Bab 33Luna mengerjapkan matanya perlahan. Rasa nyeri segera menjalar ke seluruh tubuhnya. Wanita itu melenguh pelan dan berusaha menggerakkan tubuhnya perlahan.Manik hitam Luna menangkap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Luna mencoba berdiri untuk menuju kamar mandi, tetapi rasa nyeri pada bagian punggung dan kaki membuatnya mengurungkan niat.Luna menatap langit-langit kamar di atasnya dengan mata berkaca-kaca. Sejak awal, Luna sudah tahu resiko apa yang akan dia dapatkan dengan kabur dari rumah dan malah bertemu dengan Aldi, tetapi rasa kecewa pada kedua orang tua dan juga perasaan muak karena terus diperlakukan kasar oleh Reno membuatnya mengabaikan itu semua dan tetap melanjutkan apa yang dia mulai.Sayangnya, tekad Luna yang sudah bulat untuk pergi dari Reno masih kalah kuat dengan cengkraman Reno kepadanya. Luna menatap beberapa luka memar yang terlihat di tangannya. Entah sebanyak apa luka yang dia miliki di bagian tubuh yang lainnya.Tetesan air m
WARNING! Bab ini mengandung adegan kekerasan!“Bi Imah! Kenapa lama sekali sih?” Suara wanita paruh baya yang terdengar dingin itu membuat Bi Imah semakin gelagapan dan segera bergerak mendekati pintu. Luna yang berada di pojok ruangan segera melipat sajadah dan memeluknya dengan erat. Baru saja dia merasa sedikit tenang karena kehadiran Bi Imah, kini sosok lain yang akan menghancurkan ketenangan itu kembali datang.“Iya, ibu. Maafkan saya, bu.” Tubuh gempal Bi Imah yang berada di depan pintu segera menepi ke luar kamar setelah sebuah tangan mendorongnya dengan cukup kencang. Tidak hanya itu, sosok mama mertua Luna yang mengenakan dress merah muda menutup pintu dan segera menghampiri Luna.Mama Reno bertahan di tempatnya selama beberapa saat dengan tatapan mata yang tertuju lurus pada Luna yang masih meringkuk di pojok ruangan. Sebuah senyuman sinis tampak di wajahnya yang masih terlihat cantik di usianya yang memasuki kepala lima.“Ada apa, Luna? Mengapa kamu terlihat sangat ketakuta
Luna memejamkan mata kuat-kuat. Wanita itu sudah pasrah atas apapun yang akan terjadi kepadanya. Di tambah, rasa dingin dari pecahan kaca yang menempel di lehernya kini berubah menjadi rasa nyeri akibat sayatan yang diberikan oleh mertuanya. "Selamat tinggal, Luna. Setelah ini, Reno akan bisa hidup dengan tenang dan mendapatkan karir yang jauh lebih baik," bisik mama mertuanya sembari menekan pecahan kaca itu tepat di leher sebelah kanan Luna. "Aah!" Luna mengerang pelan sembari mencoba menggerakkan tangan, tetapi mama Reno bergerak lebih cepat dan mendorong tangan Luna menjauh. Wanita kejam itu bahkan menekan tangan Luna dengan sebelah kakinya. "Sa-kit, ma," ucap Luna dengan nada tertahan. Seandainya saja bisa, Luna sudah berteriak sekencang mungkin atau lari dari mama mertuanya, tetapi tubuhnya yang terasa remuk membuat Luna hanya bisa menatap mata tajam mama Reno yang tampak sangat haus akan darah yang semakin bertambah dari luka di leher Luna. Brak! "Luna! Mama!" Suara pintu
