“Oya?” tanya bu RT sambil mengerutkan keningnya. Wanita paruh baya itu masih setia berdiri di belakang mereka. “Iya. Papah senyum-senyum sama mereka.” Daffa berbicara sambil memantulkan mulutnya. “U... a... a.” Seperti biasa, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh bu Asih, tapi ia tak bisa. “Daffa, Nenek mau mandi dulu ya. Kita masuk dulu yuk!” ajak Atira sambil mendorong bu Asih ke dalam rumah bu Retno. *** “Bu Retno!” teriak Atira sambil menahan tangis. Bu Retno yang mendengar teriakan Atira, langsung berlari menghampirinya. Bukan hanya bu Retno, tapi bu RT juga mengekorinya. Tok... tok... tok“Ada apa, Tira?” tanya mereka hampir bersamaan. Atira segera membuka pintu kamar mandi. “Lihatlah ini Bu!” ucap Atira sambil menunjuk punggung bu Asih. Bu Retno segera masuk dan berputar ke belakang bu Asih. “Astagfirullah!” ucap bu Retno sambil membekap mulutnya. Ia tak tega melihat banyaknya warna biru dan ungu di punggung bu Asih. “Apa?” tanya bu RT yang tak bisa m
“Bu, tahu dari mana tentang hal ini?” tanya Atira dengan nada menelisik. Bu Atira segera menuliskan sesuatu lagi di atas kertas. (Nita bicara di depan Ibu. Bayu hanya mendengarkan tanpa membantah. Ibu merasa Bayu seperti mayat hidup) Bu Asih memperlihatkan tulisannya kepada Atira. Wanita berjilbab itu kini membacanya dengan seksama. Tiba-tiba bu Asih menarik kertasnya dan menuliskan sesuatu lagi. (Waktu di rumah sakit, Bayu bermanja dan perhatian banget sama Ibu, bahkan dia nanyain kamu dan anak-anak. Tapi, saat di rumah semuanya berubah total) Atira mengernyitkan keningnya saat membaca hal itu. Apa maksudnya ini?“Apapun yang terjadi, Tira sudah ditalak tiga sama mas Bayu, Bu. Sekarang, kita ke rumah sakit ya! Kita visum! Ibu enggak usah takut Tira celaka, Tira juga mempunyai bukti yang kuat yang enggak bisa Nita sangkal. Tira hari ini, bisa berdiri di atas kaki sendiri, percayalah sama Tira Bu!” ucap Atira sambil memegang tangan bu Asih, ia meminta kekuatan dari bu Asih. Bu As
Sesampainya di rumah sakit, aku membawa ibu ke IGD agar langsung mendapatkan penanganan. Masalah visum dan penyakitnya, aku akan konsultasikan dengan dokter jaga di rumah sakit ini. Rumah sakit milik abdi negara yang kukira memiliki fasilitas mumpuni. “Maaf Bu, anaknya tidak bisa dibawa masuk!” tegur satpam yang kini sedang membantu nakes membuka pintu IGD. “Pak, tapi saya enggak ada saudara yang bisa jagain anak saya!” ucapku memelas. “Maaf Bu, anak kecil rentan terkena penyakit. Kami tak bisa bertanggungjawab. Atau anaknya ditinggal di sini saja, biar saya jaga Bu!” ucap satpam tersebut memberikan solusi. “Maaf Pak, bukannya saya tidak mau menerima niat baik seseorang. Tapi, anak saya yang pertama sedang dirawat di ruang vvip di rumah sakit ini karena kemarin sempat diculik. Jadi, saya masih trauma. Tolong Pak, saya harus mengurus Ibu dan dua anak saya secara bersamaan,” ucap Atira dengan nada memelas. “Suami Ibu?” tanyanya lagi.
