Kondisi Fia membaik wajahnya tidak lagi seputih kapas meksi terlihat masih pucat.
"Mau pulang sekarang? Atau kamu menunggu suamimu? Sebaiknya kamu pulang sama aku. Faris pergi sama istri mudanya." Ucap Erik. "Aku akan naik taksi, terima kasih kak," sahut Fia. "Untuk apa terima kasih, lagi pula kamu yakin akan naik taksi? Lihat mukena yang kamu pakai, apa sopir taksi tidak kaget?" ujarnya membuat Fia melihat dirinya. Benar saja mukena masih menutupi tubuhnya "Ayok," ajak Erik. Sikap Erik yang dingin membuat Fia segan walau Erik adalah sepupu suaminya. Kening Fia menyatu melihat mobil suaminya terparkir di rumah, tanpa sadar bulir bening meluncur begitu saja melihat Faris tengah tertawa dengan madunya tangannya berada di perut Rara. "Assalamualaikum," "Wa'alaikumsalam, F–fia, aku bisa –" sahut Faris terbata. Melihat wajah Fia yang sendu terlihat jelas ada jejak air mata di sana. "Mbak maafkan aku, seandainya perutku tidak kram mas Faris pasti tidak mengantarku pulang. Tapi tadi aku –" ucapnya mengusap perut. "Tidak apa. Aku ngerti kok." "Kamu memang harus ngerti. Rara itu sedang mengandung penerus keluarga ini. Kalau kamu itu kan mandul mana bisa hamil! Jadi wajar kalau Faris lebih perhatian sama Rara. Lihat kamu bahkan mencari cara untuk mengambil perhatian Faris dari Rara. Fia kamu itu sudah lama menikah sama Faris jadi sekarang kamu ngalah Faris itu lebih sayang sama Rara secara mereka itu suami istri, dulu itu mereka sempat pacaran mau nikah taunya kamu tiba-tiba hadir!" sinis Bu Winda. Fia mendengar tanpa berniat menjawab. Namun ada hal yang menarik perhatiannya, Poppy adik Faris ada di sana bahkan terlihat dekat dengan Rara. Bagaimana mereka tidak dekat Rara bukan orang asing untuk keluarga suaminya. "Permisi aku ke kamar dulu." "Biar aku antar Fia, mas bantu," ucap Faris, merangkul pinggang Fia. "Kamu tidak usah mengantarku, mas. Lihat istri muda mu tidak suka." "Kamu salah paham, Rara tidak seperti itu. Justru Rara yang memintaku untuk mengantarmu," ucap Faris, salah tingkah melihat wajah Fia yang tersenyum. "Maksudku tadi," "Tidak apa. Pergilah aku akan istirahat sebentar," Fia berbalik, tak lama ia kembali menolah ke belakang melihat Faris yang masih di tempatnya berdiri. "Sepulang kerja besok temui aku di belakang mas. Ada yang ingin aku katakan sama kamu," sambungnya. "Kenapa tidak sekarang saja?" "Besok saja. Jika mengatakan sekarang itu tidak akan jadi kejutan untukmu," "Baiklah. Aku ngalah demi kamu," Fia tertidur begitu pulas hingga pagi menjelang. Usai melakukan kewajibannya ia turun membuat sarapan, dapur yang semalam berantakan kini sudah bersih, tidak ada satu butir nasi terjatuh di sana. Fia tersenyum ia tahu siapa yang mengerjakan tugasnya. "Fia kamu sudah sembuh kan? Jangan banyak alasan lagi. Kamu pergi ke supermarket beli bahan yang ada di list." Bu Winda menyerahkan secarik kertas berisi list bahan yang akan di beli oleh Fia. "Aku akan pergi setelah mas Faris berangkat ke kantor Bu." "Tidak usah. Kamu pergi sekarang saja, ada Rara yang mengurusnya!" Fia tidak membantah lagi ia pergi ke supermarket. Membeli semua yang di inginkan oleh Bu Winda. "Biar aku bantu. Kamu keberatan," ucap seseorang di belakang Fia. "Kak Erik, sedang apa di sini?" "Aku? Ini supermarket siapa saja bisa di sini. Sini aku yang bawa, wanita hamil tidak