“Luna! Bi Imah! Cepat buka pintunya! Wanita tidak tahu diri itu harus bertanggung jawab!” Suara Reno terdengar tepat di balik pintu yang kini terus digedor-gedor. Bi Imah terus menggeleng sembari menangis. Wanita paruh baya itu merasa sangat iba melihat kondisi Luna yang kini hanya bisa memejamkan mata sembari berulang kali memanjatkan doa.“Bi Imah! Bibi tidak mendengar saya? Cepat buka pintunya!” seru Reno sembari memukul keras pintu kamar di mana Luna berada. Sesekali terdengar juga suara tendangan dari arah luar, sementara Bi Imah terus mendorong meja rias itu untuk menghalangi Reno.Brak!Terdengar suara hantaman yang cukup kencang pada pintu yang tertutup itu. “Keluar! Ikuti mamamu dan tunggu di mobil! Jangan ganggu Luna!” Kali ini suara papa Reno terdengar dari balik pintu. Pria yang biasanya jarang bicara dan terlihat sangat tenang itu tampaknya sudah marah besar.Luna hanya meringis pelan membayangkan apa yang sudah terjadi di luar sana karena papa Reno membela dirinya. Sesua
“Bi Imah, sepertinya Bu Luna kedatangan tamu lain.” Ucapan Dokter Irwan membuat Bi Imah yang sedang duduk di sisi kasur Luna segera beranjak menuju pintu diikuti oleh tatapan penasaran dari Luna. Pasalnya, papa Reno tidak memberitahu siapa yang akan datang untuk membantunya. Mungkinkah papa mertuanya itu mengirimkan seseorang dari media untuk memberikan ancaman pada Reno?Bi Imah segera menutup pintu kamar begitu mengetahui siapa yang berada di depannya. Meskipun Bi Imah baru pertama kali melihatnya ketika terjadi keributan beberapa waktu lalu, tetapi wanita paruh baya itu ingat betul bagaimana pria berkaus hitam di depannya membela Luna.“Papa Reno yang menyuruh saya ke sini. Apa saya bisa bicara dengan Luna?” tanya pria dengan rambut ikal itu sembari menatap pintu kamar yang tertutup.“Bagaimana keadaannya? Apa luka-lukanya sangat parah? Apa saya bisa bertemu secara langsung?” Belum sempat Bi Imah menjawab pertanyaan pertamanya, pria itu sudah menghujaninya dengan rentetan pertanyaa
Luna menatap jari tangan Aldi yang terlihat menyembul dari celah di bawah pintu dengan tatapan nanar. Saat seperti ini, sekadar genggaman tangan atau pelukan kecil tentu membuat Luna merasa jauh lebih baik, tetapi rasa ragu menyelimuti Luna yang teringat akan hubungan keduanya sebagai adik dan kakak ipar.“Ah, maaf, kamu pasti merasa tidak nyaman. Saya hanya ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendiri,” ucap Reno dengan nada canggung. Pria itu juga menggerakkan jemarinya perlahan sebelum tangan Luna menggenggamnya dengan erat.Keheningan segera memenuhi sekitar mereka. Luna menatap tangannya yang terpaut dengan Aldi dengan air mata yang mengalir tanpa henti dan membasahi wajahnya. Luna tidak dapat menampik bahwa genggaman tangan mereka membuat hatinya terasa lebih hangat, tetapi di saat yang bersamaan, itu juga yang membuat Luna merasa bersalah.“Jangan pernah merasa kamu sendirian ya, Luna. Setidaknya kamu harus tahu, saya akan tetap membantu dan menjaga kamu sesuai janji saya sejak awa
Ceklek.Suara kunci yang diputar membuat Luna menoleh dan tersenyum kecil pada Bi Imah yang kini berada di sampingnya. Wanita paruh baya itu kembali memasuki kamarnya setelah kepergian Aldi beberapa menit yang lalu.“Sepertinya Bu Luna sudah jauh lebih baik ya, saya jadi ikut senang,” ucap Bi Imah sembari mengelus pelan rambut Luna. Meskipun posisinya di rumah itu hanya sebagai seorang asisten rumah tangga, tetapi Luna tidak pernah memperlakukan Bi Imah dengan cara yang kurang pantas, bahkan Luna sering mengobrol dan menganggap Bi Imah sebagai ibunya juga.“Terima kasih ya, bi. Bibi sudah mau menjaga saya seperti ini,” balas Luna diiringi dengan senyum manis di wajahnya. Wanita paruh baya yang kini sudah mengenakan sebuah cardigan berwarna hitam itu menggeleng pelan dan meyakinkan Luna untuk tidak berpikir seperti itu.“Lebih baik sekarang Bu Luna istirahat saja, ya. Biar saya bantu ibu untuk bersih-bersih dan ganti pakaian dulu. Malam ini saya akan tidur di sini bersama ibu.” Bi Imah
