"Bagaimana rasanya mbak? Aku hamil? Hamil anak mas Faris, lalu sebentar lagi kamu akan jadi gelandangan ups,' Rara, mencibir wanita bergamis nude. Begitu cantik bukan hanya parasnya tapi juga hatinya.
"Kalau begitu selamat. Aku akan pergi jika suamiku yang menginginkannya, dan kamu ternyata tidak sebaik saat di hadapan mereka." Ucap Fia, berlalu dari hadapan Rara. "Kamu kaget? Untuk apa aku bersikap baik di hadapanmu? Pada akhirnya aku yang menjadi pemenangnya. Oke, kita lihat saja aku pastikan mas Faris menceraikan kamu, mbak." Cibir Rara. "Aku tunggu sampai hari itu tiba. Jaga selalu anak yang ada dalam kandungan kamu, jangan sampai keluarga ini termasuk mas Faris tahu kalau anak yang ada dalam kandungan kamu itu bukan anak mas Faris. Itu akan membahayakan dirimu." Ujar Fia, tersenyum puas melihat wajah Rara yang pucat. "Apa maksud kamu? Kamu pikir anak yang aku kandung ini anak orang lain?" kesal Rara. "Kamu yang tahu semuanya. Anak siapa yang ada dalam kandungan kamu itu," lirih Fia di telinga Rara. Rara menyembunyikan wajahnya yang pias, semula ia ingin membuat pelajaran pada kakak madunya. Siapa sangka kini rahasianya telah di ketahui nya. Melihat Faris turun dari tangga Rara menjentikkan jarinya. "Mbak, aku cuma minta tolong buatkan aku sambal rujak, kenapa mbak bilang kayak gitu sama aku. Ini bukan kemauan aku, tapi anak mas Faris, anak kita juga mbak," lirih Rara di sela isak tangisnya. "Rara, apa maksud kamu, hah?" tanya Fia, terkejut. "Ada apa ini?" Faris, mendekati dua istrinya yang saling pandang. "Mas, aku minta tolong sama mbak Fia, tapi, sepertinya mbak Fia —" isakny semakin menjadi. Tak lama Rara menceritakan jika dirinya meminta tolong pada Fia untuk membuatkan bumbu rujak. Tentu apa yang dikatakannya bohong. "Fia, kenapa kamu berubah? Anak yang ada dalam kandungan Rara anakku, anak kita juga. Masalah sepele aja kamu tidak mau membantunya?" kesal Faris. "Mas —" "Cukup. Aku kecewa sama kamu Fia. Apa karena Rara yang lebih dulu mengandung sampai kamu tega menolak permintaannya? Dia ngidam Fia!" Faris begitu kesal pada Fia yang terlihat kecewa meski memilih diam. "Sudah, mas, aku tahu apa yang di rasakan oleh mbak Fia. Biarkan saja, aku bisa menahannya kok," ucap Rara, lembut. Namun, tatapan permusuhan pada Fia. "Gimana kalau mas yang bikin? Mas nggak mau kalau kamu ngidamnya nggak keturutan nanti anak kita ileran," bujuk Faris. "Aku nggak mau mas. Aku cuma mau kalau mbak Fia yang membuatnya untukku," ucapnya manja. Faris menatap wajah sendu istri pertamanya. Wanita yang begitu lembut tetapi kini sosoknya tak lagi membuatnya rindu. "Apa kamu tidak mau melakukannya? Ini —" Faris terdiam, langkah Fia menjauh dengan cekatan membuat apa yang di inginkan Rara. "Silahkan habiskan. Lain kali jika menginginkan sesuatu tidak perlu berdrama dulu. Dam kamu mas, aku kecewa sama kamu." Fia meninggalkan dua sejoli yang terdiam. Rara tersenyum penuh kemenangan berbeda dengan Faris yang merasa bersalah akan sikapnya pada Fia. "Dek, maafkan aku. Aku benar-benar —" "Pergilah dari kamarku, mas. Tempatmu bukan lagi di sini, tapi di kamar utama bersama wanita itu." Ucap Fia tanpa menolah pada Faris. "Dia