"Fia tanda tangani berkas ini." "Berkas apa ini, Bu?" tanya Fia, mengerutkan keningnya. "Tidak perlu banyak tanya. Cepatlah, tidak ada waktu lagi untuk berfikir. Kamu sayang kan sama suamimu?" ucap Bu Winda yang di angguki oleh Fia."Nah, udah tunggu apa lagi. Cepetan, lama banget sih kamu!" sambung Bu Winda "Tapi, Bu, ini sebenarnya ada apa? Berkas ini berkas apa? Mas Faris baik-baik saja kan Bu?" tanya Fia, gurat kecemasan tercetak jelas di wajahnya."Hum. Sekarang kamu siapkan masakan yang enak Ibu sudah lapar. Satu lagi kamu tanda tangan di sini, sekarang juga." Bu Winda menatap menantunya yang terlihat ragu."Bu, kenapa tidak jujur mengenai berkas ini?" ragu Fia bertanya lagi."Ck. Kamu ini, tadi sudah ibu jelaskan jangan banyak tanya. Udah sih, cepetan repot amat kamu. Lagi pula kamu itu punya suami kan? Sekarang kamu harus tanda tangani berkas ini," Bu Winda, mendesak. Benar Fia tidak mudah untuk menuruti keinginannya."Oke. Ibu jelaskan, ini berkas pengalihan rumah jelek ka
"Mas, tunggu," Fia, menelisik wajah tampan suaminya. Suami yang kini telah memiliki istri lain selain dirinya."Dek, mas akan jelaskan semuanya, tapi tidak sekarang, mas –" ucapan Faris terhenti, wanita yang di sampingnya menariknya manja."Mas, kata ibu. Kita harus istirahat, kamu tidak lupa kan kalau hari ini adalah hari yang penuh sejarah? Mbak Fia, tolong jangan ganggu suamiku, maksudku suami kita. Hari ini dan seterusnya aku akan tidur dengan mas Faris, kamu tahu kan mbak, kami harus kerja keras untuk bisa hamil. Cucu yang di harapkan keluarga ini, selain itu. Aku minta maaf, sudah hadir dalam rumah tangga mbak Fia. Aku tahu sakitnya di duakan tapi, aku bisa apa," ucapnya sendu, Rara menggenggam tangan Fia sebelum kembali berucap."Kita, akan menjadi istri terbaik untuk suami kita, mbak. Aku tahu posisiku tapi untuk sekarang, maaf aku egois. Kita akan menjadi saudara seperti yang mas Faris inginkan, benar begitu kan mas? Aku janji akan menuruti perkataan mbak Fia, kita raih surg
Pada akhirnya Fia memilih untuk kembali ke kamar. Kamar yang seharusnya menjadi miliknya kini menjadi milik orang lain.Setelah pengusiran yang di lakukan Ibu mertua tidak ada satu pun dari mereka yang membelanya termasuk suaminya. Faris, memilih diam tanpa berniat untuk menahan istrinya agar tetap tinggal.Nyatanya pria yang empat tahun menjadi suaminya justru menundukkan wajah di hadapan keluarganya.Langkahnya gontai meninggalkan ruang makan. Satu jam di dalam kamar Shafia anak tunggal dari keluarga sederhana, Ibunya meninggal dunia saat lulus sekolah. Lalu ia hidup bersama dengan sang nenek, belum lama menikmati kebahagiaan Shafia harus rela menerima takdir jika sang nenek menyusul Ibunya. "Dek, tolong maafkan mas. Mas, tahu mas salah, jangan abaikan mas, kalau begini, mas –" ucapan Faris terhenti, wanita bergelar mertua berdiri dengan tatapan nyalang."Kamu jangan coba-coba meracuni anakku, Fia. Ingat bakti anak laki-laki ada padaku, ibunya. Kamu cuma orang lain yang kebetulan d