boleh angkat berat." "Kak Erik," Fia menutup mulutnya, Erik tahu dirinya sedang hamil. Ia takut jika Erik mengatakan yang sebenarnya pada suami dan keluarganya. "Sudah cepetan sini!" Erik mengambil semua belanjaan milik Fia membawanya ke mobil. Sampai di rumah ia melanjutkan tugasnya hingga kesibukan di dapur sampai ia tidak sadar jika semua orang pergi hanya ada Erik dan dirinya di rumah. "Alhamdulillah," ucapnya menghapus peluh di keningnya. "Jangan pake itu. Ini," Erik menyodorkan sapu tangan pada Fia. "Terima kasih, kak," "Hum." Di rasa tidak ada lagi pekerjaan Fia memutuskan untuk ke kamar mengingat waktu sudah sore itu artinya Faris akan pulang. Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Fia membuka pintu alangkah terkejutnya di depan kamarnya berdiri Erik. "Maaf aku cuma mengantar ini. Vitamin kamu tertinggal di mobil," ucap Erik menyerahkan bungkusan pada Fia. "Astaghfirullahaladzim, makasih kak. Pantas saja aku cari tidak ada di kamar." Deru mobil memasuki halaman rumah Fia turun, hari ini ia putuskan untuk mengatakan jika dirinya tengah hamil anak Faris. "Mas, kamu sudah pulang? Ayok kita kebelakang aku sudah siapkan minuman untukmu," Fia menyentuh tangan Faris mengajaknya ke taman yang sudah ia sulap seindah mungkin. "Mas —" Fia menatap suaminya yang tak bergeming di tempatnya. "Kenapa? Kamu mau mengatakan jika kamu sedang hamil bukan?" ucap Faris. "Mas kamu tahu dari mana? Aku belum mengatakan pada siapa pun," Fia bingung melihat Faris yang terlihat tidak semangat. Terlebih Faris lebih dulu mengetahui jika dirinya sedang hamil. "Ya, kamu belum mengatakan padaku tapi pada ayah dari anak yang kamu kandung itu sudah kan?" "Maksud kamu apa mas? Anak yang aku kandung ini anak kamu," Prok Prok Prok "Kamu pikir aku percaya, hah?!" Faris melempar foto yang lebih dari sepuluh dan bukti jika Fia sedang hamil. "Mas, ini, aku bisa jelaskan sama kamu," ucap Fia tubuhnya bergetar mendengar tuduhan suaminya dan foto yang tersebar di lantai. "Jelaskan? Jelaskan apa, Shafia. Shafia Wening Wajendra binti Hanendra dengan kesadaran penuh aku Faris Indurasmi menjatuhkan talak tiga padamu. Mulai detik ini kamu bukan lagi tanggung jawabku!" ucap Faris tegas. "Astaghfirullahaladzim, mas!" "Pergilah dari rumah ini. Aku tidak ingin melihat pengkhianatan di rumah ini!" Faris berlalu dari hadapan Fia, wanita bergamis navy itu hanya diam mematung syok mengetahui jika kini ia telah di talak oleh suaminya. "Faris tunggu! Kamu tidak bisa menjatuhkan talak pada Fia. Fia sedang hamil anakmu!" "Kenapa? Bukankah dia hamil anakmu? Mau apa lagi, ternyata kalian sampah. Inikah kenapa kamu pulang tanpa kabar? Inikah yang kamu katakan akan memberikan kejutan untukku?" "Faris!!" "Pergi dari sini brengsek!" "Kamu akan menyesal Faris. Wanita yang kamu ceraikan itu adalah wanita setia. Suatu saat kamu akan menangis darah!" "Perseta semua itu." "Lihat Fia, aku bisa merubahnya bukan? Aku pemenangnya!"Rara tersenyum puas apa yang ia inginkan kini terwujud. Menjadi istri satu-satunya Faris dan menjadikan pria itu ayah untuk anak yang di kandungnya. Mengetahui rahasia besarnya Rara berusaha untuk menyingkirkan Fia dari rumah mertuanya."Aku pernah mengatakan jika Faris sendiri yang akan mengusirmu. Dan lihat aku membuktikannya bukan? Kamu bukan lawangku, Fia!" ucapnya penuh