punya nama, Fia. Dia istriku sama seperti kamu. Mengertilah perasaan aku, aku anak yang di harapkan bisa memberikan penerus untuk keluarga ini. Kamu juga tahu alasannya," Faris tidak ingin di salahkan. Meski ia tahu seberapa besar kesalahan yang ia lakukan. Berpegang teguh bakti seorang anak pada Ibu yang sudah melahirkan. Tanpa ia tahu jika yang di lakukan olehnya menghancurkan perasaan wanita lain. "Aku, tahu. Tapi kamu tidak membicarakan lebih dulu padaku, mas. Kamu menikah diam-diam, tidak! Bukan itu, tapi kamu sudah berselingkuh sampai dia hamil. Kenapa kamu tega mas?" tanya Fia, memberanikan diri menatap manik hitam milik pria yang menjadi imamnya. "Aku sudah lama mengenalnya dek. Rara adalah sahabat kecilku. Itulah kenapa aku setuju di jodohkan dengannya, selain itu Rara adalah wanita yang baik. Dia pantas menjadi ibu dari anakku," Faris tidak suka, "Wanita baik, tidak mungkin menyakiti hati wanita lain." Lirih Fia, sarat ketegasan di setiap katanya. "Dek, aku nggak mau berdebat lagi. Kamu cukup terima Rara sebagai madu kamu, aku yakin kalian akan hidup rukun dan aku janji akan bersikap adil pada kalian berdua." Tegas Faris tak terbantahkan. "Adil? Apa kamu bisa mas? Mengenai wanita lain dalam rumah tangga kita. Jika kamu jujur aku sendiri yang mencari wanita yang baik untuk menjadi pendamping kamu mas. Bukan wanita seperti dia," ujar Fia, memilih duduk menjauh dari Faris. "Dek, Rara namanya. Mas minta maaf, tapi kejadian tadi itu salah kamu. Walau bagaimanapun Rara tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan dapur. Apa lagi menyentuh kain pel, aku mau kamu membantunya. Istirahatlah sudah malam aku akan tidur di kamar Rara, dia mengandung anakku. Aku nggak tega dia tidur sendirian," Faris mengecup kening Fia, meninggalkan wanita itu begitu saja tanpa menunggu jawaban darinya. 'benarkah dia wanita baik, mas? Dia pandai mencari muka. Bahkan anak yang di kandungnya bukan anak kamu,' batin Fia."Shafia! Cepat buka pintunya. Dasar wanita mandul!" seru Bu Winda."Buk, ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah teriak?" Faris yang terganggu suara Ibunya yang memanggil istri tuanya."Nah, kamu keluar Ris. Kamu lihat istri mandul kamu jam berapa sekarang? Tapi sarapan belum ada di atas meja dan dia masih enak-enakan tidur, kami mau makan apa sedangkan istri muda kamu yang sedang hamil harus makan dengan nutrisi yang baik." Cetus Bu Winda."Buk mungkin Fia masih lelah, Ibu lihat sendiri bekerjanya tidak pernah diabaikan bahkan sekarang sudah bertambah satu anggota lagi mungkin dia —" Faris diam, tatapan tidak suka terpancar dari wajah Ibunya."Bela aja terus. Buang aja wanita tidak berguna itu. Semakin lama ibu malas dia di sini!" sinis Bu Winda. Brakk!!"Ngapain kamu? Lihat jam berapa sekarang? Enak banget kamu tidur bangun siang. Cepetan bikin sarapan, hidup numpang nggak ada mikirnya.""Buk, hari ini aku gak masak ya, aku kurang sehat," sahut Fia. Wajahnya yang pucat tidak mampu menguba
