Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menunggu kepulangan Mas Abi -suamiku- pulang dari kantor. Dia bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan yang cukup ternama, begitulah yang kudengar dari ibu mertuaku.
Aku dan Mas Abi menikah enam bulan lalu. Jadi, bisa dikatakan jika kami masih pengantin baru, ‘kan? Butuh beradaptasi dengan sifatnya yang terlalu dingin itu dan ... masih canggung satu sama lain.Hampir setiap malam suamiku itu pulang larut, hingga waktu nyaris Subuh saat dia sampai rumah. Seperti malam yang telah berlalu, Mas Abi melarangku untuk menunggunya pulang.“Lebih baik kamu tidur saja, tidak usah menungguku pulang,” ujarnya ketus setiap aku membukakan pintu untuknya. “Aku bawa kunci rumah sendiri. Jangan berpikir jika aku akan tidur di teras.”Aku tidak pernah menanggapi perkataannya. Bagiku, itu adalah bentuk kepedulian Mas Abi kepadaku. Perhatian kecil seorang suami kepada istrinya. Setidaknya, pikiran positif itulah yang selalu kutanamkan pada hatiku, agar diriku tidak terlalu kecewa akan sikap tak acuhnya selama ini.Kami memang menikah karena perjodohan. Mama Vani -mertuaku- dan ibuku adalah sahabat dekat. Klise memang, dua orang sahabat karib yang saling mengikat janji untuk menjodohkan putra putrinya agar persahabatan mereka semakin erat. Walaupun ibuku telah lebih dulu meninggalkan dunia ini, tetapi janji itu masih ditepati oleh sahabatnya.Aku sangat mengerti jika cinta di antara kami memang bukan cinta yang tumbuh begitu saja. Aku dan Mas Abi harus sama-sama berjuang untuk menumbuhkan rasa itu di hati masing-masing. Aku sangat percaya bahwa perasaan itu akan hadir seiring waktu bersama yang akan kami lalui, tetapi tampaknya ... bayangan itu hanya sebatas angan belaka. Sebab, selama beberapa bulan ini diriku merasa bahwa hanya aku yang berusaha mendekat, berusaha menumbuhkan rasa cinta itu sedangkan suamiku malah semakin menjauh.Aku mendongak, melihat jam dinding yang telah menunjuk ke angka satu saat mendengar deru mobil yang sangat kuhapal itu berhenti di depan pagar. Tanpa berpikir panjang, aku pun bergegas membuka pintu rumah lalu berlari menuju halaman. Mas Abi telah turun dari mobilnya saat tanganku telah mencapai pintu pagar untuk membukanya. Sejenak, pandangan kami bertemu. Namun, Mas Abi buru-buru mengalihkan tatap lalu berlari masuk ke mobil.Setelah menutup pintu pagar itu, aku pun segera masuk ke rumah. Mas Abi pun tampak melangkah lesu ke dalam rumah. Lelaki itu duduk di ruang tamu dengan penampilan yang telah acak-acakan. Dasinya telah longgar dengan kancing kemeja yang tidak genap, jasnya disampirkan di sandaran sofa.“Capek banget, ya, Mas?” tanyaku hati-hati seraya melepaskan sepatu beserta kaus kakinya dari kaki suamiku. Aku tersenyum tipis saat tidak ada penolakan dari lelaki itu.“Udah makan malam belum? Atau mau mandi dulu? Aku siapkan airnya,” tanyaku lagi. Sama seperti tadi, tidak ada jawaban dari lelaki itu. Mas Abi memejamkan mati dengan posisi kepala mendongak.Aku meletakkan sepatu ke tempatnya lalu membawa tas kerja serta jas Mas Abi ke kamar. Selanjutnya menyiapkan air hangat untuk dia mandi. Setelah itu, barulah kembali ke ruang tamu melihat keadaan suamiku itu. Dia masih dalam posisi tadi, tetapi kemudian tubuhnya bergerak untuk menjawab panggilan telepon di ponselnya.“Hm, sudah. Iya ....”Suara Mas Abi terdengar sangat lembut membuat darahku sampai berdesir mengalir ke seluruh tubuh. Tidak pernah dia berbicara kepadaku dengan nada selembut itu. Tiba-tiba, jantungku berdetak cepat. Seperti ada yang mencubit hatiku.