Luna membuka matanya perlahan dan mendapati Bi Imah yang tidak berada di sisinya. Ketika dia terbangun di tengah malam tadi, Luna yakin betul bahwa Bi Imah tidur di sampingnya. Luna mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih terasa nyeri secara perlahan. Obat-obatan yang diberikan Dokter Irwan kemarin cukup membuat nyerinya sedikit berkurang, sehingga Luna memutuskan untuk berjalan memasuki kamar mandi dan mengambil air wudhu sebelum menunaikan kewajibannya.Suasana kamar yang tadinya gelap kini terlihat lebih terang setelah Luna menyalakan lampu utama di tengah ruangan dan mengenakan mukenanya. Meskipun berada dalam keadaan penuh tekanan seperti ini, Luna tetap tidak mau meninggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba. Luna percaya bahwa pertolongan-Nya akan segera datang sehingga dia bisa keluar dari rumah itu.“Hamba mohon berikan hamba kekuatan untuk melalui semua ini,” ucap Luna sembari mengusap pelan air matanya yang langsung mengalir begitu dia mengangkat tangannya dan memohon pa
Luna menatap layar ponselnya sembari memasukkan segenggam kacang goreng ke dalam mulutnya. “Perselingkuhan Aktor Terkenal Reno dengan Aktris Pendatang Baru.” Luna membaca judul berita di layar kecil itu dengan nada datar. Tidak ada lagi rasa sedih ataupun kecewa dari sorot matanya, seolah-olah Luna sudah sangat terbiasa dengan berita perselingkuhan itu.Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan mendekat dan membaca berita yang sama dari ponsel Luna. “Jadi mereka tertangkap kamera lagi ya? Apa Pak Reno sengaja melakukan ini?” tanya Bi Imah dengan raut penasaran.Luna menoleh heran demi mendengar pertanyaan asisten rumah tangganya. “Kenapa Mas Reno harus melakukan itu, bi? Memang apa untungnya? Bukankah seharusnya berita seperti ini malah bisa merugikan Mas Reno ya?” Luna justru balas bertanya dengan raut bingung.Wanita paruh baya yang mengenakan celemek kuning itu mengambil kursi di depan Luna dan menghela napas panjang. “Mungkin saja ‘kan Pak Reno sedang tes ombak? Karena kemarin Bu Lun
Reno menatap rumah besar di depannya dengan wajah kesal. Setelah insiden di jalan tadi, dia memutuskan untuk mengemudikan mobil dan mengantar Maria dan Angga pulang lebih dulu. Entah apa yang ada di pikiran manajernya itu sampai-sampai tidak fokus dalam mengemudi dan hampir membahayakan mereka semua.“Luna, semua ini karena kamu! Seandainya sejak awal kamu mendengarku dan mengabaikan Aldi, pasti kehidupanku akan baik-baik saja! Aku dekat dengan Maria juga ‘kan karena kamu yang mulai cari gara-gara dan merepotkanku terus,” geram Reno sambil memukul setir di depannya.“Sebenarnya di mana kamu bersembunyi, Luna? Mungkinkah kamu kembali ke rumah?” tanya Reno pada dirinya sendiri. Upayanya mendatangi kontrakan Luna setelah tayangan klarifikasi itu tidak membuahkan hasil. Meskipun sudah menunggu di depan rumah petak itu sejak siang hingga malam hari, Reno sama sekali tidak melihat Luna. Sepertinya Luna sudah tahu keberadaannya dan berhasil melarikan diri lebih dulu. Tetapi ke mana wanita it
