Darwan mengantar Bu Antena pergi kerumah Pak Hidar dan Bu Ratna. Sudah lama sekali semenjak Pak Hidar membawa isterinya berobat keluar negeri, Bu Antena jarang bertemu. Padahal mereka sudah Bu Antena anggap seperti keluarga sendiri. Karena Ratna adalah sahabatnya sejak kecil. "Kamu jangan kemana-mana! Kita ketemu sebentar sama Pak Hidar dan Bu Ratna!" oceh Bu Antena. Mereka berdua sudah berada di depan pintu rumah Pak Hidar usai memencet bel. Tak lama, Pak Hidar muncul sehabis membukakan pintu dengan senyum khasnya."Antena!" seru Pak Hidar antusias. Bu Antena tersenyum. "Ayo, masuk-masuk. Ya ampun seneng saya bisa ketemu kalian lagi," ucap Hidar, sembari mempersilahkan keduanya duduk. "Ini juga saya dapat kabar dari Darwan," sahut Bu Antena. Darwan menanggapinya dengan tersenyum simpul. "Oh, Sebentar, biar saya ambilkan minum!" Pak Hidar mulai beranjak. "Gak usah repot-repot. Kami ke sini cuma sebentar. Eum.. Saya boleh bertemu Bu Ratna?" tanya Bu Antena. "Boleh! Mari," ajak
Mirna mulai gelisah. Sejak subuh tadi ia terus mondar-mandir membuat orang rumah tampak heran melihatnya. "Gak perlu tegang, Mbak. Semua akan berjalan baik-baik saja," kata Nani seraya mengikat rambut asal dan berjalan menghampiri kakaknya. "Aku gugup, Nan. Gimana kalau keluarga calon Mbak itu gak suka dengan ,Mbak!" Belum sempat Nani berbicara, ponselnya tiba-tiba berdering dari dalam kantung celananya. Nani melirik kakaknya."Aku angkat telepon sebentar ya, Mbak," kata Nani. Mirna mengangguk. Mata Nani sedikit memicing melihat nomor tak di kenal dari layar ponselnya. Lalu dengan cepat Nani mengangkat teleponnya. Menempelkan ponsel itu di telinga. "Halo! Nani!" sapa orang itu. Nani membelalak kaget. Ia mengenal suara itu. Suara yang sempat akhir- akhir ini membuatnya rindu. Itu adalah suara Darwan. "Mas, Darwan!" seru Nani dengan senangnya. Ia pun masuk kamar dan menguncinya. Mirna melongo melihat tingkah Nani yang begitu senang mendapat panggilan itu. Sebab itu ia penasaran da
Nani dan semuanya sudah bersiap pulang kerumah. Rumah yang kini sudah seratus persen selesai di renovasi. Ajril dan Angga tampak gembira sekali, namun berbeda dengan Mirna. Kakaknya itu masih bersedih sejak kejadian lamarannya batal dengan Ridwan. Ia jadi pendiam dan pemurung. Nek Idah ikut sedih melihat penampakan Mirna yang semakin acak kadut. Jangankan untuk di suruh makan, mandi pun Mirna ogah-ogahan. Sesakit itu, lah hati Mirna, hidup pun seolah tiada guna. Mereka akhirnya sampai di rumah. Semuanya tampak takjub melihat rumah itu jauh lebih bagus dan besar. Nek Idah saja sampai tak berkedip hingga Nani meminta semuanya untuk masuk. Tak terkecuali anak-anak yang langsung nyelonong masuk sembari berjingkrak-jingkrak. "Wah, besar banget, Bu rumahnya," seru Angga sembari melihat-lihat setiap ruangan. Rumah itu di desain secara modern dan baru pertama kali ada di kampung itu. Nani pun sudah mengeluarkan uang ratusan juta dan hasilnya memang memuaskan. "Kalian, mau lihat kamarnya?