“Iya, jangan khawatir ....”Setelah memasukkan benda pipih itu ke saku celananya, Mas Abi pun beranjak bangun. Namun tiba-tiba, dia mendelik kaget saat tatapan kami bertemu. Walaupun ekspresi terkejutnya itu hanya sebentar, sebab lelaki itu dengan cepat mengubah ekspresinya kembali datar.“Sejak kapan kamu di sini?” tanyanya dingin.“Baru saja,” jawabku singkat. Aku berpura-pura tidak mengetahui ataupun mendengar apa yang baru saja terjadi.Bisa jadi, itu telepon dari temannya, ibunya atau rekan kerjanya, ‘kan?Aku menampilkan senyum sebaik mungkin. Jangan sampai lelaki yang tengah menatapku itu mencurigai diriku menyembunyikan prasangka terhadapnya.“Mas Abi mau mandi? Airnya sudah aku siapkan,” ujarku masih dengan senyuman di bibir.Mas Abi tidak menjawab. Dia berdiri lalu beranjak ke kamar. Sedangkan aku memilih masuk ke kamarku. Saat tanganku sampai di handel pintu, aku berbalik.“Mas, kalau mau makan panggil saja nanti aku siapkan. Aku juga sudah menyiapkan baju gantimu di atas ranjang.” Kemudian aku melangkah masuk tanpa peduli dengan ekspresi yang lelaki itu berikan.Aku duduk di ranjang dengan bersandar di kepala ranjang, menunggu kalau saja Mas Abi akan memanggilku untuk menyiapkan kebutuhannya. Hingga beberapa menit menunggu, tidak ada tanda-tanda jika lelaki itu memanggilku. Aku putuskan untuk berbaring, menarik selimut sampai ke dada lalu memejamkan mata.Belum sampai diriku terlelap, terdengar ketukan di pintu kamarku. Aku segera beranjak, tanpa melihat pun diriku tahu siapa yang ada di luar kamar ini, sebab kami hanya tinggal berdua.“Iya, Mas. Ada yang bisa aku lakukan?” tanyaku saat pintu telah terbuka.Mas Abi sudah tampak segar ketimbang saat pulang kerja tadi. Rambutnya basah dan acak-acakan, tetapi malah semakin menampakkan ketampanannya. Wangi sabun menyeruak menggelitik indera penciumanku, membuat sisi diriku yang lain bangkit. Sisi lain dari seorang istri yang tidak pernah disentuh oleh suaminya.Sejenak, aku memejamkan mata guna menenangkan pikiran yang mulai bermain-main di kepala. Mengusir segala angan yang mulai berani mengusik hati nurani.“Bisa kita bicara sebentar?”Ini pertama kalinya sejak kami hidup bersama. Mas Abi lebih dulu mengajakku berbicara.“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Mas Abi lagi saat beberapa menit lamanya aku tak memberikan reaksi apa-apa.Melihat tatapan tajam Mas Abi sontak menghancurkan keping-keping harapan yang berani muncul di kepala. Berganti dengan bayangan akan sesuatu yang buruk tentang rumah tangga ini.Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan tanpa cinta yang telah berjalan berbulan-bulan tanpa kontak fisik ini. Jangankan untuk melakukan hal lebih, mengulurkan tangan meminta salim saat Mas Abi bekerja pun ditolaknya dengan cara dingin. Aku menghela napas panjang lalu mengikuti langkah lebar Mas Abi yang telah lebih dulu berjalan.“Mas Abi mau makan malam?” tanyaku antusias saat dia telah duduk di kursi meja makan.“Duduklah!” jawabnya memberi perintah.Ragu-ragu aku menggeser kursi lalu duduk di seberang Mas Abi. Lelaki itu menatapku lekat, sampai membuat jantungku berdegup kencang. Aku menunduk guna menyembunyikan wajah yang mulai terasa panas.“Ayumi ....”Aku sontak mendongak. Ini pertama kalinya
