WARNING! Bab ini mengandung adegan kekerasan!“Bi Imah! Kenapa lama sekali sih?” Suara wanita paruh baya yang terdengar dingin itu membuat Bi Imah semakin gelagapan dan segera bergerak mendekati pintu. Luna yang berada di pojok ruangan segera melipat sajadah dan memeluknya dengan erat. Baru saja dia merasa sedikit tenang karena kehadiran Bi Imah, kini sosok lain yang akan menghancurkan ketenangan itu kembali datang.“Iya, ibu. Maafkan saya, bu.” Tubuh gempal Bi Imah yang berada di depan pintu segera menepi ke luar kamar setelah sebuah tangan mendorongnya dengan cukup kencang. Tidak hanya itu, sosok mama mertua Luna yang mengenakan dress merah muda menutup pintu dan segera menghampiri Luna.Mama Reno bertahan di tempatnya selama beberapa saat dengan tatapan mata yang tertuju lurus pada Luna yang masih meringkuk di pojok ruangan. Sebuah senyuman sinis tampak di wajahnya yang masih terlihat cantik di usianya yang memasuki kepala lima.“Ada apa, Luna? Mengapa kamu terlihat sangat ketakuta
Luna memejamkan mata kuat-kuat. Wanita itu sudah pasrah atas apapun yang akan terjadi kepadanya. Di tambah, rasa dingin dari pecahan kaca yang menempel di lehernya kini berubah menjadi rasa nyeri akibat sayatan yang diberikan oleh mertuanya. "Selamat tinggal, Luna. Setelah ini, Reno akan bisa hidup dengan tenang dan mendapatkan karir yang jauh lebih baik," bisik mama mertuanya sembari menekan pecahan kaca itu tepat di leher sebelah kanan Luna. "Aah!" Luna mengerang pelan sembari mencoba menggerakkan tangan, tetapi mama Reno bergerak lebih cepat dan mendorong tangan Luna menjauh. Wanita kejam itu bahkan menekan tangan Luna dengan sebelah kakinya. "Sa-kit, ma," ucap Luna dengan nada tertahan. Seandainya saja bisa, Luna sudah berteriak sekencang mungkin atau lari dari mama mertuanya, tetapi tubuhnya yang terasa remuk membuat Luna hanya bisa menatap mata tajam mama Reno yang tampak sangat haus akan darah yang semakin bertambah dari luka di leher Luna. Brak! "Luna! Mama!" Suara pintu
“Luna! Bi Imah! Cepat buka pintunya! Wanita tidak tahu diri itu harus bertanggung jawab!” Suara Reno terdengar tepat di balik pintu yang kini terus digedor-gedor. Bi Imah terus menggeleng sembari menangis. Wanita paruh baya itu merasa sangat iba melihat kondisi Luna yang kini hanya bisa memejamkan mata sembari berulang kali memanjatkan doa.“Bi Imah! Bibi tidak mendengar saya? Cepat buka pintunya!” seru Reno sembari memukul keras pintu kamar di mana Luna berada. Sesekali terdengar juga suara tendangan dari arah luar, sementara Bi Imah terus mendorong meja rias itu untuk menghalangi Reno.Brak!Terdengar suara hantaman yang cukup kencang pada pintu yang tertutup itu. “Keluar! Ikuti mamamu dan tunggu di mobil! Jangan ganggu Luna!” Kali ini suara papa Reno terdengar dari balik pintu. Pria yang biasanya jarang bicara dan terlihat sangat tenang itu tampaknya sudah marah besar.Luna hanya meringis pelan membayangkan apa yang sudah terjadi di luar sana karena papa Reno membela dirinya. Sesua
“Bi Imah, sepertinya Bu Luna kedatangan tamu lain.” Ucapan Dokter Irwan membuat Bi Imah yang sedang duduk di sisi kasur Luna segera beranjak menuju pintu diikuti oleh tatapan penasaran dari Luna. Pasalnya, papa Reno tidak memberitahu siapa yang akan datang untuk membantunya. Mungkinkah papa mertuanya itu mengirimkan seseorang dari media untuk memberikan ancaman pada Reno?Bi Imah segera menutup pintu kamar begitu mengetahui siapa yang berada di depannya. Meskipun Bi Imah baru pertama kali melihatnya ketika terjadi keributan beberapa waktu lalu, tetapi wanita paruh baya itu ingat betul bagaimana pria berkaus hitam di depannya membela Luna.“Papa Reno yang menyuruh saya ke sini. Apa saya bisa bicara dengan Luna?” tanya pria dengan rambut ikal itu sembari menatap pintu kamar yang tertutup.“Bagaimana keadaannya? Apa luka-lukanya sangat parah? Apa saya bisa bertemu secara langsung?” Belum sempat Bi Imah menjawab pertanyaan pertamanya, pria itu sudah menghujaninya dengan rentetan pertanyaa
