Hening.
Aku diam menunggu Mas Abi melanjutkan kalimatnya. Namun, sampai beberapa menit kemudian lelaki itu menunduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.“Aku minta maaf, Mas,” ujarku pelan.Mas Abi mendongak. Sejenak, kami hanya bertatapan tanpa ada suara yang terlontar. Hingga akhirnya, aku pun melanjutkan kalimatku. Diriku tak ingin berlama-lama terhanyut dalam suasana tidak mengenakkan ini. Kami bukan lagi suami istri. Benteng yang dia bangun itu benar-benar membentang di hadapan kami sekarang.“Aku minta maaf jika selama menjadi istri Mas Abi aku banyak melakukan kesalahan. Banyak membantah dan tidak menurut. Sekali lagi maafkan aku.”Mas Abi mengelus tengkuknya dengan ekspresi yang tidak terbaca.“Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu, Ayumi. Selama ini mungkin sikapku banyak menyakitimu.” Balasan darinya terdengar menyedihkan.“Tidak masalah, karena apa yang aku lakukan adalah kehendakku sendiri.” Mas Abi membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu saat aku mendorong kursi ke belakang lalu berdiri. Dia pun merapatkan bibirnya kembali. “Baiklah kalau begitu. Aku menunggu surat perceraiannya agar segera diurus dan segera selesai, Mas,” lanjutku.“Ya?”Ada apa denganmu, Mas? Bukankah ini yang kamu inginkan? Kenapa setelah mengucapkan kata talak, kamu terlihat sering melamun?Aku menghela napas panjang lalu menggeleng pelan. Kemudian aku berkata seraya menampilkan senyum, “Tidak ada. Kalau begitu aku masuk ke kamarku dulu.”Setelah menutup pintu kamar, tangisanku keluar tanpa bisa terbendung lagi. Air mata pun mengalir tak mampu ditahan. Seperti air bah yang mengalir deras karena bendungannya jebol. Kakiku pun seketika melemas. Diriku merosot ke lantai.Aku menutup mulut agar suara tangisku tidak terdengar sampai keluar kamar. Aku tidak ingin lelaki di luar sana mendengar kesedihanku. Satu tanganku yang lain menepuk-nepuk dada yang terasa bagai ditusuk-tusuk jarum.Ya Allah! Rasanya sakit sekali.Enam bulan bersama sebagai pasangan suami istri yang tercatat dalam dua buku nikah. Selama itu pula aku terus berusaha melayani suamiku dengan baik. Menyiapkan keperluannya, menunggu kepulangannya, menghidangkan makanan terlezat yang kubisa. Aku bahkan bersedia kerhenti dari pekerjaanku sesuai yang diperintahkan ibu mertua demi bisa melayani suami dengan maksimal. Mas Abi tahu itu.Akan tetapi, semua yang aku lakukan hanya dilihat dengan mata tertutup. Tidak tampak sama sekali di hadapan lelaki itu.Aku pernah bertanya kepada Mama Vani tentang status Mas Abi sebelum melamarku dulu. Beliau bilang jika anak lelakinya itu tidak memiliki hubungan dengan siapa pun. Namun kenyataannya, ibu dan anak itu sama-sama membodohiku. Mereka melakukan kesepakatan di belakangku. Apakah mereka menganggap pernikahan ini hanya permainan anak-anak saja?“Ibu, maafkan aku,” ujarku getir dalam isakan.Membayangkan wajah ibuku yang terluka melihatku sekarang membuatku semakin sedih. Seperti ada sesuatu yang tercabut dari dalam dadaku.Andai saja bisa, aku ingin Sang Pencipta mencabut hatiku yang telah tertawan oleh mantan suamiku itu.