“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Mas Abi lagi saat beberapa menit lamanya aku tak memberikan reaksi apa-apa.
Melihat tatapan tajam Mas Abi sontak menghancurkan keping-keping harapan yang berani muncul di kepala. Berganti dengan bayangan akan sesuatu yang buruk tentang rumah tangga ini.Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan tanpa cinta yang telah berjalan berbulan-bulan tanpa kontak fisik ini. Jangankan untuk melakukan hal lebih, mengulurkan tangan meminta salim saat Mas Abi bekerja pun ditolaknya dengan cara dingin. Aku menghela napas panjang lalu mengikuti langkah lebar Mas Abi yang telah lebih dulu berjalan.“Mas Abi mau makan malam?” tanyaku antusias saat dia telah duduk di kursi meja makan.“Duduklah!” jawabnya memberi perintah.Ragu-ragu aku menggeser kursi lalu duduk di seberang Mas Abi. Lelaki itu menatapku lekat, sampai membuat jantungku berdegup kencang. Aku menunduk guna menyembunyikan wajah yang mulai terasa panas.“Ayumi ....”Aku sontak mendongak. Ini pertama kalinya Mas Abi memanggilku dengan nada yang sangat lembut. Atau mungkin, ini adalah pertama kalinya dia memanggil namaku. Selama ini, kami berbicara tanpa ada nama yang terucap dari lisan lelaki itu. Maksudku, jika dirinya mengatakan sesuatau tak pernah kudengar dia menyebut namaku. Melainkan langsung ke pokok bahasan saja. Ke inti apa yang ingin dia katakan. Namun sekarang ....“Mama apa kabar, Mas? Kita sudah lama tidak berkunjung,” tanyaku antusias. Mengalihkan gugup yang semakin mendera hati. Aku mencoba mencarikan topik yang dapat mengurai kecanggungan ini.“Ayumi, aku ingin berbicara serius,” ujarnya lagi. Mas Abi masih menatapku lekat.Sepertinya dia sadar aku tengah mengalihkan pembicaraan. “Iya, Mas. Bicaralah,” sahutku lirih.Aku sadar, sekarang ataupun nanti pembicaraan serius ini akan terjadi. Maka, lebih baik aku diam menunggu apa yang ingin lelaki di seberangku itu katakan.Mas Abi berdeham pelan lalu berkata pelan, “Aku merasa jika pernikahan kita ini tidak baik-baik saja.” Kedua tangannya saling bertautan di atas meja. “Kita sama-sama tidak saling mencintai ....”“Kita bisa mencobanya, Mas. Jika kita ingin.” Aku menyela ucapan lelaki itu.Mas Abi menghela napas panjang. Apa pembicaraan ini sangat berat baginya? Seperti yang tengah kurasakan. Atau dia tidak setuju dengan perkataanku barusan?“Jangan kira aku tidak mencobanya, Ayumi. Aku sudah mencobanya.”“Tetapi tetap tidak bisa,” imbuhku.“Ya.”Satu kata yang terlontar dari lisan Mas Abi disertai anggukan itu menyayat hatiku. Sebegitu tak bergunanya diriku memperjuangkan cintanya selama ini. Aku telah mencoba, berulang kali, tetapi gagal karena dia membangun benteng terlalu tinggi.“Lalu?” tanyaku dengan suara bergetar. Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca.Percuma saja. Sekuat tenaga kutahan air mata ini agar tidak tumpah, nyatanya hatiku tak sekuat itu. Aku lupa membangun pertahananku sendiri, sebab selama ini terlalu sibuk membuat lubang benteng Mas Abi agar diriku bisa masuk.“Aku ingin jujur kepadamu.”Aku memalingkan wajah ke samping. Mengusap air mata dengan gerakan cepat.“Sebenarnya, aku telah memiliki kekasih. Dan ... aku telah melakukan kesepakatan kepada mama juga jika ....” Jeda sejenak. Dia menatapku dengan tatapan yang entah.“Jangan khawatir, aku tidak apa-apa,” gumamku lirih.“Jika dalam waktu enam bulan aku tidak bisa mencintaimu. Mama bersedia merestui hubungan kami,” terangnya.Aku tersenyum kecut. Sebegitu hinanya aku di mata lelaki itu, sampai-sampai kesepakatan seperti itu pun aku tidak diberi tahu.