"Shafia. Kamu buatkan bubur, ibu nggak mau tahu kamu buat yang enak, apa ini? Kamu nggak masak? Ngapain aja kamu seharian ini, hah?" Bu Rahayu, berkacak pinggang di hadapan Fia. "Buk, aku tidak enak badan itu sebabnya aku tidak masak hari ini. Tadi —" Fia, memijat pelipisnya. Pusing yang entah kenapa kembali datang sejak pagi tak kunjung hilang."Alasan aja kamu. Cepat buatkan bubur ayam buat Rara, semua gara-gara kamu jadi kandungan Rara bermasalah. Kalau saja sesuatu terjadi pada mereka berdua sudah ibu habisi kamu. Cepetan! Sebentar lagi menantu kesayanganku akan pulang." Ucap Bu Winda tidak terbantahkan.Dengan langkah berat, Fia kembali ke dapur membuat bubur meski tubuhnya begitu lemah. Semula Faris akan mengantarnya ke dokter. Namum, entah drama apa yang sudah dilakukan oleh madunya sehingga ia terjatuh dan sayangnya di hadapan Fia yang semula ingin menolong kini ia manjadi tersangka."Assalamualaikum, buk. Tolong bantu Rara dulu," Faris meminta Ibunya untuk membantu agar Rara
"Fia!" Mereka yang ada di ruang perawatan terkejut mendengar suara panggilan dan pintu terbuka. Wajahnya Fia semakin pucat, ia memohon pada dokter di sampingnya melalui sorot matanya untuk menolongnya."Fia, kamu kenapa? Apa yang terjadi sampai kamu di rumah sakit?" pernyataan bertubi dari Faris semakin membuat Fia cemas.Fahmi yang menghubungi Faris hanya bisa diam entah apa yang terjadi dalam rumah tangga sahabatnya namun, melihat permintaan Fia membuatnya memahami ada sesuatu yang terjadi."Begini, Bu Fia ini –" dokter itu menoleh ke arah Fia yang memohon padanya."Apa yang terjadi dok?" tanya Faris, begitu mencemaskan keadaan Fia."Begini pak Faris, Bu Fia harus istirahat. Tubuhnya begitu lemah, apakah di rumah Bu Fia mengerjakan semua pekerjaan?" tanya dokter, melihat lemahnya tubuh Fia."I –itu,""Itu maunya menantu saya, dok. Dia itu keras kepala, berapa kali saya larang tapi dasarnya Fia ini dari kampung ya, jadi biasa kerja,""Fia, kamu dengar kan sekarang? Berapa kali ibu
Seperti yang di inginkan oleh Bu Winda, hari ini adalah hari untuk Syukuran atas kehamilan Rara. Sejak subuh tadi Fia tidak hentinya untuk mengerjakan semua pekerjaan yang di limpahkan Ibu mertua padanya. Acara keluarga yang di hadiri reken kerja walau tidak semua, akan tetapi Fia tahu jika mereka adalah teman kerja Faris. "Mas kita selfie dulu ya, ini adalah acara sakral kedua kita. Waktu itu kamu menikahi ku dan sekarang acara syukuran anak kita!" ucap Rara, sengaja dengan suara tinggi dan manja itu yang aku ketemu menarik perhatian dan kecemburuan Fia."Dek, kita foto bareng bertiga ya. Hari ini acara penting kita, kamu tahu sebentar lagi kita akan dipanggil ibu dan ayah," ucap Faris pada Fia."Itu panggilan untukmu dan Rara, mas. Aku akan di panggil ibu oleh anak kandungku sendiri, bukan anak dari wanita yang sudah menghancurkan hidup wanita lain." Sahutnya tanpa menolah pada Faris. Berharap Faris memahami apa yang di katakan olehnya jika dalam rahimnya telah hadir janin yang se
