“Jangan manja-manja lu, segala pengen duduk di kursi roda. Ta* aja lu enggak bisa ngurus, mati aja lu!” ucap wanita yang katanya sudah dinikahi oleh Bayu itu kepada bu Asih. Atira menahan bu RT saat ia mau nyelonong masuk dan menggebrak Nita, istri Bayu yang sudah kelewatan kepada bu Asih. Bu RT hendak marah saat ia mendapati tangan Atira menahannya. Tapi, saat ia melihat tangan kanan Atira sedang merekam dengan ponselnya, bu RT pun paham bahwa sekarang bukti rekaman bisa menjadi bukti akurat yang tak terelakkan. Atira bercucuran air mata saat menyaksikan kejadian itu, tapi siapalah dia yang hanya mantan, jika tanpa bukti yang kuat maka ia tidak bisa berbuat apapun. “Hey, nenek tua! Lu harus mati secepatnya. Gue enggak bakalan kasih lu obat, gue mau buang-buangin. Yang penting mas Bayu tahunya kalau lu udah minum obat. Lu juga udah enggak bisa ngomong kan? Enggak bisa ngadu-ngadu hahahahaha. Lagian, kalaupun lu ngadu bisa apa? Mas Bayu itu udah terikat sama gue, dia udah huta
“Pak RT, anda ini pengayom masyarakat, bukannya pembela makhluk asing!” ucap Nita tak terima dengan pembelaan pak RT. “Yang benar saya bela, ditambah yang KTP-nya warga sini adalah... Sukri, coba periksa siapa yang alamat di KTP-nya kampung kita!” titah pak RT kepada Sukri. Terang saja ia membela Atira karena ia lebih percaya dengan cerita dari istrinya tadi, meskipun masih secara garis besar. “Minta maaf dulu, bersimpuh sama Ibu, baru gue lepas.” Suara Atira terdengar mengintimidasi. “Iya, iya, gue minta maaf!” ucap Nita meskipun terdengar terpaksa. Atira melepaskan tangan Nita dan sedikit mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terjerembab tepat di depan kaki bu Asih. “I... a... Huhuhuhuhu!” Bu Asih menolak Atira melakukan hal itu, ia takut jika Atira akan mendapatkan masalah kelak karena hal ini. Tapi, tentu saja tidak ada yang memahami akan permintaan bu Asih. Nita bersimpuh di kaki bu Asih sambil menahan nafasnya. Pasalnya, bu Asih memang bau pesing. Dia pun seolah t
“Oya?” tanya bu RT sambil mengerutkan keningnya. Wanita paruh baya itu masih setia berdiri di belakang mereka. “Iya. Papah senyum-senyum sama mereka.” Daffa berbicara sambil memantulkan mulutnya. “U... a... a.” Seperti biasa, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh bu Asih, tapi ia tak bisa. “Daffa, Nenek mau mandi dulu ya. Kita masuk dulu yuk!” ajak Atira sambil mendorong bu Asih ke dalam rumah bu Retno. *** “Bu Retno!” teriak Atira sambil menahan tangis. Bu Retno yang mendengar teriakan Atira, langsung berlari menghampirinya. Bukan hanya bu Retno, tapi bu RT juga mengekorinya. Tok... tok... tok“Ada apa, Tira?” tanya mereka hampir bersamaan. Atira segera membuka pintu kamar mandi. “Lihatlah ini Bu!” ucap Atira sambil menunjuk punggung bu Asih. Bu Retno segera masuk dan berputar ke belakang bu Asih. “Astagfirullah!” ucap bu Retno sambil membekap mulutnya. Ia tak tega melihat banyaknya warna biru dan ungu di punggung bu Asih. “Apa?” tanya bu RT yang tak bisa m
“Bu, tahu dari mana tentang hal ini?” tanya Atira dengan nada menelisik. Bu Atira segera menuliskan sesuatu lagi di atas kertas. (Nita bicara di depan Ibu. Bayu hanya mendengarkan tanpa membantah. Ibu merasa Bayu seperti mayat hidup) Bu Asih memperlihatkan tulisannya kepada Atira. Wanita berjilbab itu kini membacanya dengan seksama. Tiba-tiba bu Asih menarik kertasnya dan menuliskan sesuatu lagi. (Waktu di rumah sakit, Bayu bermanja dan perhatian banget sama Ibu, bahkan dia nanyain kamu dan anak-anak. Tapi, saat di rumah semuanya berubah total) Atira mengernyitkan keningnya saat membaca hal itu. Apa maksudnya ini?“Apapun yang terjadi, Tira sudah ditalak tiga sama mas Bayu, Bu. Sekarang, kita ke rumah sakit ya! Kita visum! Ibu enggak usah takut Tira celaka, Tira juga mempunyai bukti yang kuat yang enggak bisa Nita sangkal. Tira hari ini, bisa berdiri di atas kaki sendiri, percayalah sama Tira Bu!” ucap Atira sambil memegang tangan bu Asih, ia meminta kekuatan dari bu Asih. Bu As
Sesampainya di rumah sakit, aku membawa ibu ke IGD agar langsung mendapatkan penanganan. Masalah visum dan penyakitnya, aku akan konsultasikan dengan dokter jaga di rumah sakit ini. Rumah sakit milik abdi negara yang kukira memiliki fasilitas mumpuni. “Maaf Bu, anaknya tidak bisa dibawa masuk!” tegur satpam yang kini sedang membantu nakes membuka pintu IGD. “Pak, tapi saya enggak ada saudara yang bisa jagain anak saya!” ucapku memelas. “Maaf Bu, anak kecil rentan terkena penyakit. Kami tak bisa bertanggungjawab. Atau anaknya ditinggal di sini saja, biar saya jaga Bu!” ucap satpam tersebut memberikan solusi. “Maaf Pak, bukannya saya tidak mau menerima niat baik seseorang. Tapi, anak saya yang pertama sedang dirawat di ruang vvip di rumah sakit ini karena kemarin sempat diculik. Jadi, saya masih trauma. Tolong Pak, saya harus mengurus Ibu dan dua anak saya secara bersamaan,” ucap Atira dengan nada memelas. “Suami Ibu?” tanyanya lagi.
