Ceklek.Suara kunci yang diputar membuat Luna menoleh dan tersenyum kecil pada Bi Imah yang kini berada di sampingnya. Wanita paruh baya itu kembali memasuki kamarnya setelah kepergian Aldi beberapa menit yang lalu.“Sepertinya Bu Luna sudah jauh lebih baik ya, saya jadi ikut senang,” ucap Bi Imah sembari mengelus pelan rambut Luna. Meskipun posisinya di rumah itu hanya sebagai seorang asisten rumah tangga, tetapi Luna tidak pernah memperlakukan Bi Imah dengan cara yang kurang pantas, bahkan Luna sering mengobrol dan menganggap Bi Imah sebagai ibunya juga.“Terima kasih ya, bi. Bibi sudah mau menjaga saya seperti ini,” balas Luna diiringi dengan senyum manis di wajahnya. Wanita paruh baya yang kini sudah mengenakan sebuah cardigan berwarna hitam itu menggeleng pelan dan meyakinkan Luna untuk tidak berpikir seperti itu.“Lebih baik sekarang Bu Luna istirahat saja, ya. Biar saya bantu ibu untuk bersih-bersih dan ganti pakaian dulu. Malam ini saya akan tidur di sini bersama ibu.” Bi Imah
Luna membuka matanya perlahan dan mendapati Bi Imah yang tidak berada di sisinya. Ketika dia terbangun di tengah malam tadi, Luna yakin betul bahwa Bi Imah tidur di sampingnya. Luna mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih terasa nyeri secara perlahan. Obat-obatan yang diberikan Dokter Irwan kemarin cukup membuat nyerinya sedikit berkurang, sehingga Luna memutuskan untuk berjalan memasuki kamar mandi dan mengambil air wudhu sebelum menunaikan kewajibannya.Suasana kamar yang tadinya gelap kini terlihat lebih terang setelah Luna menyalakan lampu utama di tengah ruangan dan mengenakan mukenanya. Meskipun berada dalam keadaan penuh tekanan seperti ini, Luna tetap tidak mau meninggalkan kewajibannya sebagai seorang hamba. Luna percaya bahwa pertolongan-Nya akan segera datang sehingga dia bisa keluar dari rumah itu.“Hamba mohon berikan hamba kekuatan untuk melalui semua ini,” ucap Luna sembari mengusap pelan air matanya yang langsung mengalir begitu dia mengangkat tangannya dan memohon pa
Luna menatap wajah Bi Imah yang tampak bersalah. Wanita cantik itu menggenggam tangan Bi Imah dan mencoba meyakinkan asisten rumah tangganya untuk menjawab pertanyaannya tanpa perlu merasa bersalah.“Sebenarnya, tadi orang tua Bu Luna menelepon dengan telepon video. Saya jadi tahu karena Pak Gunawan berpesan untuk membiarkan ponsel Bu Luna tetap menyala agar tidak ada yang curiga,” ujar Bi Imah memulai ceritanya.Luna hanya mengangguk pelan. Ingatan tentang kali terakhir dia mematikan ponselnya ketika sedang kabur kembali memenuhi pikirannya. Saat itu, bukannya ketenangan yang didapatnya, Luna justru mendapatkan ancaman dan berbagai berita buruk yang menerornya ketika kembali mengaktifkan ponsel.“Mereka menanyakan kabar Bu Luna karena sejak konferensi pers, ibu sama sekali tidak menghubungi mereka, padahal ibu sudah berjanji untuk segera mengirim pesan,” sambung Bi Imah pelan ketika menyadari raut wajah Luna yang kembali berubah.“Akhirnya, saya mengatakan pada mereka kalau ponsel Bu
