Share

Penelpon Misterius

Author: Rarha Ira
last update Last Updated: 2024-11-22 18:28:02

Malam semakin larut, tetapi pikiran kami terus berputar. Semua yang kami temukan malam itu terlalu besar untuk dicerna sekaligus. Hubungan antara Bapak, Proyek Orion, dan kelompok ini mulai terjalin seperti benang kusut dan kami harus menariknya satu per satu dengan hati-hati.

---

Keesokan harinya, pukul 07.30, aku dan Aldo memutuskan untuk berpura-pura seperti biasa. Kami tidak ingin memancing kecurigaan siapa pun, terutama Bapak. Namun, rasa was-was menghantui sepanjang sarapan. Bapak duduk di ujung meja, menyantap roti panggang sambil membaca koran. Wajahnya tenang, seperti tidak ada yang terjadi.

"Aldo, apa kamu belum akan masuk kuliah?" ujar Bapak tiba-tiba membuat Aldo tersentak.

"Be–belum, Pak." Aldo menjawab sedikit gugup. Kemudian ia menarik dan menghembuskan napasnya pelan. Mungkin agar tidak kelihatan gugup.

"Nanti sore, tolong bantu di pabrik, ya. Ada laporan keuangan yang harus diselesaikan."

"Eh, iy
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Ancaman demi ancaman

    Keesokan Harinya, Pukul 07.00 Aku bangun dengan perasaan yang masih kacau. Suara ancaman semalam terus terngiang di pikiranku. Setelah mandi dan sarapan singkat, aku dan Aldo bertemu di ruang tamu untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. "Aku udah mikir semalaman, Kak," ucap Aldo membuka percakapan. "Kita nggak bisa berhenti sekarang. Kalau kita mundur, mereka bisa menganggap kita ancaman, meskipun kita nggak melakukan apa-apa lagi. Kita harus tahu lebih banyak, tapi harus lebih hati-hati." Aku mengangguk setuju meski dadaku masih bergemuruh. "Jadi, langkah pertama?" "RL7," jawab Aldo singkat. "Aku punya ide. Kita bisa manfaatin peta lokasi yang kita temukan. Tapi kita harus cari tahu dulu apakah ada akses masuk yang aman. Kalau langsung masuk tanpa rencana, bisa bahaya." "Aku setuju. Tapi bagaimana kalau mereka sudah memantau kita?" tanyaku ragu. "Itu risiko yang harus kita ambil," jawab Aldo. "Lagipula, kalau mereka mau bertindak, se

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 1

    Prang! Suara menggelegar terdengar ketika aku sedang menyendokkan nasi ke dalam piring. "Udah berapa tahun kamu belajar masak, Adriana?" Aku yang rasanya sudah muak memilih diam tak berniat membalas ataupun menjawab ucapan pria itu. Kembali duduk dan menikmati makanan yang sudah tersedia di atas meja makan. "Bertahun-tahun kerjaan cuma jadi tukang masak, tetap saja nggak becus!" Lagi-lagi cacian yang harus kuterima setiap kali ia ada di rumah. 'Aku benci sama kamu, Mas! Kenapa, sih, cepat sekali kamu kembali ke rumah?' bisik hatiku dalam diam. "Udah nggak bisa ngasih aku keturunan, nggak bisa ngatur uang belanja, masak pun nggak pernah bener!" Mendengar kata-kata tajamnya yang selalu menyalahkanku perihal anak, membuatku naik pitam. Aku berhenti mengunyah makanan yang ada di dalam mulut dan menelannya dengan susah payah. Meletakkan sendok ke atas piring dengan kasar dan memandang wajah pria yang sudah membersamaiku sejak tiga tahun yang lalu itu dengan berani tanpa pe

