"Mbak tinggal di sini aja dulu. Tenang aja, aku kenal sama pemiliknya. Dan dijamin aman." Ethan melepaskan helm lalu menurunkan koperku. Lantas dia pun turun dari motor setelah memastikan aku turun terlebih dahulu.
Usai menemui pemilik bangunan itu, kami pun segera memeriksa kondisi kontrakan. Lumayan sebagai tempat tinggal satu orang, ruangan ini lebih dari cukup.Aku memberikan uang guna membayar DP, tetapi ditolak oleh pemilik kontrakan tersebut."Udah dijamin sama Ethan," ujar wanita itu sembari terkekeh pelan. Kemudian dia pun berlalu pergi.Setelah kepergian wanita itu, aku mengajukan protes kepada Ethan yang malah direspons dengan gelak tawa."Kan, sudah kubilang, Mbak. Aku kenal sama pemiliknya. Jangan khawatir. Bulan depan, Mbak bisa mulai membayar uang sewanya." Setelah mengatakan kalimat itu, Ethan menadahkan tangannya ke atas. "Minta HP, Mbak," ujarnya.Oh. Dia minta ponselku sebagai jaminan. "Ini."Setelah mengotak-atik benda pipih milikku, Ethan malah mengembalikannya."Lho, bukannya sebagai jaminan?" tanyaku heran."Aku memasukkan nomorku di sana. Kalau ada apa-apa langsung telepon aku ya. Apalagi kalau sampai si mantan itu mengganggumu, Mbak."Tidak berapa lama kemudian, Ethan berpamitan untuk pergi. Kupikir, dia benar-benar pergi. Rupanya, satu jam kemudian sosok tengil itu kembali lagi dengan beberapa bungkus makanan di tangannya."Untuk makan siang sekaligus makan malam, Mbak. Besok pagi aku ke sini lagi untuk antar sarapan. Kalau Mbak mau belanja perlengkapan, besok aja ya. Aku antar." Ethan berbicara sembari meletakkan bungkusan itu di sudut ruangan.Aku hanya melongo dibuatnya. Posisiku sekarang seperti seorang adik yang tengah diurus oleh kakak laki-lakinya. Sangat tidak kelihatan sekali jika usiaku beberapa tahun di atasnya."Aku sekarang percaya kalau kamu memang sudah pantas punya pacar. Bahkan menikah," godaku pada akhirnya."Serius?" tanya Ethan dengan ekspresi kaget yang tak dibuat-buat. Malah semakin menunjukkan kenarsisannya.Sungguh, aku sangat menyesal melontarkan kalimat tersebut."Aku sebenarnya sedang menunggu seseorang, Mbak. Doakan ya," lanjutnya kemudian dengan suara pelan dan tatapan ... serius.Aku mengangguk setuju sembari bergumam, "Amiin."Ethan tersenyum lebar.***Pagi-pagi sekali, aku menuju perusahaan tempatku bekerja dulu. Kalau-kalau, masih ada lowongan atau tempat kosong yang bisa menampungku. Dari lokasi tempat tinggal sekarang, jaraknya lumayan jauh. Harus ditempuh dengan perjalanan lebih dari satu jam.Sesampainya di gedung tinggi itu, aku pun segera menuju area pos satpam. Gerbang masih belum dibuka sepenuhnya. Ya ... karena memang aku datang terlalu pagi. Sengaja datang pagi sekali agar bisa bertemu atasanku kala itu sebelum beliau masuk kantor.“Eh, Mbak Ayumi,” sapa Pak Burhan. Rupanya, beliau masih ramah kepadaku.Aku mengangguk sembari tersenyum tak kalah ramah. Berbasa-basa basi sebentar dan menanyakan keadaan perusahaan itu.“Pak Andi dipecat, Mbak. Korupsi. Tepat dua bulan setelah Mbak Ayumi resign.”Wah, berita yang kudengar ini sangat membuatku syok. Pak Andi adalah atasan yang baik hati serta ramah kepada siapa saja. Dia juga tidak segan-segan mengajak para bawahannya untuk makan-makan usai gajian.Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun segera berpamitan pergi. Tujuanku kini adalah halte. Duduk di sana memikirkan harus melakukan apa setelah ini. Menyebarkan surat lamaran ke beberapa perusahaan yang bisa dilakukan dan entah sampai kapan menunggu panggilan. Aku mengusap wajah kasar. Lebih baik memastikan kabar yang tadi kudengar.Aku menghubungi salah satu teman satu tim saat bekerja dulu. Satu kabar yang semakin membuatku syok adalah seluruh temanku juga ikut dipecat bersama Pk Andi. Bedanya, jika atasan kami dijebloskan ke penjara. Bawahannya tidak karena hanya kena imbas saja.“Lu, sih, beruntung, Ayumi. Udah keluar dari sana baru kejadian itu terkuak. Coba kalau kayak kami, beuh, malunya setengah mati.” Komentar Anya membuatku tak enak hati. Aku hanya menangapinya dengan berdeham pelan. “Perusahaan itu juga sekarang udah ganti kepemimpinan. Hiii, serem, ah. Kata yang masih kerja di sana, pemimpinannya killer banget. Lu mau kerja lagi, ya?” tanyanya kemudian.“Entahlah. Gue juga bingung mau ngapain sekarang. Setelah ce ... rai-“Kedua bibirku langsung terkatup rapat saat sadar telah keceplosan bebricara. Tak seharusnya aku membahas masalah statusku sekarang. Apa lagi, akta cerai kami bahkan belum aku terima.Aku menghela napas dalam saat mengingat jika hubungan pernikahan yang aku jalani sudah benar-benar kandas sekarang. Entah aapa yang sedang dilakukan Mas Abi sekarang. biasanya, pagi-pagi sekali aku telah menyiapkan sarapan dan baju kerja untuknya. Ya, walaupun apa yang sudah aku lakukan tak pernah mendapatkan respons yang positif darinya.Setelah Mas Abi berangkat ke kantor, aku akan menghabiskan hari dengan mengurus rumah. Aku tak ingin saat pulang dari bekerja, Mas Abi melihat rumah yang tak layak dipandang mata.Lagi-lagi. Sesak itu kembali merambat sampai ke ulu hati. Rasanya sangat sakit sekali. Dan ternyata status jandaku sekarang malah terasa semakin menyakitkan.“Apa? Lu cerai?”Aku tersentak kaget. Entah bagaimana caraku menjawab pertanyaan itu. Aku cukup beruntung saat terdengar nada dering di ponselku. Rupanya, Ethan yang tengah menelepon.Ada perlu apa lelaki ini?Walaupun malas, nyatanya jemariku tetap menekan tombol hijau di benda keramat itu.“Assa ....”“Mbak, paket datamu habis ya? Aku kirim pesan via WA, kok, centang satu dari tadi?” Belum sempat kutuntaskan kalimat salam, lelaki itu sudah berkata tanpa jeda.Aku mengembuskan napas dalam. Lantas berujar pelan dengan kesabaran yang tidak main-main. “Salamnya dijawab dulu, Than,” tekanku padanya.“Iya, waalakumussalam. Jadi kenapa, Mbak? Kalau habis nanti aku isikan paketnya,” balasnya santai.Dasar bocah. Uang masih minta kepada orang tua saja, sok-sokan mau bayarin paket data segala. Anak-anak zaman sekarang. Apa begini cara mereka menghabiskan uang orang tuanya? Aku berdecak kesal merasa tidak nyaman dengan pemikiran sendiri.“Mbak, halo! Aku masih di sini, lho. Jangan dicuekin, dong!” serunya tak terima karena beberapa menit hanya diam menghabiskan pulsa operatornya.“Elah. Begitu saja sudah menggerutu. Pakai acara mau isiin paket data,” ujarku menggerutu.“Bu-
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya. Aku menunggu kepulangan Mas Abi -suamiku- pulang dari kantor. Dia bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan yang cukup ternama, begitulah yang kudengar dari ibu mertuaku. Aku dan Mas Abi menikah enam bulan lalu. Jadi, bisa dikatakan jika kami masih pengantin baru, ‘kan? Butuh beradaptasi dengan sifatnya yang terlalu dingin itu dan ... masih canggung satu sama lain. Hampir setiap malam suamiku itu pulang larut, hingga waktu nyaris Subuh saat dia sampai rumah. Seperti malam yang telah berlalu, Mas Abi melarangku untuk menunggunya pulang.“Lebih baik kamu tidur saja, tidak usah menungguku pulang,” ujarnya ketus setiap aku membukakan pintu untuknya. “Aku bawa kunci rumah sendiri. Jangan berpikir jika aku akan tidur di teras.”Aku tidak pernah menanggapi perkataannya. Bagiku, itu adalah bentuk kepedulian Mas Abi kepadaku. Perhatian kecil seorang suami kepada istrinya. Setidaknya, pikiran positif itulah yang selalu kutanamkan pada hatiku, agar