“Lakukan apa maumu, Mas,” balasku pelan.“Aku tidak tahu apa makna air matamu itu, Ayumi. Tapi, aku rasa itu karena kamu menangisi nasib pernikahan kita bukan karena ... cinta.”Aku terkekeh pelan mendengar penuturannya. Bisa-bisanya Mas Abi berpikir jika aku menangis karena cinta.“Jangan khawatir, Mas. Aku tidak segampang itu.”Mungkin bagimu aku akan sangat berdosa jika mencintai suamiku sendiri, Mas.“Kalau begitu, apa bisa aku mengambil keputusan sekarang?” tanyanya ragu. Suaranya tidak setegas tadi.“Tentu.” Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan pelan.“Ayumi Defita kamu kutalak.” Suara Mas Abi terdengar tegas dan bergetar secara bersamaan.Jangan tanyakan bagaimana hatiku. Hatiku seakan telah berserakan di lantai ini. Entah bagaimana caraku memungut dan menyatukannya kembali. Kubiarkan air mataku mengalir deras. Setidaknya, hanya itu yang bisa kulakukan sekarang.“Apa dia yang di telepon tadi, Mas?” tanyaku ingin tahu setelah bisa menguasai diri.“Ya?” Manik hitam Mas Abi mendelik kaget.“Wanita itu. Apa yang ada di telepon tadi?” tanyaku lagi.“Ya,” jawabnya singkat.Aku tersenyum tipis lalu berujar pelan, “Pantas. Aku yakin kamu sangat mencintainya. Terlihat jelas dari tutur katamu.”“Ya?” Mas Abi mendelik kaget.Ah, kenapa dari tadi laki-laki itu seakan terkaget-kaget atas apa yang aku ketahui.“Karena selama ini, Mas tidak pernah berbicara dengan suara lembut begitu kepadaku,” terangku jujur.“Aku ....”Hening.Aku diam menunggu Mas Abi melanjutkan kalimatnya. Namun, sampai beberapa menit kemudian lelaki itu menunduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.“Aku minta maaf, Mas,” ujarku pelan.Mas Abi mendongak. Sejenak, kami hanya bertatapan tanpa ada suara yang terlontar. Hingga akhirnya, aku pun melanjutkan kalimatku. Diriku tak ingin berlama-lama terhanyut dalam suasana tidak mengenakkan ini. Kami bukan lagi suami istri. Benteng yang dia bangun itu benar-benar membentang di hadapan kami sekarang.“Aku minta maaf jika selama menjadi istri Mas Abi aku banyak melakukan kesalahan. Banyak membantah dan tidak menurut. Sekali lagi maafkan aku.”Mas Abi mengelus tengkuknya dengan ekspresi yang tidak terbaca.“Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu, Ayumi. Selama ini mungkin sikapku banyak menyakitimu.” Balasan darinya terdengar menyedihkan.“Tidak masalah, karena apa yang aku lakukan adalah kehendakku sendiri.” Mas Abi membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu saat aku mendorong
Usai berganti pakaian, aku menggeret koper keluar kamar. Tidak lupa mencangklong tas yang berisi ponsel dan perintilan lainnya. Meletakkan kedua benda berhargaku itu di ruang tamu. Aku pun segera menuju dapur, melihat apa saja yang bisa kumasak hari ini. Setidaknya, sebagai makanan terakhir yang bisa kuhidangkan di meja makan.Kurang lebih setengah jam aku menghabiskan waktu untuk memasak sayur beserta lauknya. Nasi telah masuk ke alat penanak nasi, tinggal tunggu matang saja. Setelah menyiapkan hidangan ke meja makan, aku pun segera mengetuk pintu kamar Mas Abi untuk berpamitan. Akhirnya pintu kamar itu terbuka juga setelah mengetuknya sampai beberapa kali. Wajah pucat Mas Abi mengusik ketenangan yang telah kubangun.“Kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu dengan suara serak khas suara bangun tidur. Dia mengacak rambut yang memang terlihat berantakan. Aku yakin, saat kuketuk pintu tadi Mas Abi masih tidur dan terbangun karena gangguanku.“Maaf, Mas, kalau aku menganggu,” ujarku tulus.
