Air sungai dingin menggigit kulitku, membuat tubuhku menggigil tak terkendali. Arusnya begitu kuat hingga aku kesulitan menjaga kepala tetap di atas permukaan. Aldo memimpin di depan, tangannya sesekali melambai, memberi isyarat untuk tetap mengikuti arus. Reza berada di belakangku, terdengar terengah-engah tetapi terus bertahan. Lampu dari helikopter masih menyapu area sekitar, sesekali menyentuh permukaan sungai. Aku berusaha keras untuk tidak panik, tetapi setiap sorotan yang mendekat membuat jantungku melompat ke tenggorokan. Kami tidak bisa melawan arus. Pilihan satu-satunya adalah menyerahkan tubuh pada aliran deras ini dan berharap sungai akan membawa kami cukup jauh dari jangkauan mereka. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, arus mulai melambat. Aldo melambai ke arah tepian yang dipenuhi bebatuan besar dan pohon-pohon rimbun. Aku mengikuti, dengan tenaga yang tersisa, berenang menuju daratan. Ketika akhirnya aku berhasil mencengkeram akar pohon besar di t
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebelum aku bisa mengatakan apapun, suara Aldo memecah keheningan. "Ssst! Ada gerakan di utara!" Aku dan Reza segera merapatkan diri ke arah Aldo. Dia berdiri di balik pohon besar, matanya tajam mengamati ke arah yang dia maksud. Aku mengikuti pandangannya. Di kejauhan, samar-samar aku bisa melihat lampu senter yang bergerak mendekat. "Mereka menemukannya," gumam Aldo. Dia menggenggam pisaunya lebih erat. "Kita harus melambatkan mereka. Kalau tidak, kita tidak punya waktu untuk mengirim data itu." Aku merasa panik mulai merayap lagi, tetapi Aldo tetap tenang. Dia memandang kami berdua. "Dengarkan aku. Reza, kau tetap di sini untuk menjaga. Kau harus pastikan siapa pun yang mendekat tidak sampai ke rumah. Aku akan ke depan untuk mencoba mengalihkan perhatian mereka." "Dan aku?" tanyaku. Aldo menatapku sejenak. "Kak, kemba
Di tengah keheningan pondok kecil itu, pikiranku tak berhenti memutar ulang kenangan tentang Bapak. Sejak kami berpisah di perbatasan kota beberapa hari lalu, aku selalu bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Bukankah Reza bilang bahwa Bapak akan menghubungi kami? Namun, sampai saat ini, kami belum mendengar kabar apapun. Semakin lama aku berpikir, semakin berat dadaku. Apakah dia baik-baik saja di luar sana? Aku menatap Aldo dan Reza yang tampak kelelahan dan tetap waspada. Pria tua itu duduk di sudut, memeriksa perangkat kecil yang dibawanya. Sesekali dia mengetik sesuatu, entah apa. “Aldo,” kataku pelan, “apa menurutmu kita masih bisa menghubungi Bapak?” Aldo mengangkat wajahnya, menatapku dengan ekspresi bingung sejenak. Dia kemudian mengangguk pelan. “Kalau kita bisa menemukan sinyal yang cukup kuat, mungkin kita bisa mencobanya, tapi itu bukan prioritas sekarang. Kita masih dalam bahaya.” “Bapak juga bisa dalam bahaya,” sahutku cepat. Nada suaraku sedikit meninggi. “Di
Pria tua itu berpikir sejenak sebelum menjawab, “kita bisa masuk melalui lorong di sisi barat. Jalur itu dulunya digunakan untuk keperluan darurat, jadi kemungkinan masih aman.” Tanpa membuang waktu, kami bergerak ke arah yang dimaksud. Jalanan semakin sepi dan udara terasa semakin berat. Drone-drone di langit tampak berpatroli lebih dekat, membuat kami harus beberapa kali berhenti untuk bersembunyi. Ketegangan ini hampir tak tertahankan, tapi pikiran tentang Bapak membuatku terus maju. Ketika akhirnya kami mencapai sisi barat gedung, lorong darurat yang dimaksud memang ada di sana. Pintu masuknya tersembunyi di balik semak belukar yang tumbuh liar, membuatnya sulit ditemukan jika tidak tahu letaknya. Aldo membuka pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada jebakan sebelum memberi isyarat kepada kami untuk masuk. Di dalam lorong itu, suasana berubah drastis. Udara pengap bercampur bau logam tua dan suara langkah kaki kami menggema di sepanjang koridor sempit. Lampu-lampu kecil
