Pada akhirnya Fia memilih untuk kembali ke kamar. Kamar yang seharusnya menjadi miliknya kini menjadi milik orang lain.
Setelah pengusiran yang di lakukan Ibu mertua tidak ada satu pun dari mereka yang membelanya termasuk suaminya. Faris, memilih diam tanpa berniat untuk menahan istrinya agar tetap tinggal. Nyatanya pria yang empat tahun menjadi suaminya justru menundukkan wajah di hadapan keluarganya. Langkahnya gontai meninggalkan ruang makan. Satu jam di dalam kamar Shafia anak tunggal dari keluarga sederhana, Ibunya meninggal dunia saat lulus sekolah. Lalu ia hidup bersama dengan sang nenek, belum lama menikmati kebahagiaan Shafia harus rela menerima takdir jika sang nenek menyusul Ibunya. "Dek, tolong maafkan mas. Mas, tahu mas salah, jangan abaikan mas, kalau begini, mas –" ucapan Faris terhenti, wanita bergelar mertua berdiri dengan tatapan nyalang. "Kamu jangan coba-coba meracuni anakku, Fia. Ingat bakti anak laki-laki ada padaku, ibunya. Kamu cuma orang lain yang kebetulan di nikahi anakku. Pergi kamu dari sini, Ris, ibu tidak suka di saat ibu mertua kamu ada di sini kamu berdekatan dengan istrimu yang mandul itu. Dan kamu, cepat bereskan kekacauan ini. Satu lagi jangan perlihatkan wajahmu di depan kami!" sinis Bu Winda, menatap tidak suka pada Fia. Wanita yang memilih untuk diam itu tetap pada posisinya membersihkan meja yang berantakan dan membuat minuman penutup. Shafira menghela napasnya, semula ia menikah dengan seorang pria yang mapan dengan jabatan sebagai manajer di salah satu perusahaan. Dan tentunya perhatian, mengira jika hidupnya akan bahagia sebab dia adalah pria pertama yang mampu meluluhkan hati Shafia. Namun kini, seakan semuanya hanyalah semu. "Dek," Faris kembali bersuara, entah apa alasannya sampai pria itu ada di belakangnya. "Pergilah, aku tidak ingin menjadi pelampiasan kemarahan Ibu. Kamu yang datang tapi, aku yang kena masalah," ucapnya tanpa menoleh. "Maafkan, aku," lirih, begitu lirih hingga suara itu bagaikan sebuah bisikin. Fia meluruskan tubuhnya lelah sudah pasti. Tapi, semua harus dikerjakan jika tidak. Sudah tentu akan menjadi boomerang untuknya. Tidur begitu nyenyak hingga suara adzan berkumandang, Fia terbangun menjalankan kewajibannya. Begitu khusyuk hingga tanpa sadar di setiap sujud hingga sujud terakhir yang begitu lama ada doa dan curahan hati tersemat di sana. Bulir bening membasahi sajadah lembut itu, puas meluapkan keluh kesahnya Fia turun namun langkahnya terhenti tepat di depan kamar utama, kamar yang ia tempati selama empat tahun terakhir. Kakinya ia ayunkan meninggalkan kamar penuh kenangan sebelum suara dari dalam berhasil menghentikannya. Ya, suara yang tidak asing mereka begitu jelas di telinganya. "Astaghfirullahaladzim," ucap Fia, mengusap dadanya berlahan. Sakit? Tentu, setelah melewati pernikahan selama empat tahun kini harus rela jika Faris berbagi kasih sayang dengan wanita lain. "Buk, apa nggak keterlaluan kamu sampai membohongi Fia? Walau bagaimanapun dia menantu pertama kita," ujar pak Jordan, tidak setuju akan ide istrinya. "Alah, menantu kampungan itu mana tahu soal perusahaan. Fia taunya anak kita pemilik perusahaan, walau