Reno menghentakkan kakinya kencang-kencang setelah menutup pintu coklat di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sinis seperti itu dari salah satu direktur yang biasanya selalu memujanya. Ditambah lagi, sikap sinis itu dia dapatkan tepat di depan Aldi, musuh terbesarnya saat ini."Siapa yang akan menangis katamu? Tentu saja itu adalah kamu, Aldi! Dasar tidak tahu diri!" geram Reno sambil meninju tangannya ke sembarang arah dan berjalan menuju lift di ujung koridor. Berita-berita tentang kekerasan yang dia lakukan pada Luna sudah tersebar luas di berbagai media. Tidak seperti biasanya, manajernya, Angga bahkan mengatakan bahwa dia belum mendapat berita apapun dari agensi mereka tentang upaya membersihkan namanya. Hal itu jelas membuat Reno semakin pusing, ditambah dengan sikap direktur yang tadi dia temui. Mungkinkah saat ini dia tengah dikucilkan? "Kenapa jadi aku yang harus dikucilkan? Padahal Aldi dan Luna yang bersalah. Kalau saja Aldi tidak datang
Brak!Aldi mengangkat kepalanya karena suara pintu kantornya yang mendadak dibuka dengan kencang. Lebih tepatnya, seseorang yang tampak sangat marah membantingnya dan kini menatap lurus pada dirinya.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang la—”Grab!Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan kekar telah mencapai dirinya dan kini mencengkram kerah kemeja hitam yang dia kenakan.“Kurang ajar! Katakan di mana Luna sekarang!” ucap Reno dengan mata memerah. Gigi putihnya bahkan bergetar karena menahan emosi.Aldi menatap pria di depannya dengan dingin. Siapa sangka pagi harinya akan dibuka dengan kemarahan Reno yang mendadak datang di kantornya yang sangat tenang.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang lain.” Bukannya menjawab perkataan Reno, pria dengan rambut ikal yang kini dikuncir kecil itu justru mengulangi ucapannya sendiri.B
"Saya merasa senang mendengarnya pak. Semoga semua berjalan sesuai rencana, sehingga posisi bapak di agensi itu tidak akan goyah."Luna yang bermaksud mengambilkan air minum dan beberapa snack untuk Bi Imah menghentikan langkahnya tepat di dinding pembatas dapur ketika mendengar suara berat milik Bara. Sebuah nama segera melintas dalam pikiran Luna ketika mendengar kata-kata 'posisi' dan 'agensi'. "Mas Aldi? Mungkinkah Bara bicara dengan Mas Aldi?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Seolah tersihir, kedua kakinya bergerak mendekat dan berniat mencuri dengar pembicaraan Bara dan temannya itu. "Baik, pak. Saya mengerti. Saya akan melakukan semua yang bapak minta," ujar Bara dengan mantap. Luna terdiam di sisi lain dapur dan berusaha menahan napas agar Bara tidak merasa terganggu dengan keberadaannya. Sesekali, wanita muda itu mengintip ke dapur dan mendapati Bara yang tengah duduk di meja makan. Mangkuk bakso miliknya yang masih tersisa separuh sama sekali tidak memalingkan perhatian L
Ting Tong! Bara menghentikan Luna dengan tangannya dan beranjak lebih dulu mendekati pintu utama dengan aksen garis putih itu. Sementara di belakangnya, Luna mengekor dengan tatapan curiga. Hampir saja dirinya terlarut dalam rasa penasaran yang mungkin saja menyeretnya dalam bahaya. Bara membuka sedikit ujung gorden demi mengecek siapa yang berada di balik pintu. "Iya, pak. Beliau sudah datang," ujarnya pelan pada lawan bicara di telepon.Luna yang berada tepat di belakangnya menghela napas lega. Artinya, orang yang berada di belakang pintu bukanlah ancaman bagi mereka.Wanita yang mengenakan dress bunga itu mengernyit kecil ketika Bara membisikkan sesuatu melalui telepon. Rasa penasaran tentang siapa yang diajak bicara oleh pria itu mendadak mencuat. Melihat bagaimana Bara sangat waspada ketika mengangkat telepon, Luna jadi menduga-duga kalau lawan bicara aktor muda itu mungkin saja adalah pemilik rumah mewah ini."Mba, bibi yang akan membantu Mba Luna selama di sini sudah datang."
