“Halo, Ayumi! Kamu ada masalah, ya?”
Pertanyaan Mama membuatku tergagap.“Eh, enggak ada, kok, Ma. Enggak ada masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja,” jawabku hati-hati.“Jadi kalian kapan akan menginap di sini? Sudah lama, ‘kan?”“Oh, hm ... nanti aku bilang ke Mas Abi dulu, deh,” balasku gugup.Aku tidak tahu, Mas Abi sudah mengatakan keputusannya semalam atau belum kepada Mama Vani. Namun, mendengar pertanyaan Mama membuatku yakin jika lelaki di hadapanku itu belum mengatakan apa pun kepada Mama.“Si Abi itu, sibuk terus. Kalau enggak dipaksa main ke sini, enggak pernah mau. Kamu harus paksa dia ya, Ayumi,” keluh Mama.“Ba-baik, Ma. Nanti aku paksa Mas Abi agar segera berkunjung ke rumah Mama,” sahutku cepat seraya menunduk.“Baiklah kalau begitu. Mana suami kamu itu?”Aku langsung memberikan ponsel ini kepada Mas Abi. Mendengar kata ‘suami’ keluar dari lisan Mama membuat hatiku kembali berderak patah. Sungguh-sungguh menyedihkan nasibku sekarang. Aku menjadi seorang janda di usia pernikahan yang belum sampai satu tahun. Lebih parahnya lagi, aku belum pernah disentuh oleh suamiku layaknya pasangan suami istri yang sebenarnya.Seharusnya diriku ini lega karena masih perawan, ‘kan? Entahlah. Yang jelas, di sudut hatiku yang lain serasa ada yang meremasnya. Sakit sekali, sebab belum bisa menjadi istri yang sempurna. Padahal usiaku sudah tidak muda lagi. Di umur dua puluh tujuh tahun ini diriku harus merasakan patah hati, bahkan sebelum kuncup cinta itu tumbuh subur.Setelah sambungan terputus dan aku tidak mendengarkan suara Mas Abi yang bercakap-cakap, aku memutuskan berdiri. Segera pergi dari sini tentu akan lebih baik.“Ayumi, kamu mau ke mana?” tanya Mas Abi kaget.“Permisi, Mas. Saya akan segera pergi dari sini,” ujarku seraya menggeret koper keluar rumah.“Tunggu, Ayumi! Biar aku antar.” Mas Abi menahan koperku. Mau tak mau, aku pun menghentikan langkah lalu berbalik menghadapnya.“Maaf, Mas. Urusan kita sudah selesai. Mas Abi juga sudah mengizinkan saya keluar. Tidak ada lagi yang perlu diurus di antara kita selain surat-surat perceraian. Aku juga ingin hidup tenang,” pintaku memohon.“Tapi aku enggak mungkin membiarkan kamu pergi sendirian tidak tentu arah begini, Ayumi,” ucapnya tak mau kalah.“Seharusnya Mas membiarkan aku pergi seperti Mas menalakku semalam. Tidak ada yang perlu dipikirkan. Aku juga sudah tidak ingin berurusan denganmu lagi, Mas,” tegasku.“Tapi, bagaimana aku menjelaskan semua ini ke Mama?” tanyanya sedih.“Jangan jadi pengecut, Mas! Berlakulah layaknya seorang lelaki. Keputusan ini sudah diambil ....”“Bagaimana kalau kita rujuk saja?”Ha? Gila ini orang!“Maaf, aku tidak tertarik. Urusan rujuk dan Mama itu urusanmu.”“Tapi ... aku benar-benar belum siap mengatakannya kepada Mama, Ayumi. Tolonglah!” Mas Abi memohon. “Apalagi setelah Mama menelepon tadi dan meminta kita berkunjung ke rumahnya. Pakai acara menginap lagi.”Aku melongo dibuat lelaki itu. Ini adalah hari bersejerah bagiku, di mana aku bisa mendengar Mas Abi yang mengoceh panjang lebar. Padahal selama kami menikah, dia hanya berbicara seperlunya, sepadat dan sesingkat-singkatnya. Namun, lihatlah sekarang! Seorang Abimanyu bisa berbicara sepanjang itu. Sungguh berita besar.Aku juga baru tahu jika ternyata ... Mas Abi adalah orang yang tidak memiliki perasaan. Bisa-bisanya dia meminta rujuk hanya karena bingung bagaimana menjelaskan kondisi kami kepada orang tuanya. Dasar laki-laki tidak berperasaan.Aku mendecih kesal. “Itu urusanmu. Kita sudah bercerai. Kamu sudah menalakku dan aku tidak mau kembali kepadamu. Permisi.” Aku melangkah cepat keluar dari rumah itu, mengabaikan panggilan lelaki itu di belakangku.Aku pikir, Mas Abi akan membiarkanku pergi dengan tenang. Akan tetapi, penilaianku itu salah besar. Entah apa sebenarnya yang diinginkan mantan suamiku itu?Tepat saat tanganku memegang pintu pagar, bertepatan dengan saat lelaki itu menarik tanganku. Menggenggam erat pergelangan tanganku sampai terasa panas dan pedih secara bersamaan.