Atira yang merasa namanya dipanggil segera menoleh ke arah sumber suara. Ia pun melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini mewarnai hari-harinya. Lebih tepatnya, menarik tangan Atira dari terjerembab dan tenggelam di rawa hitam tak berujung. “Zafran!” panggil Atira sambil mengerutkan keningnya. “Lagi ngapain di IGD?” tanya Atira. Pasalnya ia tahu bahwa pintu IGD dan pintu lobby utama itu Berlawanan arah, bahkan jalan masuknya pun berbeda. “Mari bu Atira, kita masuk ke IGD. Biar pak Zafran yang nemenin, siapa nama kamu?” tanya Fatan sambil mensejajarkan tinggi badannya dengan Daffa. “Daffa!” jawab Daffa dengan membuaungkan dadanya. “Oke anak ganteng, tunggu di sini sama om Zafran yang ganteng ya!” ucap Fatan sambil menunjuk ke arah Zafran yang kini sedang memasang tampang yang dibuat menggemaskan. Daffa melirik Atira seolah meminta persetujuan. Atira menganggukkan kepalanya sebagai tanda jika ia memberikan Daffa izin. “Okeh. Tapi aku mau di
“Kenapa?” tanya Fatan dengan sangat serius. “Ada orang yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya, Dok!” jawab Atira balas menatap Fatan. “Menarik. Baik, saya akan bantu sebisa mungkin. Kalau butuh sesuatu, such as lawyer, police atau lain-lain, kamu bisa hubungi saya!” ucap Fatan sambil menyodorkan kartu namanya. “Thanks a lot,” jawab Atira sambil mengambil kartu nama dan menjatuhkannya ke dalam tas. “Saya butuh visum untuk Ibu.” Atira seolah menegaskan jika ia tidak memiliki kepentingan lain selain visum dan pengobatan. “Sama-sama. Sepertinya...” ucap Fatan yang sengaja digantung. “Ya?” tanya Atira sambil memicingkan matanya. “Enggak apa-apa. Mari kita bahas hasil dari tes darah bu Asih tadi,” ucap Fatan sambil mengotak-atik komputer nya. “Bisa lihat di sini, ada peningkatan kecepatan pembekuan darah di sini, gulanya cukup normal dan tidak ada infeksi. Hanya saja, kadar lemak jahat nya tinggi dan tekanan da
“Itu kenapa, Mas?” tanya Atira kepada perawat yang sedang mendorong kursi roda bu Asih. “Belum tahu, Bu. Biasanya karena kecelakaan,” jawab perawat itu sambil tetap mendorong kursi roda. Atira mengekorinya dari belakang. Ujung matanya penasaran apakah itu memang pak Ramli atau bukan. Pasalnya, ia hanya melihat baju korban mirip dengan baju yang dipakai barusan sebelum mereka berpisah. Atira ingat betul baju itu karena ia sempat duduk bertumpu siku di hadapan Daffa yang sedang memegang kaki pak Ramli. Hanya saja, kondisi korban yang berlumuran darah tak sempat ia perhatikan. “Ah, mungkin perasaanku saja,” gumamnya di dalam hati. Mereka pun terus melangkah diantara lorong-lorong rumah sakit, lift dan berbagai hal yang Atira lewati juga saat menemani Davin. “Pasien baru!” ucap perawat yang setia mendorong Bu Asih saat melewati meja suster di lantai rawat inap vvip. “Ah ya, sudah disiapin di kamar paling ujung,” jawab perawat berhijab yang sedang berjibaku dengan obat-obatan di
“Apa? Bagaimana bisa?” tanya Atira yang hampir saja tak bisa mengontrol suaranya. Atira segera berlari, tujuannya adalah IGD. Buggg... “Aww...” Atira meringis karena ia bertubrukan dengan cukup keras. “Atira. Ada apa?” tanya Zafran yang kini tengah berada di hadapan Atira. Lelaki tampan inilah yang barusan tertubruk oleh Atira. “Zafran! Kenapa kamu ada di situ?” tanya Atira yang menyadari bahwa ia telah menubruk tubuh tinggi dan kekar Zafran. “Tadi aku lihat kamu teriak di telpon. Aku khawatir,” ucap Zafran sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Ah, ya.” Atira baru menyadari apa yang sudah ia perbuat. “Kamu kenapa?” tanya Zafran mengembalikan kembali penasarannya tentang berita yang diterima oleh Atira. “Rumah bu Retno diserang preman,” ucap Atira dengan dada yang kembang kempis. “Maksudnya? Bu Retno yang kemarin jagain Daffa?” tanya Zafran yang mulai memelankan suaranya. Atira menganggukkan kepalanya. Ia pun sama takutnya jika Daffa mendengar obrolannya
“Jadi, menurutmu?” tanya Atira meminta pendapat Zafran. “Biarkan seperti sekarang! Aku akan menjagamu,” ucap Davin dengan mimik muka serius. Blush... Pipi Atira memerah. Bagaimana pun, ia hanya seorang perempuan dewasa dan sudah lama tidak mendapatkan perhatian Bayu. Bahkan, kali ini dia sudah menjadi janda. Jadi, wajar jika ia merasa malu dan tersanjung atas perhatian Zafran. “Maaf, kamu enggak perlu repot-repot, Zaf!” pinta Atira di mulutnya, bertolak belakang dengan apa yang ada di hatinya. “Mulai dari kemarin, aku tidak akan pernah membuatmu tersakiti oleh siapapun. Apalagi oleh Bayu. Tak apa jika kamu belum bisa membuka hatimu buatku, tapi percayalah, esok kau akan jatuh cinta padaku. Aku akan menantikan hari itu, Tira!” ungkap Zafran dari lubuk hatinya yang terdalam. “Kau lupa? Aku baru saja diceraikan, Zaf. Tak pantas kau merayuku,” ucap Atira menutupi hatinya yang mulai berbunga-bunga. Ya, entah sejak kapan ia merasa malu karena mendapatkan gombalan dari Zafran. “O
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.