Seperti yang di inginkan oleh Bu Winda, hari ini adalah hari untuk Syukuran atas kehamilan Rara. Sejak subuh tadi Fia tidak hentinya untuk mengerjakan semua pekerjaan yang di limpahkan Ibu mertua padanya.
Acara keluarga yang di hadiri reken kerja walau tidak semua, akan tetapi Fia tahu jika mereka adalah teman kerja Faris. "Mas kita selfie dulu ya, ini adalah acara sakral kedua kita. Waktu itu kamu menikahi ku dan sekarang acara syukuran anak kita!" ucap Rara, sengaja dengan suara tinggi dan manja itu yang aku ketemu menarik perhatian dan kecemburuan Fia. "Dek, kita foto bareng bertiga ya. Hari ini acara penting kita, kamu tahu sebentar lagi kita akan dipanggil ibu dan ayah," ucap Faris pada Fia. "Itu panggilan untukmu dan Rara, mas. Aku akan di panggil ibu oleh anak kandungku sendiri, bukan anak dari wanita yang sudah menghancurkan hidup wanita lain." Sahutnya tanpa menolah pada Faris. Berharap Faris memahami apa yang di katakan olehnya jika dalam rahimnya telah hadir janin yang sejak lama di inginkan mereka berdua. "Kenapa kamu bicara seperti itu, walau bagaimanapun dia tetap anak kita. Anak yang sejak lama kita inginkan tapi sayangnya kamu mand–" Faris memalingkan wajahnya, ia tidak bermaksud mengatakan hal yang akan membuat istrinya sakit hati. "Kamu tidak jadi meneruskan, mas? Kamu tidak perlu merasa bersalah. Ini sudah menjadi hal yang biasa untukku. Aku sudah khatam." "Sudah mas, kita sudah berniat baik dan adil pada mbak Fia. Kalau tidak di terima itu tidak akan mempengaruhi kebahagiaan kita." Rara menarik pergelangan tangan Faris membawanya menjauh dari Fia. "Aku kecewa sama kamu Fia. Begitu bencinya kamu sama Rara? Apa salahnya kamu menerima Rara, dia saja tidak masalah kalau aku akan mengutamakan kamu sebagai istri pertamaku." Kesal Faris. "Itu bukan urusan aku, mas. Pergilah acara segera di mulai, apa kamu lebih suka aku dalam masalah? Kamu tahu ibu sangat marah sama aku lebih parah lagi ibu akan melakukan itu di depan banyak orang." "Oke. Mas kedepan, aku harap kamu berubah pikiran. Terima mereka demi keluargaku." "Kamu egois mas, kamu hanya mencari alasan hanya untuk membela dirimu." Tamu undangan mulai desas-desus mengenai poligami yang di lakukan oleh Faris. Mereka adalah tetangga sekitar. Sebagian iba dengan kehidupan Fia. Namun, tak jarang mereka mengolok-olok Fia yang bersedia di madu, dan alasan Faris menikah lagi karena Fia mandul. Kebahagiaan terlihat jelas di wajah Faris dan Rara, bahkan Faris tidak hentinya mengusap perut Rara. 'sejauh itu kamu pergi mas, aku tidak mampu untuk menahan mu pergi. Pernikahan ini bukan keterpaksaan tapi keinginan kamu juga,' batin Fia. "Berhenti menangis, pria itu terlalu mahal untuk mendapatkan air matamu, Fia." Ucap seseorang yang mampu menghentikan isak nya. "Ambil, berjanjilah jika kamu tidak akan mengeluarkan air mata lagi untuk pria brengsek itu," pria itu mengulurkan sapu tangan kearahnya. "Terima kasih, kalau begitu aku permisi," Fia berlalu dari hadapan pria itu akan tetapi suara Bu Winda lagi-lagi harus menghentikan langkahnya. "Fia, kamu cek semua hidangan apa semua sudah tersaji dengan benar? Ibu tidak ingin ada kekurangan jadi –" "Tante Winda, apa kabar?" sapa pria itu membuat mata Bu Winda membulat sempurna. "Erik, benarkan kamu