Sebelum Arya datang menemui Nani di kampung. Darwan terlebih dahulu menghubungi Arya untuk pulang ke Indonesia. Sehingga, Arya tak bisa menolak permintaan sang kakak. Ia pun langsung terbang ke Indonesia. Saat sampai di rumah Darwan dan Bu Antena langsung menceritakan semuanya tentang siapa Arya yang sebenarnya. Hal itu membuat Arya bergeming. Arya tak percaya jika ia hanya anak angkat Bu Antena. Darwan dan Bu Antena menjelaskan semuanya, berusaha agar Arya memahami keadaan orang tuanya. Akan tetapi, tetap saja, Arya menganggap Kakak dan ibunya hanya bercanda. "Darwan!" teriak Bu Antena dengan turun tergesa-gesa dari lantai dua. "Apa ada, Mah?" "Arya gak ada di kamar! Mamah hubungi juga nomornya gak aktif. Mamah khawatir, Darwan," Bu Antena tampak gelisah. "Mamah, tenang dulu. Mungkin Arya cuma keluar sebentar."Rupanya Arya pergi ke kampung halaman Nani. Ia mengira, dengan bersembunyi di rumah Nani, kakak dan ibunya tak tahu keberadaannya. Arya sudah lama tahu jika Nani tak be
Arya kini tinggal bersama keluarga Nani. Nek Idah pun tak keberatan soal itu. Justru mereka sangat senang adanya Arya yang rajin membantu Nek Idah di perkebunan dan Nani di toko baju . Di lain tempat, Darwan dan Bu Antena semakin cemas. Karena sudah dua hari ini Arya tak memberitahu keberadaannya. Hal tersebut membuat Bu Antena sempat ingin melapor ke kantor polisi namun Darwan mencegah, ia mengatakan baru mendapat kabar dari Nani jika Arya ada bersamanya. Itu pun Nani meminta Darwan untuk jangan mengkhawatirkan Arya karena saat ini Arya tak ingin di ganggu. Arya sedang ingin menenangkan diri untuk sementara waktu di kampung Nani. Nani bisa bicara seperti itu sebab, Arya sudah bercerita tentang permasalahannya. Maka dari itu, Nani diam-diam memberitahu keberadaan Arya agar Darwan tak mengkhawatirkan adiknya lagi. Darwan dan Bu Antena akhirnya bisa tenang. Mereka mempercayakan Arya kepada Nani. Jika Arya sekarang baik-baik saja. . . . Janet mengurung diri di kamar. Ramlan sibuk m
Arya membantu Nek Idah dan pekerja lainnya memetik cabai yang sudah merah dari kebun Nek Idah. Cabai tersebut sudah mulai dipanen. Hasil cabainya akan Nek Idah jual ke Distributor. Usai dari kebun Arya dan Nek Idah pun pulang kerumah. Mereka tampak lelah dan bersiap membersihkan tubuh mereka yang begitu berkeringat. Sebelum Nek Idah masuk kamar. Tanpa sengaja ia melewati kamar Nani. Ia mendengar samar, Nani tengah berbicara sendiri dari dalam kamar. Sontak hal itu membuat kecurigaan pada Nek Idah. Diam-diam Nek Idah masuk dan memergoki Nani sedang siaran langsung di media sosialnya. "Nani!" Nek Idah sudah diambang pintu. Sorot matanya kian tajam. Tersirat jika ia kini sedang marah pada Nani. "Ibu!" buru-buru Nani mematikan ponselnya. Nek Idah pergi keluar. Tangannya ia kepal kuat. Rasa sesak mulai menyelimuti relung hatinya. "Bu!""Berusaha untuk jadi Artis kembali, begitu?" tanya Nek Idah dengan ketus."Nani, minta maaf, Bu! Nani-""Cukup. Ibu gak mau dengar apapun lagi. Begini
"Mah, aku pulang!" teriak Arya usai sampai dirumah. Bu Antena yang sedang menangis lantas terkejut mendapati anaknya kini sudah pulang. "Arya!" Bu Antena berlari kecil menghampiri Arya. Arya sendiri sudah merentangkan tangan, namun bukannya dapat pelukan dirinya malah dapat pukulan bertubi-tubi dari sang ibu. "Dasar anak gak tahu diri. Susah payah, Mamah besarin kamu, didik kamu dengan penuh kasih sayang, tapi balasan kamu seperti ini sama, Mamah. Beberapa hari ini Mamah hampir gila gara-gara mikirin kamu!" omel Bu Antena membabi buta memukuli anaknya. Kini pukulan itu berpindah ke Darwan, sebab Arya bersembunyi dibalik punggung kakaknya. Arya bukannya bersalah malah tertawa kecil. "Udah, Mah. Percuma ngomel, anak seperti Arya ini gak mempan dimarahi. Buang-buang emosi aja!" gerutu Darwan mulai kesal. Darwan lantas menarik tali ransel dipunggung Arya dengan sekali hentakan. "Tanggung jawab," sambung Darwan sembari menghindar dari Bu Antena. Arya kembali hendak dipukuli oleh Bu An
"Gimana, Mbak udah seneng, kan sekarang?" tanya Nani. Usai beres berbelanja. Mirna cengar-cengir setelah memborong puas barang-barang mahal di sebuah pusat berbelanjan. Nani tak mempermasalahkan keinginan Kakaknya, sebab hari ini ia harus membuat mood kakaknya bahagia. "Udah dong. Happy banget! Terima kasih, ya sudah membelikan banyak barang untuk, Mbak?""Iya sama-sama!""Ngomong-ngomong apa gak papa kamu belanjakan, Mbak banyak barang begini, harganya mahal, Nani? Takut uang kamu habis.""Mbak gak perlu pikirkan itu. Aku gak mungkin belanjakan Mbak barang-barang mahal jika aku gak mampu.""Wah, hebat kamu. Ibu udah gak mempermasalahkan kamu untuk jadi terkenal lagi, kan?""Sepertinya sih, enggak.""Berkat Arya semua jadi terungkap. Pantas saja ibu selama ini terlihat beda menyayangi kamu.""Mbak bicara apa, sih. Ibu tak pernah membedakan kita. Walaupun aku pun agak kecewa mengetahui kebenaran ini!" Nani tampak sedih. "Ah, udah gak usah dibahas lagi. Kamu itu tetap keluarga kami. T