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 2

    "Adriana!" panggil seseorang dari arah belakang. Suaranya seperti wanita, tapi ... siapa? Aku menoleh demi melihat siapa orang itu. 'Oh, dia. Pasti Mas Denny mengadu padanya ketika aku pergi tadi,' bisikku dalam hati. Tanpa memperdulikan wanita itu, aku kembali melanjutkan melipat mukena yang tadi aku pakai untuk salat. Setelah selesai, kuletakkan kembali pada tempat semula. "Heh, mantu kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina anakku! Apa maksudnya kamu bilang kalau kamu memberi makan orang satu rumah?!" Aku tak mempedulikan ocehan wanita yang berstatus sebagai ibu mertuaku dan berjalan keluar meninggalkan tempat ibadah itu. "Heh, wanita mandul!" Kakiku berhenti tepat di langkah ke lima. Aku yakin wanita itu masih berada di pelataran masjid ketika mengucapkan kata-kata keji itu. Terdengar langkah kakinya mendekat ke arahku. "Apa? Mau ngelak? Memang begitu, kan, kenyataannya?" "Maaf, ya, Ibu Mertua yang terhormat. Saya tidak mandul! Anda ingat, saya pernah memeri

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 3

    3"Baiklah, permisi!" Aku yang telah selesai memasukkan kembali pakaianku ke dalam koper, mulai melangkah menuju pintu. Belum sempat menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Mas Denny menarikku dengan kuat. Akibatnya, aku yang terhuyung harus merasakan perih di sekitar tulang pelipis. Samar-samar mendengar seseorang memanggil namaku, tapi aku tak bisa mengenali suara itu hingga akhirnya semuanya gelap dan aku tak bisa mendengar ataupun melihat apapun lagi. "Adriana, bangun, Nak! Apa kamu tidak lelah tertidur selama ini? Apa kamu tidak ingin bangun dan menikmati keindahan senja lagi?" "Siapa itu? Apa maksud dari ucapanmu?" teriakku pada orang itu. "Di mana aku? Ini ada di mana?" tanyaku ketika menyadari bahwa saat ini berada di tempat asing. "Bangunlah, Nak! Jika kamu bangun, maka Ibu akan membawamu pulang bersama kami. Kamu nggak akan terkena tekanan batin lagi tinggal bersama mereka. Ayo lah, Nak, bangun!" Lagi-lagi aku mendengar suara itu. Tunggu-tunggu, sepertinya aku tak asing deng

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 4

    "Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku. Tak tahan lagi jika harus menunggu kembali ke rumah hanya untuk mendapatkan penjelasan tentang keadaanku. "Nak, sebenarnya kenapa kamu bisa ada di rumah sakit ini, semua karena suami dan mertua toxic kamu itu. Awalnya mereka tak mau mengakui perihal kecelakaan yang menimpa kamu, tapi keraguan menyelimuti hati kami. Hingga akhirnya Bapak turun tangan menyelidiki semuanya," jelas Ibu. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang cantik. "Kecelakaan? Tapi bagaimana bisa, Bu? Seingatku kemarin pas mau buka pintu, Mas Denny melarang, tapi setelah itu aku nggak tau lagi apa yang terjadi hingga saat ini." "Iya, Nak. Denny narik tangan kamu kuat sampai kepalamu terbentur sudut meja. Gara-gara kecelakaan itu, kamu harus menjalani operasi di bagian kepala dan akhirnya terbaring di rumah sakit ini sejak satu Minggu yang lalu," jedanya, "dan setelah di selidiki, ternyata awalnya mereka tak mau membawa kamu ke rumah sakit. Mereka sengaja merahasiaka

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 5

    "Siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" tanyaku penasaran. "Seseorang yang sangat dipercayai Bapak mampu membahagiakan kamu." Orang kepercayaan Bapak? Yang mampu membahagiakan aku? Apa maksud Ibu sebenarnya? "Apa maksud Ibu?" "Mksud Ibu—" Tok tok tok. Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sempat Ibu menjelaskan. "Sebentar, ya, Sayang, Ibu bukain pintu dulu. Siapa tahu orang itu sudah datang." Wanita yang paling aku sayangi itu melangkah menjauhiku menuju ke arah pintu dengan senyum yang begitu mengembang. "Assalamualaikum," ucap seorang pria yang ada di depan pintu. "Waalaikumsalam," jawab Ibu menyambut uluran tangannya. Pria itu menyalami tangan Ibu dengan takzim. "Waalaikumsalam," jawabku dengan lirih. Mereka masuk setelah sedikit berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. "Di, kenalin, ini Sandi. Dosen di salah satu universitas terkenal di Sulawesi Barat. Sandi ini termasuk dosen kebanggan universitas karena pr

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 6

    Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar. "Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur. "Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja. "Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya. "Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu. "Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu." "Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal. "Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin. Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bab 7, Apa maksudnya?

