Atira yang merasa namanya dipanggil segera menoleh ke arah sumber suara. Ia pun melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini mewarnai hari-harinya. Lebih tepatnya, menarik tangan Atira dari terjerembab dan tenggelam di rawa hitam tak berujung.
“Zafran!” panggil Atira sambil mengerutkan keningnya. “Lagi ngapain di IGD?” tanya Atira. Pasalnya ia tahu bahwa pintu IGD dan pintu lobby utama itu Berlawanan arah, bahkan jalan masuknya pun berbeda.“Mari bu Atira, kita masuk ke IGD. Biar pak Zafran yang nemenin, siapa nama kamu?” tanya Fatan sambil mensejajarkan tinggi badannya dengan Daffa.“Daffa!” jawab Daffa dengan membuaungkan dadanya.“Oke anak ganteng, tunggu di sini sama om Zafran yang ganteng ya!” ucap Fatan sambil menunjuk ke arah Zafran yang kini sedang memasang tampang yang dibuat menggemaskan.Daffa melirik Atira seolah meminta persetujuan.Atira menganggukkan kepalanya sebagai tanda jika ia memberikan Daffa izin.“Okeh. Tapi aku mau di“Kenapa?” tanya Fatan dengan sangat serius. “Ada orang yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, Dok!” jawab Atira balas menatap Fatan. “Menarik. Baik, saya akan bantu sebisa mungkin. Kalau butuh sesuatu, such as lawyer, police atau lain-lain, kamu bisa hubungi saya!” ucap Fatan sambil menyodorkan kartu namanya. “Thanks a lot,” jawab Atira sambil mengambil kartu nama dan menjatuhkannya ke dalam tas. “Saya butuh visum untuk Ibu.” Atira seolah menegaskan jika ia tidak memiliki kepentingan lain selain visum dan pengobatan. “Sama-sama. Sepertinya...” ucap Fatan yang sengaja digantung. “Ya?” tanya Atira sambil memicingkan matanya. “Enggak apa-apa. Mari kita bahas hasil dari tes darah bu Asih tadi,” ucap Fatan sambil mengotak-atik komputer nya. “Bisa lihat di sini, ada peningkatan kecepatan pembekuan darah di sini, gulanya cukup normal dan tidak ada infeksi. Hanya saja, kadar lemak jahat nya tinggi dan tekanan da
“Itu kenapa, Mas?” tanya Atira kepada perawat yang sedang mendorong kursi roda bu Asih. “Belum tahu, Bu. Biasanya karena kecelakaan,” jawab perawat itu sambil tetap mendorong kursi roda. Atira mengekorinya dari belakang. Ujung matanya penasaran apakah itu memang pak Ramli atau bukan. Pasalnya, ia hanya melihat baju korban mirip dengan baju yang dipakai barusan sebelum mereka berpisah. Atira ingat betul baju itu karena ia sempat duduk bertumpu siku di hadapan Daffa yang sedang memegang kaki pak Ramli. Hanya saja, kondisi korban yang berlumuran darah tak sempat ia perhatikan. “Ah, mungkin perasaanku saja,” gumamnya di dalam hati. Mereka pun terus melangkah diantara lorong-lorong rumah sakit, lift dan berbagai hal yang Atira lewati juga saat menemani Davin. “Pasien baru!” ucap perawat yang setia mendorong Bu Asih saat melewati meja suster di lantai rawat inap vvip. “Ah ya, sudah disiapin di kamar paling ujung,” jawab perawat berhijab yang sedang berjibaku dengan obat-obatan di
“Apa? Bagaimana bisa?” tanya Atira yang hampir saja tak bisa mengontrol suaranya. Atira segera berlari, tujuannya adalah IGD. Buggg... “Aww...” Atira meringis karena ia bertubrukan dengan cukup keras. “Atira. Ada apa?” tanya Zafran yang kini tengah berada di hadapan Atira. Lelaki tampan inilah yang barusan tertubruk oleh Atira. “Zafran! Kenapa kamu ada di situ?” tanya Atira yang menyadari bahwa ia telah menubruk tubuh tinggi dan kekar Zafran. “Tadi aku lihat kamu teriak di telpon. Aku khawatir,” ucap Zafran sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Ah, ya.” Atira baru menyadari apa yang sudah ia perbuat. “Kamu kenapa?” tanya Zafran mengembalikan kembali penasarannya tentang berita yang diterima oleh Atira. “Rumah bu Retno diserang preman,” ucap Atira dengan dada yang kembang kempis. “Maksudnya? Bu Retno yang kemarin jagain Daffa?” tanya Zafran yang mulai memelankan suaranya. Atira menganggukkan kepalanya. Ia pun sama takutnya jika Daffa mendengar obrolannya
“Jadi, menurutmu?” tanya Atira meminta pendapat Zafran. “Biarkan seperti sekarang! Aku akan menjagamu,” ucap Davin dengan mimik muka serius. Blush... Pipi Atira memerah. Bagaimana pun, ia hanya seorang perempuan dewasa dan sudah lama tidak mendapatkan perhatian Bayu. Bahkan, kali ini dia sudah menjadi janda. Jadi, wajar jika ia merasa malu dan tersanjung atas perhatian Zafran. “Maaf, kamu enggak perlu repot-repot, Zaf!” pinta Atira di mulutnya, bertolak belakang dengan apa yang ada di hatinya. “Mulai dari kemarin, aku tidak akan pernah membuatmu tersakiti oleh siapapun. Apalagi oleh Bayu. Tak apa jika kamu belum bisa membuka hatimu buatku, tapi percayalah, esok kau akan jatuh cinta padaku. Aku akan menantikan hari itu, Tira!” ungkap Zafran dari lubuk hatinya yang terdalam. “Kau lupa? Aku baru saja diceraikan, Zaf. Tak pantas kau merayuku,” ucap Atira menutupi hatinya yang mulai berbunga-bunga. Ya, entah sejak kapan ia merasa malu karena mendapatkan gombalan dari Zafran. “O