pun jabatannya hanya manajer. Dia nggak tahu kalau perusahaan itu sudah lama gulung tikar. Pokoknya rumah itu kamu renovasi buat hadiah pernikahan mereka, lagi pula Rara nggak tahu kalau rumah itu milik Fia," ujar Bu Winda, tersenyum puas. "Iya. Rara nggak tahu, bagaimana dengan Faris? Bukankah Faris tahu tentang rumah itu? Apa kata Faris nanti," "Halah, bapak ini. Urusan Faris jangan pikirkan, yang penting kita akan punya cucu. Ibu mau Faris ceraikan Fia, tapi ibu juga butuh untuk bantu-bantu di rumah. Biarin aja Faris nggak ceraikan Fia, lumayan kan pembantu gratisan." "Buk—" "Apa! Sudah. Jangan bantah terus!" Bu Winda keluar dari kamar. Tanpa mereka tahu jika Shafia mendengar semua yang di bicarakan oleh mereka. Sakit? Sudah pasti, siapa yang mampu hidup dalam tekanan keluarga suami. Dan, sekarang adanya wanita lain yang menggeser posisi di hati suaminya. "Mas, masakan ini enak. Tapi, aku pengen yang lain," rengek Rara. "Kamu mau apa sayang?" Bu Winda, lebih dulu menjawab permintaan menantu pilihannya. "Aku pengen mangga, tapi —" Rara urung mengatakan, ia melihat Fia yang tengah membersihkan dapur. "Mangga? Kamu?" tanya Faris, menatap wajah Rara. "Sayang, tapi apa?" ujar Bu Winda, tidak sabar. "Buk, pak, mas Faris. Sebenarnya aku sedang hamil dan sekarang ngidam," lirihnya, dari ekor matanya Rara melihat wajah Fia yang terkejut "Hamil?" "Kamu beneran hamil, nak? Akhirnya sebentar lagi aku akan menjadi nenek. Faris, apa ibu bilang kamu itu tidak mandul, yang mandul itu istrimu!!" sentak Bu Winda, menekan kata istrimu. "Sayang, kamu beneran hamil? Alhamdulillah, sebentar lagi aku akan menjadi ayah. Sayang, kamu mau apa, biar mas cariin. Tadi kamu mau mangga? Oke, mas belikan ya," ucap Faris, tidak hentinya mencium wajah Rara. Mengabaikan istri pertamanya yang menatapnya penuh sendu. "Mas, aku mau kalau mbak Fia yang beli mangga di pasar," lirihnya. "Fia? Oke," "Dek, tolong belikan mangga untuk Rara. Sebenar lagi aku akan menjadi ayah, sayang. Kamu juga akan menjadi ibu,""Bagaimana rasanya mbak? Aku hamil? Hamil anak mas Faris, lalu sebentar lagi kamu akan jadi gelandangan ups,' Rara, mencibir wanita bergamis nude. Begitu cantik bukan hanya parasnya tapi juga hatinya."Kalau begitu selamat. Aku akan pergi jika suamiku yang menginginkannya, dan kamu ternyata tidak sebaik saat di hadapan mereka." Ucap Fia, berlalu dari hadapan Rara."Kamu kaget? Untuk apa aku bersikap baik di hadapanmu? Pada akhirnya aku yang menjadi pemenangnya. Oke, kita lihat saja aku pastikan mas Faris menceraikan kamu, mbak." Cibir Rara."Aku tunggu sampai hari itu tiba. Jaga selalu anak yang ada dalam kandungan kamu, jangan sampai keluarga ini termasuk mas Faris tahu kalau anak yang ada dalam kandungan kamu itu bukan anak mas Faris. Itu akan membahayakan dirimu." Ujar Fia, tersenyum puas melihat wajah Rara yang pucat."Apa maksud kamu? Kamu pikir anak yang aku kandung ini anak orang lain?" kesal Rara."Kamu yang tahu semuanya. Anak siapa yang ada dalam kandungan kamu itu," lirih F