“Halo, Ayumi! Kamu ada masalah, ya?”Pertanyaan Mama membuatku tergagap.“Eh, enggak ada, kok, Ma. Enggak ada masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja,” jawabku hati-hati.“Jadi kalian kapan akan menginap di sini? Sudah lama, ‘kan?”“Oh, hm ... nanti aku bilang ke Mas Abi dulu, deh,” balasku gugup.Aku tidak tahu, Mas Abi sudah mengatakan keputusannya semalam atau belum kepada Mama Vani. Namun, mendengar pertanyaan Mama membuatku yakin jika lelaki di hadapanku itu belum mengatakan apa pun kepada Mama.“Si Abi itu, sibuk terus. Kalau enggak dipaksa main ke sini, enggak pernah mau. Kamu harus paksa dia ya, Ayumi,” keluh Mama.“Ba-baik, Ma. Nanti aku paksa Mas Abi agar segera berkunjung ke rumah Mama,” sahutku cepat seraya menunduk.“Baiklah kalau begitu. Mana suami kamu itu?” Aku langsung memberikan ponsel ini kepada Mas Abi. Mendengar kata ‘suami’ keluar dari lisan Mama membuat hatiku kembali berderak patah. Sungguh-sungguh menyedihkan nasibku sekarang. Aku menjadi seorang janda di us
Aku melangkah cepat agar segera menjauh dari tempat ini. Agar suara itu cepat menghilang dari pendengaranku.Suara klakson mengejutkanku. Aku sontak menoleh ke sumber suara. Ada rasa was-was kala membayangkan suara itu berasal dari kendaraan Mas Abi yang mengejarku. Aku bernapas lega sekaligus kecewa saat seseorang duduk di motor itu bukanlah Mas Abi.“Hai, Mbak! Mau ke mana?” Aku mendelik kaget saat melihat siapa yang berada di balik helm itu.“Ethan?”“Ayo aku antar, Mbak!” Ethan tersenyum lebar.“Tidak usah, aku bisa naik angkot di depan sana atau nanti pesan ojek online saja,” tolakku secara halus.“Beneran, nih?” tanyanya jahil dengan kedua alis yang dinaik turunkan.Aku mencibir geram. “Kamu ngapain di sini?” tanyaku dengan mata memicing.“Emang sengaja ... eh, maksudnya tadi pas jalan lewat sini aja,” jawabnya seraya terkekeh. “Ayo naik, Mbak. Sebelum yang itu tuh, yang maksa nganterin Mbak.” Ethan mengedikkan dagu seraya menoleh ke belakang.Aku buru-buru memberikan koperku
Aku tidak ingat bagaimana awal mula bisa kenal dengan Ethan. Saat aku mulai magang di sebuah perusahaan atau entah kapan pastinya. Dulu, ketika aku magang, masih bisa diingat saat bertegur sapa dengan sosok Ethan yang juga tengah magang di sana. Bedanya ketika itu, Ethan mengenakan seragam SMA. Dia tidak banyak bicara dan cenderung pendiam. Namun, saat denganku lelaki itu sering terlihat tersenyum dengan ciri khas lesung pipi di sebelah kirinya. Menampilkan kesan ... manis.Ah ya, aku ingat. Saat SMA, Ethan memiliki tubuh yang sangat kurus. Terlebih, dengan tubuhnya yang tinggi itu. Dia tampak tinggi menjulang dengan bingkai kacamata yang menghiasi wajahnya. Semakin mempertegas penampilan culunnya. Ethan juga sering bercerita jika dirinya kerap menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah, terutama satu kelasnya.Aku ingat saat magang dulu, Ethan juga memiliki panggilan spesial dari rekan karyawan. Mereka memanggil Ethan dengan panggilan si genter berkacamata. Herannya, lelaki itu tamp