"Bagaimana rasanya mbak? Aku hamil? Hamil anak mas Faris, lalu sebentar lagi kamu akan jadi gelandangan ups,' Rara, mencibir wanita bergamis nude. Begitu cantik bukan hanya parasnya tapi juga hatinya."Kalau begitu selamat. Aku akan pergi jika suamiku yang menginginkannya, dan kamu ternyata tidak sebaik saat di hadapan mereka." Ucap Fia, berlalu dari hadapan Rara."Kamu kaget? Untuk apa aku bersikap baik di hadapanmu? Pada akhirnya aku yang menjadi pemenangnya. Oke, kita lihat saja aku pastikan mas Faris menceraikan kamu, mbak." Cibir Rara."Aku tunggu sampai hari itu tiba. Jaga selalu anak yang ada dalam kandungan kamu, jangan sampai keluarga ini termasuk mas Faris tahu kalau anak yang ada dalam kandungan kamu itu bukan anak mas Faris. Itu akan membahayakan dirimu." Ujar Fia, tersenyum puas melihat wajah Rara yang pucat."Apa maksud kamu? Kamu pikir anak yang aku kandung ini anak orang lain?" kesal Rara."Kamu yang tahu semuanya. Anak siapa yang ada dalam kandungan kamu itu," lirih F
"Shafia! Cepat buka pintunya. Dasar wanita mandul!" seru Bu Winda."Buk, ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah teriak?" Faris yang terganggu suara Ibunya yang memanggil istri tuanya."Nah, kamu keluar Ris. Kamu lihat istri mandul kamu jam berapa sekarang? Tapi sarapan belum ada di atas meja dan dia masih enak-enakan tidur, kami mau makan apa sedangkan istri muda kamu yang sedang hamil harus makan dengan nutrisi yang baik." Cetus Bu Winda."Buk mungkin Fia masih lelah, Ibu lihat sendiri bekerjanya tidak pernah diabaikan bahkan sekarang sudah bertambah satu anggota lagi mungkin dia —" Faris diam, tatapan tidak suka terpancar dari wajah Ibunya."Bela aja terus. Buang aja wanita tidak berguna itu. Semakin lama ibu malas dia di sini!" sinis Bu Winda. Brakk!!"Ngapain kamu? Lihat jam berapa sekarang? Enak banget kamu tidur bangun siang. Cepetan bikin sarapan, hidup numpang nggak ada mikirnya.""Buk, hari ini aku gak masak ya, aku kurang sehat," sahut Fia. Wajahnya yang pucat tidak mampu menguba
"Shafia. Kamu buatkan bubur, ibu nggak mau tahu kamu buat yang enak, apa ini? Kamu nggak masak? Ngapain aja kamu seharian ini, hah?" Bu Rahayu, berkacak pinggang di hadapan Fia. "Buk, aku tidak enak badan itu sebabnya aku tidak masak hari ini. Tadi —" Fia, memijat pelipisnya. Pusing yang entah kenapa kembali datang sejak pagi tak kunjung hilang."Alasan aja kamu. Cepat buatkan bubur ayam buat Rara, semua gara-gara kamu jadi kandungan Rara bermasalah. Kalau saja sesuatu terjadi pada mereka berdua sudah ibu habisi kamu. Cepetan! Sebentar lagi menantu kesayanganku akan pulang." Ucap Bu Winda tidak terbantahkan.Dengan langkah berat, Fia kembali ke dapur membuat bubur meski tubuhnya begitu lemah. Semula Faris akan mengantarnya ke dokter. Namum, entah drama apa yang sudah dilakukan oleh madunya sehingga ia terjatuh dan sayangnya di hadapan Fia yang semula ingin menolong kini ia manjadi tersangka."Assalamualaikum, buk. Tolong bantu Rara dulu," Faris meminta Ibunya untuk membantu agar Rara
"Fia!" Mereka yang ada di ruang perawatan terkejut mendengar suara panggilan dan pintu terbuka. Wajahnya Fia semakin pucat, ia memohon pada dokter di sampingnya melalui sorot matanya untuk menolongnya."Fia, kamu kenapa? Apa yang terjadi sampai kamu di rumah sakit?" pernyataan bertubi dari Faris semakin membuat Fia cemas.Fahmi yang menghubungi Faris hanya bisa diam entah apa yang terjadi dalam rumah tangga sahabatnya namun, melihat permintaan Fia membuatnya memahami ada sesuatu yang terjadi."Begini, Bu Fia ini –" dokter itu menoleh ke arah Fia yang memohon padanya."Apa yang terjadi dok?" tanya Faris, begitu mencemaskan keadaan Fia."Begini pak Faris, Bu Fia harus istirahat. Tubuhnya begitu lemah, apakah di rumah Bu Fia mengerjakan semua pekerjaan?" tanya dokter, melihat lemahnya tubuh Fia."I –itu,""Itu maunya menantu saya, dok. Dia itu keras kepala, berapa kali saya larang tapi dasarnya Fia ini dari kampung ya, jadi biasa kerja,""Fia, kamu dengar kan sekarang? Berapa kali ibu