sayang? Kenapa kamu datang tanpa kabar sama tante? Ayok, gabung acara sebentar lagi selesai." Sambut Bu Winda, meski terkejut karena Erik tiba-tiba pulang. "Ya, Tan, aku pulang. Ini acara apa Tan? Kenapa di sana ada Faris sama wanita lain?" tanya Erik, basa-basi. Karena sebenernya ia tahu jika Faris menikah dengan Rara sahabat masa kecil Faris. "Baiklah, ayok ikut tante. Kamu harus makan dulu," "Fia siapkan minuman dan makanan untuk Erik. Cepetan!" sentak Bu Winda. "I–iya, Bu," Fia menyiapkan berapa kudapan dan minuman untuk Erik, pria yang tak lain adalah sepupu Faris. "Silahkan," ucap Fia, tanpa menolah kearah Erik. "Terima kasih Fia," sahutnya lembut. Benar yang di katakan oleh Bu Winda acara selesai setelah berapa saat Erik duduk di ruang keluarga. Fia yang terlihat sibuk kesana kemari berulang kali tangannya menyentuh perutnya. Kehamilannya yang sampai saat ini masih ia sembunyikan dari suaminya. Semua tak lepas dari perhatian Erik tangannya terkepal kuat membuat otot di tangannya terlihat menonjol. "Ris, ibu nggak bohong kan? Sekarang kamu percaya kalau Erik pulang? Erik kenalkan dia Rara, istri kedua Faris sekarang dia sedang mengandung anak Faris. Cucu yang sudah lama Tante tunggu-tunggu, ternyata akan terlahir dari wanita berkelas bukankah tuhan itu adil? Tuhan tahu jika keturunan Indurasmi akan lahir dari rahim wanita berkelas!" ucapnya angkuh, membanggakan Rara yang berasal dari keluarga kaya. Tidak seperti Fia ibunya meninggal dan ayahnya pergi entah kemana apakah masih hidup apa sudah meninggal. Faris menatap Erik penuh tanda tanya, hatinya kembali cemas. Kepulangan Erik bertepatan dengan dirinya yang telah menikah lagi. "Hai, Erik, aku istrinya mas Faris. Sekaligus ibu dari anaknya, tapi kenapa kita tidak kenal dulu ya? Bukankah aku teman sejak kecil Faris. Atau kamu yang dulu suka marah sama aku kalau aku ikutin? Ah! Pasti itu kamu. Wah, ternyata kamu jauh berbeda dari dulu ya," ucap Rara, tangannya terulur menjabat tangan Erik. Erik mengabaikan tangan wanita itu ia fokus pada pemandangan di depannya di mana Fia membantu seorang ibu yang datang dengan anak kecil di gendongan nya. "Ayok, duduk. Kenapa kalian berdua saling diam? Ah, ibu tahu kamu kangen dan ingin berbincang berdua kan? Oke, ibu tinggal dulu ya," Bu Winda meninggalkan mereka bertiga. Sunyi tanpa ada yang memulai percakapan tamu undangan berlahan membubarkan diri hanya sisa sampah berserakan Fia dengan cekatan merapikan sisa makanan yang tergeletak di sana. Berapa tetangga membantunya akan tetapi Bu Winda mengusir mereka sehingga mereka hanya bisa memberikan doa dan semangat untuk Fia.Lelah seharian tanpa istirahat Fia memutuskan untuk tidur lebih cepat. Tidak perduli akan menjadi amukan Ibu mertuanya, semua menu untuk makan malam tersaji di meja makan sehingga Fia memutuskan untuk berdiam diri di kamar.Suara ketukan terdengar rasa lelah yang tak bisa ia tahan membuat Fia enggan bangun, ia tetap berbaring dengan mukena masih menempel di tubuhnya."Fia, kamu sakit? Kenapa kamu tidak turun makan malam?" tanya Faris, pria itu melihat keadaan istri tuanya yang tidak turun sejak sejam lalu usia makan malam. Kedatangan Faris di kamar Fia, bukan lain bukan karena perintah Ibunya untuk memanggil Fia agar membersihkan meja makan yang berantakan."Aku tindak apa-apa, mas," sahut Fia lirih, perutnya terasa kram sehingga berapa kali Fia meringis kesakitan."Fia apa yang kamu rasakan?" cemas Faris melihat wajah Fia semakin pucat. Matanya terpejam kuat."Fia bangun ada apa, ini Fia? Apa yang kamu rasakan Fia, Fia!!""Faris lama banget sih, cuma manggil aja pake waktu. Itu kena