kemenangan."Tidak apa jika suamiku memilihmu dan menjadikan anak itu sebagai anaknya. Satu hal yang tidak kamu dapatkan dari suamiku, yaitu hatinya. Kamu tahu dia begitu mencintai wanita yang tulus terlebih dia mampu menjaga dirinya, hatinya hanya ada Shafia Wening Wajendra. Meski aku pergi itu akan menjadi hari buruk untukmu, ayah kamu sudah tahu hal itu?" ucap Fia penuh penekanan."Mbak maafkan aku. Sejak tadi aku coba untuk memberikan pengertian sama mas Faris, tapi suami kita lebih mengutamakan fakta dari pada ucapan ku," isaknya penuh drama. Rara mengedipkan sebelah matanya kearah Fia dimana suami dan ibu m
Poppy mencebik tujuannya datang ke rumah orang tuanya untuk bersenang-senang bukan terlibat dalam masalah yang mengharuskan dirinya memerankan tokoh yang diinginkan oleh kakak ipar dan Ibunya."Poppy hubungi Erik, suruh dia ke sini." Titah Jordan."Untuk apa? Nggak Sudi aku bertemu pengkhianatan seperti dia lagi ayah!" sentak Faris."Ayah ingin mendengar langsung apa yang terjadi. Jika Erik terbukti ayah sendiri yang akan menghajarnya!" "Kamu ini gimana sih mas. Buat apa kamu tanya, dia pasti mengelak tuduhan kita. Lagi pula kita punya buktinya! Sudah, ibu nggak mau ada pertengkaran lagi di sini dan kamu mas sebaiknya istirahat di kamar! Poppy batalkan hubungi Erik." Sungut Bu Winda."Tidak usah menghubungiku, aku ada di sini. Om, Tante dan kamu Faris. Aku tidak butuh untuk membela atau di bela. Satu yang perlu aku katakan, Fia adalah wanita yang baik, dia menjaga bukan hanya pandangannya tapi juga harga dirinya. Kalian tentu tahu apa yang terjadi di dalam rumah ini sebagai seorang
"Alhamdulillah sampai juga,"gumam Fia, melihat rumah sederhana yang ia titipkan pada tetangga terdekat."Assalamualaikum!""Wa'alaikumsalam, kamu siapa?""Aku? Aku Shafia. Dan ibu ini siapa? Kenapa ada di rumah nenek saya?" tanya Fia."Nenek, kamu? Ini rumah saya, kamu jangan ngaku-ngaku. Pasti kamu mau maling di rumahku, iya?!" ucap wanita paruh baya itu."Astaghfirullahaladzim buk, saya cuma tanya karena rumah ini milik nenek saya. Bahkan saya bawa suratnya," ujar Fia, meluruskan masalah yang terjadi."Mana buktinya? Awas aja kalau kamu bohong!!" "Siapa buk? Kenapa ribut malam-malam begini. Malu di dengar tetangga," ujar pria yang baru keluar dari rumah itu."Ini loh, ada perempuan yang ngaku-ngaku pemilik rumah ini. Dasar wanita kampung!" sengit wanita itu."Tunggu sebentar, nak apa kamu punya buktinya jika rumah ini milik kamu? Maaf kamu tahu kan jaman sekarang itu gimana? Bapak cuma memastikan saja." "Tentu saja pak, buk, maafkan saya jika menganggu ketengan keluarga bapak. Ini
Fia terbangun sebelum subuh. Semalam sulit untuk memejamkan mata, mengingat ujian yang datang silih berganti. Mengetahui fakta yang menyakitkan membuat Fia tersadar begitu mudahnya ia di tipu."Kamu sudah bangun? Duduklah, ada yang ingin ibu katakan sama kamu." Ujar wanita paruh bayu itu yang tak lain adalah Bu Risa. "Ada apa Buk?" tanya Fia, ragu."Begini nak, semalam ibu dan bapak membicarakan kamu. Begini maksud ibu, kamu sekarang sebatang kara gimana kalau kamu tinggal di sini bersama kami. Kebetulan kami hanya berdua, kamu bisa bekerja di toko kami atau berkebun," ucap Bu Risa. "Masya Allah buk, terima kasih atas tawarannya tentu saya tidak bisa menolaknya. Tapi untuk tinggal di sini apa saya tidak terlalu merepotkan ibu dan bapak? Bahkan ibu dan bapak tidak mengenal saya," "Untuk niat baik pada orang, tidak perlu mengenali siapa orang yang akan kita tolong lebih dulu. Justru ibu minta maaf saat kamu datang ibu terlalu jahat sama kamu, makanya apa lagi ibu sudah berburuk sang