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Mas Abi lagi saat beberapa menit lamanya aku tak memberikan reaksi apa-apa.Melihat tatapan tajam Mas Abi sontak menghancurkan keping-keping harapan yang berani muncul di kepala. Berganti dengan bayangan akan sesuatu yang buruk tentang rumah tangga ini.Apa yang bisa kuharapkan dari pernikahan tanpa cinta yang telah berjalan berbulan-bulan tanpa kontak fisik ini. Jangankan untuk melakukan hal lebih, mengulurkan tangan meminta salim saat Mas Abi bekerja pun ditolaknya dengan cara dingin. Aku menghela napas panjang lalu mengikuti langkah lebar Mas Abi yang telah lebih dulu berjalan.“Mas Abi mau makan malam?” tanyaku antusias saat dia telah duduk di kursi meja makan.“Duduklah!” jawabnya memberi perintah.Ragu-ragu aku menggeser kursi lalu duduk di seberang Mas Abi. Lelaki itu menatapku lekat, sampai membuat jantungku berdegup kencang. Aku menunduk guna menyembunyikan wajah yang mulai terasa panas.“Ayumi ....”Aku sontak mendongak. Ini pertama kalinya
Hening.Aku diam menunggu Mas Abi melanjutkan kalimatnya. Namun, sampai beberapa menit kemudian lelaki itu menunduk dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun.“Aku minta maaf, Mas,” ujarku pelan.Mas Abi mendongak. Sejenak, kami hanya bertatapan tanpa ada suara yang terlontar. Hingga akhirnya, aku pun melanjutkan kalimatku. Diriku tak ingin berlama-lama terhanyut dalam suasana tidak mengenakkan ini. Kami bukan lagi suami istri. Benteng yang dia bangun itu benar-benar membentang di hadapan kami sekarang.“Aku minta maaf jika selama menjadi istri Mas Abi aku banyak melakukan kesalahan. Banyak membantah dan tidak menurut. Sekali lagi maafkan aku.”Mas Abi mengelus tengkuknya dengan ekspresi yang tidak terbaca.“Seharusnya aku yang meminta maaf kepadamu, Ayumi. Selama ini mungkin sikapku banyak menyakitimu.” Balasan darinya terdengar menyedihkan.“Tidak masalah, karena apa yang aku lakukan adalah kehendakku sendiri.” Mas Abi membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu saat aku mendorong
Usai berganti pakaian, aku menggeret koper keluar kamar. Tidak lupa mencangklong tas yang berisi ponsel dan perintilan lainnya. Meletakkan kedua benda berhargaku itu di ruang tamu. Aku pun segera menuju dapur, melihat apa saja yang bisa kumasak hari ini. Setidaknya, sebagai makanan terakhir yang bisa kuhidangkan di meja makan.Kurang lebih setengah jam aku menghabiskan waktu untuk memasak sayur beserta lauknya. Nasi telah masuk ke alat penanak nasi, tinggal tunggu matang saja. Setelah menyiapkan hidangan ke meja makan, aku pun segera mengetuk pintu kamar Mas Abi untuk berpamitan. Akhirnya pintu kamar itu terbuka juga setelah mengetuknya sampai beberapa kali. Wajah pucat Mas Abi mengusik ketenangan yang telah kubangun.“Kamu mau ke mana?” tanya lelaki itu dengan suara serak khas suara bangun tidur. Dia mengacak rambut yang memang terlihat berantakan. Aku yakin, saat kuketuk pintu tadi Mas Abi masih tidur dan terbangun karena gangguanku.“Maaf, Mas, kalau aku menganggu,” ujarku tulus.