Kondisi Fia membaik wajahnya tidak lagi seputih kapas meksi terlihat masih pucat. "Mau pulang sekarang? Atau kamu menunggu suamimu? Sebaiknya kamu pulang sama aku. Faris pergi sama istri mudanya." Ucap Erik."Aku akan naik taksi, terima kasih kak," sahut Fia. "Untuk apa terima kasih, lagi pula kamu yakin akan naik taksi? Lihat mukena yang kamu pakai, apa sopir taksi tidak kaget?" ujarnya membuat Fia melihat dirinya. Benar saja mukena masih menutupi tubuhnya "Ayok," ajak Erik. Sikap Erik yang dingin membuat Fia segan walau Erik adalah sepupu suaminya. Kening Fia menyatu melihat mobil suaminya terparkir di rumah, tanpa sadar bulir bening meluncur begitu saja melihat Faris tengah tertawa dengan madunya tangannya berada di perut Rara."Assalamualaikum,""Wa'alaikumsalam, F–fia, aku bisa –" sahut Faris terbata. Melihat wajah Fia yang sendu terlihat jelas ada jejak air mata di sana."Mbak maafkan aku, seandainya perutku tidak kram mas Faris pasti tidak mengantarku pulang. Tapi tadi aku
Rara tersenyum puas apa yang ia inginkan kini terwujud. Menjadi istri satu-satunya Faris dan menjadikan pria itu ayah untuk anak yang di kandungnya. Mengetahui rahasia besarnya Rara berusaha untuk menyingkirkan Fia dari rumah mertuanya."Aku pernah mengatakan jika Faris sendiri yang akan mengusirmu. Dan lihat aku membuktikannya bukan? Kamu bukan lawangku, Fia!" ucapnya penuh kemenangan."Tidak apa jika suamiku memilihmu dan menjadikan anak itu sebagai anaknya. Satu hal yang tidak kamu dapatkan dari suamiku, yaitu hatinya. Kamu tahu dia begitu mencintai wanita yang tulus terlebih dia mampu menjaga dirinya, hatinya hanya ada Shafia Wening Wajendra. Meski aku pergi itu akan menjadi hari buruk untukmu, ayah kamu sudah tahu hal itu?" ucap Fia penuh penekanan."Mbak maafkan aku. Sejak tadi aku coba untuk memberikan pengertian sama mas Faris, tapi suami kita lebih mengutamakan fakta dari pada ucapan ku," isaknya penuh drama. Rara mengedipkan sebelah matanya kearah Fia dimana suami dan ibu m
Poppy mencebik tujuannya datang ke rumah orang tuanya untuk bersenang-senang bukan terlibat dalam masalah yang mengharuskan dirinya memerankan tokoh yang diinginkan oleh kakak ipar dan Ibunya."Poppy hubungi Erik, suruh dia ke sini." Titah Jordan."Untuk apa? Nggak Sudi aku bertemu pengkhianatan seperti dia lagi ayah!" sentak Faris."Ayah ingin mendengar langsung apa yang terjadi. Jika Erik terbukti ayah sendiri yang akan menghajarnya!" "Kamu ini gimana sih mas. Buat apa kamu tanya, dia pasti mengelak tuduhan kita. Lagi pula kita punya buktinya! Sudah, ibu nggak mau ada pertengkaran lagi di sini dan kamu mas sebaiknya istirahat di kamar! Poppy batalkan hubungi Erik." Sungut Bu Winda."Tidak usah menghubungiku, aku ada di sini. Om, Tante dan kamu Faris. Aku tidak butuh untuk membela atau di bela. Satu yang perlu aku katakan, Fia adalah wanita yang baik, dia menjaga bukan hanya pandangannya tapi juga harga dirinya. Kalian tentu tahu apa yang terjadi di dalam rumah ini sebagai seorang
