Share

Penelpon Misterius

Penulis: Rarha Ira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 18:27:45

Malam semakin larut, tetapi pikiran kami terus berputar. Semua yang kami temukan malam itu terlalu besar untuk dicerna sekaligus. Hubungan antara Bapak, Proyek Orion, dan kelompok ini mulai terjalin seperti benang kusut dan kami harus menariknya satu per satu dengan hati-hati.

---

Keesokan harinya, pukul 07.30, aku dan Aldo memutuskan untuk berpura-pura seperti biasa. Kami tidak ingin memancing kecurigaan siapa pun, terutama Bapak. Namun, rasa was-was menghantui sepanjang sarapan. Bapak duduk di ujung meja, menyantap roti panggang sambil membaca koran. Wajahnya tenang, seperti tidak ada yang terjadi.

"Aldo, apa kamu belum akan masuk kuliah?" ujar Bapak tiba-tiba membuat Aldo tersentak.

"Be–belum, Pak." Aldo menjawab sedikit gugup. Kemudian ia menarik dan menghembuskan napasnya pelan. Mungkin agar tidak kelihatan gugup.

"Nanti sore, tolong bantu di pabrik, ya. Ada laporan keuangan yang harus diselesaikan."

"Eh, iy
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Ancaman demi ancaman

    Keesokan Harinya, Pukul 07.00, aku bangun dengan perasaan yang masih kacau. Suara ancaman semalam terus terngiang di pikiranku. Setelah mandi dan sarapan singkat, aku dan Aldo bertemu di ruang tamu untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. "Aku udah mikir semalaman, Kak," ucap Aldo membuka percakapan. "Kita nggak bisa berhenti sekarang. Kalau kita mundur, mereka bisa menganggap kita ancaman, meskipun kita nggak melakukan apa-apa lagi. Kita harus tahu lebih banyak, tapi harus lebih hati-hati." Aku mengangguk setuju meski dadaku masih bergemuruh. "Jadi, apa langkah pertama yang akan kita ambil?" "RL7," jawabnya singkat. "Aku punya ide. Kita bisa manfaatin peta lokasi yang kita temukan, tapi kita harus cari tahu dulu apakah ada akses masuk yang aman. Kalau langsung masuk tanpa rencana, bisa bahaya." "Aku setuju, tapi bagaimana kalau mereka sudah memantau kita?" tanyaku ragu. "Itu risiko yang harus kita ambil," jawab Aldo, "lagipula, kal

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-22
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Menyusun rencana

    Aku dan Aldo mengintip dari balik tembok pagar. Kami menahan napas saat pria berjas hitam melangkah ke sisi lain mobil. Jantungku serasa berhenti ketika sosok yang keluar dari pintu itu adalah Bapak—Pak Ruslan."Apa yang Bapak lakukan bersama dia?" Aldo berbisik pelan, nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan.Bapak dan pria berjas hitam berjalan masuk ke rumah tanpa menyadari keberadaan kami. Ketika pintu utama tertutup, Aldo menarik lenganku dan kami segera mengendap ke dekat jendela ruang kerja Bapak.Kami mendengar suara mereka dari balik kaca jendela yang sedikit terbuka.“Waktu kita tidak banyak, Ruslan,” kata pria berjas hitam dengan suara tegas namun rendah, “pengiriman berikutnya akan melibatkan RL7, dan ini bisa membuka perhatian pihak yang tidak seharusnya.”“Sudah kubilang, aku hanya mau memastikan keluargaku aman,” jawab Bapak. Suaranya terdengar lelah, hampir seperti orang yang kalah. “Aku melakukan ini hanya untuk melunasi utang mereka.”“Tapi ini bukan tentang utang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Sebuah Rahasia Besar yang Mulai Terungkap

    Selama beberapa hari berikutnya, kami bertiga bekerja dalam diam, tapi penuh kewaspadaan. Beruntung beberapa hari ke depan Ibu tak kan ada di rumah karena perjalanan umrahnya, jadi kamu tak perlu menjelaskan apapun padanya. Dan, jika pun terjadi sesuatu, kami tak perlu khawatir memikirkan dirinya. Aldo menghabiskan waktu menghubungi Reza, temannya yang bekerja di bidang elektronik. Reza berhasil menyediakan kamera kecil dengan pengaman sinyal dan alat pemindai frekuensi untuk melacak komunikasi penjaga di RL7. Sementara itu, Bapak terus menggali informasi tentang blueprint jalur bawah tanah melalui akses terbatas yang dimilikinya. Aku bertugas memantau RL7 dari kejauhan. Dengan bantuan teleskop dan notebook kecil, aku mencatat pola penjagaan di sana—berapa banyak orang yang masuk dan keluar, jam pergantian penjaga, serta kendaraan apa saja yang datang. Hari demi hari, fakta yang kami kumpulkan mulai membentuk gambaran besar. RL7 bukan hanya gudang, melainkan fasilitas rahasia den

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pelarian Mendebarkan

    Tiba-tiba, suara Bapak terdengar dari alat komunikasi yang ada di telingaku. “Pergi ke titik aman, koordinat yang sudah kuberi tahu. Aku akan menyusul kalian.” “Tapi—” Aldo mencoba memprotes, tapi Bapak memotongnya. “Tidak ada waktu! Pergi sekarang, atau semuanya akan sia-sia!” Dengan berat hati, kami berlari menuju titik pertemuan yang sudah direncanakan sebelumnya: sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Di tengah kegelapan malam, aku terus memikirkan Bapak. Apakah dia bisa lolos? Ataukah ini terakhir kalinya kami melihatnya? Ketika kami tiba di tempat aman, Aldo segera menghubungi Reza. “Kita butuh kendaraan untuk keluar kota sekarang. Mereka sudah menemukan kita.” Reza, yang suaranya terdengar tegang, menjawab, “aku akan mengatur sesuatu, tapi kalian harus bertahan di sana dulu.” Aku memandang Aldo dengan putus asa. “Bagaimana dengan Bapak?”

