"Dari mana saja kamu? Tiap hari gak pernah ada di rumah. Itu apa lagi?" tanya Ramlan pada Janet. Isteri baru yang belum lama ini dinikahinya. "Biasa, lah, Bang! Baju baru, tas baru dan sepatu baru. Biar aku makin cetar dan cantik pastinya," jawab Janet santai. "Belanja lagi! Astaga Boneng!" Ramlan menggerutu sembari menepuk dahinya beberapa kali. "Haduh, kalau kamu belanja terus, habis uang kita sayang. Mana Abang masih lama gajian. Tolonglah, di hemat-hemat dulu uangnya. Atau uangnya bisa kamu pergunakan untuk yang berguna," ucap Ramlan, mencoba merayu sang isteri. "Maksud Abang kebutuhanku gak berguna begitu? Enak saja bicara. Aku juga punya banyak kebutuhan yang berguna, Bang. Kalau bicara itu yang jelas!" bentak Janet mulai marah. Ia masuk kedalam kamar dengan menggebrak pintu cukup keras. "Bukan begitu sayang. Maksud Abang-""Gak mau dengar suara Abang. Abang gak peka!" jerit Janet dari dalam kandang. Ramlan mengacak rambutnya frustasi. "Percuma punya isteri cantik kalau ho
Darwan heran. Ada yang aneh dalam dirinya saat ini. Sejak Nani tak lagi bekerja dengannya, ia merasakan ada yang kurang. Setiap kali mengingat Nani, Darwan selalu rindu. Entah ada apa dengan perasaannya! Hidupnya seolah-olah begitu hampa. Di lain sisi, Nani tengah membenahi pakaiannya yang belum sempat ia rapihkan kedalam lemari. Tak sengaja tangannya menyentuh gaun hitam cantik yang pernah dibelikan Darwan pertama kali. Dalam diam Nani tersenyum. "Nani!" Mirna masuk dan menatap Nani dengan tampang cemberut. "Ada apa Mbak?" tanya Nani. Pandangannya fokus pada lipatan baju. "Kamu pasti gak ikhlas, kan pekerjaan itu kamu tinggalkan? Aku juga Nani. Menyayangkan kalau kamu harus berhenti jadi Artis," keluh Mirna. Mengungkapkan unek-uneknya yang ia tahan sejak kemarin. "Kenapa masih saja membahas itu sih, Mbak. Kalau Ibu dengar dia bisa marah!""Aku juga sebenarnya kesal sama ibu. Ada apa, sih sama ibu, sampe dia begitu gak suka kamu jadi Artis! Padahal dengan cara kamu mengangkat der
"Ayah!" Ajril bergumam. "Iya. Ini ayah Ajril. Ayah kangen kamu," seru Ramlan sembari memeluk putranya. Ajril masih belum mempercayai sikap Ayahnya. Sebab, sang Ayah belum pernah berperilaku hal seperti ini terhadap Ajril juga Angga. "Ayah bohong!" Ajril melepas paksa pelukan sang Ayah. "Ayah gak bohong. Maafin Ayah Ajril. Selama ini Ayah gak pernah bersikap baik sama Ajril dan Bang Angga. Ayah janji akan berubah," ucap Ramlan memelas. Ia berjongkok menyamakan tubuhnya dengan Ajril. "Ayah janji?" "Iya! Ayah berjanji."Ajril tersenyum. Ia pun memeluk sang Ayah kembali. "Ajril mau kemana pergi sendirian?""Mau nyamperin Ibu ke warung!" "Gimana kalau kamu ikut Ayah aja. Kita beli mainan. Kamu boleh pilih mainan apapun yang kamu suka, Ayah pasti belikan,""Beneran, Yah?""Benar!""Oke!" Ajril menurut. Ramlan pun senang menjalankan misi pertama. Sejujurnya ia ingin kembali lagi dengan Nani, namun dengan cara mendekati sang anak terlebih dahulu. . . . Nani pulang membawa barang b
"Bang!""Apalagi, Janet? Sudah Abang bilang, Abang belum punya uang. Gajian bulan ini pun belum keluar!" "Ya, Abang usaha dong. Cari pinjaman dulu kemana gitu, yang penting dapat uang.""Gak, ah! Abang gak biasa menghutang.""Atau Abang ngojek saja. Meski gak banyak, tapikan lumayan buat nutupin kebutuhanku, Bang!"Ramlan pusing dibuatnya. Dulu saja dia mengeluh karena terlalu lelah bekerja. Dan sekarang harus melakukannya lagi. Ramlan lebih baik pura-pura sakit agar wanita di sebelahnya tak memintanya untuk banyak bekerja. Jika dulu ia tak masalah mengojek karena butuh tambahan uang untuk persalinan anak pertamanya dengan Nani. Tapi, lain lagi bila sekarang, Janet justru menginginkan uang tambahan untuk perawatan beli skincare yang harganya ratusan ribu. Bagi Ramlan itu bukanlah hal penting. "Ya, Bang! Mau, ya Bang. Demi aku, loh," bujuk Janet dengan rayuan mautnya. Sementara, Ramlan hanya bisa mengangguk pasrah. Perasaannya kini campur aduk. Ramlan sangat menyesal karena telah m