"Alhamdulillah sampai juga,"gumam Fia, melihat rumah sederhana yang ia titipkan pada tetangga terdekat."Assalamualaikum!""Wa'alaikumsalam, kamu siapa?""Aku? Aku Shafia. Dan ibu ini siapa? Kenapa ada di rumah nenek saya?" tanya Fia."Nenek, kamu? Ini rumah saya, kamu jangan ngaku-ngaku. Pasti kamu mau maling di rumahku, iya?!" ucap wanita paruh baya itu."Astaghfirullahaladzim buk, saya cuma tanya karena rumah ini milik nenek saya. Bahkan saya bawa suratnya," ujar Fia, meluruskan masalah yang terjadi."Mana buktinya? Awas aja kalau kamu bohong!!" "Siapa buk? Kenapa ribut malam-malam begini. Malu di dengar tetangga," ujar pria yang baru keluar dari rumah itu."Ini loh, ada perempuan yang ngaku-ngaku pemilik rumah ini. Dasar wanita kampung!" sengit wanita itu."Tunggu sebentar, nak apa kamu punya buktinya jika rumah ini milik kamu? Maaf kamu tahu kan jaman sekarang itu gimana? Bapak cuma memastikan saja." "Tentu saja pak, buk, maafkan saya jika menganggu ketengan keluarga bapak. Ini
Fia terbangun sebelum subuh. Semalam sulit untuk memejamkan mata, mengingat ujian yang datang silih berganti. Mengetahui fakta yang menyakitkan membuat Fia tersadar begitu mudahnya ia di tipu."Kamu sudah bangun? Duduklah, ada yang ingin ibu katakan sama kamu." Ujar wanita paruh bayu itu yang tak lain adalah Bu Risa. "Ada apa Buk?" tanya Fia, ragu."Begini nak, semalam ibu dan bapak membicarakan kamu. Begini maksud ibu, kamu sekarang sebatang kara gimana kalau kamu tinggal di sini bersama kami. Kebetulan kami hanya berdua, kamu bisa bekerja di toko kami atau berkebun," ucap Bu Risa. "Masya Allah buk, terima kasih atas tawarannya tentu saya tidak bisa menolaknya. Tapi untuk tinggal di sini apa saya tidak terlalu merepotkan ibu dan bapak? Bahkan ibu dan bapak tidak mengenal saya," "Untuk niat baik pada orang, tidak perlu mengenali siapa orang yang akan kita tolong lebih dulu. Justru ibu minta maaf saat kamu datang ibu terlalu jahat sama kamu, makanya apa lagi ibu sudah berburuk sang
Fia memahami dengan cepat, apa yang di ajarkan oleh Andy padanya."Kamu sudah paham mbak Fia?" tanya Andy."Alhamdulillah, sudah pak Andy.""Panggil aja Andy. Usia kita tidak jauh beda kok," ucapnya santai."B– baik, pak, eh, mas Andy," "Kalau kamu sudah bisa, aku tinggal ya. Ingat perbanyak istirahat." Ucap Andy sebelum pergi.Dia hanya mengangguk dan kembali fokus dengan tugasnya. Cukup dua hari ia istirahat sesuai perintah Bu Risa. "Kamu anak baru di sini, ya?" Fia menoleh tersenyum manis pada wanita di depannya."Ya, mbak, kenalkan –" tangan Fia di tepis kasar wanita yang menatapnya tidak suka."Kamu pikir aku selevel sama kamu? Hei, kamu pake ilmu pelet apa? Sampai pak Andy yang judes berubah baik sama kamu. Atau kamu ini simpanan pak Andy, iya? Panggilnya aja beda pake mas tanpa embel-embel pak di depannya. Murahan, cerita lama!!" sengit wanita yang tengah berkacak pinggang."Maaf mbak, pak Andy sendiri yang minta saya untuk tidak memanggilnya Pak tetapi Mas bukan karena kema