Hening.Aku diam menunggu Mas Abi melanjutkan kalimatnya. Namun, sampai beberapa menit kemudian lelaki itu menunduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.“Aku minta maaf, Mas,” ujarku pelan.Mas Abi mendongak. Sejenak, kami hanya bertatapan tanpa ada suara yang terlontar. Hingga akhirnya, aku pun melanjutkan kalimatku. Diriku tak ingin berlama-lama terhanyut dalam suasana tidak mengenakkan ini. Kami bukan lagi suami istri. Benteng yang dia bangun itu benar-benar membentang di hadapan kami sekarang.“Aku minta maaf jika selama menjadi istri Mas Abi aku banyak melakukan kesalahan. Banyak membantah dan tidak menurut. Sekali lagi maafkan aku.”Mas Abi mengelus tengkuknya dengan ekspresi yang tidak terbaca.“Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu, Ayumi. Selama ini mungkin sikapku banyak menyakitimu.” Balasan darinya terdengar menyedihkan.“Tidak masalah, karena apa yang aku lakukan adalah kehendakku sendiri.” Mas Abi membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu saat aku mendorong
Usai berganti pakaian, aku menggeret koper keluar kamar. Tidak lupa mencangklong tas yang berisi ponsel dan perintilan lainnya. Meletakkan kedua benda berhargaku itu di ruang tamu. Aku pun segera menuju dapur, melihat apa saja yang bisa kumasak hari ini. Setidaknya, sebagai makanan terakhir yang bisa kuhidangkan di meja makan.Kurang lebih setengah jam aku menghabiskan waktu untuk memasak sayur beserta lauknya. Nasi telah masuk ke alat penanak nasi, tinggal tunggu matang saja. Setelah menyiapkan hidangan ke meja makan, aku pun segera mengetuk pintu kamar Mas Abi untuk berpamitan. Akhirnya pintu kamar itu terbuka juga setelah mengetuknya sampai beberapa kali. Wajah pucat Mas Abi mengusik ketenangan yang telah kubangun.“Kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu dengan suara serak khas suara bangun tidur. Dia mengacak rambut yang memang terlihat berantakan. Aku yakin, saat kuketuk pintu tadi Mas Abi masih tidur dan terbangun karena gangguanku.“Maaf, Mas, kalau aku menganggu,” ujarku tulus.
“Halo, Ayumi! Kamu ada masalah, ya?”Pertanyaan Mama membuatku tergagap.“Eh, enggak ada, kok, Ma. Enggak ada masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja,” jawabku hati-hati.“Jadi kalian kapan akan menginap di sini? Sudah lama, ‘kan?”“Oh, hm ... nanti aku bilang ke Mas Abi dulu, deh,” balasku gugup.Aku tidak tahu, Mas Abi sudah mengatakan keputusannya semalam atau belum kepada Mama Vani. Namun, mendengar pertanyaan Mama membuatku yakin jika lelaki di hadapanku itu belum mengatakan apa pun kepada Mama.“Si Abi itu, sibuk terus. Kalau enggak dipaksa main ke sini, enggak pernah mau. Kamu harus paksa dia ya, Ayumi,” keluh Mama.“Ba-baik, Ma. Nanti aku paksa Mas Abi agar segera berkunjung ke rumah Mama,” sahutku cepat seraya menunduk.“Baiklah kalau begitu. Mana suami kamu itu?” Aku langsung memberikan ponsel ini kepada Mas Abi. Mendengar kata ‘suami’ keluar dari lisan Mama membuat hatiku kembali berderak patah. Sungguh-sungguh menyedihkan nasibku sekarang. Aku menjadi seorang janda di us
Aku melangkah cepat agar segera menjauh dari tempat ini. Agar suara itu cepat menghilang dari pendengaranku.Suara klakson mengejutkanku. Aku sontak menoleh ke sumber suara. Ada rasa was-was kala membayangkan suara itu berasal dari kendaraan Mas Abi yang mengejarku. Aku bernapas lega sekaligus kecewa saat seseorang duduk di motor itu bukanlah Mas Abi.“Hai, Mbak! Mau ke mana?” Aku mendelik kaget saat melihat siapa yang berada di balik helm itu.“Ethan?”“Ayo aku antar, Mbak!” Ethan tersenyum lebar.“Tidak usah, aku bisa naik angkot di depan sana atau nanti pesan ojek online saja,” tolakku secara halus.“Beneran, nih?” tanyanya jahil dengan kedua alis yang dinaik turunkan.Aku mencibir geram. “Kamu ngapain di sini?” tanyaku dengan mata memicing.“Emang sengaja ... eh, maksudnya tadi pas jalan lewat sini aja,” jawabnya seraya terkekeh. “Ayo naik, Mbak. Sebelum yang itu tuh, yang maksa nganterin Mbak.” Ethan mengedikkan dagu seraya menoleh ke belakang.Aku buru-buru memberikan koperku