    Aku sedikit terkejut setelah mengetahui siapa yang masuk. Ternyata dia ….“Assalamualaikum,” ucapnya setelah masuk. “Waalaikumsalam,” jawabku tak acuh. Bagaimana dia bisa masuk? Bukankah Bapak dan Ibu sudah melarangnya untuk datang? Lantas, kemana mereka pergi? “Bagaimana keadaan kamu, Sayang?” tanya pria itu berjalan ke arahku. “Baik,” jawabku cuek. “Di, maafin Mas, ya! Sekarang Mas sadar, nggak seharusnya bersikap seperti itu sama kamu, aku nyesel, Di. Maafin Mas, ya!” Pria itu menggenggam tanganku erat sekali. Entahlah, rasanya kepercayaanku padanya kini telah musnah. Ceklek. Terdengar seseorang membuka pintu yang tadi sempat ditutup oleh Mas Denny, tapi pria itu langsung memalingkan wajahnya dan berniat menutup pintu itu kembali. “Bang Sandi, tunggu!” cegahku padanya. Pria itu berbalik menghadap ke arah kami setelah mendengar panggilanku. “Iya, Dik. Ada apa?” tanyanya ramah. “Abang bisa tolong kesini sebentar?” Tanpa diminta dua kali, pria itu langsung datang dan menuju k

Latest chapter

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Ancaman demi ancaman

    Keesokan Harinya, Pukul 07.00 Aku bangun dengan perasaan yang masih kacau. Suara ancaman semalam terus terngiang di pikiranku. Setelah mandi dan sarapan singkat, aku dan Aldo bertemu di ruang tamu untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya. "Aku udah mikir semalaman, Kak," ucap Aldo membuka percakapan. "Kita nggak bisa berhenti sekarang. Kalau kita mundur, mereka bisa menganggap kita ancaman, meskipun kita nggak melakukan apa-apa lagi. Kita harus tahu lebih banyak, tapi harus lebih hati-hati." Aku mengangguk setuju meski dadaku masih bergemuruh. "Jadi, langkah pertama?" "RL7," jawab Aldo singkat. "Aku punya ide. Kita bisa manfaatin peta lokasi yang kita temukan. Tapi kita harus cari tahu dulu apakah ada akses masuk yang aman. Kalau langsung masuk tanpa rencana, bisa bahaya." "Aku setuju. Tapi bagaimana kalau mereka sudah memantau kita?" tanyaku ragu. "Itu risiko yang harus kita ambil," jawab Aldo. "Lagipula, kalau mereka mau bertindak, se

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Penelpon Misterius

    Malam semakin larut, tetapi pikiran kami terus berputar. Semua yang kami temukan malam itu terlalu besar untuk dicerna sekaligus. Hubungan antara Bapak, Proyek Orion, dan kelompok ini mulai terjalin seperti benang kusut dan kami harus menariknya satu per satu dengan hati-hati.---Keesokan harinya, pukul 07.30, aku dan Aldo memutuskan untuk berpura-pura seperti biasa. Kami tidak ingin memancing kecurigaan siapa pun, terutama Bapak. Namun, rasa was-was menghantui sepanjang sarapan. Bapak duduk di ujung meja, menyantap roti panggang sambil membaca koran. Wajahnya tenang, seperti tidak ada yang terjadi."Aldo, apa kamu belum akan masuk kuliah?" ujar Bapak tiba-tiba membuat Aldo tersentak. "Be–belum, Pak." Aldo menjawab sedikit gugup. Kemudian ia menarik dan menghembuskan napasnya pelan. Mungkin agar tidak kelihatan gugup. "Nanti sore, tolong bantu di pabrik, ya. Ada laporan keuangan yang harus diselesaikan.""Eh, iy