“Tapi kamu enggak usah khawatir. Aku enggak akan membuatmu terluka. Aku berjanji,” ucap Zafran sambil menghentikan langkahnya sejenak, menatap punggung Atira yang berjalan melewatinya. Wanita itu baru berhenti setelah langkahnya berada lebih depan dari Zafran. Atira terdiam mendengar janji yang diucapkan oleh Zafran. Sungguh, ia ingin masuk ke dalam lubang layaknya cacing yang bisa bersembunyi di bawah tanah. Rasanya gerah kalau berada di sana, panas meskipun ada AC. “Kenapa berhenti mendadak?” tanya Atira menutupi rasa gugupnya. Bagaimana pun, dia baru saja diceraikan oleh Bayu dan masih dalam masa iddah, masa menunggu bagi perempuan. Tak pantas dan tak boleh baginya bermain hati dengan lelaki lain. “Ah, semurah itukah hatiku?” lirihnya di dalam hati. Ia pun tersenyum dan kembali melangkah, meninggalkan Zafran yang merasa buruk karena tak mendapatkan jawaban apapun dari Atira. Setelah mereka tiba di IGD, Zafran langsung menghampiri Roni yang menunggunya tepat di depan pintu p
Bu Retno agak heran melihat Zafran karena lelaki itu setia berdiri di sana. Tapi, rasa penasarannya ia kesampingkan dulu karena ia wanita paruh baya itu masih penasaran dengan keadaan pak RT dan istrinya. “Atira, di mana pak RT sama bu RT?” tanyanya dengan dada kembang kempis. Di otaknya berputar-putar tentang kejadian tadi sore. Sesaat setelah Atira pergi, tiba-tiba datang segerombolan orang-orang yang tidak dikenal. Sebagian orang-orang yang kata pak Ramli merupakan preman yang bertemu dengan Bayu sebelumnya. “Pak RT masih ditindak. Sedang operasi darurat. Kalau bu RT sudah ada di ruang perawatan. Di sana juga sudah ada anaknya,” ucap Zafran sambil melirik ke arah Atira. Sebenarnya Atira heran dengan cekatannya Zafran. Ia merasa jika lelaki yang berprofesi sebagai kepala sekolah itu tidak sesederhana yang nampak olehnya. Banyak hal yang baginya semudah menjentikkan jari seperti dengan mudahnya ia mempromosikan dirinya untuk bermain dalam film besutan sutradara terkenal, denga
Tut... tut... tut... “Ya hallo,” ucap Atira setelah ia menggeser ikon begambar telepon yang berwarna hijau. “Oke, aku tunggu di lobby aja!”“Jangan, aku bukan anak kecil. Aku bisa turun sendiri,” kekeh Atira yang kemudian segera menutup panggilannya. “Bu, Tira berangkat dulu ya! Baik-baik di rumah!” pesan Atira sambil mencium tangan bu Retno. “Cantik sekali kamu, Tira. Cantik wajah dan cantik hati,”puji bu Retno sambil mengelus pipi Atira. “Jangan terlalu memuji, Bu! Nanti aku besar kepala. Kalau kepalaku besar, nanti enggak muat lagi jilbabnya,” tawa Atira yang disambut tawa juga oleh bu Retno. Atira membuka pintu kamar bu Asih pelan. Ia ingin berpamitan jiwa wanita paruh baya itu belum tidur, atau Davin yang belum tidur. Tapi, nampaknya mereka berdua tidur dengan sangat lelap. Atira pun segera menutup kembali pintunya. Ia menghembuskan nafas terdalamnya setelah pintu kamar itu tertutup rapat. “Aku harus kuat, untuk anak-anakku!” liriknya sambil menutup mata, sedangkan
“Ya sudah,” ucap Atira sambil tersenyum dan segera berdiri, kemudian pergi. Atira bukannya tak melihat mendung yang menggelayut di mata bu Asih. Hanya saja, ia tak tahu bagaimana membuat mendung itu sirna. Ia tahu betul apa yang menyebabkan mendung itu ada. Bu Asih menginginkan jika ia dan Bayu baik-baik saja dan seperti dulu dimana Bayu begitu mencintai dirinya. Harus bagaimana lagi karena Bayu sudah tidak menginginkannya. Katakanlah jika Bayu di bawah alam sadarnya ketika mengucapkan kata pisah yang sangat tabu itu, tapi apa dikata, talak itu diucapkan dengan talak tiga dan nampak sadar, bahkan sangat sadar sehingga sudah tak ada jalan lagi untuk menuju Roma. “Ah, sudahlah. Life must go on. Aku mencintai Ibu, tapi aku juga mencintai diriku sendiri. Lagipula, Ibu tak pernah jelas mengatakan keinginannya. Ibu itu ibu yang super baik, dia bukan ibu yang egois, dia itu...” ucap Atira meskipun di dalam hatinya. “Ehemmm...” deheman seseorang tak mampu menghentika