Fia memahami dengan cepat, apa yang di ajarkan oleh Andy padanya."Kamu sudah paham mbak Fia?" tanya Andy."Alhamdulillah, sudah pak Andy.""Panggil aja Andy. Usia kita tidak jauh beda kok," ucapnya santai."B– baik, pak, eh, mas Andy," "Kalau kamu sudah bisa, aku tinggal ya. Ingat perbanyak istirahat." Ucap Andy sebelum pergi.Dia hanya mengangguk dan kembali fokus dengan tugasnya. Cukup dua hari ia istirahat sesuai perintah Bu Risa. "Kamu anak baru di sini, ya?" Fia menoleh tersenyum manis pada wanita di depannya."Ya, mbak, kenalkan –" tangan Fia di tepis kasar wanita yang menatapnya tidak suka."Kamu pikir aku selevel sama kamu? Hei, kamu pake ilmu pelet apa? Sampai pak Andy yang judes berubah baik sama kamu. Atau kamu ini simpanan pak Andy, iya? Panggilnya aja beda pake mas tanpa embel-embel pak di depannya. Murahan, cerita lama!!" sengit wanita yang tengah berkacak pinggang."Maaf mbak, pak Andy sendiri yang minta saya untuk tidak memanggilnya Pak tetapi Mas bukan karena kema
"Mas minta duit dong?" Rara menyodorkan tangannya tepat di depan wajah Faris."Duit lagi? Buat apa?" tanya Faris."Buat shoping dong! Masa buat tidur." Ucap Rara, setengah kesal."Ya, aku tahu itu. Tapi kenapa akhir-akhir ini kamu sering pergi apa kamu lupa waktu atau bagaimana? Lihat di luar sudah gelap dan lihat jam sudah menunjukkan jam berapa sekarang? Apa kamu akan tetap pergi sedangkan kamu lagi hamil?" ujar Faris mencoba untuk menahan kepergian Rara. Mengingat sudah malam dan waktunya di rumah, ia lelah bekerja seharian saat dia pulang ingin bermanja dengan istrinya namun sayang istri barunya sulit untuk di cegah jika memiliki keinginan."Aku cuma ingin jalan-jalan kalau kamu tidak mau mengantarku juga tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri ini bukan aku yang mau tapi anak kamu anak yang aku kandung bukankah kamu menginginkan anak ini untuk menjadi penerus keluarga kamu jadi kamu harus menuruti semua kemauanku. Aku berapa kali harus aku jelaskan ini bukan kemauan aku tapi anak k
"Memang kenapa dengan status aku? Bukankah kamu yang membuat aku seperti ini?" tanya Fia, lelah harus mengalah pada wanita di depannya."Aku? Nggak salah kamu ngomong gitu? Mikir dong! Mana mungkin wanita berkelas sepertiku harus mengotori hati cuma untuk mendapatkan pria yang berstatus suami orang. Halo, kalau mimpi itu tidur!" "Ada apa ini?" Andy, menghampiri Fia yang berdebat dengan salah satu pengunjung."Oh, apa bapak manajer di sini? Perempuan ini hamil tanpa suami. Lebih tepatnya dia selingkuh dan sekarang hamil dari pria selingkuhannya tapi sayang, selingkuhannya itu lepas tanggung jawab memalukan!!" ucap Rara lantang di sela tawanya.Plakk!!Rara terdiam tidak percaya jika Fia akan menamparnya. Hal itu membuat wajah Rara merah padam."Beraninya kamu menamparku hah? Kamu pikir kamu itu siapa? Kamu cuma wanita yang di buang oleh suaminya!" "Kamu lupa siapa kamu Rara? Kamu penyebab hancurnya rumah tanggaku. Kamu memisahkan anak dari ayahnya dan dengan lidah mu memfitnah aku da