“Maafkan aku yang tidak bisa mempertahankan pernikahan ini, Ibu,” bisikku getir lalu berbaring di lantai. Biarlah, kuharap dinginnya lantai ini mampu membekukan hatiku. Dan saat aku bangun, tak lagi merasakan sakit karena patah oleh cinta yang bertepuk sebelah tangan.Entah berapa lama aku tertidur di lantai. Aku terbangun saat gigil menyerang tubuhku. Rupanya, raga ini belum mampu melawan dinginnya lantai kamarku. Ah, malam ini adalah malam terakhir untukku tidur di sini. Sebuah kamar yang menjadi saksi bisu akan ketegaran hatiku menjalani hari-hari di sini. Di ranjang itu diriku sering menumpahkan tangis akan sikap dingin yang diberikan Mas Abi kepadaku. Namun, hari ini penderitaan itu telah berakhir.Aku bangkit lalu berjalan ke lemari, menurunkan koper dari atasnya lalu membuka lemari untuk mengambil pakaian yang kupunya. Tidak banyak harta benda yang kumiliki, sebab diriku memang tidak sekaya itu untuk membeli apa pun yang diinginkan.Aku sengaja meninggalkan barang pemberian Mas Abi maupun Mama Vani, baik berupa pakaian, sepatu, tas ataupun perhiasan yang pernah mereka berikan kepadaku. Aku ingin pergi tanpa harus ada beban moral yang tertinggal. Tanpa harus ada utang budi yang wajib dibayar. Setidaknya, dengan meninggalkan benda-benda itu mampu melunasi apa yang menjadi utangku selama ini. Ah, satu lagi ... kutinggalkan buku tabungan yang pernah diberikan Mas Abi di malam pertama aku menginjakkan kaki di sini.Dulu, aku sangat bahagia karena diberi nafkah oleh seorang suami. Berpikir jika pernikahan yang dijalani akan sesuai dengan semestinya. Bahagia? Tentu saja. Aku bahkan lancang memikirkan ini itu untuk membelikan suamiku.Uang yang diberikan Mas Abi kugunakan sebaik mungkin untuk keperluan dapur. Sesekali aku membelikan hadiah untuk lelaki itu sebagai rasa syukurku karena telah menjadi istrinya. Ya ... walaupun tidak ada tanggapan yang berarti yang lelaki itu berikan. Dia dingin dan tidak memiliki ekspresi apa pun saat berbicara denganku.Aku baru sadar jika Mas Abi tidak pernah memakai dasi atau pun kemeja yang telah aku belikan untuknya. Saat kusiapkan, dia akan mengganti yang lain. Tanpa alasan dan tanpa sepatah kata pun yang terucap untuk menjelaskannya kepadaku. Rupanya, memang selama ini Mas Abi tidak berniat dengan pernikahan ini. Aku bodoh sekali.Aku menghela napas kasar. Setelah memastikan semua barang yang kupunya telah masuk ke dalam koper, aku pun segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini diriku akan hengkang dari rumah ini.Usai berganti pakaian, aku menggeret koper keluar kamar. Tidak lupa mencangklong tas yang berisi ponsel dan perintilan lainnya. Meletakkan kedua benda berhargaku itu di ruang tamu. Aku pun segera menuju dapur, melihat apa saja yang bisa kumasak hari ini. Setidaknya, sebagai makanan terakhir yang bisa kuhidangkan di meja makan.Kurang lebih setengah jam aku menghabiskan waktu untuk memasak sayur beserta lauknya. Nasi telah masuk ke alat penanak nasi, tinggal tunggu matang saja. Setelah menyiapkan hidangan ke meja makan, aku pun segera mengetuk pintu kamar Mas Abi untuk berpamitan. Akhirnya pintu kamar itu terbuka juga setelah mengetuknya sampai beberapa kali. Wajah pucat Mas Abi mengusik ketenangan yang telah kubangun.“Kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu dengan suara serak khas suara bangun tidur. Dia mengacak rambut yang memang terlihat berantakan. Aku yakin, saat kuketuk pintu tadi Mas Abi masih tidur dan terbangun karena gangguanku.“Maaf, Mas, kalau aku menganggu,” ujarku tulus.