“Syarat? Memang apa syarat yang diminta Mas Reno?” tanya Luna dengan ekspresi penasaran. Luna sudah dapat menebak kalau suaminya tidak mungkin mau menyetujui hal semacam itu dengan sangat mudah. Apalagi setelah semua pemberitaan miring yang terjadi karena perbuatan Luna kemarin, dia yakin betul kalau sebenarnya Reno masih belum puas melampiaskan amarahnya.“Syarat pertama, selama berada di dalam kamar ini, Bu Luna sama sekali tidak boleh berhubungan dengan siapapun di luar rumah ini, termasuk kedua orang tua Bu Luna. Supaya orang tua Bu Luna tidak curiga, Pak Reno akan bicara lebih dulu dengan mereka dan mengatakan kalau Bu Luna sedang butuh waktu sendiri,” jawab Bi Imah panjang lebar.Luna hanya mengangguk pelan mendengar jawaban asisten rumah tangganya. Luna sudah merasa tidak terlalu asing dengan syarat pertama yang diajukan oleh Reno, pasalnya sejak hari pertama dia berada di dalam kamar kurungan ini, Reno sudah memberitahunya bahwa dia tidak akan bisa menghubungi siapapun dan tid
"Tolonglah, bi. Saya memang sudah berjanji untuk tidak menemuinya secara langsung, tetapi bukan berarti saya tidak bisa bicara dengan Luna sama sekali ‘kan? Bagaimana kalau saya bicara dengannya di balik pintu?” Reno sedikit meninggikan suaranya karena merasa kesal melihat keteguhan Bi Imah yang hanya mematung di tempatnya. Setelah dua hari berada di rumah kedua orang tuanya, pagi ini papa mengijinkannya untuk kembali ke rumah dengan syarat tidak boleh bertemu secara langsung dengan Luna. Meski begitu, pria yang keras kepala itu sudah berdiri di depan Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan untuk Luna selama lima menit. “Saya tidak berani memberikan ijin, pak. Pak Reno sendiri yang bilang tidak akan menermui Bu Luna,” jawab Bi Imah sembari meletakkan sebuah piring berisi beberapa lembar roti dan sekotak kecil selai kacang. “Bi Imah, saya harus jelasin berapa kali sih kalau saya tidak akan menemuinya? Saya hanya ingin bicara dengan Luna, bukannya bertemu tatap mata seperti ini!” Reno
Tok. Tok. Tok.Suara ketukan pintu yang terdengar pelan dan intens justru membuat Luna merapatkan tubuhnya ke arah dinding. Tanpa melihat sosok yang berada di balik pintu kayu, Luna sudah dapat merasakan kengerian dan ketegangan yang menyertainya.“Luna! Luna, apa kamu bisa mendengar saya?” tanya Reno dengan suara lembut. Pertanyaan Luna mengingatkannya pada saat dia bicara dengan Aldi tempo hari, tetapi kali ini Luna tidak merasa lega ataupun senang mendengar suara Reno.Luna berulangkali menarik dan menghembuskan napas demi menenangkan diri. Tangan lentiknya yang kini dipenuhi luka lecet dan memar itu masih bergetar hebat. Luna hanya bisa bergumam pelan dan bergerak menjauhi pintu yang memisahkan dirinya dan Reno.“Kalau kamu belum siap bicara, setidaknya lihatlah foto ini dulu,” ucap Reno sembari menyodorkan sebuah foto melalui celah pintu di bawah kakinya. Aktor tampan itu juga bergerak pelan dan menyandarkan tubuhnya di belakang pintu.Manik hitam Luna menangkap sebuah gambar yan
Aldi mengetuk pintu kayu berwarna hitam di depannya sembari menarik napas dalam-dalam. Pria yang mengenakan kemeja berwarna maroon dan celana panjang hitam itu sudah dapat menebak alasannya mendapat panggilan mendadak dari pamannya. Ditambah lagi, Om Bayu meminta Aldi menemuinya di jam senggang antara kesibukan meetingnya, yang artinya sesuatu yang ingin dibahas merupakan masalah yang sangat penting. "Masuk saja." Suara berat Om Bayu membuat Aldi meyakinkan diri sekali lagi sebelum memutar kenop pintu di hadapannya. Sebuah senyum manis dari Om Bayu menyambut kedatangan Aldi. Tidak hanya itu, rupanya Om Bayu sudah mempersiapkan rujak buah kesukaannya di atas meja. "Duduk dulu sini, temani om makan," ucapnya sembari menyodorkan piring kecil yang di atasnya sudah terdapat garpu dan sendok. Aldi mengangguk pelan dan segera menuruti ucapan pamannya. Rasa lelah yang sejak tadi menghinggapinya mendadak hilang begitu potongan segar buah yang dibalut dengan sambal rujak yang lezat memasuki