“Ayumi ....” Napas Mas Abi ngos-ngosan. “Aku tahu aku salah. Tolong maafkan aku. Aku juga ingat jika semalam telah menalakmu. Hanya saja, kenapa rasanya sakit sekali saat melhatmu pergi meninggalkan rumah ini?”Aku mendelik galak seraya menepis tangan Mas Abi dengan kasar.“Tolong, Mas. Jangan memberikan harapan palsu,” tegasku. “Aku juga tidak ingin kembali kepadamu,” lanjutku penuh penakanan di setiap kata yang kuucapkan.Aku membuka pagar dengan gerakan kasar lalu melangkah cepat meninggalkannya. Aku tidak ingin goyah melihat raut penyesalan di wajah Mas Abi. Dia telah membuangku dan aku tidak akan sudi untuk kembali ke sini.Ya Allah! Tolong teguhkan hatiku dengan keputusan ini.“Ayumi, tolong mengerti keadaanku ini.” Rupanya Mas Abi masih tidak ingin menyerah.Aku heran dengan sikapnya. Aku telah terbiasa dengan sikap dingin lelaki itu, tiba-tiba berubah menjadi kekanakan seperti ini sedikit banyak membuatku tak percaya.“Apa, sih, Mas?”Aku kesal karena Mas Abi menarik koperku.“Aku tidak akan membiarkanmu pergi seperti ini,” desisnya dengan wajah memerah.“Mas, sadarlah. Kita bukan siapa-siapa lagi,” tegurku mengingatkan.“Aku tahu dan aku menyesal karena itu. Tidak seharusnya aku mengambil keputusan secepat itu,” gumamnya penuh penyesalan.“Semuanya sudah terjadi, Mas ....”“Tapi kamu peduli sama aku, ‘kan? Selama ini kamu melayani keperluanku dengan baik. Itu berarti kamu mencintaiku, Ayumi.” Dia berkata keras kepala.Aku menggeram kesal melihat tingkahnya pagi ini. Aku sangat menyesal kenapa harus dicerai saat malam Minggu. Kalau saja kejadian semalam bisa diubah menjadi malam Senin atau malam-malam kerja yang lain, pasti pagi ini Mas Abi telah sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak akan merecokiku seperti ini. Dan aku bisa pergi dengan tenang.“Kamu diam berarti iya, ‘kan, Ayumi? Kalau kamu mencintaiku, aku bisa meralat kesepakatanku tentang pernikahan kita,” lanjutnya dengan binar di manik matanya.“Maafkan aku, Mas. Tapi aku sungguh tidak bisa kembali kepadamu,” sahutku tegas. “Selamat tinggal,” lanjutku seraya melangkah pergi.“Ayumi!”“Ayumi!”Aku memejamkan mata, menepis rasa yang memintaku untuk berbalik atau pun menoleh ke belakang. Biarlah, semua menjadi kenangan masa lalu. Menjadi pelajaran berharga dalam hidupku.“Ayumi!”Aku melangkah cepat agar segera menjauh dari tempat ini. Agar suara itu cepat menghilang dari pendengaranku.Suara klakson mengejutkanku. Aku sontak menoleh ke sumber suara. Ada rasa was-was kala membayangkan suara itu berasal dari kendaraan Mas Abi yang mengejarku. Aku bernapas lega sekaligus kecewa saat seseorang duduk di motor itu bukanlah Mas Abi.“Hai, Mbak! Mau ke mana?” Aku mendelik kaget saat melihat siapa yang berada di balik helm itu.“Ethan?”“Ayo aku antar, Mbak!” Ethan tersenyum lebar.“Tidak usah, aku bisa naik angkot di depan sana atau nanti pesan ojek online saja,” tolakku secara halus.“Beneran, nih?” tanyanya jahil dengan kedua alis yang dinaik turunkan.Aku mencibir geram. “Kamu ngapain di sini?” tanyaku dengan mata memicing.“Emang sengaja ... eh, maksudnya tadi pas jalan lewat sini aja,” jawabnya seraya terkekeh. “Ayo naik, Mbak. Sebelum yang itu tuh, yang maksa nganterin Mbak.” Ethan mengedikkan dagu seraya menoleh ke belakang.Aku buru-buru memberikan koperku