“Halo, Ayumi! Kamu ada masalah, ya?”Pertanyaan Mama membuatku tergagap.“Eh, enggak ada, kok, Ma. Enggak ada masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja,” jawabku hati-hati.“Jadi kalian kapan akan menginap di sini? Sudah lama, ‘kan?”“Oh, hm ... nanti aku bilang ke Mas Abi dulu, deh,” balasku gugup.Aku tidak tahu, Mas Abi sudah mengatakan keputusannya semalam atau belum kepada Mama Vani. Namun, mendengar pertanyaan Mama membuatku yakin jika lelaki di hadapanku itu belum mengatakan apa pun kepada Mama.“Si Abi itu, sibuk terus. Kalau enggak dipaksa main ke sini, enggak pernah mau. Kamu harus paksa dia ya, Ayumi,” keluh Mama.“Ba-baik, Ma. Nanti aku paksa Mas Abi agar segera berkunjung ke rumah Mama,” sahutku cepat seraya menunduk.“Baiklah kalau begitu. Mana suami kamu itu?” Aku langsung memberikan ponsel ini kepada Mas Abi. Mendengar kata ‘suami’ keluar dari lisan Mama membuat hatiku kembali berderak patah. Sungguh-sungguh menyedihkan nasibku sekarang. Aku menjadi seorang janda di us
Aku melangkah cepat agar segera menjauh dari tempat ini. Agar suara itu cepat menghilang dari pendengaranku.Suara klakson mengejutkanku. Aku sontak menoleh ke sumber suara. Ada rasa was-was kala membayangkan suara itu berasal dari kendaraan Mas Abi yang mengejarku. Aku bernapas lega sekaligus kecewa saat seseorang duduk di motor itu bukanlah Mas Abi.“Hai, Mbak! Mau ke mana?” Aku mendelik kaget saat melihat siapa yang berada di balik helm itu.“Ethan?”“Ayo aku antar, Mbak!” Ethan tersenyum lebar.“Tidak usah, aku bisa naik angkot di depan sana atau nanti pesan ojek online saja,” tolakku secara halus.“Beneran, nih?” tanyanya jahil dengan kedua alis yang dinaik turunkan.Aku mencibir geram. “Kamu ngapain di sini?” tanyaku dengan mata memicing.“Emang sengaja ... eh, maksudnya tadi pas jalan lewat sini aja,” jawabnya seraya terkekeh. “Ayo naik, Mbak. Sebelum yang itu tuh, yang maksa nganterin Mbak.” Ethan mengedikkan dagu seraya menoleh ke belakang.Aku buru-buru memberikan koperku
Aku tidak ingat bagaimana awal mula bisa kenal dengan Ethan. Saat aku mulai magang di sebuah perusahaan atau entah kapan pastinya. Dulu, ketika aku magang, masih bisa diingat saat bertegur sapa dengan sosok Ethan yang juga tengah magang di sana. Bedanya ketika itu, Ethan mengenakan seragam SMA. Dia tidak banyak bicara dan cenderung pendiam. Namun, saat denganku lelaki itu sering terlihat tersenyum dengan ciri khas lesung pipi di sebelah kirinya. Menampilkan kesan ... manis.Ah ya, aku ingat. Saat SMA, Ethan memiliki tubuh yang sangat kurus. Terlebih, dengan tubuhnya yang tinggi itu. Dia tampak tinggi menjulang dengan bingkai kacamata yang menghiasi wajahnya. Semakin mempertegas penampilan culunnya. Ethan juga sering bercerita jika dirinya kerap menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah, terutama satu kelasnya.Aku ingat saat magang dulu, Ethan juga memiliki panggilan spesial dari rekan karyawan. Mereka memanggil Ethan dengan panggilan si genter berkacamata. Herannya, lelaki itu tamp
"Mbak tinggal di sini aja dulu. Tenang aja, aku kenal sama pemiliknya. Dan dijamin aman." Ethan melepaskan helm lalu menurunkan koperku. Lantas dia pun turun dari motor setelah memastikan aku turun terlebih dahulu.Usai menemui pemilik bangunan itu, kami pun segera memeriksa kondisi kontrakan. Lumayan sebagai tempat tinggal satu orang, ruangan ini lebih dari cukup.Aku memberikan uang guna membayar DP, tetapi ditolak oleh pemilik kontrakan tersebut."Udah dijamin sama Ethan," ujar wanita itu sembari terkekeh pelan. Kemudian dia pun berlalu pergi.Setelah kepergian wanita itu, aku mengajukan protes kepada Ethan yang malah direspons dengan gelak tawa."Kan, sudah kubilang, Mbak. Aku kenal sama pemiliknya. Jangan khawatir. Bulan depan, Mbak bisa mulai membayar uang sewanya." Setelah mengatakan kalimat itu, Ethan menadahkan tangannya ke atas. "Minta HP, Mbak," ujarnya.Oh. Dia minta ponselku sebagai jaminan. "Ini."Setelah mengotak-atik benda pipih milikku, Ethan malah mengembalikannya."