Lelah seharian tanpa istirahat Fia memutuskan untuk tidur lebih cepat. Tidak perduli akan menjadi amukan Ibu mertuanya, semua menu untuk makan malam tersaji di meja makan sehingga Fia memutuskan untuk berdiam diri di kamar.Suara ketukan terdengar rasa lelah yang tak bisa ia tahan membuat Fia enggan bangun, ia tetap berbaring dengan mukena masih menempel di tubuhnya."Fia, kamu sakit? Kenapa kamu tidak turun makan malam?" tanya Faris, pria itu melihat keadaan istri tuanya yang tidak turun sejak sejam lalu usia makan malam. Kedatangan Faris di kamar Fia, bukan lain bukan karena perintah Ibunya untuk memanggil Fia agar membersihkan meja makan yang berantakan."Aku tindak apa-apa, mas," sahut Fia lirih, perutnya terasa kram sehingga berapa kali Fia meringis kesakitan."Fia apa yang kamu rasakan?" cemas Faris melihat wajah Fia semakin pucat. Matanya terpejam kuat."Fia bangun ada apa, ini Fia? Apa yang kamu rasakan Fia, Fia!!""Faris lama banget sih, cuma manggil aja pake waktu. Itu kena
Kondisi Fia membaik wajahnya tidak lagi seputih kapas meksi terlihat masih pucat. "Mau pulang sekarang? Atau kamu menunggu suamimu? Sebaiknya kamu pulang sama aku. Faris pergi sama istri mudanya." Ucap Erik."Aku akan naik taksi, terima kasih kak," sahut Fia. "Untuk apa terima kasih, lagi pula kamu yakin akan naik taksi? Lihat mukena yang kamu pakai, apa sopir taksi tidak kaget?" ujarnya membuat Fia melihat dirinya. Benar saja mukena masih menutupi tubuhnya "Ayok," ajak Erik. Sikap Erik yang dingin membuat Fia segan walau Erik adalah sepupu suaminya. Kening Fia menyatu melihat mobil suaminya terparkir di rumah, tanpa sadar bulir bening meluncur begitu saja melihat Faris tengah tertawa dengan madunya tangannya berada di perut Rara."Assalamualaikum,""Wa'alaikumsalam, F–fia, aku bisa –" sahut Faris terbata. Melihat wajah Fia yang sendu terlihat jelas ada jejak air mata di sana."Mbak maafkan aku, seandainya perutku tidak kram mas Faris pasti tidak mengantarku pulang. Tapi tadi aku
Rara tersenyum puas apa yang ia inginkan kini terwujud. Menjadi istri satu-satunya Faris dan menjadikan pria itu ayah untuk anak yang di kandungnya. Mengetahui rahasia besarnya Rara berusaha untuk menyingkirkan Fia dari rumah mertuanya."Aku pernah mengatakan jika Faris sendiri yang akan mengusirmu. Dan lihat aku membuktikannya bukan? Kamu bukan lawangku, Fia!" ucapnya penuh kemenangan."Tidak apa jika suamiku memilihmu dan menjadikan anak itu sebagai anaknya. Satu hal yang tidak kamu dapatkan dari suamiku, yaitu hatinya. Kamu tahu dia begitu mencintai wanita yang tulus terlebih dia mampu menjaga dirinya, hatinya hanya ada Shafia Wening Wajendra. Meski aku pergi itu akan menjadi hari buruk untukmu, ayah kamu sudah tahu hal itu?" ucap Fia penuh penekanan."Mbak maafkan aku. Sejak tadi aku coba untuk memberikan pengertian sama mas Faris, tapi suami kita lebih mengutamakan fakta dari pada ucapan ku," isaknya penuh drama. Rara mengedipkan sebelah matanya kearah Fia dimana suami dan ibu m
Poppy mencebik tujuannya datang ke rumah orang tuanya untuk bersenang-senang bukan terlibat dalam masalah yang mengharuskan dirinya memerankan tokoh yang diinginkan oleh kakak ipar dan Ibunya."Poppy hubungi Erik, suruh dia ke sini." Titah Jordan."Untuk apa? Nggak Sudi aku bertemu pengkhianatan seperti dia lagi ayah!" sentak Faris."Ayah ingin mendengar langsung apa yang terjadi. Jika Erik terbukti ayah sendiri yang akan menghajarnya!" "Kamu ini gimana sih mas. Buat apa kamu tanya, dia pasti mengelak tuduhan kita. Lagi pula kita punya buktinya! Sudah, ibu nggak mau ada pertengkaran lagi di sini dan kamu mas sebaiknya istirahat di kamar! Poppy batalkan hubungi Erik." Sungut Bu Winda."Tidak usah menghubungiku, aku ada di sini. Om, Tante dan kamu Faris. Aku tidak butuh untuk membela atau di bela. Satu yang perlu aku katakan, Fia adalah wanita yang baik, dia menjaga bukan hanya pandangannya tapi juga harga dirinya. Kalian tentu tahu apa yang terjadi di dalam rumah ini sebagai seorang