Seperti yang di inginkan oleh Bu Winda, hari ini adalah hari untuk Syukuran atas kehamilan Rara. Sejak subuh tadi Fia tidak hentinya untuk mengerjakan semua pekerjaan yang di limpahkan Ibu mertua padanya. Acara keluarga yang di hadiri reken kerja walau tidak semua, akan tetapi Fia tahu jika mereka adalah teman kerja Faris. "Mas kita selfie dulu ya, ini adalah acara sakral kedua kita. Waktu itu kamu menikahi ku dan sekarang acara syukuran anak kita!" ucap Rara, sengaja dengan suara tinggi dan manja itu yang aku ketemu menarik perhatian dan kecemburuan Fia."Dek, kita foto bareng bertiga ya. Hari ini acara penting kita, kamu tahu sebentar lagi kita akan dipanggil ibu dan ayah," ucap Faris pada Fia."Itu panggilan untukmu dan Rara, mas. Aku akan di panggil ibu oleh anak kandungku sendiri, bukan anak dari wanita yang sudah menghancurkan hidup wanita lain." Sahutnya tanpa menolah pada Faris. Berharap Faris memahami apa yang di katakan olehnya jika dalam rahimnya telah hadir janin yang se
Kebahagiaan yang tidak pernah terpikirkan oleh Erik, jika akan secepat ini membuat istrinya hamil penerus untuknya. Sejak awal Erik tidak peduli dengan anak sebab sebelum menikah dengannya Fia memiliki anak yang sangat ia cintai. Tidak berbeda jauh berbeda dengan Erik, kehamilan ini adalah kehamilan yang kedua untuk Fia sehingga memudahkan wanita cantik berhijab itu menyikapinya dengan santai. Berbeda dengan Erik yang cemas bahkan kini bersikap posesif terhadapnya."Assalamualaikum sayang, kamu di mana?""Waalaikumsalam mas kamu sudah pulang? Aku ada di dapur. Apa yang kamu bawa itu?" Fia berbalik menyambut kedatangan Erik, entah kenapa hari ini Fia merindukan aroma tubuh pria yang begitu mencintainya."Kamu lupa apa yang kamu minta tadi siang? Di mana Al?" Erik mengecup kening Fia sekilas, sebelum berlanjut mengusap perut rata Fia."Aku kira tidak ada mas. Aku lupa Al sedang pergi bersama ayah, sebentar lagi pulang." Fia berulang kali mengendus kemeja yang masih melekat di tubuh Er
Kebahagiaan Fia dan Erik tidak lepas dengan kedua orang tua mereka. Al yang begitu antusias dengan kehamilan ibunya tak jarang mengajak adiknya yang berada dalam perut untuk bermain bersama."Bund, kalau jadi Abang apa perlu jadi berani?" tanya Al polos."Itu tidak perlu sayang, cukup jadi Abang yang baik dan sayang untuk adik. Satu lagi jadi pelindung bukan berarti jadi berani karena keberanian itu juga untuk diri sendiri. Untuk menjaga diri Abang saat berada di luar rumah.""Begitu ya bund?""Iya sayang,""Abang mau adik perempuan bund!" antusias Al."Boleh, berdoa mintalah pada Allah agar Abang punya adik perempuan ya," "Ya bunda!" Demi kehamilannya membuat Fia tak bisa beraktivitas banyak di luar, sehingga semua urusan ia serahkan kembali pada sang ayah. Begitu pula dengan Erik yang melarang aktivitas yang berat pada Fia."Bagaimana hari ini sayang? Apa ada yang kamu inginkan?" Erik duduk membelai kepala yang tertutup kerudung."Aku menginginkan sesuatu, apa kamu akan mengabulka