Ada perlu apa lelaki ini?Walaupun malas, nyatanya jemariku tetap menekan tombol hijau di benda keramat itu.“Assa ....”“Mbak, paket datamu habis ya? Aku kirim pesan via WA, kok, centang satu dari tadi?” Belum sempat kutuntaskan kalimat salam, lelaki itu sudah berkata tanpa jeda.Aku mengembuskan napas dalam. Lantas berujar pelan dengan kesabaran yang tidak main-main. “Salamnya dijawab dulu, Than,” tekanku padanya.“Iya, waalakumussalam. Jadi kenapa, Mbak? Kalau habis nanti aku isikan paketnya,” balasnya santai.Dasar bocah. Uang masih minta kepada orang tua saja, sok-sokan mau bayarin paket data segala. Anak-anak zaman sekarang. Apa begini cara mereka menghabiskan uang orang tuanya? Aku berdecak kesal merasa tidak nyaman dengan pemikiran sendiri.“Mbak, halo! Aku masih di sini, lho. Jangan dicuekin, dong!” serunya tak terima karena beberapa menit hanya diam menghabiskan pulsa operatornya.“Elah. Begitu saja sudah menggerutu. Pakai acara mau isiin paket data,” ujarku menggerutu.“Bu-
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menunggu kepulangan Mas Abi -suamiku- pulang dari kantor. Dia bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan yang cukup ternama, begitulah yang kudengar dari ibu mertuaku. Aku dan Mas Abi menikah enam bulan lalu. Jadi, bisa dikatakan jika kami masih pengantin baru, ‘kan? Butuh beradaptasi dengan sifatnya yang terlalu dingin itu dan ... masih canggung satu sama lain. Hampir setiap malam suamiku itu pulang larut, hingga waktu nyaris Subuh saat dia sampai rumah. Seperti malam yang telah berlalu, Mas Abi melarangku untuk menunggunya pulang.“Lebih baik kamu tidur saja, tidak usah menungguku pulang,” ujarnya ketus setiap aku membukakan pintu untuknya. “Aku bawa kunci rumah sendiri. Jangan berpikir jika aku akan tidur di teras.”Aku tidak pernah menanggapi perkataannya. Bagiku, itu adalah bentuk kepedulian Mas Abi kepadaku. Perhatian kecil seorang suami kepada istrinya. Setidaknya, pikiran positif itulah yang selalu kutanamkan pada hatiku, agar
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Mas Abi lagi saat beberapa menit lamanya aku tak memberikan reaksi apa-apa.Melihat tatapan tajam Mas Abi sontak menghancurkan keping-keping harapan yang berani muncul di kepala. Berganti dengan bayangan akan sesuatu yang buruk tentang rumah tangga ini.Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan tanpa cinta yang telah berjalan berbulan-bulan tanpa kontak fisik ini. Jangankan untuk melakukan hal lebih, mengulurkan tangan meminta salim saat Mas Abi bekerja pun ditolaknya dengan cara dingin. Aku menghela napas panjang lalu mengikuti langkah lebar Mas Abi yang telah lebih dulu berjalan.“Mas Abi mau makan malam?” tanyaku antusias saat dia telah duduk di kursi meja makan.“Duduklah!” jawabnya memberi perintah.Ragu-ragu aku menggeser kursi lalu duduk di seberang Mas Abi. Lelaki itu menatapku lekat, sampai membuat jantungku berdegup kencang. Aku menunduk guna menyembunyikan wajah yang mulai terasa panas.“Ayumi ....”Aku sontak mendongak. Ini pertama kalinya