"Shafia! Cepat buka pintunya. Dasar wanita mandul!" seru Bu Winda."Buk, ada apa? Kenapa pagi-pagi sudah teriak?" Faris yang terganggu suara Ibunya yang memanggil istri tuanya."Nah, kamu keluar Ris. Kamu lihat istri mandul kamu jam berapa sekarang? Tapi sarapan belum ada di atas meja dan dia masih enak-enakan tidur, kami mau makan apa sedangkan istri muda kamu yang sedang hamil harus makan dengan nutrisi yang baik." Cetus Bu Winda."Buk mungkin Fia masih lelah, Ibu lihat sendiri bekerjanya tidak pernah diabaikan bahkan sekarang sudah bertambah satu anggota lagi mungkin dia —" Faris diam, tatapan tidak suka terpancar dari wajah Ibunya."Bela aja terus. Buang aja wanita tidak berguna itu. Semakin lama ibu malas dia di sini!" sinis Bu Winda. Brakk!!"Ngapain kamu? Lihat jam berapa sekarang? Enak banget kamu tidur bangun siang. Cepetan bikin sarapan, hidup numpang nggak ada mikirnya.""Buk, hari ini aku gak masak ya, aku kurang sehat," sahut Fia. Wajahnya yang pucat tidak mampu menguba
"Shafia. Kamu buatkan bubur, ibu nggak mau tahu kamu buat yang enak, apa ini? Kamu nggak masak? Ngapain aja kamu seharian ini, hah?" Bu Rahayu, berkacak pinggang di hadapan Fia. "Buk, aku tidak enak badan itu sebabnya aku tidak masak hari ini. Tadi —" Fia, memijat pelipisnya. Pusing yang entah kenapa kembali datang sejak pagi tak kunjung hilang."Alasan aja kamu. Cepat buatkan bubur ayam buat Rara, semua gara-gara kamu jadi kandungan Rara bermasalah. Kalau saja sesuatu terjadi pada mereka berdua sudah ibu habisi kamu. Cepetan! Sebentar lagi menantu kesayanganku akan pulang." Ucap Bu Winda tidak terbantahkan.Dengan langkah berat, Fia kembali ke dapur membuat bubur meski tubuhnya begitu lemah. Semula Faris akan mengantarnya ke dokter. Namum, entah drama apa yang sudah dilakukan oleh madunya sehingga ia terjatuh dan sayangnya di hadapan Fia yang semula ingin menolong kini ia manjadi tersangka."Assalamualaikum, buk. Tolong bantu Rara dulu," Faris meminta Ibunya untuk membantu agar Rara
"Fia!" Mereka yang ada di ruang perawatan terkejut mendengar suara panggilan dan pintu terbuka. Wajahnya Fia semakin pucat, ia memohon pada dokter di sampingnya melalui sorot matanya untuk menolongnya."Fia, kamu kenapa? Apa yang terjadi sampai kamu di rumah sakit?" pernyataan bertubi dari Faris semakin membuat Fia cemas.Fahmi yang menghubungi Faris hanya bisa diam entah apa yang terjadi dalam rumah tangga sahabatnya namun, melihat permintaan Fia membuatnya memahami ada sesuatu yang terjadi."Begini, Bu Fia ini –" dokter itu menoleh ke arah Fia yang memohon padanya."Apa yang terjadi dok?" tanya Faris, begitu mencemaskan keadaan Fia."Begini pak Faris, Bu Fia harus istirahat. Tubuhnya begitu lemah, apakah di rumah Bu Fia mengerjakan semua pekerjaan?" tanya dokter, melihat lemahnya tubuh Fia."I –itu,""Itu maunya menantu saya, dok. Dia itu keras kepala, berapa kali saya larang tapi dasarnya Fia ini dari kampung ya, jadi biasa kerja,""Fia, kamu dengar kan sekarang? Berapa kali ibu