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Terowongan pelarian

    Kami berlari menembus kegelapan malam, napas terengah-engah dan langkah tergesa-gesa menyusuri lorong sempit di belakang gudang. Suara langkah berat di belakang kami semakin dekat—mereka pasti mendengar suara pintu belakang terbuka. “Arah sini!” Aldo menarik tanganku, memimpin ke sebuah gang kecil yang hampir tertutup reruntuhan dinding. Jalan itu begitu sempit sehingga kami harus merunduk untuk melewatinya. Dari kejauhan, terdengar suara teriakan dan perintah yang menggema. Aku berusaha fokus pada langkah kakiku, tetapi tubuhku gemetar. Aku melirik Aldo, yang tetap tenang meskipun napasnya tersengal. Keteguhan itu memberiku sedikit keberanian. “Reza,” Aldo berbicara dengan nada datar, menekan alat komunikasi di telinganya, “beri kami arah keluar tercepat.” Ada jeda sebelum suara Reza terdengar. “Ada terowongan tua di dekatmu. Ikuti jalan utama ke kiri, lalu cari pintu baja dengan tanda ‘H’. Itu pintu masuknya.” Aku menatap Aldo bingung. “Terowongan? Kau yakin?” “Kita tida

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Gubug Persembunyian

    Malam itu terasa panjang. Meski tubuhku lelah, pikiranku terus berputar. Suara langkah di terowongan masih membekas di telinga seperti bayangan yang enggan pergi. Aku memandang Aldo yang duduk di dekat jendela dengan mata terjaga. Ia memegang pisau kecilnya, bersiap jika sesuatu terjadi. "Apa kau benar-benar yakin kita aman di sini?" tanyaku lirih, mencoba memecah kesunyian. Aldo menoleh, wajahnya tetap tenang seperti biasa. "Tidak ada tempat yang benar-benar aman, tapi untuk sekarang, ini cukup. Kita hanya perlu waspada." Aku menghela napas panjang, lalu bersandar di kursi kayu yang mulai terasa keras di punggungku. "Aku hanya ingin semua ini berakhir." "Semua orang menginginkan itu," jawab Aldo datar, "tapi kita tidak punya pilihan untuk berhenti sekarang." Pagi datang terlalu cepat, membawa kabut tebal yang menyelimuti hutan. Aku hampir tidak tidur semalaman, tetapi Aldo sudah berdiri di dapur kecil, menyiapkan sesuatu yang terlihat seperti teh. Bau dedaunan yang diseduh

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pelarian Yang Kesekian kalinya

    Kabut pagi mulai menipis saat kami melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena medan yang sulit, tetapi juga tekanan yang terus membayangi. Kami tahu waktu kami semakin sempit. Suara kendaraan tadi bukan sekadar peringatan; itu adalah bukti bahwa mereka mendekat. "Kita tidak bisa terus seperti ini," gumamku, berusaha mengatur napas. "Mereka pasti punya cara untuk melacak kita." Aldo menoleh sejenak, matanya tajam meski wajahnya tampak kelelahan. "Itu sebabnya kita harus bergerak cepat. Kalau kita berhenti terlalu lama, mereka akan mengepung kita." Kami berjalan lagi, menyusuri jalur sempit di antara pepohonan. Udara dingin menusuk kulit, tetapi aku hampir tidak merasakannya. Aku hanya bisa memikirkan satu hal: bagaimana caranya mengakhiri semua ini. Aku tahu flash drive itu penting, tetapi rasa takut selalu menahan langkahku. Setelah beberapa jam berjalan, kami tiba di sebuah gubuk t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pelarian yang Mendebarkan

    Cahaya lampu kendaraan menyapu bagian luar bangunan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak di dinding. Suara pintu kendaraan dibuka disertai langkah kaki cepat semakin mendekat. Aldo melirik Reza dengan tajam. "Kau tidak bilang flash drive ini memancarkan sinyal!" katanya. Suaranya rendah, tapi penuh tekanan. Reza mengangkat kedua tangan sedikit, isyarat meminta maaf. "Itu bagian dari perlindungannya. Hanya timku yang tahu cara melacaknya, tapi sepertinya mereka berhasil merebut teknologi itu lebih cepat dari perkiraanku." "Kita perlu mematikan sinyalnya sekarang," balas Aldo. Ia menoleh ke arahku. "Flash drive itu, mana?" Aku ragu-ragu sejenak, lalu merogoh tas kecilku dan mengeluarkan benda yang menjadi sumber semua kekacauan ini. Aldo menerimanya dengan cepat, matanya tidak pernah lepas dari Reza. "Kau tahu caranya?" tanyaku. Reza menggeleng, lalu menunjuk ke meja tempat peta dan dokumen-dokumen tadi. "Ada alat pemutus sinyal di sana, tapi kita hanya punya beberapa detik

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26

Bab terbaru

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Malam Yang Mencekam

    Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria bernama Jafar

    Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mulai terungkap

    Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria Berjaket Hitam

    --- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Petunjuk Baru

    ---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    perempuan misterius

    Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status