Erik yang mendapat keluhan dari Fia mengenai kedatangan mantan suaminya, yang tidak lain adalah sepupunya yang datang di saat dirinya pergi ke kantor. Namum hal itu kini bernafas lega karena Faris memutuskan untuk bekerja di luar kota dan meminta waktu untuk bertemu seharian dengan Al. Hal itu tidak menjadi hal yang sulit di kabulkan oleh Fia. "Aku permisi, mulai hari ini aku akan datang di akhir pekan. Dan aku harap waktu sehari itu untukku bersama dengan Al," ujar Faris sebelum meninggalkan rumah Erik."Silahkan aku tidak akan membatasinya, asalkan kamu menepati janji untuk tidak mengusik istriku." Tegas Erik."Tentu, kamu jangan khawatir."Itulah percakapan dua pria dewasa, Erik menatap punggung sepupunya yang semakin jauh. "Aku harap kamu bukanlah ancaman untuk anak dan istriku. Jika hal itu terjadi aku tidak akan memaafkan kamu Faris." Gumam pria tampan itu.Hari hari berlalu begitu tenang, sudah setahun ini Faris datang di akhir pekan walau hanya sekedar menjemput Al untuk bert
Sudah berapa hari Pak Bagas terbaring di rumah sakit, tubuhnya yang semakin melemah membaut Rara dan ibunya semakin khawatir. Meski dokter memintanya terus dirawat, akan tetapi karena keuangan mereka yang kini semakin semrawut sehingga memutuskan untuk membawanya pulang ke rumah, mereka sendiri yang akan merawatnya. "Mah apa selama ini ayah tidak pernah menyimpan kekayaan lain selain perusahaan dan rumah ini?" tanya Rara, menatap ayahnya berada di rumah sakit dan perusahaan yang sudah diambil alih oleh orang tua Fia. Kehidupan mereka semakin sulit. Bukan hanya keuangan bahkan berapa tunggakan hutang semakin menjerat."Kalau ada buat apa mama menyembunyikannya, justru karena tidak ada itu yang membuat mama pusing. Ra, coba tanya suamimu apa suamimu masih punya tabungan? Mama masih ingat sebelum kejadian, ayahmu sudah mentransfer ke rekening suamimu dan juga ke rekening pribadi kamu. Mama rasa uang itu masih aman di dalam rekening kamu dan juga suamimu, setidaknya masih ada," ujar Leni
Kedekatan Faris dan Al semakin intens, baik Fia dan Erik serta kedua orang tua mereka tidak melarang atau pun membatasi Faris bertemu dengan Al. Darah yang mengalir dalam tubuh Al adalah darah dari keluarga Indurasmi suka atau tidak itu tidak mungkin di pungkiri, hal itulah yang memutus hubungan antara anak dan ayah.Kesibukan Fia di kantor tentu menyita banyak waktu sehingga wanita berhijab itu memutuskan untuk menyerahkan semua urusan kantor pada asisten pribadinya. Tentu dengan orang kepercayaan Ayahnya yang sampai saat ini masih bekerja di perusahaan dan memiliki kedudukan yang tinggi.Pagi ini Fia di sibukkan dengan peralatan dapur, menu sarapan yang wajib untuk keluarga kecilnya. Karena Hanendra memutuskan untuk pulang ke rumah pribadinya dan Ibu Belinda yang juga memilih pulang ke kediamannya."Alhamdulillah beres! Mbok tolong siapkan piringnya di sini ya, aku ke kamar dulu pasti dua jagoan aku sudah bangun," ucap Fia, lembut membuat para pekerjaan di rumahnya begitu nyaman dan
Siapapun akan merasa iri melihat kedekatan antara Erik dan Al, siapa sangka mereka hanyalah ayah dan anak tiri. Pemandangan indah di depannya membuat hati seseorang terasa sakit dan cemburu.Lebih dari empat jam di kediaman Fia dan Erik tidak sedikit pun Al bermain dengan Faris. Anak itu begitu dekat dengan Erik, tidak jarang menolak ajakan Faris. Namun Erik yang notabenenya hanyalah ayah sambung sekaligus sepupu Faris menjelaskan pada putranya jika Faris adalah orang terdekat mereka. Sehingga Al bersedia duduk di samping Faris, hanya duduk diam tanpa bermanja-manja padanya seperti yang di lakukannya pada Erik."Anak kecil memang tidak bisa di bohongi, mana yang tulus mana yang bulus." Gumam Fia, entah kenapa hatinya gelisah."Berikan kesempatan pada Faris mengenal anaknya, begitu sebaliknya biarkan Al mengenali ayah kandungannya. Kamu dah Erik sudah sepakat sebelumnya bukan? Lalu untuk apa kamu berubah pikiran?" Pak Hanendra mengusap punggung putrinya."Tapi Yah, aku nggak bisa perca