“Halo, Pak Aldi.” Sebuah senyum lebar terlihat di wajah tampan Reno yang berada tepat di depan Aldi.Pria berambut ikal itu hanya melirik Reno sekilas sebelum melanjutkan langkahnya. Reno tertawa kecil begitu melihat sikap Aldi yang memilih untuk mengabaikannya.“Kamu tidak mau membalas sapaanku? Wah, bukankah jajaran direksi tidak boleh merasa arogan dan mengabaikan aktor paling berbakat mereka?” tanya Reno sembari mengikuti langkah Aldi.Lagi-lagi, pria berambut ikal itu berjalan melewati lorong dan memasuki lift di ujung ruangan tanpa mempedulikan keberadaan Reno.“Sudah berapa lama sebenarnya kamu menjabat sebagai presdir sampai bisa mengabaikanku begitu? Aku jadi penasaran apa selama ini kamu menghinaku di belakang karena tidak tahu siapa yang selama ini aku ancam,” ucap Reno sembari tertawa pelan. Ada rasa getir ketika mengakui kalau posisi Aldi memang berada di atasnya, padahal selama ini dia selalu menghina dan merendahkan pria itu.“Ada apa?” tanya Aldi sembari menatap layar
Luna menatap layar ponselnya sembari memasukkan segenggam kacang goreng ke dalam mulutnya. “Perselingkuhan Aktor Terkenal Reno dengan Aktris Pendatang Baru.” Luna membaca judul berita di layar kecil itu dengan nada datar. Tidak ada lagi rasa sedih ataupun kecewa dari sorot matanya, seolah-olah Luna sudah sangat terbiasa dengan berita perselingkuhan itu.Bi Imah yang tengah menyiapkan sarapan mendekat dan membaca berita yang sama dari ponsel Luna. “Jadi mereka tertangkap kamera lagi ya? Apa Pak Reno sengaja melakukan ini?” tanya Bi Imah dengan raut penasaran.Luna menoleh heran demi mendengar pertanyaan asisten rumah tangganya. “Kenapa Mas Reno harus melakukan itu, bi? Memang apa untungnya? Bukankah seharusnya berita seperti ini malah bisa merugikan Mas Reno ya?” Luna justru balas bertanya dengan raut bingung.Wanita paruh baya yang mengenakan celemek kuning itu mengambil kursi di depan Luna dan menghela napas panjang. “Mungkin saja ‘kan Pak Reno sedang tes ombak? Karena kemarin Bu Lun
Reno menatap rumah besar di depannya dengan wajah kesal. Setelah insiden di jalan tadi, dia memutuskan untuk mengemudikan mobil dan mengantar Maria dan Angga pulang lebih dulu. Entah apa yang ada di pikiran manajernya itu sampai-sampai tidak fokus dalam mengemudi dan hampir membahayakan mereka semua.“Luna, semua ini karena kamu! Seandainya sejak awal kamu mendengarku dan mengabaikan Aldi, pasti kehidupanku akan baik-baik saja! Aku dekat dengan Maria juga ‘kan karena kamu yang mulai cari gara-gara dan merepotkanku terus,” geram Reno sambil memukul setir di depannya.“Sebenarnya di mana kamu bersembunyi, Luna? Mungkinkah kamu kembali ke rumah?” tanya Reno pada dirinya sendiri. Upayanya mendatangi kontrakan Luna setelah tayangan klarifikasi itu tidak membuahkan hasil. Meskipun sudah menunggu di depan rumah petak itu sejak siang hingga malam hari, Reno sama sekali tidak melihat Luna. Sepertinya Luna sudah tahu keberadaannya dan berhasil melarikan diri lebih dulu. Tetapi ke mana wanita it
