Share

Bab 3. Rencana

Hening.

Aku diam menunggu Mas Abi melanjutkan kalimatnya. Namun, sampai beberapa menit kemudian lelaki itu menunduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Aku minta maaf, Mas,” ujarku pelan.

Mas Abi mendongak. Sejenak, kami hanya bertatapan tanpa ada suara yang terlontar. Hingga akhirnya, aku pun melanjutkan kalimatku. Diriku tak ingin berlama-lama terhanyut dalam suasana tidak mengenakkan ini. Kami bukan lagi suami istri. Benteng yang dia bangun itu benar-benar membentang di hadapan kami sekarang.

“Aku minta maaf jika selama menjadi istri Mas Abi aku banyak melakukan kesalahan. Banyak membantah dan tidak menurut. Sekali lagi maafkan aku.”

Mas Abi mengelus tengkuknya dengan ekspresi yang tidak terbaca.

“Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu, Ayumi. Selama ini mungkin sikapku banyak menyakitimu.” Balasan darinya terdengar menyedihkan.

“Tidak masalah, karena apa yang aku lakukan adalah kehendakku sendiri.” Mas Abi membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu saat aku mendorong kursi ke belakang lalu berdiri. Dia pun merapatkan bibirnya kembali. “Baiklah kalau begitu. Aku menunggu surat perceraiannya agar segera diurus dan segera selesai, Mas,” lanjutku.

“Ya?”

Ada apa denganmu, Mas? Bukankah ini yang kamu inginkan? Kenapa setelah mengucapkan kata talak, kamu terlihat sering melamun?

Aku menghela napas panjang lalu menggeleng pelan. Kemudian aku berkata seraya menampilkan senyum, “Tidak ada. Kalau begitu aku masuk ke kamarku dulu.”

Setelah menutup pintu kamar, tangisanku keluar tanpa bisa terbendung lagi. Air mata pun mengalir tak mampu ditahan. Seperti air bah yang mengalir deras karena bendungannya jebol. Kakiku pun seketika melemas. Diriku merosot ke lantai.

Aku menutup mulut agar suara tangisku tidak terdengar sampai keluar kamar. Aku tidak ingin lelaki di luar sana mendengar kesedihanku. Satu tanganku yang lain menepuk-nepuk dada yang terasa bagai ditusuk-tusuk jarum.

Ya Allah! Rasanya sakit sekali.

Enam bulan bersama sebagai pasangan suami istri yang tercatat dalam dua buku nikah. Selama itu pula aku terus berusaha melayani suamiku dengan baik. Menyiapkan keperluannya, menunggu kepulangannya, menghidangkan makanan terlezat yang kubisa. Aku bahkan bersedia kerhenti dari pekerjaanku sesuai yang diperintahkan ibu mertua demi bisa melayani suami dengan maksimal. Mas Abi tahu itu.

Akan tetapi, semua yang aku lakukan hanya dilihat dengan mata tertutup. Tidak tampak sama sekali di hadapan lelaki itu.

Aku pernah bertanya kepada Mama Vani tentang status Mas Abi sebelum melamarku dulu. Beliau bilang jika anak lelakinya itu tidak memiliki hubungan dengan siapa pun. Namun kenyataannya, ibu dan anak itu sama-sama membodohiku. Mereka melakukan kesepakatan di belakangku. Apakah mereka menganggap pernikahan ini hanya permainan anak-anak saja?

“Ibu, maafkan aku,” ujarku getir dalam isakan.

Membayangkan wajah ibuku yang terluka melihatku sekarang membuatku semakin sedih. Seperti ada sesuatu yang tercabut dari dalam dadaku.

Andai saja bisa, aku ingin Sang Pencipta mencabut hatiku yang telah tertawan oleh mantan suamiku itu.

“Maafkan aku yang tidak bisa mempertahankan pernikahan ini, Ibu,” bisikku getir lalu berbaring di lantai. Biarlah, kuharap dinginnya lantai ini mampu membekukan hatiku. Dan saat aku bangun, tak lagi merasakan sakit karena patah oleh cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Entah berapa lama aku tertidur di lantai. Aku terbangun saat gigil menyerang tubuhku. Rupanya, raga ini belum mampu melawan dinginnya lantai kamarku. Ah, malam ini adalah malam terakhir untukku tidur di sini. Sebuah kamar yang menjadi saksi bisu akan ketegaran hatiku menjalani hari-hari di sini. Di ranjang itu diriku sering menumpahkan tangis akan sikap dingin yang diberikan Mas Abi kepadaku. Namun, hari ini penderitaan itu telah berakhir.

Aku bangkit lalu berjalan ke lemari, menurunkan koper dari atasnya lalu membuka lemari untuk mengambil pakaian yang kupunya. Tidak banyak harta benda yang kumiliki, sebab diriku memang tidak sekaya itu untuk membeli apa pun yang diinginkan.

Aku sengaja meninggalkan barang pemberian Mas Abi maupun Mama Vani, baik berupa pakaian, sepatu, tas ataupun perhiasan yang pernah mereka berikan kepadaku. Aku ingin pergi tanpa harus ada beban moral yang tertinggal. Tanpa harus ada utang budi yang wajib dibayar. Setidaknya, dengan meninggalkan benda-benda itu mampu melunasi apa yang menjadi utangku selama ini. Ah, satu lagi ... kutinggalkan buku tabungan yang pernah diberikan Mas Abi di malam pertama aku menginjakkan kaki di sini.

Dulu, aku sangat bahagia karena diberi nafkah oleh seorang suami. Berpikir jika pernikahan yang dijalani akan sesuai dengan semestinya. Bahagia? Tentu saja. Aku bahkan lancang memikirkan ini itu untuk membelikan suamiku.

Uang yang diberikan Mas Abi kugunakan sebaik mungkin untuk keperluan dapur. Sesekali aku membelikan hadiah untuk lelaki itu sebagai rasa syukurku karena telah menjadi istrinya. Ya ... walaupun tidak ada tanggapan yang berarti yang lelaki itu berikan. Dia dingin dan tidak memiliki ekspresi apa pun saat berbicara denganku.

Aku baru sadar jika Mas Abi tidak pernah memakai dasi atau pun kemeja yang telah aku belikan untuknya. Saat kusiapkan, dia akan mengganti yang lain. Tanpa alasan dan tanpa sepatah kata pun yang terucap untuk menjelaskannya kepadaku. Rupanya, memang selama ini Mas Abi tidak berniat dengan pernikahan ini. Aku bodoh sekali.

Aku menghela napas kasar. Setelah memastikan semua barang yang kupunya telah masuk ke dalam koper, aku pun segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari ini diriku akan hengkang dari rumah ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status