Seperti yang di inginkan oleh Bu Winda, hari ini adalah hari untuk Syukuran atas kehamilan Rara. Sejak subuh tadi Fia tidak hentinya untuk mengerjakan semua pekerjaan yang di limpahkan Ibu mertua padanya. Acara keluarga yang di hadiri reken kerja walau tidak semua, akan tetapi Fia tahu jika mereka adalah teman kerja Faris. "Mas kita selfie dulu ya, ini adalah acara sakral kedua kita. Waktu itu kamu menikahi ku dan sekarang acara syukuran anak kita!" ucap Rara, sengaja dengan suara tinggi dan manja itu yang aku ketemu menarik perhatian dan kecemburuan Fia."Dek, kita foto bareng bertiga ya. Hari ini acara penting kita, kamu tahu sebentar lagi kita akan dipanggil ibu dan ayah," ucap Faris pada Fia."Itu panggilan untukmu dan Rara, mas. Aku akan di panggil ibu oleh anak kandungku sendiri, bukan anak dari wanita yang sudah menghancurkan hidup wanita lain." Sahutnya tanpa menolah pada Faris. Berharap Faris memahami apa yang di katakan olehnya jika dalam rahimnya telah hadir janin yang se
Lelah seharian tanpa istirahat Fia memutuskan untuk tidur lebih cepat. Tidak perduli akan menjadi amukan Ibu mertuanya, semua menu untuk makan malam tersaji di meja makan sehingga Fia memutuskan untuk berdiam diri di kamar.Suara ketukan terdengar rasa lelah yang tak bisa ia tahan membuat Fia enggan bangun, ia tetap berbaring dengan mukena masih menempel di tubuhnya."Fia, kamu sakit? Kenapa kamu tidak turun makan malam?" tanya Faris, pria itu melihat keadaan istri tuanya yang tidak turun sejak sejam lalu usia makan malam. Kedatangan Faris di kamar Fia, bukan lain bukan karena perintah Ibunya untuk memanggil Fia agar membersihkan meja makan yang berantakan."Aku tindak apa-apa, mas," sahut Fia lirih, perutnya terasa kram sehingga berapa kali Fia meringis kesakitan."Fia apa yang kamu rasakan?" cemas Faris melihat wajah Fia semakin pucat. Matanya terpejam kuat."Fia bangun ada apa, ini Fia? Apa yang kamu rasakan Fia, Fia!!""Faris lama banget sih, cuma manggil aja pake waktu. Itu kena
Kondisi Fia membaik wajahnya tidak lagi seputih kapas meksi terlihat masih pucat. "Mau pulang sekarang? Atau kamu menunggu suamimu? Sebaiknya kamu pulang sama aku. Faris pergi sama istri mudanya." Ucap Erik."Aku akan naik taksi, terima kasih kak," sahut Fia. "Untuk apa terima kasih, lagi pula kamu yakin akan naik taksi? Lihat mukena yang kamu pakai, apa sopir taksi tidak kaget?" ujarnya membuat Fia melihat dirinya. Benar saja mukena masih menutupi tubuhnya "Ayok," ajak Erik. Sikap Erik yang dingin membuat Fia segan walau Erik adalah sepupu suaminya. Kening Fia menyatu melihat mobil suaminya terparkir di rumah, tanpa sadar bulir bening meluncur begitu saja melihat Faris tengah tertawa dengan madunya tangannya berada di perut Rara."Assalamualaikum,""Wa'alaikumsalam, F–fia, aku bisa –" sahut Faris terbata. Melihat wajah Fia yang sendu terlihat jelas ada jejak air mata di sana."Mbak maafkan aku, seandainya perutku tidak kram mas Faris pasti tidak mengantarku pulang. Tapi tadi aku
Rara tersenyum puas apa yang ia inginkan kini terwujud. Menjadi istri satu-satunya Faris dan menjadikan pria itu ayah untuk anak yang di kandungnya. Mengetahui rahasia besarnya Rara berusaha untuk menyingkirkan Fia dari rumah mertuanya."Aku pernah mengatakan jika Faris sendiri yang akan mengusirmu. Dan lihat aku membuktikannya bukan? Kamu bukan lawangku, Fia!" ucapnya penuh kemenangan."Tidak apa jika suamiku memilihmu dan menjadikan anak itu sebagai anaknya. Satu hal yang tidak kamu dapatkan