Malam itu, saat kami melangkah lebih dalam ke dalam lorong yang menuju kota, ketegangan terus menyelimuti. Jalur bawah tanah yang diikuti sesuai peta Bapak terasa seperti jebakan. Bau apek bercampur debu membuat napas terasa berat, tetapi tidak ada yang bersuara. Setelah hampir satu jam perjalanan, kami tiba di pintu baja yang mengarah ke inti sistem kendali. Ini adalah titik pertama yang harus kami lewati sebelum bisa mendekati pusat kendali mereka. Aldo memberi isyarat agar semua tetap diam. Dengan cepat, dia memeriksa pintu itu, lalu mengangguk ke arah Bapak. “Kodenya?” tanyanya pelan. Bapak mengangguk sambil mengeluarkan catatan kecil. “Kode sementara ini harusnya cukup. Mereka belum sempat mengubahnya sejak Bapak mencuri datanya.” Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan dengan jaringan kabel dan monitor yang berkedip. Suara dengung listrik memenuhi udara. Kami semua masuk dengan hati-hati, memastikan tidak ada penjaga. “Tugas kita adalah memasukkan virus ini ke s
Fajar menyambut kami dengan keheningan yang terasa asing, seperti napas pertama setelah lama tenggelam. Tidak ada lagi dengungan drone di atas kepala, suara tembakan yang memburu pun akhirnya terhenti. Udara yang tadinya dipenuhi ketegangan kini terasa lebih ringan, meskipun kami tahu ini hanya awal dari perjuangan. Di dalam gudang tempat kami berkumpul, Bapak menyusun peta dan dokumen di atas meja kayu yang hampir runtuh. Semua orang duduk melingkar, wajah mereka masih tegang tetapi ada secercah harapan di mata mereka. “Langkah selanjutnya adalah menghancurkan markas pusat mereka,” kata Bapak dengan nada tegas. Dia menunjuk sebuah titik di peta, lokasi yang menjadi jantung operasi musuh. “Mereka masih memiliki kekuatan militer dan teknologi yang tersisa, tapi sekarang mereka tidak lagi memiliki kontrol penuh.” Pria tua itu menyela, “kita juga berhasil menyusupkan virus untuk memperlambat pemulihan sistem mereka. Artinya, mereka butuh waktu lebih lama untuk kembali beroperasi. Ini
Ternyata orang itu adalah Reza yang muncul dengan napas tersengal. Dia menuruni bukit kecil menuju arah kami dengan langkah cepat, tangannya masih menggenggam senapan dengan erat. Aldo langsung berdiri dan memasang posisi siaga. Sementara aku tetap duduk, mencoba membaca ekspresi tegang di wajah Reza. "Ada apa, Za?" Aldo menurunkan pisaunya, meskipun matanya tetap waspada. "Gerakan mereka berubah," ujar Reza dengan suara berat. Dia berhenti di depan kami, menunduk sebentar untuk mengatur napas. "Di bekas markas utara, mereka sudah mulai memobilisasi pasukan. Tidak besar, tapi jelas ini ancaman." Aku dan Aldo saling berpandangan. "Mobilisasi seperti apa?" tanyaku cepat. "Mereka sedang membangun ulang barikade, mengumpulkan logistik, dan menyiapkan kendaraan berat. Aku juga melihat beberapa drone baru yang belum pernah kita temui sebelumnya," jelas Reza dengan nada mendesak, "ini lebih cepat dari yang kita prediksi." Darahku berdesir. Jika musuh bergerak lebih cepat dari yang kam
Bapak terdiam, wajahnya mengeras mendengar jawabanku. Namun, tanpa membuang waktu, ia segera memerintahkan beberapa orang untuk kembali ke lorong mencari Aldo dan Reza. Aku ingin ikut, tapi Bapak mengangkat tangannya menghentikanku. "Jangan, kau sudah cukup berjuang. Biarkan mereka yang mencari," katanya dengan nada tegas, tapi aku bisa melihat kekhawatiran yang jelas di matanya. Aku menggigit bibir, merasa gelisah. Di kejauhan, suara tembakan sudah mulai mereda. Itu berarti serangan utama kami berjalan baik, tapi pikiranku tetap terfokus pada Aldo dan Reza. Mereka adalah alasan kami bisa mencapai titik ini. Jika mereka tidak kembali…. Tidak, aku menolak membiarkan pikiran itu menyusup lebih jauh. --- Beberapa menit terasa seperti jam. Aku duduk di tanah, mencoba menenangkan diri, ketika tiba-tiba seorang prajurit datang dengan napas tersengal. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi ada kilatan lega di mata