Fia mengulas senyum, melihat wanita yang bersembunyi di balik pintu ruang rapat. Ya, di sana Rara tengah menguping pembicaraannya di ruang rapat."Apa yang nona lakukan di sini? Bukankah saya meminta anda untuk menunggu di ruang kerja saya?" Rara tersenyum kikuk, bagaiman bisa ia kecolongan sampai Fia keluar dari ruang rapat. "Maaf," lirihnya menyembunyikan kegundahan hatinya.Wajah Fia tetap datar, sesaat memindai penampilan Rara. "Pakai baju yang baik dan benar. Aku tidak suka punya karyawan yang memamerkan pahanya." Ucap Fia tegas, aneh bukan? Dulu penampilan Rara tidak seperti itu tapi kini jauh berubah."Ada masalah dengan baju yang aku pakai? Ini sudah menjadi standar sebagai pekerja kantoran.""Itu berlaku di perusahaan lain. Tapi tidak dengan perusahaan yang aku mimpin. Jika kamu tidak bisa mengikuti peraturan maka silahkan, pintu keluar kamu masih ingat kan?""Ck, ribet amat sih!" Sinis Rara, tentu saja di dengar oleh Fia. Tapi Fia hanya diam, ia tahu apa yang harus di laku
Perusahaan PT Maju Jaya resmi menjadi milik Keluarga Hanendra. Satu minggu setelah kejadian itu, hari ini Pak Hanendra kembali mengadakan rapat dadakan.Kedatangan Pak Hanendra menjadi pusat perhatian karyawan di perusahaan. Tidak jarang terdengar bisik-bisik kedatangannya. Bahkan dari mereka mengetahui kejadian berapa hari yang lalu. "Selamat pagi." "Pagi pak Hanendra,"Petinggi perusahaan dan berapa karyawan, kini sudah datang dan karyawan staf biasa Tutut menghadiri sebagai wakil, agar mengetahui kabar apa yang akan di sampaikan oleh pemimpin baru mereka."Saya rasa tidak perlu lagi menjelaskan, karena kalian pasti sudah tahu. Untuk kedepannya saya minta kerja samanya pada kalian semua, Selain itu, saya minta kalian jujur, jika kalian ingin pergi dari sini. Silahkan, saya tidak akan menahan kalian, karena saya tahu benar bagaimana kalian bekerja di perusahaan ini."Pak Hanendra, memperhatikan para staf perusahaan barunya. Ia tahu benar jika mereka adalah orang-orang kepercayaan B
"Baiklah. Kami tunggu kabar baiknya dari kamu Fia.""Pak langsung ke rumah ayah ya,""Baik buk."Jarak rumah yang tidak terlalu jauh, dan jalanan yang tidak begitu ramai mempercepat Fia sampai di rumah sang ayah."Assalamualaikum, ayah, aku datang!""Waalaikumsalam nak, kamu sendirian? Mana Al, kenapa tidak kamu aja ke sini. Ayah kangen nak," "Al di rumah ayah. Aku cuma mampir ke sini sebelum ke restoran," Hanendra tersenyum simpul, ia tahu kedatangan putrinya karena ada hal yang ingin di sampaikan padanya. "Ada apa nak? Ayah tahu kamu ingin bicara sama ayah,"Fia menghela napasnya sebelum kembali bicara."Ayah, bisakah ayah mempertimbangkan kembali kompensasi itu. Mereka sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf padaku" ujar Fia lirih. "Baiklah, anakku. Ayah akan mempertimbangkannya. Tapi mereka harus membuktikan perubahan mereka. Satu lagi nak, ada hal yang tidak bisa ayah katakan padamu sekarang. Jika ayah tetap memperpanjang masalah ini, itu tidak ada hubungannya dengan masalah
