kedalam saku celana yang dipakainya."Perasaan nyonya yang tadi siang wajahnya Indonesia banget. Kok bisa punya anak kayak bule nyasar begini yah," tutur Raya sambil melir
"Kok aku jadi ngerasa kayak benalu banget. Sudah ya, aku mau masuk dulu, mau mandi. Terus tirakat semalaman. Biar impianku dapet suami kaya terkabul." Tangan Raya dengan cepat memutar pintu kamar kosnya."Yuk bobo cantik biar tambah imut imut," lanjut Raya pada Winda."Kenapa ada gadis yang selalu beruntung, seperti dirimu," keluh Winda."Karena aku manis dan imut imut" jawab Raya asal. ***Sejak pagi Raya sudah bersiap, gadis itu berdandan cantik, meski acara makan malam yang akan di hadirinya, masih beberapa jam lagi, tetap saja ia menjaga penampilannya.Sepanjang waktu, Raya terlihat bersemangat melayani calon pelanggan yang datang ke counter yang dijaganya. Senyumnya tak pernah lepas dari bibirnya. Suasana hatinya terlihat sangat baik hari ini."Mbak Raya, baik baik saja, nggak demam atau lagi sakit kan?" Tanya Nanda, rekan kerjanya, sesama penjaga counter ini."Nggak, emang aku kenapa?" Balas Raya."Gak apa apa sih, cuma heran saja. Mbak Raya nggak kayak biasanya. Perasaan dar
"Berhenti! Ku bilang, turunkan aku."Dengan terpaksa Alex menaikkan kembali kaca jendela mobilnya dan menghirup kembali parfum aroma melati itu, Merasa menang, Raya mengulas senyum.Mobil yang dikendarai Alex mulai membelah jalanan ibukota. Langit yang bertaburan bintang seolah-olah ikut menyambut kedatangan mereka diserpong. Tanpa di sadari, bahwa acara makan malam ini akan membuat babak baru dalam kisah hidup mereka.****Raya menatap takjub deretan bangunan mewah yang dilewatinya. Mobil yang dikemudikan Alex kini mulai bergerak pelan, berbelok dan berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua bergaya Mediterania klasik.Pagar setinggi dua meter itu langsung terbuka, begitu mobil ini menepi, seorang penjaga rumah terlihat melambaikan tangan, seakan telah mengenal pemilik Ferarri merah ini.Alex membuka sedikit kaca jendela mobilnya, dan membalas lambaian tangan itu dengan senyum tipis, lalu membawa mobilnya masuk ke area carport rumah ini."Aku ingin tahu latar belakangmu. Siapa kau
"Kita memang serasi ya," ucapnya dengan senyuman yang lebar. Membuat Alex berdecih pelan, lalu membuang muka.Pemuda bernama Arya itu duduk disamping Bu Sekar. Ia terlihat dingin. Hanya sesekali saja ia terlihat memaksakan diri untuk tersenyum. Berbeda sekali dengan Alex yang cukup banyak bicara, sosok Arya, cenderung diam."Secepatnya, aku ingin bertemu dengan ibumu, Raya," ungkap Bu Sekar."Be- bertemu ... tapi untuk apa, ma?" Tanya Alex gugup.***"Kok nanyanya begitu, nak. Ya untuk membicarakan tentang pernikahan kalian. Bukankah kau bilang kemarin ingin menikahinya bulan depan? Mama pikir juga sebaiknya begitu, semakin cepat akan semakin baik. Lagipula tak elok jika terlalu lama menunda, benar begitu kan, Raya?" Ucapan yang sangat jujur dan terbuka itu sontak membuat Alex salah tingkah. Ia tak mungkin menyanggah perkataan ibunya, karena sama saja seperti menjilat ludahnya sendiri. Tapi, jika secepat itu menikahi gadis yang baru belum genap dua hari dikenalnya ini, membuatnya har