"Fia, sini!" Nisa berlari menghampiri Fia yang tidak kunjung mendekatinya."Kamu harus pergi dari sini secepatnya. Cepatlah sudah tidak ada waktu lagi, jika kamu menyayangi anak yang ada dalam kandunganmu sebaiknya pergi dari sini." Sambung Nisa, mengatur nafas yang naik turun."Mbak ada apa?" Fia menautkan kedua alisnya bingung melihat tingkah Nisa yang benci padanya."Udah cepetan. Aku kasih tau nanti, pokoknya kali ini aku berbuat baik sama kamu." Nisa membantu dia mengambil bajunya untuk masukkan ke dalam tas. "Cepetan! Sebelum wanita itu datang.""Wanita siapa?""Madu kamu. Dia ingin mencelakai anak kamu, cepetan aku nggak —" "Mau kemana kalian?" Berdua terhenti tas di tangan Nisa terjatuh begitu saja. Nisa menggenggam tangan Fia lebih erat lagi, ya, setelah mendengar semua kebenaran yang terjadi pada hidup Fia, Nisa merasa bersalah atas apa yang ia lakukan bahkan sudah menuduhnya yang tidak-tidak."Kenapa kalian diam? Aku tanya kalian mau ke mana?" Fia menghela napasnya, meng
"Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku huh? Apa begini caramu menghancurkan kami? Sayangnya hal itu tidak berlaku pada kami, aku akan menghancurkan kamu Faris!" geram Erik, sejak meninggalkan rumah untuk menemui Faris yang seenaknya mencuci otak putranya. "Haha! Kau takut? Erik, kamu lupa dia itu anakku, apa pun yang aku lakukan itu semua terserah sama aku, itu hak aku, paham?" Faris merapikan keras kemejanya yang sedikit berantakan karena ulah Erik.Bugh!Bugh!"Kamu pikir aku akan membiarkan semuanya terjadi. Kamu salah besar Faris, aku sendiri yang akan membuatmu menyesal karena sudah menyentuh keluargaku!" tegas Erik.Faris hanya tersenyum, sudut bibirnya terasa asin Erik berhasil melukainya. Melihat tingkah sepupu sekaligus ayah tiri anaknya, sedikit perasaan cemas namun Faris mampu bersikap tenang menghadapi Erik. "Kau takut Erik? Kamu lupa ikatan darah lebih kental dari apa pun dan aku yakin apa yang kamu lakukan ini akan membawa kehancuran hubunganmu dan Fia. Kamu lupa itu
"Jadi itu benar bund?" "Ya sayang, kenapa kamu tanya itu sama bunda? Jagoan bunda memikirkan hal lain?" tanya Fia, lembut."Tidak ada bund!" sahut Al santai.Hari berikutnya sikap Al seperti biasa hanya saja lebih diam, setiap Fia menanyakan selalu di jawab gelengan dan tidak apa-apa. Permintaan tiba tiba Al yang menginginkan sekolah dan permintaan yang sebentarnya membuat Fia curiga. Akan tetapi Fia mengabaikan mengira semua akan baik baik saja."Hari ini kita akan daftar sayang, kamu sudah pilih sekolah mana yang kamu inginkan?" tanya Fia, kali ini mengusap punggung putranya.Pembawaan yang tenang seakan semua berjalan sesuai keinginan, tanpa di ucapkan Fia tahu jika putranya menyembunyikan sesuatu. Akan tetapi Fia tidak tahu apa, ia akan membicarakan kegelisahannya pada yang suami."Kamu tahu apa yang terjadi?" tanya Erik, khawatir dengan perubahan sikap anak sambungnya, sama seperti yang di rasakan Fia.Fia hanya menggeleng, ingin mengatakan jika curiga pada Faris itu tidak mungk