“Bara, apa ini foto pemilik rumah?”Pertanyaan Luna membuat Bara menoleh dan menatapnya dengan wajah pucat. Sebelum Luna datang ke sini, Bara ingat betul dia sudah menyingkirkan semua foto ataupun barang-barang yang bisa menjadi petunjuk tentang pemilik rumah mewah itu, tetapi sepertinya dia melewatkan satu pigura kecil yang kini menjadi perhatian Luna.“Bara? Apa pemilik rumah ini seorang aktor juga sepertimu?” Luna yang merasa semakin bingung setelah melihat ekspresi Bara mencoba mengganti pertanyaannya, tetapi Bara masih terdiam dan kini hanya tersenyum tipis.“Ah, bukan. Pemilik rumah ini memang bukan aktor mba, tetapi saya kenal baik dengannya, hehe. Jadi, Mba Luna tenang saja, Mas Reno tidak akan tahu kalau Mba Luna ada di sini,” jawab Bara dengan senyum terpaksa.Luna mengulum senyum kecil ketika mendengar jawaban lawan bicaranya yang terlihat sangat gugup. Wanita cantik itu menatap foto anak laki-laki kecil dengan rambut ikal itu sekali lagi, sekadar memastikan bahwa foto itu
Luna menatap kosong pada lemari besar yang tampaknya dibuat dari kayu berkualitas tinggi. Warna lemari yang putih tampak selaras dengan ruangan besar yang juga didominasi warna putih dan abu-abu.Sudah sekitar dua puluh menit wanita itu berdiam diri di atas kasur empuk yang dilapisi seprai putih bersih. Luna merasa sedikit sangsi dengan ucapan Bara yang mengatakan kalau rumah ini sangat jarang ditempati, karena seprai yang menyelimuti kasur itu juga terasa sangat bersih dan seperti baru diganti.“Sebenarnya rumah siapa ini? Mungkinkah rumah salah satu aktor terkenal juga? Kenapa Bara tidak mau memberitahuku soal itu?” gerutu Luna sambil melayangkan pandangan pada ruangan yang tampaknya dua kali lipat lebih besar dari kamar yang biasa dia tempati bersama dengan Reno.Luna memijat pelan kepalanya begitu mengingat soal Reno. Entah bagaimana keadaan pria yang sangat temperamental itu. Mungkinkah Reno masih berada di rumah kontrakan Luna, atau dia sudah pulang dan mengamuk di rumah?Helaan
“Hmph!” Luna berusaha menggerakkan tangannya sekuat tenaga, tetapi seseorang yang berada di belakangnya menarik tangan Luna dengan lebih kuat, membuat wanita itu terpaksa berjalan mundur. Luna menduga orang yang membekapnya adalah seorang pria jika dilihat dari ukuran tangan yang jauh lebih besar dari miliknya, ditambah sebuah jam tangan berwarna hitam yang melingkar di tangannya yang terasa tidak asing bagi Luna.Luna membelalakkan mata dan menoleh begitu mengingat siapa yang biasa mengenakan jam tangan hitam itu. Pria yang menariknya mundur mengenakan masker dan kacamata hitam sehingga membuatnya tidak dapat mengenalinya dengan mudah, tetapi Luna merasa sedikit lega ketika menyadari bahwa pria itu mungkin orang yang cukup dekat dengannya.Langkah Luna terasa lebih ringan setelah pria itu melepaskan tangan dan memberi isyarat di atas bibirnya, meminta Luna untuk tidak bicara apapun dan bergegas mengikuti langkahnya yang bergerak menuju sisi lain dari gang sempit itu.Sesuai dengan pe