Tiga hari berlalu, Zafran membantu Atira berubah habis-habisan. Tak ada lagi wajah kusam karena Atira sudah memulai perawatan kulit termahal. Memang dasarnya saja yang cantik, hanya sedikit dipoles menjadi wajah kelas bidadari. Belum lagi pakaian, tas dan sepatu bermerek yang sudah disediakan agensi khusus untuk Atira. Atira memasukkan key card apartemen mewahnya ke dalam tas bermerek miliknya. Ia berjalan turun dari lantai 26, di salah satu apartemen mewah di pusat kota Jakarta. Ia masuk ke dalam mobil sedan hitam baru miliknya. Sengaja ia menyimpan mobilnya di parkiran lantai dasar dan khusus parkiran perempuan untuk mempermudah. Setelah duduk di balik kemudi, Atira menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Ia mengusap lembut stir dan semua yang melekat pada dashboard mobilnya. Hari pertama setelah kontrak, ia memilih apartemen dan segala perabotan nya, setelahnya ia melakukan perawatan sampai malam. Hari kedua, ia mengisi penuh lemarinya. Zafran mengatakan kalau semua
Tok... tok... tok... Lamunan Atira buyar langsung saat seseorang mengetuk kaca mobilnya. “Ah, bu Retno.” Senyum Atira mengembang saat ia mendapati bu Retno mengetuk kaca mobilnya. “Bu Retno tahu darimana ini mobilku ya?” tanyanya dalam hati. Pasalnya, kaca mobil milik Atira sangatlah hitam sehingga orang tak dapat melihat ke dalam mobil. Buru-buru Atira menurunkan kaca mobilnya. Ia tak sadar jika kaca mata hitam masih bertengger manis di hidungnya yang mancung. “Maaf, mau cari siapa ya? Kenapa parkir di depan warung saya?” Tanya bu Retno. Wanita paruh baya itu memang selalu stand by di warungnya. Warung yang seringkali menjadi tongkrongan ibu-ibu. “Maaf, saya lagi cari anak saya.” Atira yang menyadari jika bu Retno tak mengenalinya, langsung memainkan perannya dengan apik. Hitung-hitung berlatih peran untuk melancarkan proses shootingnya yang akan dimulai minggu depan. “Memangnya anaknya ada di sini? Sepertinya anda salah alamat. Tolong untuk tidak parkir di depan warung saya, s
“Apa? Bagaimana bisa Bu?” tanya Atira dengan wajah yang memerah. Ia sangat takut jika Daffa akan hilang darinya dan tak mau kembali bersamanya. Kalau bersama Bayu adalah kebahagiaan Daffa, itu tak pernah menjadi masalah buat Atira asalkan Bayu tak membuat dirinya kehilangan Daffa. Bagaimana pun, Bayu memang ayah Daffa dan ia tak berhak untuk memutus hubungan ayah dan anak, apapun masalahnya. “Ya bisa lah, wong tiap hari dia sama papahnya, nempe.... l banget sudah kaya perangko.” Bu Retno dan bu RT terkekeh dan tak menyadari perubahan raut muka Atira. “Ayo, masuk dulu, kita nge-teh!” ajak bu Retno lagi, namun kali ini Atira terpaku di tempatnya dan tak menghitaukan ajakan bu Retno. “Loh, Tira kenapa?” tanya bu RT yang lebih dulu menyadari jika Atira tak sedikitpun beranjak dari tempatnya. “Bu, kenapa ibu kasih Daffa ke Bayu? Kenapa ibu bohongi Tira? Semua yang Tira lakuin sekarang itu semata-mata hanya demi Davin dan Daffa. Kenapa ibu tega?” tanya Atira sambil menutup wajahnya yang
“Jangan manja-manja lu, segala pengen duduk di kursi roda. Ta* aja lu enggak bisa ngurus, mati aja lu!” ucap wanita yang katanya sudah dinikahi oleh Bayu itu kepada bu Asih. Atira menahan bu RT saat ia mau nyelonong masuk dan menggebrak Nita, istri Bayu yang sudah kelewatan kepada bu Asih. Bu RT hendak marah saat ia mendapati tangan Atira menahannya. Tapi, saat ia melihat tangan kanan Atira sedang merekam dengan ponselnya, bu RT pun paham bahwa sekarang bukti rekaman bisa menjadi bukti akurat yang tak terelakkan. Atira bercucuran air mata saat menyaksikan kejadian itu, tapi siapalah dia yang hanya mantan, jika tanpa bukti yang kuat maka ia tidak bisa berbuat apapun. “Hey, nenek tua! Lu harus mati secepatnya. Gue enggak bakalan kasih lu obat, gue mau buang-buangin. Yang penting mas Bayu tahunya kalau lu udah minum obat. Lu juga udah enggak bisa ngomong kan? Enggak bisa ngadu-ngadu hahahahaha. Lagian, kalaupun lu ngadu bisa apa? Mas Bayu itu udah terikat sama gue, dia udah huta