"Aww, ayah!" Faris mengusap lengannya yang mendapatkan pukulan dari sang Ayah."Rindu terlarang. Buang jauh perasaan itu Faris, kamu yang salah dalam apapun mengenai Fia. Jadi ayah minta untuk tidak lagi mengatakan hal yang tidak pantas." Ucap Jordan tegas.Bagaimana bisa putranya merindukan mantan istrinya. Dulu sering ia nasehati untuk tidak melakukan hal yang merugikan dirinya, nyatanya semua hanya angin lalu. Putranya justru mengikuti kemauan ibunya sehingga rumah tangganya hancur, bukan hanya dengan Fia, tapi juga dengan Rara."Mas kamu ini gimana sih. Orang anak sendiri kok di gituin, biarin aja napa, sapa tau mereka masih ada jodoh, Faris rujuk sama Fia. Kan kamu juga yang bahagia kan mas?" ujar Winda tanpa beban."Kamu ini mikir apa sih! Atau kamu sama anakmu sedang memikirkan cara untuk mendekati Fia, melalui cucuku? Faris buang jauh impian kamu itu, ayah orang pertama yang menentang itu. Kamu lupa Fia menikah dengan siapa? Bagaimana ayahnya, sudahlah Faris dan kamu sudah cu
Pertengkaran semakin sering dan intens. Baik Radit, Rara tidak ada yang mau mengalah, mereka memiliki argumen sendiri sehingga hal itu memicu emosi keduanya."Kamu terlalu fokus pada keluarga. Aku merasa diabaikan, kamu tahu bagaimana kehidupan kita ini. Aku cuma mau ...""Cukup mas. Aku capek bukan cuma kamu, aku juga lelah aku mau semua kembali kayak dulu. Sekarang kamu tetap kerja di sana, kalau kamu berhenti gimana dengan kita nanti kebutuhan jalan terus mas!""Seharusnya, kamu mengerti. Keluarga adalah segalanya bagiku, selain itu kita juga butuh untuk menyambung hidup. Pikirkan masa depan anak kita," raut kecewa, lelah dan kesal tercetak jelas di wajah Rara. Radit terdiam, sejak lama dia memikirkan hal ini namun semua tidak sesuai ekspektasi. Cintanya pada Rara dulu membuatnya tanpa memikirkan masa depan. Bahkan harus menantang orang tua."Apa tidak ada yang tersisa? Maksudku, setidaknya ada yang bisa kita lakukan dari sisa kekayaan orang tuamu, meski perusahaan itu jatuh ke ta
Fia mengulas senyum, melihat wanita yang bersembunyi di balik pintu ruang rapat. Ya, di sana Rara tengah menguping pembicaraannya di ruang rapat."Apa yang nona lakukan di sini? Bukankah saya meminta anda untuk menunggu di ruang kerja saya?" Rara tersenyum kikuk, bagaiman bisa ia kecolongan sampai Fia keluar dari ruang rapat. "Maaf," lirihnya menyembunyikan kegundahan hatinya.Wajah Fia tetap datar, sesaat memindai penampilan Rara. "Pakai baju yang baik dan benar. Aku tidak suka punya karyawan yang memamerkan pahanya." Ucap Fia tegas, aneh bukan? Dulu penampilan Rara tidak seperti itu tapi kini jauh berubah."Ada masalah dengan baju yang aku pakai? Ini sudah menjadi standar sebagai pekerja kantoran.""Itu berlaku di perusahaan lain. Tapi tidak dengan perusahaan yang aku mimpin. Jika kamu tidak bisa mengikuti peraturan maka silahkan, pintu keluar kamu masih ingat kan?""Ck, ribet amat sih!" Sinis Rara, tentu saja di dengar oleh Fia. Tapi Fia hanya diam, ia tahu apa yang harus di laku