dari suamiku, yaitu hatinya. Kamu tahu dia begitu mencintai wanita yang tulus terlebih dia mampu menjaga dirinya, hatinya hanya ada Shafia Wening Wajendra. Meski aku pergi itu akan menjadi hari buruk untukmu, ayah kamu sudah tahu hal itu?" ucap Fia penuh penekanan."Mbak maafkan aku. Sejak tadi aku coba untuk memberikan pengertian sama mas Faris, tapi suami kita lebih mengutamakan fakta dari pada ucapan ku," isaknya penuh drama. Rara mengedipkan sebelah matanya kearah Fia dimana suami dan ibu m
"Apa yang sudah kamu lakukan pada anakku huh? Apa begini caramu menghancurkan kami? Sayangnya hal itu tidak berlaku pada kami, aku akan menghancurkan kamu Faris!" geram Erik, sejak meninggalkan rumah untuk menemui Faris yang seenaknya mencuci otak putranya. "Haha! Kau takut? Erik, kamu lupa dia itu anakku, apa pun yang aku lakukan itu semua terserah sama aku, itu hak aku, paham?" Faris merapikan keras kemejanya yang sedikit berantakan karena ulah Erik.Bugh!Bugh!"Kamu pikir aku akan membiarkan semuanya terjadi. Kamu salah besar Faris, aku sendiri yang akan membuatmu menyesal karena sudah menyentuh keluargaku!" tegas Erik.Faris hanya tersenyum, sudut bibirnya terasa asin Erik berhasil melukainya. Melihat tingkah sepupu sekaligus ayah tiri anaknya, sedikit perasaan cemas namun Faris mampu bersikap tenang menghadapi Erik. "Kau takut Erik? Kamu lupa ikatan darah lebih kental dari apa pun dan aku yakin apa yang kamu lakukan ini akan membawa kehancuran hubunganmu dan Fia. Kamu lupa itu
"Jadi itu benar bund?" "Ya sayang, kenapa kamu tanya itu sama bunda? Jagoan bunda memikirkan hal lain?" tanya Fia, lembut."Tidak ada bund!" sahut Al santai.Hari berikutnya sikap Al seperti biasa hanya saja lebih diam, setiap Fia menanyakan selalu di jawab gelengan dan tidak apa-apa. Permintaan tiba tiba Al yang menginginkan sekolah dan permintaan yang sebentarnya membuat Fia curiga. Akan tetapi Fia mengabaikan mengira semua akan baik baik saja."Hari ini kita akan daftar sayang, kamu sudah pilih sekolah mana yang kamu inginkan?" tanya Fia, kali ini mengusap punggung putranya.Pembawaan yang tenang seakan semua berjalan sesuai keinginan, tanpa di ucapkan Fia tahu jika putranya menyembunyikan sesuatu. Akan tetapi Fia tidak tahu apa, ia akan membicarakan kegelisahannya pada yang suami."Kamu tahu apa yang terjadi?" tanya Erik, khawatir dengan perubahan sikap anak sambungnya, sama seperti yang di rasakan Fia.Fia hanya menggeleng, ingin mengatakan jika curiga pada Faris itu tidak mungk
Kebahagiaan yang tidak pernah terpikirkan oleh Erik, jika akan secepat ini membuat istrinya hamil penerus untuknya. Sejak awal Erik tidak peduli dengan anak sebab sebelum menikah dengannya Fia memiliki anak yang sangat ia cintai. Tidak berbeda jauh berbeda dengan Erik, kehamilan ini adalah kehamilan yang kedua untuk Fia sehingga memudahkan wanita cantik berhijab itu menyikapinya dengan santai. Berbeda dengan Erik yang cemas bahkan kini bersikap posesif terhadapnya."Assalamualaikum sayang, kamu di mana?""Waalaikumsalam mas kamu sudah pulang? Aku ada di dapur. Apa yang kamu bawa itu?" Fia berbalik menyambut kedatangan Erik, entah kenapa hari ini Fia merindukan aroma tubuh pria yang begitu mencintainya."Kamu lupa apa yang kamu minta tadi siang? Di mana Al?" Erik mengecup kening Fia sekilas, sebelum berlanjut mengusap perut rata Fia."Aku kira tidak ada mas. Aku lupa Al sedang pergi bersama ayah, sebentar lagi pulang." Fia berulang kali mengendus kemeja yang masih melekat di tubuh Er