“Pak RT, anda ini pengayom masyarakat, bukannya pembela makhluk asing!” ucap Nita tak terima dengan pembelaan pak RT. “Yang benar saya bela, ditambah yang KTP-nya warga sini adalah... Sukri, coba periksa siapa yang alamat di KTP-nya kampung kita!” titah pak RT kepada Sukri. Terang saja ia membela Atira karena ia lebih percaya dengan cerita dari istrinya tadi, meskipun masih secara garis besar. “Minta maaf dulu, bersimpuh sama Ibu, baru gue lepas.” Suara Atira terdengar mengintimidasi. “Iya, iya, gue minta maaf!” ucap Nita meskipun terdengar terpaksa. Atira melepaskan tangan Nita dan sedikit mendorongnya sehingga wanita itu jatuh terjerembab tepat di depan kaki bu Asih. “I... a... Huhuhuhuhu!” Bu Asih menolak Atira melakukan hal itu, ia takut jika Atira akan mendapatkan masalah kelak karena hal ini. Tapi, tentu saja tidak ada yang memahami akan permintaan bu Asih. Nita bersimpuh di kaki bu Asih sambil menahan nafasnya. Pasalnya, bu Asih memang bau pesing. Dia pun seolah t
“Oya?” tanya bu RT sambil mengerutkan keningnya. Wanita paruh baya itu masih setia berdiri di belakang mereka. “Iya. Papah senyum-senyum sama mereka.” Daffa berbicara sambil memantulkan mulutnya. “U... a... a.” Seperti biasa, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh bu Asih, tapi ia tak bisa. “Daffa, Nenek mau mandi dulu ya. Kita masuk dulu yuk!” ajak Atira sambil mendorong bu Asih ke dalam rumah bu Retno. *** “Bu Retno!” teriak Atira sambil menahan tangis. Bu Retno yang mendengar teriakan Atira, langsung berlari menghampirinya. Bukan hanya bu Retno, tapi bu RT juga mengekorinya. Tok... tok... tok“Ada apa, Tira?” tanya mereka hampir bersamaan. Atira segera membuka pintu kamar mandi. “Lihatlah ini Bu!” ucap Atira sambil menunjuk punggung bu Asih. Bu Retno segera masuk dan berputar ke belakang bu Asih. “Astagfirullah!” ucap bu Retno sambil membekap mulutnya. Ia tak tega melihat banyaknya warna biru dan ungu di punggung bu Asih. “Apa?” tanya bu RT yang tak bisa m
“Bu, tahu dari mana tentang hal ini?” tanya Atira dengan nada menelisik. Bu Atira segera menuliskan sesuatu lagi di atas kertas. (Nita bicara di depan Ibu. Bayu hanya mendengarkan tanpa membantah. Ibu merasa Bayu seperti mayat hidup) Bu Asih memperlihatkan tulisannya kepada Atira. Wanita berjilbab itu kini membacanya dengan seksama. Tiba-tiba bu Asih menarik kertasnya dan menuliskan sesuatu lagi. (Waktu di rumah sakit, Bayu bermanja dan perhatian banget sama Ibu, bahkan dia nanyain kamu dan anak-anak. Tapi, saat di rumah semuanya berubah total) Atira mengernyitkan keningnya saat membaca hal itu. Apa maksudnya ini?“Apapun yang terjadi, Tira sudah ditalak tiga sama mas Bayu, Bu. Sekarang, kita ke rumah sakit ya! Kita visum! Ibu enggak usah takut Tira celaka, Tira juga mempunyai bukti yang kuat yang enggak bisa Nita sangkal. Tira hari ini, bisa berdiri di atas kaki sendiri, percayalah sama Tira Bu!” ucap Atira sambil memegang tangan bu Asih, ia meminta kekuatan dari bu Asih. Bu As
Sesampainya di rumah sakit, aku membawa ibu ke IGD agar langsung mendapatkan penanganan. Masalah visum dan penyakitnya, aku akan konsultasikan dengan dokter jaga di rumah sakit ini. Rumah sakit milik abdi negara yang kukira memiliki fasilitas mumpuni. “Maaf Bu, anaknya tidak bisa dibawa masuk!” tegur satpam yang kini sedang membantu nakes membuka pintu IGD. “Pak, tapi saya enggak ada saudara yang bisa jagain anak saya!” ucapku memelas. “Maaf Bu, anak kecil rentan terkena penyakit. Kami tak bisa bertanggungjawab. Atau anaknya ditinggal di sini saja, biar saya jaga Bu!” ucap satpam tersebut memberikan solusi. “Maaf Pak, bukannya saya tidak mau menerima niat baik seseorang. Tapi, anak saya yang pertama sedang dirawat di ruang vvip di rumah sakit ini karena kemarin sempat diculik. Jadi, saya masih trauma. Tolong Pak, saya harus mengurus Ibu dan dua anak saya secara bersamaan,” ucap Atira dengan nada memelas. “Suami Ibu?” tanyanya lagi.
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.