Kebahagiaan yang tidak pernah terpikirkan oleh Erik, jika akan secepat ini membuat istrinya hamil penerus untuknya. Sejak awal Erik tidak peduli dengan anak sebab sebelum menikah dengannya Fia memiliki anak yang sangat ia cintai. Tidak berbeda jauh berbeda dengan Erik, kehamilan ini adalah kehamilan yang kedua untuk Fia sehingga memudahkan wanita cantik berhijab itu menyikapinya dengan santai. Berbeda dengan Erik yang cemas bahkan kini bersikap posesif terhadapnya."Assalamualaikum sayang, kamu di mana?""Waalaikumsalam mas kamu sudah pulang? Aku ada di dapur. Apa yang kamu bawa itu?" Fia berbalik menyambut kedatangan Erik, entah kenapa hari ini Fia merindukan aroma tubuh pria yang begitu mencintainya."Kamu lupa apa yang kamu minta tadi siang? Di mana Al?" Erik mengecup kening Fia sekilas, sebelum berlanjut mengusap perut rata Fia."Aku kira tidak ada mas. Aku lupa Al sedang pergi bersama ayah, sebentar lagi pulang." Fia berulang kali mengendus kemeja yang masih melekat di tubuh Er
Kebahagiaan Fia dan Erik tidak lepas dengan kedua orang tua mereka. Al yang begitu antusias dengan kehamilan ibunya tak jarang mengajak adiknya yang berada dalam perut untuk bermain bersama."Bund, kalau jadi Abang apa perlu jadi berani?" tanya Al polos."Itu tidak perlu sayang, cukup jadi Abang yang baik dan sayang untuk adik. Satu lagi jadi pelindung bukan berarti jadi berani karena keberanian itu juga untuk diri sendiri. Untuk menjaga diri Abang saat berada di luar rumah.""Begitu ya bund?""Iya sayang,""Abang mau adik perempuan bund!" antusias Al."Boleh, berdoa mintalah pada Allah agar Abang punya adik perempuan ya," "Ya bunda!" Demi kehamilannya membuat Fia tak bisa beraktivitas banyak di luar, sehingga semua urusan ia serahkan kembali pada sang ayah. Begitu pula dengan Erik yang melarang aktivitas yang berat pada Fia."Bagaimana hari ini sayang? Apa ada yang kamu inginkan?" Erik duduk membelai kepala yang tertutup kerudung."Aku menginginkan sesuatu, apa kamu akan mengabulka
Erik yang mendapat keluhan dari Fia mengenai kedatangan mantan suaminya, yang tidak lain adalah sepupunya yang datang di saat dirinya pergi ke kantor. Namum hal itu kini bernafas lega karena Faris memutuskan untuk bekerja di luar kota dan meminta waktu untuk bertemu seharian dengan Al. Hal itu tidak menjadi hal yang sulit di kabulkan oleh Fia. "Aku permisi, mulai hari ini aku akan datang di akhir pekan. Dan aku harap waktu sehari itu untukku bersama dengan Al," ujar Faris sebelum meninggalkan rumah Erik."Silahkan aku tidak akan membatasinya, asalkan kamu menepati janji untuk tidak mengusik istriku." Tegas Erik."Tentu, kamu jangan khawatir."Itulah percakapan dua pria dewasa, Erik menatap punggung sepupunya yang semakin jauh. "Aku harap kamu bukanlah ancaman untuk anak dan istriku. Jika hal itu terjadi aku tidak akan memaafkan kamu Faris." Gumam pria tampan itu.Hari hari berlalu begitu tenang, sudah setahun ini Faris datang di akhir pekan walau hanya sekedar menjemput Al untuk bert
Sudah berapa hari Pak Bagas terbaring di rumah sakit, tubuhnya yang semakin melemah membaut Rara dan ibunya semakin khawatir. Meski dokter memintanya terus dirawat, akan tetapi karena keuangan mereka yang kini semakin semrawut sehingga memutuskan untuk membawanya pulang ke rumah, mereka sendiri yang akan merawatnya. "Mah apa selama ini ayah tidak pernah menyimpan kekayaan lain selain perusahaan dan rumah ini?" tanya Rara, menatap ayahnya berada di rumah sakit dan perusahaan yang sudah diambil alih oleh orang tua Fia. Kehidupan mereka semakin sulit. Bukan hanya keuangan bahkan berapa tunggakan hutang semakin menjerat."Kalau ada buat apa mama menyembunyikannya, justru karena tidak ada itu yang membuat mama pusing. Ra, coba tanya suamimu apa suamimu masih punya tabungan? Mama masih ingat sebelum kejadian, ayahmu sudah mentransfer ke rekening suamimu dan juga ke rekening pribadi kamu. Mama rasa uang itu masih aman di dalam rekening kamu dan juga suamimu, setidaknya masih ada," ujar Leni