Rara dan Bu Leni saling menatap, kemudian berpaling dan pergi dengan marah. Bermaksud untuk meminta bantuan nyatanya gagal. "Sayang sudahlah, jangan pikirkan lagi. Biarkan mereka menerima konsekuensi dari perbuatannya. Kamu sudah benar tidak membantunya," ujar Erik. "Ya mas, tapi apa benar kalau ayah meminta kompensasi segitu besarnya?" Gumam Fia, tidak yakin jika ayahnya melakukan hal itu."Sayang, dengarkan mas. Di dunia bisnis itu banyak kecurangan di dalamnya, terkadang orang yang kita anggap sahabat justru dialah yang menjadi musuh sesungguhnya. Jadi yakinlah jika ayah memiliki alasan untuk itu. Yuk, sekarang kita istirahat atau –" Fia menyembunyikan wajahnya yang merona, karena ulah sang suami."Kenapa wajahmu, merah sayang?""Mas!" seru Fia, memukul lengan suaminya. Kebahagiaan yang kini di rasakan oleh Fia, memiliki suami yang begitu mencintainya. Menjadikan dirinya satu-satunya ratu di rumah mereka, mencintai dan dicintai dua hal yang tentu berbeda. Dulu Fia begitu mencint
Fia bertukar pandangan dengan Erik, pria tampan itu menahan pergelangan tangan Fia agar tidak beranjak dari kursinya. "Biar mas yang keluar. Kamu tetap di sini, kedatangan mereka bukan sekedar silaturahmi," ujar pria itu berdiri."Aku ikut mas! Mereka ingin bertemu denganku," ujar Fia, tanpa tahu siapa yang datang."Baiklah, ayok. Bik Suni tolong jaga Al, bawa ke kamarnya. Suster Ani sebentar lagi datang, nanti akan membantu bibi," "Baik dek, bibi jaga den Al. Kalian hati hati, perasaan bibi tidak enak," ujar bik Suni, yang kini ikut pindah bersama Fia mengingat di rumah lama Erik ia kesepian."Ya bik, sayang ayok!"Erik tidak melepaskan tangan Fia, tak ingin sesuatu terjadi padanya. Suara gedoran pintu memekikkan telinga, terlebih teriakan mereka yang menganggu Erik dan keluarganya."Mas kamu tahu siapa mereka?" tanya Fia, suara dari luar tidak begitu jelas. Mengingat mereka berada di ruang makan."Entahlah dek, pikiran mas mengarah pada mereka,""Siapa?"Erik membuka pintu, di san
Bagas terguncang, memandang dokumen somasi tersebut. Ia merasa terjebak dalam situasi tak terkeluarkan. Nilai yang tertera membuatnya sekan terhimpit batu yang cukup besar sehingga sulit untuk bergerak. "Pak Hanendra, saya... saya tidak tahu apa yang harus saya katakan." "Tidak perlu berbicara banyak. Anda hanya perlu memenuhi permintaan saya. Jika tidak, konsekuensinya akan sangat berat. Putriku adalah segalanya, dan anda tahu benar bagaimana saya sejak dulu." "Apa persahabatan kita, dan kerja sama yang sejak lama ini tidak membuat —" "Satu minggu, waktu lebih dari cukup untuk memberikan waktu itu untukmu. Silahkan pergi dari kantorku." Malam itu, Bagas pulang ke rumah dengan wajah murung. Istrinya, Leni, menyambutnya dengan khawatir. "Apa yang terjadi, mas? Kamu terlihat sangat cemas. Pertemuan itu apa membuatmu," "Hanendra meminta ganti rugi Rp 125 miliar. Jika tidak, ia akan hancurkan perusahaan kita. Bahkan perusahaan itu bisa jatuh di tangannya," Leni tersentak, t