Aku menghela napas lega setelah mendengar penjelasan ibu mertua. Setidaknya, Silvi dan Sundari tidak berada di sini saat orang-orang itu datang. Tapi ini berarti mereka masih dalam bahaya—mereka bisa saja menjadi target berikutnya.Bang Sandi sepertinya berpikir hal yang sama. Dia langsung mengeluarkan ponselnya dan mencoba menelepon Silvi. Aku melihat rahangnya mengeras saat panggilannya masuk ke kotak suara."Kenapa nggak diangkat?" tanyaku cemas."Entahlah, mungkin dia masih di pesta," jawab Bang Sandi, tapi nada suaranya penuh kekhawatiran.Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Aku langsung berdiri. "Kita harus jemput mereka sekarang.""Aku ikut," kata Ibu dengan suara penuh ketegasan.Aku menggeleng. "Bu, di rumah ini masih belum aman. Kalau ibu ikut, kita malah berisiko lebih besar. Lebih baik ibu dan paman tetap di sini, pastikan pintu terkunci dan jangan buka untuk siapa pun."Ibu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju.Bang Sandi menggenggam tanganku erat. "Ayo, kit
Ancaman yang Semakin NyataAku duduk di kursi dengan tangan gemetar, mencoba menekan rasa panik yang mulai menguasai pikiran. Ponselku tetap tak berdering, tak ada jawaban dari keluargaku maupun keluarga Bang Sandi. Aku menatap pria itu dengan wajah penuh kecemasan.“Kita harus segera periksa keadaan mereka,” ujarku.Bang Sandi mengangguk. “Kita pisah. Aku dan Adriana ke rumah paman demi memeriksa ibu dan kedua adikku, sementara Iqbal menghubungi kontaknya di kepolisian. Kalau memang ada sesuatu yang mencurigakan, kita butuh bantuan.”Aku langsung berdiri, tapi Bang Sandi menahanku, menatapku dalam-dalam. “Abang janji, Abang nggak akan biarin siapa pun menyentuh kamu atau keluarga kita.”Aku mengangguk pelan, meski ketakutan masih menggerogoti dadaku.---Kami bergegas meninggalkan motel dan mengendarai mobil ke rumah paman. Jalanan malam terasa lebih mencekam dari biasanya. Setiap kendaraan yang melintas membuatku waspada.“Apa menurut Abang mereka akan menyerang langsung?” tanyaku,
Kami semua saling pandang. Wajah Iqbal masih pucat setelah menerima panggilan tadi.“Kita harus pergi dari sini sekarang,” kata Bang Sandi tegas.Iqbal langsung menyalakan mesin mobil dan kami meluncur keluar dari parkiran dengan kecepatan yang tidak mencolok, tapi cukup cepat untuk meninggalkan tempat itu secepat mungkin. Aku melirik kaca spion, memastikan tidak ada yang mengikuti kami.“Kalian pikir siapa yang menelepon tadi?” tanyaku pelan.Iqbal mengepalkan tangan di atas setir. “Jelas seseorang yang tahu apa yang kita lakukan.”“Apa mungkin Arman?” tanya Bang Sandi.Iqbal menggeleng. “Kalau dia, pasti dia sudah langsung mengancam atau menyuruh orangnya mengejar kita. Ini terasa berbeda. Suaranya lebih tenang, seperti seseorang yang punya kendali penuh.”Aku menggigit bibir, mencoba mencerna semuanya. “Lalu siapa?”Belum ada yang bisa menjawab. Kami melaju dalam keheningan, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri.---Kami akhirnya berhenti di sebuah motel kecil di pinggiran kot
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da
--- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar
--- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,
---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut
Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te