“Halo, Ayumi! Kamu ada masalah, ya?”Pertanyaan Mama membuatku tergagap.“Eh, enggak ada, kok, Ma. Enggak ada masalah apa-apa. Semuanya baik-baik saja,” jawabku hati-hati.“Jadi kalian kapan akan menginap di sini? Sudah lama, ‘kan?”“Oh, hm ... nanti aku bilang ke Mas Abi dulu, deh,” balasku gugup.Aku tidak tahu, Mas Abi sudah mengatakan keputusannya semalam atau belum kepada Mama Vani. Namun, mendengar pertanyaan Mama membuatku yakin jika lelaki di hadapanku itu belum mengatakan apa pun kepada Mama.“Si Abi itu, sibuk terus. Kalau enggak dipaksa main ke sini, enggak pernah mau. Kamu harus paksa dia ya, Ayumi,” keluh Mama.“Ba-baik, Ma. Nanti aku paksa Mas Abi agar segera berkunjung ke rumah Mama,” sahutku cepat seraya menunduk.“Baiklah kalau begitu. Mana suami kamu itu?” Aku langsung memberikan ponsel ini kepada Mas Abi. Mendengar kata ‘suami’ keluar dari lisan Mama membuat hatiku kembali berderak patah. Sungguh-sungguh menyedihkan nasibku sekarang. Aku menjadi seorang janda di us
Aku melangkah cepat agar segera menjauh dari tempat ini. Agar suara itu cepat menghilang dari pendengaranku.Suara klakson mengejutkanku. Aku sontak menoleh ke sumber suara. Ada rasa was-was kala membayangkan suara itu berasal dari kendaraan Mas Abi yang mengejarku. Aku bernapas lega sekaligus kecewa saat seseorang duduk di motor itu bukanlah Mas Abi.“Hai, Mbak! Mau ke mana?” Aku mendelik kaget saat melihat siapa yang berada di balik helm itu.“Ethan?”“Ayo aku antar, Mbak!” Ethan tersenyum lebar.“Tidak usah, aku bisa naik angkot di depan sana atau nanti pesan ojek online saja,” tolakku secara halus.“Beneran, nih?” tanyanya jahil dengan kedua alis yang dinaik turunkan.Aku mencibir geram. “Kamu ngapain di sini?” tanyaku dengan mata memicing.“Emang sengaja ... eh, maksudnya tadi pas jalan lewat sini aja,” jawabnya seraya terkekeh. “Ayo naik, Mbak. Sebelum yang itu tuh, yang maksa nganterin Mbak.” Ethan mengedikkan dagu seraya menoleh ke belakang.Aku buru-buru memberikan koperku
Aku tidak ingat bagaimana awal mula bisa kenal dengan Ethan. Saat aku mulai magang di sebuah perusahaan atau entah kapan pastinya. Dulu, ketika aku magang, masih bisa diingat saat bertegur sapa dengan sosok Ethan yang juga tengah magang di sana. Bedanya ketika itu, Ethan mengenakan seragam SMA. Dia tidak banyak bicara dan cenderung pendiam. Namun, saat denganku lelaki itu sering terlihat tersenyum dengan ciri khas lesung pipi di sebelah kirinya. Menampilkan kesan ... manis.Ah ya, aku ingat. Saat SMA, Ethan memiliki tubuh yang sangat kurus. Terlebih, dengan tubuhnya yang tinggi itu. Dia tampak tinggi menjulang dengan bingkai kacamata yang menghiasi wajahnya. Semakin mempertegas penampilan culunnya. Ethan juga sering bercerita jika dirinya kerap menjadi bahan ejekan teman-teman di sekolah, terutama satu kelasnya.Aku ingat saat magang dulu, Ethan juga memiliki panggilan spesial dari rekan karyawan. Mereka memanggil Ethan dengan panggilan si genter berkacamata. Herannya, lelaki itu tamp