"Mas minta duit dong?" Rara menyodorkan tangannya tepat di depan wajah Faris."Duit lagi? Buat apa?" tanya Faris."Buat shoping dong! Masa buat tidur." Ucap Rara, setengah kesal."Ya, aku tahu itu. Tapi kenapa akhir-akhir ini kamu sering pergi apa kamu lupa waktu atau bagaimana? Lihat di luar sudah gelap dan lihat jam sudah menunjukkan jam berapa sekarang? Apa kamu akan tetap pergi sedangkan kamu lagi hamil?" ujar Faris mencoba untuk menahan kepergian Rara. Mengingat sudah malam dan waktunya di rumah, ia lelah bekerja seharian saat dia pulang ingin bermanja dengan istrinya namun sayang istri barunya sulit untuk di cegah jika memiliki keinginan."Aku cuma ingin jalan-jalan kalau kamu tidak mau mengantarku juga tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri ini bukan aku yang mau tapi anak kamu anak yang aku kandung bukankah kamu menginginkan anak ini untuk menjadi penerus keluarga kamu jadi kamu harus menuruti semua kemauanku. Aku berapa kali harus aku jelaskan ini bukan kemauan aku tapi anak k
Fia mengulas senyum, melihat wanita yang bersembunyi di balik pintu ruang rapat. Ya, di sana Rara tengah menguping pembicaraannya di ruang rapat."Apa yang nona lakukan di sini? Bukankah saya meminta anda untuk menunggu di ruang kerja saya?" Rara tersenyum kikuk, bagaiman bisa ia kecolongan sampai Fia keluar dari ruang rapat. "Maaf," lirihnya menyembunyikan kegundahan hatinya.Wajah Fia tetap datar, sesaat memindai penampilan Rara. "Pakai baju yang baik dan benar. Aku tidak suka punya karyawan yang memamerkan pahanya." Ucap Fia tegas, aneh bukan? Dulu penampilan Rara tidak seperti itu tapi kini jauh berubah."Ada masalah dengan baju yang aku pakai? Ini sudah menjadi standar sebagai pekerja kantoran.""Itu berlaku di perusahaan lain. Tapi tidak dengan perusahaan yang aku mimpin. Jika kamu tidak bisa mengikuti peraturan maka silahkan, pintu keluar kamu masih ingat kan?""Ck, ribet amat sih!" Sinis Rara, tentu saja di dengar oleh Fia. Tapi Fia hanya diam, ia tahu apa yang harus di laku
Perusahaan PT Maju Jaya resmi menjadi milik Keluarga Hanendra. Satu minggu setelah kejadian itu, hari ini Pak Hanendra kembali mengadakan rapat dadakan.Kedatangan Pak Hanendra menjadi pusat perhatian karyawan di perusahaan. Tidak jarang terdengar bisik-bisik kedatangannya. Bahkan dari mereka mengetahui kejadian berapa hari yang lalu. "Selamat pagi." "Pagi pak Hanendra,"Petinggi perusahaan dan berapa karyawan, kini sudah datang dan karyawan staf biasa Tutut menghadiri sebagai wakil, agar mengetahui kabar apa yang akan di sampaikan oleh pemimpin baru mereka."Saya rasa tidak perlu lagi menjelaskan, karena kalian pasti sudah tahu. Untuk kedepannya saya minta kerja samanya pada kalian semua, Selain itu, saya minta kalian jujur, jika kalian ingin pergi dari sini. Silahkan, saya tidak akan menahan kalian, karena saya tahu benar bagaimana kalian bekerja di perusahaan ini."Pak Hanendra, memperhatikan para staf perusahaan barunya. Ia tahu benar jika mereka adalah orang-orang kepercayaan B