Aku tidak ingat bagaimana awal mula bisa kenal dengan Ethan. Saat aku mulai magang di sebuah perusahaan atau entah kapan pastinya. Dulu, ketika aku magang, masih bisa diingat saat bertegur sapa dengan sosok Ethan yang juga tengah magang di sana. Bedanya ketika itu, Ethan mengenakan seragam SMA. Dia tidak banyak bicara dan cenderung pendiam. Namun, saat denganku lelaki itu sering terlihat tersenyum dengan ciri khas lesung pipi di sebelah kirinya. Menampilkan kesan ... manis.Ah ya, aku ingat. Saat SMA, Ethan memiliki tubuh yang sangat kurus. Terlebih, dengan tubuhnya yang tinggi itu. Dia tampak tinggi menjulang dengan bingkai kacamata yang menghiasi wajahnya. Semakin mempertegas penampilan culunnya. Ethan juga sering bercerita jika dirinya kerap menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah, terutama satu kelasnya.Aku ingat saat magang dulu, Ethan juga memiliki panggilan spesial dari rekan karyawan. Mereka memanggil Ethan dengan panggilan si genter berkacamata. Herannya, lelaki itu tamp
"Mbak tinggal di sini aja dulu. Tenang aja, aku kenal sama pemiliknya. Dan dijamin aman." Ethan melepaskan helm lalu menurunkan koperku. Lantas dia pun turun dari motor setelah memastikan aku turun terlebih dahulu.Usai menemui pemilik bangunan itu, kami pun segera memeriksa kondisi kontrakan. Lumayan sebagai tempat tinggal satu orang, ruangan ini lebih dari cukup.Aku memberikan uang guna membayar DP, tetapi ditolak oleh pemilik kontrakan tersebut."Udah dijamin sama Ethan," ujar wanita itu sembari terkekeh pelan. Kemudian dia pun berlalu pergi.Setelah kepergian wanita itu, aku mengajukan protes kepada Ethan yang malah direspons dengan gelak tawa."Kan, sudah kubilang, Mbak. Aku kenal sama pemiliknya. Jangan khawatir. Bulan depan, Mbak bisa mulai membayar uang sewanya." Setelah mengatakan kalimat itu, Ethan menadahkan tangannya ke atas. "Minta HP, Mbak," ujarnya.Oh. Dia minta ponselku sebagai jaminan. "Ini."Setelah mengotak-atik benda pipih milikku, Ethan malah mengembalikannya."
Ada perlu apa lelaki ini?Walaupun malas, nyatanya jemariku tetap menekan tombol hijau di benda keramat itu.“Assa ....”“Mbak, paket datamu habis ya? Aku kirim pesan via WA, kok, centang satu dari tadi?” Belum sempat kutuntaskan kalimat salam, lelaki itu sudah berkata tanpa jeda.Aku mengembuskan napas dalam. Lantas berujar pelan dengan kesabaran yang tidak main-main. “Salamnya dijawab dulu, Than,” tekanku padanya.“Iya, waalakumussalam. Jadi kenapa, Mbak? Kalau habis nanti aku isikan paketnya,” balasnya santai.Dasar bocah. Uang masih minta kepada orang tua saja, sok-sokan mau bayarin paket data segala. Anak-anak zaman sekarang. Apa begini cara mereka menghabiskan uang orang tuanya? Aku berdecak kesal merasa tidak nyaman dengan pemikiran sendiri.“Mbak, halo! Aku masih di sini, lho. Jangan dicuekin, dong!” serunya tak terima karena beberapa menit hanya diam menghabiskan pulsa operatornya.“Elah. Begitu saja sudah menggerutu. Pakai acara mau isiin paket data,” ujarku menggerutu.“Bu-