Aku tidak ingat bagaimana awal mula bisa kenal dengan Ethan. Saat aku mulai magang di sebuah perusahaan atau entah kapan pastinya. Dulu, ketika aku magang, masih bisa diingat saat bertegur sapa dengan sosok Ethan yang juga tengah magang di sana. Bedanya ketika itu, Ethan mengenakan seragam SMA. Dia tidak banyak bicara dan cenderung pendiam. Namun, saat denganku lelaki itu sering terlihat tersenyum dengan ciri khas lesung pipi di sebelah kirinya. Menampilkan kesan ... manis.Ah ya, aku ingat. Saat SMA, Ethan memiliki tubuh yang sangat kurus. Terlebih, dengan tubuhnya yang tinggi itu. Dia tampak tinggi menjulang dengan bingkai kacamata yang menghiasi wajahnya. Semakin mempertegas penampilan culunnya. Ethan juga sering bercerita jika dirinya kerap menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah, terutama satu kelasnya.Aku ingat saat magang dulu, Ethan juga memiliki panggilan spesial dari rekan karyawan. Mereka memanggil Ethan dengan panggilan si genter berkacamata. Herannya, lelaki itu tamp
"Mbak tinggal di sini aja dulu. Tenang aja, aku kenal sama pemiliknya. Dan dijamin aman." Ethan melepaskan helm lalu menurunkan koperku. Lantas dia pun turun dari motor setelah memastikan aku turun terlebih dahulu.Usai menemui pemilik bangunan itu, kami pun segera memeriksa kondisi kontrakan. Lumayan sebagai tempat tinggal satu orang, ruangan ini lebih dari cukup.Aku memberikan uang guna membayar DP, tetapi ditolak oleh pemilik kontrakan tersebut."Udah dijamin sama Ethan," ujar wanita itu sembari terkekeh pelan. Kemudian dia pun berlalu pergi.Setelah kepergian wanita itu, aku mengajukan protes kepada Ethan yang malah direspons dengan gelak tawa."Kan, sudah kubilang, Mbak. Aku kenal sama pemiliknya. Jangan khawatir. Bulan depan, Mbak bisa mulai membayar uang sewanya." Setelah mengatakan kalimat itu, Ethan menadahkan tangannya ke atas. "Minta HP, Mbak," ujarnya.Oh. Dia minta ponselku sebagai jaminan. "Ini."Setelah mengotak-atik benda pipih milikku, Ethan malah mengembalikannya."
Ada perlu apa lelaki ini?Walaupun malas, nyatanya jemariku tetap menekan tombol hijau di benda keramat itu.“Assa ....”“Mbak, paket datamu habis ya? Aku kirim pesan via WA, kok, centang satu dari tadi?” Belum sempat kutuntaskan kalimat salam, lelaki itu sudah berkata tanpa jeda.Aku mengembuskan napas dalam. Lantas berujar pelan dengan kesabaran yang tidak main-main. “Salamnya dijawab dulu, Than,” tekanku padanya.“Iya, waalakumussalam. Jadi kenapa, Mbak? Kalau habis nanti aku isikan paketnya,” balasnya santai.Dasar bocah. Uang masih minta kepada orang tua saja, sok-sokan mau bayarin paket data segala. Anak-anak zaman sekarang. Apa begini cara mereka menghabiskan uang orang tuanya? Aku berdecak kesal merasa tidak nyaman dengan pemikiran sendiri.“Mbak, halo! Aku masih di sini, lho. Jangan dicuekin, dong!” serunya tak terima karena beberapa menit hanya diam menghabiskan pulsa operatornya.“Elah. Begitu saja sudah menggerutu. Pakai acara mau isiin paket data,” ujarku menggerutu.“Bu-