"Baiklah. Kami tunggu kabar baiknya dari kamu Fia.""Pak langsung ke rumah ayah ya,""Baik buk."Jarak rumah yang tidak terlalu jauh, dan jalanan yang tidak begitu ramai mempercepat Fia sampai di rumah sang ayah."Assalamualaikum, ayah, aku datang!""Waalaikumsalam nak, kamu sendirian? Mana Al, kenapa tidak kamu aja ke sini. Ayah kangen nak," "Al di rumah ayah. Aku cuma mampir ke sini sebelum ke restoran," Hanendra tersenyum simpul, ia tahu kedatangan putrinya karena ada hal yang ingin di sampaikan padanya. "Ada apa nak? Ayah tahu kamu ingin bicara sama ayah,"Fia menghela napasnya sebelum kembali bicara."Ayah, bisakah ayah mempertimbangkan kembali kompensasi itu. Mereka sudah mengakui kesalahan dan meminta maaf padaku" ujar Fia lirih. "Baiklah, anakku. Ayah akan mempertimbangkannya. Tapi mereka harus membuktikan perubahan mereka. Satu lagi nak, ada hal yang tidak bisa ayah katakan padamu sekarang. Jika ayah tetap memperpanjang masalah ini, itu tidak ada hubungannya dengan masalah
Rara dan Bu Leni saling menatap, kemudian berpaling dan pergi dengan marah. Bermaksud untuk meminta bantuan nyatanya gagal. "Sayang sudahlah, jangan pikirkan lagi. Biarkan mereka menerima konsekuensi dari perbuatannya. Kamu sudah benar tidak membantunya," ujar Erik. "Ya mas, tapi apa benar kalau ayah meminta kompensasi segitu besarnya?" Gumam Fia, tidak yakin jika ayahnya melakukan hal itu."Sayang, dengarkan mas. Di dunia bisnis itu banyak kecurangan di dalamnya, terkadang orang yang kita anggap sahabat justru dialah yang menjadi musuh sesungguhnya. Jadi yakinlah jika ayah memiliki alasan untuk itu. Yuk, sekarang kita istirahat atau –" Fia menyembunyikan wajahnya yang merona, karena ulah sang suami."Kenapa wajahmu, merah sayang?""Mas!" seru Fia, memukul lengan suaminya. Kebahagiaan yang kini di rasakan oleh Fia, memiliki suami yang begitu mencintainya. Menjadikan dirinya satu-satunya ratu di rumah mereka, mencintai dan dicintai dua hal yang tentu berbeda. Dulu Fia begitu mencint
Fia bertukar pandangan dengan Erik, pria tampan itu menahan pergelangan tangan Fia agar tidak beranjak dari kursinya. "Biar mas yang keluar. Kamu tetap di sini, kedatangan mereka bukan sekedar silaturahmi," ujar pria itu berdiri."Aku ikut mas! Mereka ingin bertemu denganku," ujar Fia, tanpa tahu siapa yang datang."Baiklah, ayok. Bik Suni tolong jaga Al, bawa ke kamarnya. Suster Ani sebentar lagi datang, nanti akan membantu bibi," "Baik dek, bibi jaga den Al. Kalian hati hati, perasaan bibi tidak enak," ujar bik Suni, yang kini ikut pindah bersama Fia mengingat di rumah lama Erik ia kesepian."Ya bik, sayang ayok!"Erik tidak melepaskan tangan Fia, tak ingin sesuatu terjadi padanya. Suara gedoran pintu memekikkan telinga, terlebih teriakan mereka yang menganggu Erik dan keluarganya."Mas kamu tahu siapa mereka?" tanya Fia, suara dari luar tidak begitu jelas. Mengingat mereka berada di ruang makan."Entahlah dek, pikiran mas mengarah pada mereka,""Siapa?"Erik membuka pintu, di san
Bagas terguncang, memandang dokumen somasi tersebut. Ia merasa terjebak dalam situasi tak terkeluarkan. Nilai yang tertera membuatnya sekan terhimpit batu yang cukup besar sehingga sulit untuk bergerak. "Pak Hanendra, saya... saya tidak tahu apa yang harus saya katakan." "Tidak perlu berbicara banyak. Anda hanya perlu memenuhi permintaan saya. Jika tidak, konsekuensinya akan sangat berat. Putriku adalah segalanya, dan anda tahu benar bagaimana saya sejak dulu." "Apa persahabatan kita, dan kerja sama yang sejak lama ini tidak membuat —" "Satu minggu, waktu lebih dari cukup untuk memberikan waktu itu untukmu. Silahkan pergi dari kantorku." Malam itu, Bagas pulang ke rumah dengan wajah murung. Istrinya, Leni, menyambutnya dengan khawatir. "Apa yang terjadi, mas? Kamu terlihat sangat cemas. Pertemuan itu apa membuatmu," "Hanendra meminta ganti rugi Rp 125 miliar. Jika tidak, ia akan hancurkan perusahaan kita. Bahkan perusahaan itu bisa jatuh di tangannya," Leni tersentak, t