Kebahagiaan Fia dan Erik tidak lepas dengan kedua orang tua mereka. Al yang begitu antusias dengan kehamilan ibunya tak jarang mengajak adiknya yang berada dalam perut untuk bermain bersama."Bund, kalau jadi Abang apa perlu jadi berani?" tanya Al polos."Itu tidak perlu sayang, cukup jadi Abang yang baik dan sayang untuk adik. Satu lagi jadi pelindung bukan berarti jadi berani karena keberanian itu juga untuk diri sendiri. Untuk menjaga diri Abang saat berada di luar rumah.""Begitu ya bund?""Iya sayang,""Abang mau adik perempuan bund!" antusias Al."Boleh, berdoa mintalah pada Allah agar Abang punya adik perempuan ya," "Ya bunda!" Demi kehamilannya membuat Fia tak bisa beraktivitas banyak di luar, sehingga semua urusan ia serahkan kembali pada sang ayah. Begitu pula dengan Erik yang melarang aktivitas yang berat pada Fia."Bagaimana hari ini sayang? Apa ada yang kamu inginkan?" Erik duduk membelai kepala yang tertutup kerudung."Aku menginginkan sesuatu, apa kamu akan mengabulka
Erik yang mendapat keluhan dari Fia mengenai kedatangan mantan suaminya, yang tidak lain adalah sepupunya yang datang di saat dirinya pergi ke kantor. Namum hal itu kini bernafas lega karena Faris memutuskan untuk bekerja di luar kota dan meminta waktu untuk bertemu seharian dengan Al. Hal itu tidak menjadi hal yang sulit di kabulkan oleh Fia. "Aku permisi, mulai hari ini aku akan datang di akhir pekan. Dan aku harap waktu sehari itu untukku bersama dengan Al," ujar Faris sebelum meninggalkan rumah Erik."Silahkan aku tidak akan membatasinya, asalkan kamu menepati janji untuk tidak mengusik istriku." Tegas Erik."Tentu, kamu jangan khawatir."Itulah percakapan dua pria dewasa, Erik menatap punggung sepupunya yang semakin jauh. "Aku harap kamu bukanlah ancaman untuk anak dan istriku. Jika hal itu terjadi aku tidak akan memaafkan kamu Faris." Gumam pria tampan itu.Hari hari berlalu begitu tenang, sudah setahun ini Faris datang di akhir pekan walau hanya sekedar menjemput Al untuk bert
Sudah berapa hari Pak Bagas terbaring di rumah sakit, tubuhnya yang semakin melemah membaut Rara dan ibunya semakin khawatir. Meski dokter memintanya terus dirawat, akan tetapi karena keuangan mereka yang kini semakin semrawut sehingga memutuskan untuk membawanya pulang ke rumah, mereka sendiri yang akan merawatnya. "Mah apa selama ini ayah tidak pernah menyimpan kekayaan lain selain perusahaan dan rumah ini?" tanya Rara, menatap ayahnya berada di rumah sakit dan perusahaan yang sudah diambil alih oleh orang tua Fia. Kehidupan mereka semakin sulit. Bukan hanya keuangan bahkan berapa tunggakan hutang semakin menjerat."Kalau ada buat apa mama menyembunyikannya, justru karena tidak ada itu yang membuat mama pusing. Ra, coba tanya suamimu apa suamimu masih punya tabungan? Mama masih ingat sebelum kejadian, ayahmu sudah mentransfer ke rekening suamimu dan juga ke rekening pribadi kamu. Mama rasa uang itu masih aman di dalam rekening kamu dan juga suamimu, setidaknya masih ada," ujar Leni