Kedekatan Faris dan Al semakin intens, baik Fia dan Erik serta kedua orang tua mereka tidak melarang atau pun membatasi Faris bertemu dengan Al. Darah yang mengalir dalam tubuh Al adalah darah dari keluarga Indurasmi suka atau tidak itu tidak mungkin di pungkiri, hal itulah yang memutus hubungan antara anak dan ayah.Kesibukan Fia di kantor tentu menyita banyak waktu sehingga wanita berhijab itu memutuskan untuk menyerahkan semua urusan kantor pada asisten pribadinya. Tentu dengan orang kepercayaan Ayahnya yang sampai saat ini masih bekerja di perusahaan dan memiliki kedudukan yang tinggi.Pagi ini Fia di sibukkan dengan peralatan dapur, menu sarapan yang wajib untuk keluarga kecilnya. Karena Hanendra memutuskan untuk pulang ke rumah pribadinya dan Ibu Belinda yang juga memilih pulang ke kediamannya."Alhamdulillah beres! Mbok tolong siapkan piringnya di sini ya, aku ke kamar dulu pasti dua jagoan aku sudah bangun," ucap Fia, lembut membuat para pekerjaan di rumahnya begitu nyaman dan
Siapapun akan merasa iri melihat kedekatan antara Erik dan Al, siapa sangka mereka hanyalah ayah dan anak tiri. Pemandangan indah di depannya membuat hati seseorang terasa sakit dan cemburu.Lebih dari empat jam di kediaman Fia dan Erik tidak sedikit pun Al bermain dengan Faris. Anak itu begitu dekat dengan Erik, tidak jarang menolak ajakan Faris. Namun Erik yang notabenenya hanyalah ayah sambung sekaligus sepupu Faris menjelaskan pada putranya jika Faris adalah orang terdekat mereka. Sehingga Al bersedia duduk di samping Faris, hanya duduk diam tanpa bermanja-manja padanya seperti yang di lakukannya pada Erik."Anak kecil memang tidak bisa di bohongi, mana yang tulus mana yang bulus." Gumam Fia, entah kenapa hatinya gelisah."Berikan kesempatan pada Faris mengenal anaknya, begitu sebaliknya biarkan Al mengenali ayah kandungannya. Kamu dah Erik sudah sepakat sebelumnya bukan? Lalu untuk apa kamu berubah pikiran?" Pak Hanendra mengusap punggung putrinya."Tapi Yah, aku nggak bisa perca
"Aww, ayah!" Faris mengusap lengannya yang mendapatkan pukulan dari sang Ayah."Rindu terlarang. Buang jauh perasaan itu Faris, kamu yang salah dalam apapun mengenai Fia. Jadi ayah minta untuk tidak lagi mengatakan hal yang tidak pantas." Ucap Jordan tegas.Bagaimana bisa putranya merindukan mantan istrinya. Dulu sering ia nasehati untuk tidak melakukan hal yang merugikan dirinya, nyatanya semua hanya angin lalu. Putranya justru mengikuti kemauan ibunya sehingga rumah tangganya hancur, bukan hanya dengan Fia, tapi juga dengan Rara."Mas kamu ini gimana sih. Orang anak sendiri kok di gituin, biarin aja napa, sapa tau mereka masih ada jodoh, Faris rujuk sama Fia. Kan kamu juga yang bahagia kan mas?" ujar Winda tanpa beban."Kamu ini mikir apa sih! Atau kamu sama anakmu sedang memikirkan cara untuk mendekati Fia, melalui cucuku? Faris buang jauh impian kamu itu, ayah orang pertama yang menentang itu. Kamu lupa Fia menikah dengan siapa? Bagaimana ayahnya, sudahlah Faris dan kamu sudah cu