Sudah beberapa pekan ini Nani sibuk dengan kegiatan barunya. Ia membuka toko baju yang berada di tak jauh dari tempat tinggalnya. Toko yang baru Nani buka itu ramai di minati semua orang. Di tambah, Nani yang masih dikenal sebagai seorang Artis, jelas kalangan pembelinya bukan kaleng-kaleng. Selain itu, Nani pun tetap mengambil Endorsean dengan sembunyi-sembunyi. Ponsel yang di berikan Darwan ia gunakan lagi untuk mengambil Endorsean. Bukan hanya itu, Nani pun membeli sebuah tanah dan sawah untuk Ibunya. Nek Idah jelas senang. Dengan begitu Nek Idah tak harus bekerja di tempat orang. Tapi, Ia bisa gunakan tanah untuk berkebun, juga sawah untuk ia bertani. Dengan begitu penghasilannya bisa sepenuhnya untuk sang ibu. Nani tak mempermasalahkan jika sang ibu masih ingin berkegiatan di usianya yang semakin tua. Sebab, Nek idah sangat suka berkebun dan bertani. Terkecuali, jika sang ibu sudah mulai mengeluh, Nani pastilah mencari orang untuk membantu mengurus kebun dan sawah yang ibu. Si
Darwan mengantar Bu Antena pergi kerumah Pak Hidar dan Bu Ratna. Sudah lama sekali semenjak Pak Hidar membawa isterinya berobat keluar negeri, Bu Antena jarang bertemu. Padahal mereka sudah Bu Antena anggap seperti keluarga sendiri. Karena Ratna adalah sahabatnya sejak kecil. "Kamu jangan kemana-mana! Kita ketemu sebentar sama Pak Hidar dan Bu Ratna!" oceh Bu Antena. Mereka berdua sudah berada di depan pintu rumah Pak Hidar usai memencet bel. Tak lama, Pak Hidar muncul sehabis membukakan pintu dengan senyum khasnya."Antena!" seru Pak Hidar antusias. Bu Antena tersenyum. "Ayo, masuk-masuk. Ya ampun seneng saya bisa ketemu kalian lagi," ucap Hidar, sembari mempersilahkan keduanya duduk. "Ini juga saya dapat kabar dari Darwan," sahut Bu Antena. Darwan menanggapinya dengan tersenyum simpul. "Oh, Sebentar, biar saya ambilkan minum!" Pak Hidar mulai beranjak. "Gak usah repot-repot. Kami ke sini cuma sebentar. Eum.. Saya boleh bertemu Bu Ratna?" tanya Bu Antena. "Boleh! Mari," ajak
Mirna mulai gelisah. Sejak subuh tadi ia terus mondar-mandir membuat orang rumah tampak heran melihatnya. "Gak perlu tegang, Mbak. Semua akan berjalan baik-baik saja," kata Nani seraya mengikat rambut asal dan berjalan menghampiri kakaknya. "Aku gugup, Nan. Gimana kalau keluarga calon Mbak itu gak suka dengan ,Mbak!" Belum sempat Nani berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering dari dalam kantung celananya. Nani melirik kakaknya."Aku angkat telepon sebentar ya, Mbak," kata Nani. Mirna mengangguk. Mata Nani sedikit memicing melihat nomor tak di kenal dari layar ponselnya. Lalu dengan cepat Nani mengangkat teleponnya. Menempelkan ponsel itu di telinga. "Halo! Nani!" sapa orang itu. Nani membelalak kaget. Ia mengenal suara itu. Suara yang sempat akhir- akhir ini membuatnya rindu. Itu adalah suara Darwan. "Mas, Darwan!" seru Nani dengan senangnya. Ia pun masuk kamar dan menguncinya. Mirna melongo melihat tingkah Nani yang begitu senang mendapat panggilan itu. Sebab itu ia penasaran da
Nani dan semuanya sudah bersiap pulang kerumah. Rumah yang kini sudah seratus persen selesai di renovasi. Ajril dan Angga tampak gembira sekali, namun berbeda dengan Mirna. Kakaknya itu masih bersedih sejak kejadian lamarannya batal dengan Ridwan. Ia jadi pendiam dan pemurung. Nek Idah ikut sedih melihat penampakan Mirna yang semakin acak kadut. Jangankan untuk di suruh makan, mandi pun Mirna ogah-ogahan. Sesakit itu, lah hati Mirna, hidup pun seolah tiada guna. Mereka akhirnya sampai di rumah. Semuanya tampak takjub melihat rumah itu jauh lebih bagus dan besar. Nek Idah saja sampai tak berkedip hingga Nani meminta semuanya untuk masuk. Tak terkecuali anak-anak yang langsung nyelonong masuk sembari berjingkrak-jingkrak. "Wah, besar banget, Bu rumahnya," seru Angga sembari melihat-lihat setiap ruangan. Rumah itu di desain secara modern dan baru pertama kali ada di kampung itu. Nani pun sudah mengeluarkan uang ratusan juta dan hasilnya memang memuaskan. "Kalian, mau lihat kamarnya?