“Maaf? Hanya itu? Kau bisa bilang maaf kepada kedua anakku?” tanya Zafran dengan berapi-api. Bahkan karena pengejaran ini terlalu rapi, aku sempat mengira kalau dia betul-betul pergi darimu, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang. Aku sempat mengira dia menikahiku untuk kembali kepada suami lamanya yang telah menjatuhkan talak tiga. Aku dijadikan sebagai muhallil saja. Bahkan ketika dia menyerahkan dirinya padaku, aku sempat mengira kalau dia menunaikan syarat muhallil saja.” (Muhallil = laki-laki yang menikahi perempuan yang telah ditalak tiga dengan tujuan menghalalkan (tahlil) suami pertama untuk menikah kembali dengan perempuan tersebut setelah bercampur, hukumnya haram).
Zafran menundukkan wajahnya. Hatinya berdenyut nyeri saat seminggu kemarin ia tak betul-betul mencari Atira karena prasangkanya sendiri, terlebih saat nomor Atira tak dapat dihubungi, Bayu pun tak pernah muncul lagi. Mengapa ia belum begitu mempercayai istrinya? Ada yang salah dengan dirinya.“Pak“Baik,” jawab Roni yang segera memberi kode kepada anak buahnya agar segera membawa Johan ke mobil, sementara dia berlari mengejar langkah Zafran. “Pak!” panggil Roni sambil terus mengejar langkah Zafran yang panjang. “Hem,” sahut Zafran tanpa menoleh ataupun menghentikan langkahnya. “Pak Syahid minta bertemu!” ucap Roni. “Bilang, saya lagi sibuk!” titah Zafran sambil memasuki mobil yang sudah stand by di depan rumah besar bercat putih. Rumah milik Zafran yang menjadi tempat tinggal sebagian pekerjanya, juga menjadi gudang di bagian belakang. “Katanya ini penting dan tak bisa ditunda,” ucap Roni yang membuat Zafran mendelik tajam ke arahnya. “Tak ada yang lebih penting dari Atira!” tegasnya. “Jalan, Gus!” titah Zafran yang membuat Roni kelabakan. Lelaki itu langsung masuk ke mobil bagian depan dimana mobil itu sudah berjalan. Roni sadar jika bosnya sedang dalam kondisi kesal karena ucapannya barusan, untuk itu dia diam dan mengalah saja. Selama perjalanan, mereka terdiam
“Akhirnya kau datang juga?! Hahahahahaha... “ ucap beberapa orang lelaki sangar yang kini mengitari Zafran. “Shit!” Zafran yang memang sudah berniat segera pergi dari sana, merasa terlambat karena orang-orang yang ia perkirakan telah dipersiapkan untuk menyerangnya, sudah terlanjur berada di sana. Zafran heran mengapa bu Retno tega melakukan hal itu? Dia juga heran karena menurut pak Suwardi, bu Retno ada di rumahnya, sedangkan ia sudah memeriksa bahwa sinyal ponsel bu Retno memang berada di gedung ini. Apakah ponselnya dicuri? Tapi yang tadi menghubunginya benar-benar suara bu Retno karena ia sering menghubunginya. Salahnya, ia percaya saja saat bu Retno mengatakan bahwa anak-anak sedang tidur. Namun pikiran apapun itu, ia tepis karena harus fokus dengan apa yang harus ia lakukan sekarang. “Ciaatttt!” Seorang lelaki berkulit hitam legam maju dan mengayunkan sebuah pisau ke arahnya. Ia adalah lelaki pertama yang maju untuk menghajar Zafran, sedang
“Bos!” teriak Roni saat melihat Zafran tersungkur dengan bersimbah darah. Kedatangan orang dengan bersenjata api tak diketahui sama sekali sehingga mereka tak cukup waspada. Ujung mata Roni menangkap pergerakan orang itu. Dengan secepat kilat, Roni berusaha mencari tempat untuknya berlindung. Dor...“Keluar kau!” titah lelaki tua yang kini masih memegang senjata api. Roni terus bersembunyi di balik tembok lorong. Ia bingung harus bersembunyi dimana lagi jika di sana tak ada barang apapun. Roni terjepit, lorong tempat ia bersembunyi adalah lorong buntu yang di ujungnya hanya ada jendela tanpa kaca. Roni berlari menghampiri jendela dan ia menggelengkan kepalanya. Posisi dirinya cukup tinggi dan tidak memungkinkan untuk loncat ke bawah kecuali ingin celaka. “Keluar kau ba***at!” teriak lelaki tua itu lagi. Roni kembali lagi ke posisi awal. Ia berdiri di balik lorong, tepat awal lorong. Ia yakin bisa melawan lelaki tua itu asal ai tua bangka itu mendekat kepadanya. Roni s
“Awww...!” Roni menjerit kesakitan. Betis kanannya tertembak peluru. Lelaki tua itu kebingungan saat mendengar suara sirine polisi. “Awas kau ba***at! Kau akan membusuk di penjara!” ucap Roni sambil meludahi lelaki yang kini berdiri jauh di hadapannya. Lelaki itu tak menghiraukan Roni. Ia berbalik ke arah Zafran dan mengarahkan lagi senjata kepada Zafran yang kini berada diantara sadar dan tak sadar. Ia masih melenguh merasakan sakit yang sangat di dadanya, berjuang antara hidup dan mati. “Tidak! Jangan!” teriak Roni sambil berdiri dan berlari secepat yang ia bisa, demi menghalangi lelaki tua yang sudah bersiap menembaki Zafran lagi. Ia tak menghiraukan kakinya sendiri yang kesakitan dan berlari dengan tertatih. Ctekkk... Saat lelaki tua itu menarik pelatuk pistol dan mengarahkannya ke dada Zafran, pistol itu hanya berbunyi dan tak mengeluarkan peluru. Lelaki tua itu semakin kalut dan segera melarikan diri. Saking kalutnya, tak sadar ia mele