Ketakutan di rasakan oleh Leni dan Bagas, perusahaan yang ia pimpin segera gulung tikar. Hanendra ayah dari Fia akan membalas perbuatan anak dan istrinya. Mereka yang menghina Fia di restoran akan berakibat buruk untuk kelanjutan kerja sama mereka di perusahaan."Ini semua gara-gara kamu dan anakmu itu. Kalau saja kamu dan Rara tidak mengusik Fia masalah ini tidak akan terjadi pada kita!""Tapi ini tidak sepenuhnya salah aku mas. Kamu tahu kan dia itu–""Sudah diam. Pikirkan gimana caranya agar perusahaan kita tetap aman!"Suasana seketika hening mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Leni dan Bagas berdiri di depan jendela, menatap ke luar dengan wajah penuh kecemasan. Perusahaan mereka, PT. Maju Jaya, terancam bangkrut.Bagas menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana ini bisa terjadi, Leni? Kamu dan anakmu selalu membuat masalah,"Leni menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, mas. Tapi ini semua gara-gara Fia. Ia tidak akan berhenti mengusik anak kita sampai hancur."Bagas tersenyum
Dua wanita itu terkejut mendengar pengakuan pria, yang mereka kenal seorang pengusaha ternama. Bukan hanya pria itu saja tapi juga Erik, meski begitu Bu Leni memiliki sedikit keberanian untuk membalas perkataan Erik. Tapi kali ini Bu Leni di buat diam seribu bahasa."Pu –putri? Jadi dia itu, tidak tidak mungkin ini tidak mungkin kan? Aku pasti sedang bermimpi? Anda berbohong kan? Katakan padaku kalau ini tidak benar?" ucap Bu Leni, berharap apa yang ia dengar semuanya hanya kebohongan. "Sayangnya, semua yang anda dengar itu benar adanya. Bu Belinda kita pergi sekarang, jangan lagi berurusan dengan mereka." Bu Belinda mengangguk, berdua meninggalkan mereka yang terdiam di tempat. Namun baru berapa langkah keluar pak Hanendra berhenti dan berbalik melihat wanita yang ada di depannya."Saya ingatkan lagi, jangan pernah mendekati apa lagi berani menyentuhnya. Shafia adalah putriku, sedikit saja anda mendekatinya maka saya tidak akan segan-segan melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan
Melihat sikap Fia dan ibu mertuanya yang diam membuat Rara kesal. Berbeda dengan dua wanita yang tengah kesal, Fia yang malas berurusan dengan mereka yang sudah menghancurkan rumah tangganya. Meski tidak sepenuhnya salah sebab Ibu mertuanya yang mendesak suaminya untuk menikah lagi."Kau tuli?" Ucap Rara, yang mengalihkan perhatian Fia."Kau bicara denganku?" tanya Fia acuh."Iya lah sama kamu, memangnya ada orang lain di dini hah!" Ujarnya dingin."Oh, aku kira kau sedang berbicara dengan orang lain. Apa kamu tidak capek mengganggu ku?" Kali ini Fia menatap wanita di depannya."Sebelum kamu hancur, aku akan mengganggumu Fia!" "Lakukan kalau kamu bisa, aku tidak peduli. Suatu saat kamu akan memetik hasil dari perbuatanmu. Ayok buk kita pergi, biar nanti ayah sama mas Erik nyusul kita,""Aku belum selesai bicara Fia! Kau harus merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Gara-gara kamu, aku diceraikan oleh suamiku! Kamu seorang pelakor!" Serunya sehingga menarik perhatian pengunjung resto