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Fakta Yang Mengubah Segalnya

    Malam itu, setelah mengumpulkan semua informasi, aku dan Aldo memutuskan untuk kembali ke Gudang TG. Kami membawa senter, kamera, dan sebuah perekam suara—berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang perlu diabadikan. Ketika sampai di dekat gudang, suasana begitu sunyi, hanya terdengar suara angin yang membawa aroma logam dari bangunan tua itu. Kami memarkir mobil agak jauh, lalu berjalan perlahan menuju gedung. Cahaya bulan menerangi sebagian besar area, tapi ada beberapa sudut yang gelap pekat. Aku melirik Aldo, yang tampak tegang namun penuh tekad. “Pintu samping itu,” bisikku, menunjuk ke arah pintu kecil yang tampak tidak terkunci. Kami mendekat, memastikan tidak ada yang mengawasi. Ketika pintu dibuka, suara engsel yang berdecit membuat kami berdua refleks berhenti sejenak. Setelah yakin tidak ada respons, kami masuk ke dalam. Gudang itu lebih besar daripada yang kami duga. Rak-rak tua masih berdiri, meskipun kosong dan berdeb

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mulai terbukanya sebuah misteri

    Aldo mendekatkan dirinya ke layar, matanya terpaku pada hasil pencarian yang kutunjukkan. "Ini dia, Kak! Ada sebuah tempat bernama Gudang TG di kawasan industri lama di pinggiran kota. Ternyata itu gudang penyimpanan yang sempat populer untuk barang elektronik pada masanya, tapi, ada catatan bahwa gudang itu sudah tidak beroperasi sejak lima tahun lalu," ujarnya dengan antusias. Aku mengangguk, membaca lebih lanjut informasi yang terpampang di layar. "Lihat ini, Do. Ada nama Ruslan tercantum sebagai salah satu pemiliknya sebelum operasionalnya berhenti. Kalau benar ini orang yang sama dengan kartu nama tadi, berarti kita ada di jalur yang tepat." Aldo tampak berpikir. "Tapi kalau tempat ini sudah lama tidak digunakan, apa mungkin masih ada sesuatu di sana? Apa kita perlu izin dulu untuk masuk?" "Aku rasa, sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus siapkan rencana," kataku, mencoba menenangkan diri.

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kode rahasia

    Setelah sampai di rumah, Aldo dan aku langsung menuju meja kerja di ruang tengah. Tanpa banyak bicara, kami mulai membongkar isi tas, termasuk dokumen yang kami temukan tadi dan kotak kayu kecil yang terkunci. Ruangan terasa sunyi, hanya suara kipas angin yang berputar pelan mengisi keheningan. Aldo mengambil napas panjang. “Kak, coba kita periksa catatan ini dulu. Mungkin ada petunjuk tentang Budi atau apa pun yang relevan,” katanya sambil membuka buku catatan tadi. Aku mengangguk, lalu duduk di sebelahnya. Aldo mulai memeriksa halaman demi halaman, mencari sesuatu yang menonjol. Tidak lama kemudian, ia menunjuk sebuah entri di salah satu halaman. “Lihat ini, Kak. Ada nama ‘Budi’ lagi, dan ada kode di sebelahnya—‘TG24’,” katanya. Aku memiringkan kepala, mencoba memikirkan apa arti kode itu. “Mungkin semacam kode barang atau lokasi?” Aku menebak.

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Inisial "R" di ruko tak terpakai

    Sesampainya di rumah, kami langsung mengunci pintu dan menutup semua jendela. Aldo menyalakan laptopnya dan mulai mencari informasi lebih lanjut tentang nama-nama yang ada di dokumen tadi. Sementara itu, aku duduk di sofa dengan pikiran yang masih kacau. "Do, kamu yakin kita bisa menyelesaikan ini tanpa melibatkan orang lain?" tanyaku akhirnya. Aldo menoleh. "Kita coba dulu, Kak. Kalau memang butuh bantuan, kita pikirkan nanti., tapi aku yakin, kalau kita sabar, semuanya bakal terungkap." Aku mengangguk pelan, meski hati ini masih penuh keraguan. Aku tahu Aldo berusaha meyakinkanku, tapi kenyataan bahwa Bapak mungkin terlibat membuat semuanya jauh lebih rumit. Setelah beberapa jam, Aldo akhirnya menemukan sesuatu. "Kak, ini Budi," katanya sambil menunjuk layar laptop. "Dia punya usaha kecil, semacam toko elektronik. Tapi beberapa bulan terakhir, tokonya tutup. Ada banyak komentar di akun media sosial