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menunggu kepulangan Mas Abi -suamiku- pulang dari kantor. Dia bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan yang cukup ternama, begitulah yang kudengar dari ibu mertuaku. Aku dan Mas Abi menikah enam bulan lalu. Jadi, bisa dikatakan jika kami masih pengantin baru, ‘kan? Butuh beradaptasi dengan sifatnya yang terlalu dingin itu dan ... masih canggung satu sama lain. Hampir setiap malam suamiku itu pulang larut, hingga waktu nyaris Subuh saat dia sampai rumah. Seperti malam yang telah berlalu, Mas Abi melarangku untuk menunggunya pulang.“Lebih baik kamu tidur saja, tidak usah menungguku pulang,” ujarnya ketus setiap aku membukakan pintu untuknya. “Aku bawa kunci rumah sendiri. Jangan berpikir jika aku akan tidur di teras.”Aku tidak pernah menanggapi perkataannya. Bagiku, itu adalah bentuk kepedulian Mas Abi kepadaku. Perhatian kecil seorang suami kepada istrinya. Setidaknya, pikiran positif itulah yang selalu kutanamkan pada hatiku, agar
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Mas Abi lagi saat beberapa menit lamanya aku tak memberikan reaksi apa-apa.Melihat tatapan tajam Mas Abi sontak menghancurkan keping-keping harapan yang berani muncul di kepala. Berganti dengan bayangan akan sesuatu yang buruk tentang rumah tangga ini.Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan tanpa cinta yang telah berjalan berbulan-bulan tanpa kontak fisik ini. Jangankan untuk melakukan hal lebih, mengulurkan tangan meminta salim saat Mas Abi bekerja pun ditolaknya dengan cara dingin. Aku menghela napas panjang lalu mengikuti langkah lebar Mas Abi yang telah lebih dulu berjalan.“Mas Abi mau makan malam?” tanyaku antusias saat dia telah duduk di kursi meja makan.“Duduklah!” jawabnya memberi perintah.Ragu-ragu aku menggeser kursi lalu duduk di seberang Mas Abi. Lelaki itu menatapku lekat, sampai membuat jantungku berdegup kencang. Aku menunduk guna menyembunyikan wajah yang mulai terasa panas.“Ayumi ....”Aku sontak mendongak. Ini pertama kalinya
Hening.Aku diam menunggu Mas Abi melanjutkan kalimatnya. Namun, sampai beberapa menit kemudian lelaki itu menunduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.“Aku minta maaf, Mas,” ujarku pelan.Mas Abi mendongak. Sejenak, kami hanya bertatapan tanpa ada suara yang terlontar. Hingga akhirnya, aku pun melanjutkan kalimatku. Diriku tak ingin berlama-lama terhanyut dalam suasana tidak mengenakkan ini. Kami bukan lagi suami istri. Benteng yang dia bangun itu benar-benar membentang di hadapan kami sekarang.“Aku minta maaf jika selama menjadi istri Mas Abi aku banyak melakukan kesalahan. Banyak membantah dan tidak menurut. Sekali lagi maafkan aku.”Mas Abi mengelus tengkuknya dengan ekspresi yang tidak terbaca.“Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu, Ayumi. Selama ini mungkin sikapku banyak menyakitimu.” Balasan darinya terdengar menyedihkan.“Tidak masalah, karena apa yang aku lakukan adalah kehendakku sendiri.” Mas Abi membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu saat aku mendorong
Usai berganti pakaian, aku menggeret koper keluar kamar. Tidak lupa mencangklong tas yang berisi ponsel dan perintilan lainnya. Meletakkan kedua benda berhargaku itu di ruang tamu. Aku pun segera menuju dapur, melihat apa saja yang bisa kumasak hari ini. Setidaknya, sebagai makanan terakhir yang bisa kuhidangkan di meja makan.Kurang lebih setengah jam aku menghabiskan waktu untuk memasak sayur beserta lauknya. Nasi telah masuk ke alat penanak nasi, tinggal tunggu matang saja. Setelah menyiapkan hidangan ke meja makan, aku pun segera mengetuk pintu kamar Mas Abi untuk berpamitan. Akhirnya pintu kamar itu terbuka juga setelah mengetuknya sampai beberapa kali. Wajah pucat Mas Abi mengusik ketenangan yang telah kubangun.“Kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu dengan suara serak khas suara bangun tidur. Dia mengacak rambut yang memang terlihat berantakan. Aku yakin, saat kuketuk pintu tadi Mas Abi masih tidur dan terbangun karena gangguanku.“Maaf, Mas, kalau aku menganggu,” ujarku tulus.