Luna menatap jari tangan Aldi yang terlihat menyembul dari celah di bawah pintu dengan tatapan nanar. Saat seperti ini, sekadar genggaman tangan atau pelukan kecil tentu membuat Luna merasa jauh lebih baik, tetapi rasa ragu menyelimuti Luna yang teringat akan hubungan keduanya sebagai adik dan kakak ipar.“Ah, maaf, kamu pasti merasa tidak nyaman. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendiri,” ucap Reno dengan nada canggung. Pria itu juga menggerakkan jemarinya perlahan sebelum tangan Luna menggenggamnya dengan erat.Keheningan segera memenuhi sekitar mereka. Luna menatap tangannya yang terpaut dengan Aldi dengan air mata yang mengalir tanpa henti dan membasahi wajahnya. Luna tidak dapat menampik bahwa genggaman tangan mereka membuat hatinya terasa lebih hangat, tetapi di saat yang bersamaan, itu juga yang membuat Luna merasa bersalah.“Jangan pernah merasa kamu sendirian ya, Luna. Setidaknya kamu harus tahu, saya akan tetap membantu dan menjaga kamu sesuai janji saya sejak awa
Ceklek.Suara kunci yang diputar membuat Luna menoleh dan tersenyum kecil pada Bi Imah yang kini berada di sampingnya. Wanita paruh baya itu kembali memasuki kamarnya setelah kepergian Aldi beberapa menit yang lalu.“Sepertinya Bu Luna sudah jauh lebih baik ya, saya jadi ikut senang,” ucap Bi Imah sembari mengelus pelan rambut Luna. Meskipun posisinya di rumah itu hanya sebagai seorang asisten rumah tangga, tetapi Luna tidak pernah memperlakukan Bi Imah dengan cara yang kurang pantas, bahkan Luna sering mengobrol dan menganggap Bi Imah sebagai ibunya juga.“Terima kasih ya, bi. Bibi sudah mau menjaga saya seperti ini,” balas Luna diiringi dengan senyum manis di wajahnya. Wanita paruh baya yang kini sudah mengenakan sebuah cardigan berwarna hitam itu menggeleng pelan dan meyakinkan Luna untuk tidak berpikir seperti itu.“Lebih baik sekarang Bu Luna istirahat saja, ya. Biar saya bantu ibu untuk bersih-bersih dan ganti pakaian dulu. Malam ini saya akan tidur di sini bersama ibu.” Bi Imah
Luna membuka matanya perlahan dan mendapati Bi Imah yang tidak berada di sisinya. Ketika dia terbangun di tengah malam tadi, Luna yakin betul bahwa Bi Imah tidur di sampingnya. Luna mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih terasa nyeri secara perlahan. Obat-obatan yang diberikan Dokter Irwan kemarin cukup membuat nyerinya sedikit berkurang, sehingga Luna memutuskan untuk berjalan memasuki kamar mandi dan mengambil air wudhu sebelum menunaikan kewajibannya.Suasana kamar yang tadinya gelap kini terlihat lebih terang setelah Luna menyalakan lampu utama di tengah ruangan dan mengenakan mukenanya. Meskipun berada dalam keadaan penuh tekanan seperti ini, Luna tetap tidak mau meninggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba. Luna percaya bahwa pertolongan-Nya akan segera datang sehingga dia bisa keluar dari rumah itu.“Hamba mohon berikan hamba kekuatan untuk melalui semua ini,” ucap Luna sembari mengusap pelan air matanya yang langsung mengalir begitu dia mengangkat tangannya dan memohon pa
Luna menatap wajah Bi Imah yang tampak bersalah. Wanita cantik itu menggenggam tangan Bi Imah dan mencoba meyakinkan asisten rumah tangganya untuk menjawab pertanyaannya tanpa perlu merasa bersalah.“Sebenarnya, tadi orang tua Bu Luna menelepon dengan telepon video. Saya jadi tahu karena Pak Gunawan berpesan untuk membiarkan ponsel Bu Luna tetap menyala agar tidak ada yang curiga,” ujar Bi Imah memulai ceritanya.Luna hanya mengangguk pelan. Ingatan tentang kali terakhir dia mematikan ponselnya ketika sedang kabur kembali memenuhi pikirannya. Saat itu, bukannya ketenangan yang didapatnya, Luna justru mendapatkan ancaman dan berbagai berita buruk yang menerornya ketika kembali mengaktifkan ponsel.“Mereka menanyakan kabar Bu Luna karena sejak konferensi pers, ibu sama sekali tidak menghubungi mereka, padahal ibu sudah berjanji untuk segera mengirim pesan,” sambung Bi Imah pelan ketika menyadari raut wajah Luna yang kembali berubah.“Akhirnya, saya mengatakan pada mereka kalau ponsel Bu