Ketakutan di rasakan oleh Leni dan Bagas, perusahaan yang ia pimpin segera gulung tikar. Hanendra ayah dari Fia akan membalas perbuatan anak dan istrinya. Mereka yang menghina Fia di restoran akan berakibat buruk untuk kelanjutan kerja sama mereka di perusahaan."Ini semua gara-gara kamu dan anakmu itu. Kalau saja kamu dan Rara tidak mengusik Fia masalah ini tidak akan terjadi pada kita!""Tapi ini tidak sepenuhnya salah aku mas. Kamu tahu kan dia itu–""Sudah diam. Pikirkan gimana caranya agar perusahaan kita tetap aman!"Suasana seketika hening mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing. Leni dan Bagas berdiri di depan jendela, menatap ke luar dengan wajah penuh kecemasan. Perusahaan mereka, PT. Maju Jaya, terancam bangkrut.Bagas menarik napas dalam-dalam. "Bagaimana ini bisa terjadi, Leni? Kamu dan anakmu selalu membuat masalah,"Leni menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, mas. Tapi ini semua gara-gara Fia. Ia tidak akan berhenti mengusik anak kita sampai hancur."Bagas tersenyum
Dua wanita itu terkejut mendengar pengakuan pria, yang mereka kenal seorang pengusaha ternama. Bukan hanya pria itu saja tapi juga Erik, meski begitu Bu Leni memiliki sedikit keberanian untuk membalas perkataan Erik. Tapi kali ini Bu Leni di buat diam seribu bahasa."Pu –putri? Jadi dia itu, tidak tidak mungkin ini tidak mungkin kan? Aku pasti sedang bermimpi? Anda berbohong kan? Katakan padaku kalau ini tidak benar?" ucap Bu Leni, berharap apa yang ia dengar semuanya hanya kebohongan. "Sayangnya, semua yang anda dengar itu benar adanya. Bu Belinda kita pergi sekarang, jangan lagi berurusan dengan mereka." Bu Belinda mengangguk, berdua meninggalkan mereka yang terdiam di tempat. Namun baru berapa langkah keluar pak Hanendra berhenti dan berbalik melihat wanita yang ada di depannya."Saya ingatkan lagi, jangan pernah mendekati apa lagi berani menyentuhnya. Shafia adalah putriku, sedikit saja anda mendekatinya maka saya tidak akan segan-segan melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan
Melihat sikap Fia dan ibu mertuanya yang diam membuat Rara kesal. Berbeda dengan dua wanita yang tengah kesal, Fia yang malas berurusan dengan mereka yang sudah menghancurkan rumah tangganya. Meski tidak sepenuhnya salah sebab Ibu mertuanya yang mendesak suaminya untuk menikah lagi."Kau tuli?" Ucap Rara, yang mengalihkan perhatian Fia."Kau bicara denganku?" tanya Fia acuh."Iya lah sama kamu, memangnya ada orang lain di dini hah!" Ujarnya dingin."Oh, aku kira kau sedang berbicara dengan orang lain. Apa kamu tidak capek mengganggu ku?" Kali ini Fia menatap wanita di depannya."Sebelum kamu hancur, aku akan mengganggumu Fia!" "Lakukan kalau kamu bisa, aku tidak peduli. Suatu saat kamu akan memetik hasil dari perbuatanmu. Ayok buk kita pergi, biar nanti ayah sama mas Erik nyusul kita,""Aku belum selesai bicara Fia! Kau harus merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Gara-gara kamu, aku diceraikan oleh suamiku! Kamu seorang pelakor!" Serunya sehingga menarik perhatian pengunjung resto