Kedekatan Faris dan Al semakin intens, baik Fia dan Erik serta kedua orang tua mereka tidak melarang atau pun membatasi Faris bertemu dengan Al. Darah yang mengalir dalam tubuh Al adalah darah dari keluarga Indurasmi suka atau tidak itu tidak mungkin di pungkiri, hal itulah yang memutus hubungan antara anak dan ayah.Kesibukan Fia di kantor tentu menyita banyak waktu sehingga wanita berhijab itu memutuskan untuk menyerahkan semua urusan kantor pada asisten pribadinya. Tentu dengan orang kepercayaan Ayahnya yang sampai saat ini masih bekerja di perusahaan dan memiliki kedudukan yang tinggi.Pagi ini Fia di sibukkan dengan peralatan dapur, menu sarapan yang wajib untuk keluarga kecilnya. Karena Hanendra memutuskan untuk pulang ke rumah pribadinya dan Ibu Belinda yang juga memilih pulang ke kediamannya."Alhamdulillah beres! Mbok tolong siapkan piringnya di sini ya, aku ke kamar dulu pasti dua jagoan aku sudah bangun," ucap Fia, lembut membuat para pekerjaan di rumahnya begitu nyaman dan
Siapapun akan merasa iri melihat kedekatan antara Erik dan Al, siapa sangka mereka hanyalah ayah dan anak tiri. Pemandangan indah di depannya membuat hati seseorang terasa sakit dan cemburu.Lebih dari empat jam di kediaman Fia dan Erik tidak sedikit pun Al bermain dengan Faris. Anak itu begitu dekat dengan Erik, tidak jarang menolak ajakan Faris. Namun Erik yang notabenenya hanyalah ayah sambung sekaligus sepupu Faris menjelaskan pada putranya jika Faris adalah orang terdekat mereka. Sehingga Al bersedia duduk di samping Faris, hanya duduk diam tanpa bermanja-manja padanya seperti yang di lakukannya pada Erik."Anak kecil memang tidak bisa di bohongi, mana yang tulus mana yang bulus." Gumam Fia, entah kenapa hatinya gelisah."Berikan kesempatan pada Faris mengenal anaknya, begitu sebaliknya biarkan Al mengenali ayah kandungannya. Kamu dah Erik sudah sepakat sebelumnya bukan? Lalu untuk apa kamu berubah pikiran?" Pak Hanendra mengusap punggung putrinya."Tapi Yah, aku nggak bisa perca
"Aww, ayah!" Faris mengusap lengannya yang mendapatkan pukulan dari sang Ayah."Rindu terlarang. Buang jauh perasaan itu Faris, kamu yang salah dalam apapun mengenai Fia. Jadi ayah minta untuk tidak lagi mengatakan hal yang tidak pantas." Ucap Jordan tegas.Bagaimana bisa putranya merindukan mantan istrinya. Dulu sering ia nasehati untuk tidak melakukan hal yang merugikan dirinya, nyatanya semua hanya angin lalu. Putranya justru mengikuti kemauan ibunya sehingga rumah tangganya hancur, bukan hanya dengan Fia, tapi juga dengan Rara."Mas kamu ini gimana sih. Orang anak sendiri kok di gituin, biarin aja napa, sapa tau mereka masih ada jodoh, Faris rujuk sama Fia. Kan kamu juga yang bahagia kan mas?" ujar Winda tanpa beban."Kamu ini mikir apa sih! Atau kamu sama anakmu sedang memikirkan cara untuk mendekati Fia, melalui cucuku? Faris buang jauh impian kamu itu, ayah orang pertama yang menentang itu. Kamu lupa Fia menikah dengan siapa? Bagaimana ayahnya, sudahlah Faris dan kamu sudah cu