Reno menghentakkan kakinya kencang-kencang setelah menutup pintu coklat di belakangnya. Dia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan reaksi sinis seperti itu dari salah satu direktur yang biasanya selalu memujanya. Ditambah lagi, sikap sinis itu dia dapatkan tepat di depan Aldi, musuh terbesarnya saat ini."Siapa yang akan menangis katamu? Tentu saja itu adalah kamu, Aldi! Dasar tidak tahu diri!" geram Reno sambil meninju tangannya ke sembarang arah dan berjalan menuju lift di ujung koridor. Berita-berita tentang kekerasan yang dia lakukan pada Luna sudah tersebar luas di berbagai media. Tidak seperti biasanya, manajernya, Angga bahkan mengatakan bahwa dia belum mendapat berita apapun dari agensi mereka tentang upaya membersihkan namanya. Hal itu jelas membuat Reno semakin pusing, ditambah dengan sikap direktur yang tadi dia temui. Mungkinkah saat ini dia tengah dikucilkan? "Kenapa jadi aku yang harus dikucilkan? Padahal Aldi dan Luna yang bersalah. Kalau saja Aldi tidak datang
Brak!Aldi mengangkat kepalanya karena suara pintu kantornya yang mendadak dibuka dengan kencang. Lebih tepatnya, seseorang yang tampak sangat marah membantingnya dan kini menatap lurus pada dirinya.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang la—”Grab!Belum sempat Aldi menyelesaikan ucapannya, sebuah tangan kekar telah mencapai dirinya dan kini mencengkram kerah kemeja hitam yang dia kenakan.“Kurang ajar! Katakan di mana Luna sekarang!” ucap Reno dengan mata memerah. Gigi putihnya bahkan bergetar karena menahan emosi.Aldi menatap pria di depannya dengan dingin. Siapa sangka pagi harinya akan dibuka dengan kemarahan Reno yang mendadak datang di kantornya yang sangat tenang.“Setidaknya tunjukkan rasa sopan ketika memasuki tempat orang lain.” Bukannya menjawab perkataan Reno, pria dengan rambut ikal yang kini dikuncir kecil itu justru mengulangi ucapannya sendiri.B
"Saya merasa senang mendengarnya pak. Semoga semua berjalan sesuai rencana, sehingga posisi bapak di agensi itu tidak akan goyah."Luna yang bermaksud mengambilkan air minum dan beberapa snack untuk Bi Imah menghentikan langkahnya tepat di dinding pembatas dapur ketika mendengar suara berat milik Bara. Sebuah nama segera melintas dalam pikiran Luna ketika mendengar kata-kata 'posisi' dan 'agensi'. "Mas Aldi? Mungkinkah Bara bicara dengan Mas Aldi?" tanya Luna pada dirinya sendiri. Seolah tersihir, kedua kakinya bergerak mendekat dan berniat mencuri dengar pembicaraan Bara dan temannya itu. "Baik, pak. Saya mengerti. Saya akan melakukan semua yang bapak minta," ujar Bara dengan mantap. Luna terdiam di sisi lain dapur dan berusaha menahan napas agar Bara tidak merasa terganggu dengan keberadaannya. Sesekali, wanita muda itu mengintip ke dapur dan mendapati Bara yang tengah duduk di meja makan. Mangkuk bakso miliknya yang masih tersisa separuh sama sekali tidak memalingkan perhatian L
Ting Tong! Bara menghentikan Luna dengan tangannya dan beranjak lebih dulu mendekati pintu utama dengan aksen garis putih itu. Sementara di belakangnya, Luna mengekor dengan tatapan curiga. Hampir saja dirinya terlarut dalam rasa penasaran yang mungkin saja menyeretnya dalam bahaya. Bara membuka sedikit ujung gorden demi mengecek siapa yang berada di balik pintu. "Iya, pak. Beliau sudah datang," ujarnya pelan pada lawan bicara di telepon.Luna yang berada tepat di belakangnya menghela napas lega. Artinya, orang yang berada di belakang pintu bukanlah ancaman bagi mereka.Wanita yang mengenakan dress bunga itu mengernyit kecil ketika Bara membisikkan sesuatu melalui telepon. Rasa penasaran tentang siapa yang diajak bicara oleh pria itu mendadak mencuat. Melihat bagaimana Bara sangat waspada ketika mengangkat telepon, Luna jadi menduga-duga kalau lawan bicara aktor muda itu mungkin saja adalah pemilik rumah mewah ini."Mba, bibi yang akan membantu Mba Luna selama di sini sudah datang."