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Misteri di gudang terbengkalai

    Aku dan Aldo segera menyusun rencana untuk menyelidiki lebih dalam tentang Mas Denny. Kami memutuskan untuk memulai dengan mencari tahu lebih banyak tentang teman-teman dekatnya, karena itu adalah langkah pertama yang logis. Kami tahu, jika ada yang bisa memberikan petunjuk, pasti mereka."Ayo, kita coba cari informasi lewat media sosial dulu," kata Aldo sambil membuka laptop di atas meja. Ia mulai mengetik cepat, menelusuri jejak digital Mas Denny dan teman-temannya. Aku duduk di sebelahnya, menunggu sambil menatap layar dengan cemas.Aldo mengklik beberapa profil yang sepertinya terhubung dengan Mas Denny. "Ini, ada beberapa teman yang sering tampil di foto-fotonya. Ada yang bernama Riko, yang ini temannya sejak kuliah. Ada juga seorang cewek, namanya Maya, kelihatannya cukup dekat."Aku mengangguk, meskipun hati masih terasa gelisah. "Apa kamu bisa hubungi mereka?" tanyaku dengan suara sedikit bergetar.Aldo mengan

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Batal ke Sulawesi

    "Diana, bangun, Nak, udah pagi! Nanti kamu ketinggalan pesawat, loh." Sebuah suara membawaku pergi meninggalkan alam bawah sadarku. Napasku terengah-engah dan keringat bercucuran, tak hanya membasahi pipi, tapi seluruh tubuh. "Kamu sakit, Di?" ucap ibu khawatir menempelkan telapak tangannya ke dahi dan leherku. "Kamu demam, Nak. Kita ke rumah sakit, yuk!" Ibu terlihat sangat khawatir, tapi yang aku pikirkan bukan itu. Mimpi itu serasa nyata sekali, seperti sebuah peringatan. "Enggak, Bu. Aku nggak papa, kok," ucapku dengan suara yang sangat lemah. Entahlah, rasanya seluruh tubuhku kehilangan sendi dan otot-ototnya. Pagi itu, meski mataku masih terasa berat karena tidur yang terganggu, aku memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana untuk pergi ke Sulawesi. Semua barang sudah terkemas, koper sudah tertutup rapat, tapi seiring berjalannya waktu, rasa gelisahku kian memuncak. Aku tak bisa menghin

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Mimpi buruk

    Aldo tampak memerhatikan layar ponselku, wajahnya semakin serius. "Ini nggak main-main, Kak. Kita nggak bisa diem aja," katanya sambil meremas ponselku pelan, seolah-olah ingin memberi kekuatan agar aku juga merasa yakin. Aku mengangguk perlahan, meski perasaan takutku masih belum hilang. "Tapi apa yang harus kita lakukan, Do? Kalau semuanya ini cuma perasaan aku aja—" "Tapi kalau bukan cuma perasaan, gimana?" Aldo menyela, suaranya penuh tekad. "Kita harus cari tahu lebih dalam, Kak. Jangan sampe kita ngelewatin sesuatu yang penting." Aku menunduk, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Aldo, tapi saat itu rasa takut justru semakin menggerayangi hati. Sosok di luar jendela, pesan-pesan misterius, dan kata-kata Mas Denny yang berulang kali terngiang-ngiang dalam benakku. Aku merasa terperangkap dalam jaring yang semakin rapat. Aldo duduk di kursi dekat tempat tidurku, tangannya terlipat di depan dada. "Kak, kita nggak bisa diam aja. Aku udah punya beberapa ide, tapi ka

DMCA.com Protection Status