Luna menatap wajah Reno yang tersenyum lebar di depannya. "Kamu sudah melihat postinganku?" tanya Reno dengan nada santai, tetapi bagi Luna sikap Reno justru membuatnya merasa sedikit ngeri. "Iya, sudah. Terima kasih karena sudah memilih angle yang pas meskipun aku sedang tidur, jadi nggak kelihatan jelek banget," jawab Luna mencoba tertawa kecil demi mencairkan suasana. Reno mengangguk pelan dan kini menatap ruangan yang didominasi warna putih di sekitarnya. Beberapa tas besar berisi pakaian dan keperluan ibu selama berada di rumah sakit tertumpuk rapi di pojok ruangan, sementara ibu tengah berada di kamar mandi bersama ayah Luna. "Aku sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk menghalau rumor itu, tetapi kita tetap harus melakukan konferensi pers ini," ucap Reno sembari memasukkan sesuap nasi uduk ke dalam mulutnya. Pagi ini, Reno dan Luna akan segera menuju tempat konferensi pers demi menjelaskan keadaan rumah tangga mereka yang selama ini dirumorkan tengah goyah. "Ya, aku men
"Ada apa?" tanya Reno begitu melihat wajah Luna yang tampak lebih sendu setelah bicara dengan ibunya. Wanita dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu hanya menggeleng pelan sebelum memasuki mobil hitam milik suaminya. "Dilihat dari raut wajahmu, sepertinya ibu habis menceramahimu lagi ya," celetuk Reno sembari terkekeh pelan. Luna mengambil cermin kecil yang berada di tas dan mulai kembali memperbaiki riasannya yang sedikit terhapus karena air mata. "Makanya, jadi istri yang baik dan nurut saja sama suami. Lagipula, memangnya selama ini aku pernah memukulmu kalau kamu tidak salah?" Pertanyaan Reno membuat Luna berdecih pelan. Pria tampan yang berada di belakang kemudi itu benar-benar arogan dan tidak pernah mau mengakui kesalahannya. Apakah menurutnya lawan mainnya datang terlambat adalah kesalahan Luna? Atau masalah-masalah teknis yang terkadang terjadi di lokasi syuting juga merupakan kesalahan Luna sehingga Reno selalu melampiaskannya dengan memukul dan menghina Luna. "Su
Luna melirik sekilas pada sosok Aldi yang hanya terdiam di tempatnya sejak tadi. Genggaman tangan Reno yang bergerak perlahan membuat Luna menoleh dan mendapati senyum manis yang diperlihatkan suaminya itu. "Ada apa? Kamu masih merasa tidak nyaman?" tanya Reno dengan nada lembut sembari melirik kumpulan wartawan yang masih berada di sekitar mereka. Luna segera menggeleng dan melanjutkan langkahnya memasuki mobil hitam yang sudah berada di depannya. Pikiran Luna sudah tidak terlalu fokus sejak dia menyadari keberadaan Aldi di antara wartawan yang hadir untuk meliput konferensi pers mereka. Ditambah lagi, pertanyaan terakhir yang diajukan seorang wartawan tentang rumor kedekatannya dengan Aldi membuat Luna mendadak gagu. Untunglah Reno masih bisa mengendalikannya dan balik menuduh wartawan yang datang memang ingin membuat nama mereka jelek, karena berulang kali Reno dan Luna menyatakan bahwa hubungan mereka baik-baik saja, wartawan lain terus saja menimpali dengan pertanyaan-pertany
Plak! Tongkat kayu itu mendarat dengan cukup kencang di paha sebelah kanan Luna, membuat Luna meringis demi menahan rasa sakit yang segera menjalar di sekujur pahanya. Celana panjang berwarna putih yang dikenakannya juga terkena debu dari tongkat itu dan kini meninggalkan bekas berwarna abu-abu yang terlihat cukup jelas. "Sepertinya itu tidak terlalu sakit, ya. Aku memang belum mengeluarkan seluruh tenagaku," desis Reno sembari menatap wajah Luna tajam. Pria itu menatap jam dinding yang tergantung di pojok kamar. Dia sudah memerintahkan asisten rumah tangga mereka untuk pergi membeli beberapa keperluan, jadi setidaknya dia punya waktu sekitar tiga puluh menit untuk 'bicara' dengan Luna. "Santai saja, Luna, kita masih punya banyak waktu. Bukankah sudah lama kita tidak bicara berdua saja seperti ini?" tanya Reno yang kini berganti posisi dan duduk di depan Luna. "Wah, bagaimana bisa aku jadi canggung di depanmu ya? Ternyata kita memang sudah tidak sedekat itu ya," ucap Reno sembari