“Bara, apa ini foto pemilik rumah?”Pertanyaan Luna membuat Bara menoleh dan menatapnya dengan wajah pucat. Sebelum Luna datang ke sini, Bara ingat betul dia sudah menyingkirkan semua foto ataupun barang-barang yang bisa menjadi petunjuk tentang pemilik rumah mewah itu, tetapi sepertinya dia melewatkan satu pigura kecil yang kini menjadi perhatian Luna.“Bara? Apa pemilik rumah ini seorang aktor juga sepertimu?” Luna yang merasa semakin bingung setelah melihat ekspresi Bara mencoba mengganti pertanyaannya, tetapi Bara masih terdiam dan kini hanya tersenyum tipis.“Ah, bukan. Pemilik rumah ini memang bukan aktor mba, tetapi saya kenal baik dengannya, hehe. Jadi, Mba Luna tenang saja, Mas Reno tidak akan tahu kalau Mba Luna ada di sini,” jawab Bara dengan senyum terpaksa.Luna mengulum senyum kecil ketika mendengar jawaban lawan bicaranya yang terlihat sangat gugup. Wanita cantik itu menatap foto anak laki-laki kecil dengan rambut ikal itu sekali lagi, sekadar memastikan bahwa foto itu
Luna menatap kosong pada lemari besar yang tampaknya dibuat dari kayu berkualitas tinggi. Warna lemari yang putih tampak selaras dengan ruangan besar yang juga didominasi warna putih dan abu-abu.Sudah sekitar dua puluh menit wanita itu berdiam diri di atas kasur empuk yang dilapisi seprai putih bersih. Luna merasa sedikit sangsi dengan ucapan Bara yang mengatakan kalau rumah ini sangat jarang ditempati, karena seprai yang menyelimuti kasur itu juga terasa sangat bersih dan seperti baru diganti.“Sebenarnya rumah siapa ini? Mungkinkah rumah salah satu aktor terkenal juga? Kenapa Bara tidak mau memberitahuku soal itu?” gerutu Luna sambil melayangkan pandangan pada ruangan yang tampaknya dua kali lipat lebih besar dari kamar yang biasa dia tempati bersama dengan Reno.Luna memijat pelan kepalanya begitu mengingat soal Reno. Entah bagaimana keadaan pria yang sangat temperamental itu. Mungkinkah Reno masih berada di rumah kontrakan Luna, atau dia sudah pulang dan mengamuk di rumah?Helaan
“Hmph!” Luna berusaha menggerakkan tangannya sekuat tenaga, tetapi seseorang yang berada di belakangnya menarik tangan Luna dengan lebih kuat, membuat wanita itu terpaksa berjalan mundur. Luna menduga orang yang membekapnya adalah seorang pria jika dilihat dari ukuran tangan yang jauh lebih besar dari miliknya, ditambah sebuah jam tangan berwarna hitam yang melingkar di tangannya yang terasa tidak asing bagi Luna.Luna membelalakkan mata dan menoleh begitu mengingat siapa yang biasa mengenakan jam tangan hitam itu. Pria yang menariknya mundur mengenakan masker dan kacamata hitam sehingga membuatnya tidak dapat mengenalinya dengan mudah, tetapi Luna merasa sedikit lega ketika menyadari bahwa pria itu mungkin orang yang cukup dekat dengannya.Langkah Luna terasa lebih ringan setelah pria itu melepaskan tangan dan memberi isyarat di atas bibirnya, meminta Luna untuk tidak bicara apapun dan bergegas mengikuti langkahnya yang bergerak menuju sisi lain dari gang sempit itu.Sesuai dengan pe