Selepas kepergian suaminya, bu Haliza segera mengunci pintu kamar dan menghampiri Davin dan Daffa. “Lagi main apa sih? Serius amat?” tanya bu Haliza senatural mungkin. Pasangan suami istri itu memang begitu menyayangi kedua anak Atira itu. Mereka telah menganggap Davin dan Daffa sebagai cucu kandungnya, meskipun pada kenyataannya Davin dan Daffa hanyalah cucu tiri alias cucu sambung bagi mereka. “Oma, lihat deh! Aku menang dari ka Davin,” kekeh bocah berusia lima tahun lebih itu. Ia memang begitu lihai memainkan stik seolah usianya sudah jauh lebih besar dari daripada sebenarnya. “Enak aja. Aku yang menang! Sebentar lagi juga... “ ralat Davin yang memang dirinya tak bisa memungkiri jika Daffa mengalahkannya dalam permainan. “Sudah, sudah! Kalah menang udah biasa, bukan jadi alasan buat berantem!” ucap bu Haliza membuat Davin dan Daffa cengengesan. “Oma Cuma mau nanya, siapa yang mau dibikinin jus kiwi baru, juga emmmmhhhh... “ ucap bu Haliza seola
“Ada apa?” teriak bu Haliza sambil menghampiri pak Rudi. Namun, lelaki itu segera masuk ke kamar mandi. “Astaghfirullah!” ucap bu Haliza saat melihat kondisi mengenaskan dari bu Retno. Bahkan, lantai kamar mandi pun sudah berubah warna menjadi merah. “Masih ada, Bu!” ucap pak Rudi setelah ia memeriksa nafas bu Retno. “Cepat! Bawa ke rumah sakit!” titah bu Haliza dengan panik. Pak Rudi segera mengangkat tubuh tak berdaya bu Retno. Ia pun melewati bu Haliza dengan segera. Bu Retno mengekorinya di belakang tanpa berbicara sepatah katapun. “Bu, sebaiknya ibu di rumah saja sama anak-anak. Masalah bu Retno, biar Bagus yang handle!” ucap pak Rudi setelah meletakkan bu Retno di kursi belakang. “Tapi, Bagus, dia bisa handle?” tanya bu Haliza bingung dengan keputusan apa yang harus ia ambil. Jika saja tidak ada anak-anak, dengan yakin ia akan menemani bu Retno sampai ke rumah sakit. Apalagi, ia butuh wanita paruh baya itu agar tetap hidup. “Bagus, jag
“Davin!” seru bu Haliza panik. Ia tak mengetahui jika Davin memiliki trauma tersendiri saat ia pernah diculik. Ya, Davin pernah diculik tepat di hari yang sama saat Atira ditalak Bayu, juga hari yang sama saat Atira bertemu lagi dengan Zafran. Bu Haliza melonggarkan baju yang dipakai Davin, kemudian ia berusaha memberi Davin minum air putih. Ia cukup takut dan panik karena tidak pernah menghadapi orang tremor, bahkan dia pun tak pernah tahu bagaimana cara mengatasi orang yang mengalami tremor. “Daffa, kakak Davin pernah begini?” tanya bu Haliza sambil menoleh ke arah Daffa. Anak lelaki itu nampak ketakutan dan hanya berdiri mematung di belakang bu Haliza. Tentunya ia merasa sangat bersalah karena telah membangkitkan penyebab tremor Davin. “Sudah! Kamu jangan takut begitu! Oma tidak marah sama kamu, tapi kita harus secepatnya mencari bantuan,” ungkap bu Haliza yang masih tidak mendapatkan respon dari Daffa. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya bu Haliza memutuskan untuk tet
Pak Suwardi masih merasakan jika tangannya bergetar. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada anak semata wayangnya. “Zafi, maafin Papah!” ucapnya lirih sambil berjalan limbung menuju ruang IGD. Sesampainya di depan bilik yang tadi ditempati oleh Zafran, pak Suwardi hanya menemukan petugas kebersihan yang sedang membersihkan brankar tersebut. “Pasiennya mana?” tanyanya panik. Ia teringat dengan tanda tangan yang ia bubuhkan barusan. Apakah Zafran sudah tak terselamatkan Sehingga pihak rumah sakit memintanya menandatangani surat pernyataan untuk tak menuntut apapun terhadap mereka? Pikirannya benar-benar kalut, bahkan ia lupa bahwa istrinya memiliki seperempat saham rumah sakit tersebut. “Dibawa ke ruang operasi, Pak!” jawab lelaki yang bertugas membersihkan brankar dan beberapa bercak darah di sana. “Ah, ya,” jawab pak Suwardi yang langsung tahu kemana kakinya harus melangkah. Sebenarnya ia tahu letak dan posisi ruangan-ruangan penting di sana. Namun saat ia berba
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.