"Mbak tinggal di sini aja dulu. Tenang aja, aku kenal sama pemiliknya. Dan dijamin aman." Ethan melepaskan helm lalu menurunkan koperku. Lantas dia pun turun dari motor setelah memastikan aku turun terlebih dahulu.Usai menemui pemilik bangunan itu, kami pun segera memeriksa kondisi kontrakan. Lumayan sebagai tempat tinggal satu orang, ruangan ini lebih dari cukup.Aku memberikan uang guna membayar DP, tetapi ditolak oleh pemilik kontrakan tersebut."Udah dijamin sama Ethan," ujar wanita itu sembari terkekeh pelan. Kemudian dia pun berlalu pergi.Setelah kepergian wanita itu, aku mengajukan protes kepada Ethan yang malah direspons dengan gelak tawa."Kan, sudah kubilang, Mbak. Aku kenal sama pemiliknya. Jangan khawatir. Bulan depan, Mbak bisa mulai membayar uang sewanya." Setelah mengatakan kalimat itu, Ethan menadahkan tangannya ke atas. "Minta HP, Mbak," ujarnya.Oh. Dia minta ponselku sebagai jaminan. "Ini."Setelah mengotak-atik benda pipih milikku, Ethan malah mengembalikannya."
Ada perlu apa lelaki ini?Walaupun malas, nyatanya jemariku tetap menekan tombol hijau di benda keramat itu.“Assa ....”“Mbak, paket datamu habis ya? Aku kirim pesan via WA, kok, centang satu dari tadi?” Belum sempat kutuntaskan kalimat salam, lelaki itu sudah berkata tanpa jeda.Aku mengembuskan napas dalam. Lantas berujar pelan dengan kesabaran yang tidak main-main. “Salamnya dijawab dulu, Than,” tekanku padanya.“Iya, waalakumussalam. Jadi kenapa, Mbak? Kalau habis nanti aku isikan paketnya,” balasnya santai.Dasar bocah. Uang masih minta kepada orang tua saja, sok-sokan mau bayarin paket data segala. Anak-anak zaman sekarang. Apa begini cara mereka menghabiskan uang orang tuanya? Aku berdecak kesal merasa tidak nyaman dengan pemikiran sendiri.“Mbak, halo! Aku masih di sini, lho. Jangan dicuekin, dong!” serunya tak terima karena beberapa menit hanya diam menghabiskan pulsa operatornya.“Elah. Begitu saja sudah menggerutu. Pakai acara mau isiin paket data,” ujarku menggerutu.“Bu-
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menunggu kepulangan Mas Abi -suamiku- pulang dari kantor. Dia bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan yang cukup ternama, begitulah yang kudengar dari ibu mertuaku. Aku dan Mas Abi menikah enam bulan lalu. Jadi, bisa dikatakan jika kami masih pengantin baru, ‘kan? Butuh beradaptasi dengan sifatnya yang terlalu dingin itu dan ... masih canggung satu sama lain. Hampir setiap malam suamiku itu pulang larut, hingga waktu nyaris Subuh saat dia sampai rumah. Seperti malam yang telah berlalu, Mas Abi melarangku untuk menunggunya pulang.“Lebih baik kamu tidur saja, tidak usah menungguku pulang,” ujarnya ketus setiap aku membukakan pintu untuknya. “Aku bawa kunci rumah sendiri. Jangan berpikir jika aku akan tidur di teras.”Aku tidak pernah menanggapi perkataannya. Bagiku, itu adalah bentuk kepedulian Mas Abi kepadaku. Perhatian kecil seorang suami kepada istrinya. Setidaknya, pikiran positif itulah yang selalu kutanamkan pada hatiku, agar