Bab 33Luna mengerjapkan matanya perlahan. Rasa nyeri segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Wanita itu melenguh pelan dan berusaha menggerakkan tubuhnya perlahan.Manik hitam Luna menangkap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Luna mencoba berdiri untuk menuju kamar mandi, tetapi rasa nyeri pada bagian punggung dan kaki membuatnya mengurungkan niat.Luna menatap langit-langit kamar di atasnya dengan mata berkaca-kaca. Sejak awal, Luna sudah tahu resiko apa yang akan dia dapatkan dengan kabur dari rumah dan malah bertemu dengan Aldi, tetapi rasa kecewa pada kedua orang tua dan juga perasaan muak karena terus diperlakukan kasar oleh Reno membuatnya mengabaikan itu semua dan tetap melanjutkan apa yang dia mulai.Sayangnya, tekad Luna yang sudah bulat untuk pergi dari Reno masih kalah kuat dengan cengkraman Reno kepadanya. Luna menatap beberapa luka memar yang terlihat di tangannya. Entah sebanyak apa luka yang dia miliki di bagian tubuh yang lainnya.Tetesan air m
WARNING! Bab ini mengandung adegan kekerasan!“Bi Imah! Kenapa lama sekali sih?” Suara wanita paruh baya yang terdengar dingin itu membuat Bi Imah semakin gelagapan dan segera bergerak mendekati pintu. Luna yang berada di pojok ruangan segera melipat sajadah dan memeluknya dengan erat. Baru saja dia merasa sedikit tenang karena kehadiran Bi Imah, kini sosok lain yang akan menghancurkan ketenangan itu kembali datang.“Iya, ibu. Maafkan saya, bu.” Tubuh gempal Bi Imah yang berada di depan pintu segera menepi ke luar kamar setelah sebuah tangan mendorongnya dengan cukup kencang. Tidak hanya itu, sosok mama mertua Luna yang mengenakan dress merah muda menutup pintu dan segera menghampiri Luna.Mama Reno bertahan di tempatnya selama beberapa saat dengan tatapan mata yang tertuju lurus pada Luna yang masih meringkuk di pojok ruangan. Sebuah senyuman sinis tampak di wajahnya yang masih terlihat cantik di usianya yang memasuki kepala lima.“Ada apa, Luna? Mengapa kamu terlihat sangat ketakuta
Luna memejamkan mata kuat-kuat. Wanita itu sudah pasrah atas apapun yang akan terjadi kepadanya. Di tambah, rasa dingin dari pecahan kaca yang menempel di lehernya kini berubah menjadi rasa nyeri akibat sayatan yang diberikan oleh mertuanya. "Selamat tinggal, Luna. Setelah ini, Reno akan bisa hidup dengan tenang dan mendapatkan karir yang jauh lebih baik," bisik mama mertuanya sembari menekan pecahan kaca itu tepat di leher sebelah kanan Luna. "Aah!" Luna mengerang pelan sembari mencoba menggerakkan tangan, tetapi mama Reno bergerak lebih cepat dan mendorong tangan Luna menjauh. Wanita kejam itu bahkan menekan tangan Luna dengan sebelah kakinya. "Sa-kit, ma," ucap Luna dengan nada tertahan. Seandainya saja bisa, Luna sudah berteriak sekencang mungkin atau lari dari mama mertuanya, tetapi tubuhnya yang terasa remuk membuat Luna hanya bisa menatap mata tajam mama Reno yang tampak sangat haus akan darah yang semakin bertambah dari luka di leher Luna. Brak! "Luna! Mama!" Suara pintu
“Luna! Bi Imah! Cepat buka pintunya! Wanita tidak tahu diri itu harus bertanggung jawab!” Suara Reno terdengar tepat di balik pintu yang kini terus digedor-gedor. Bi Imah terus menggeleng sembari menangis. Wanita paruh baya itu merasa sangat iba melihat kondisi Luna yang kini hanya bisa memejamkan mata sembari berulang kali memanjatkan doa.“Bi Imah! Bibi tidak mendengar saya? Cepat buka pintunya!” seru Reno sembari memukul keras pintu kamar di mana Luna berada. Sesekali terdengar juga suara tendangan dari arah luar, sementara Bi Imah terus mendorong meja rias itu untuk menghalangi Reno.Brak!Terdengar suara hantaman yang cukup kencang pada pintu yang tertutup itu. “Keluar! Ikuti mamamu dan tunggu di mobil! Jangan ganggu Luna!” Kali ini suara papa Reno terdengar dari balik pintu. Pria yang biasanya jarang bicara dan terlihat sangat tenang itu tampaknya sudah marah besar.Luna hanya meringis pelan membayangkan apa yang sudah terjadi di luar sana karena papa Reno membela dirinya. Sesua