Atira yang merasa namanya dipanggil segera menoleh ke arah sumber suara. Ia pun melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini mewarnai hari-harinya. Lebih tepatnya, menarik tangan Atira dari terjerembab dan tenggelam di rawa hitam tak berujung. “Zafran!” panggil Atira sambil mengerutkan keningnya. “Lagi ngapain di IGD?” tanya Atira. Pasalnya ia tahu bahwa pintu IGD dan pintu lobby utama itu Berlawanan arah, bahkan jalan masuknya pun berbeda. “Mari bu Atira, kita masuk ke IGD. Biar pak Zafran yang nemenin, siapa nama kamu?” tanya Fatan sambil mensejajarkan tinggi badannya dengan Daffa. “Daffa!” jawab Daffa dengan membuaungkan dadanya. “Oke anak ganteng, tunggu di sini sama om Zafran yang ganteng ya!” ucap Fatan sambil menunjuk ke arah Zafran yang kini sedang memasang tampang yang dibuat menggemaskan. Daffa melirik Atira seolah meminta persetujuan. Atira menganggukkan kepalanya sebagai tanda jika ia memberikan Daffa izin. “Okeh. Tapi aku mau di
“Kenapa?” tanya Fatan dengan sangat serius. “Ada orang yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, Dok!” jawab Atira balas menatap Fatan. “Menarik. Baik, saya akan bantu sebisa mungkin. Kalau butuh sesuatu, such as lawyer, police atau lain-lain, kamu bisa hubungi saya!” ucap Fatan sambil menyodorkan kartu namanya. “Thanks a lot,” jawab Atira sambil mengambil kartu nama dan menjatuhkannya ke dalam tas. “Saya butuh visum untuk Ibu.” Atira seolah menegaskan jika ia tidak memiliki kepentingan lain selain visum dan pengobatan. “Sama-sama. Sepertinya...” ucap Fatan yang sengaja digantung. “Ya?” tanya Atira sambil memicingkan matanya. “Enggak apa-apa. Mari kita bahas hasil dari tes darah bu Asih tadi,” ucap Fatan sambil mengotak-atik komputer nya. “Bisa lihat di sini, ada peningkatan kecepatan pembekuan darah di sini, gulanya cukup normal dan tidak ada infeksi. Hanya saja, kadar lemak jahat nya tinggi dan tekanan da
“Itu kenapa, Mas?” tanya Atira kepada perawat yang sedang mendorong kursi roda bu Asih. “Belum tahu, Bu. Biasanya karena kecelakaan,” jawab perawat itu sambil tetap mendorong kursi roda. Atira mengekorinya dari belakang. Ujung matanya penasaran apakah itu memang pak Ramli atau bukan. Pasalnya, ia hanya melihat baju korban mirip dengan baju yang dipakai barusan sebelum mereka berpisah. Atira ingat betul baju itu karena ia sempat duduk bertumpu siku di hadapan Daffa yang sedang memegang kaki pak Ramli. Hanya saja, kondisi korban yang berlumuran darah tak sempat ia perhatikan. “Ah, mungkin perasaanku saja,” gumamnya di dalam hati. Mereka pun terus melangkah diantara lorong-lorong rumah sakit, lift dan berbagai hal yang Atira lewati juga saat menemani Davin. “Pasien baru!” ucap perawat yang setia mendorong Bu Asih saat melewati meja suster di lantai rawat inap vvip. “Ah ya, sudah disiapin di kamar paling ujung,” jawab perawat berhijab yang sedang berjibaku dengan obat-obatan di