Share

Pelarian Mendebarkan

Author: Rarha Ira
last update Last Updated: 2024-11-24 10:52:07

Tiba-tiba, suara Bapak terdengar dari alat komunikasi yang ada di telingaku. “Pergi ke titik aman, koordinat yang sudah kuberi tahu. Aku akan menyusul kalian.”

“Tapi—” Aldo mencoba memprotes, tapi Bapak memotongnya.

“Tidak ada waktu! Pergi sekarang, atau semuanya akan sia-sia!”

Dengan berat hati, kami berlari menuju titik pertemuan yang sudah direncanakan sebelumnya: sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Di tengah kegelapan malam, aku terus memikirkan Bapak. Apakah dia bisa lolos? Ataukah ini terakhir kalinya kami melihatnya?

Ketika kami tiba di tempat aman, Aldo segera menghubungi Reza. “Kita butuh kendaraan untuk keluar kota sekarang. Mereka sudah menemukan kita.”

Reza, yang suaranya terdengar tegang, menjawab, “aku akan mengatur sesuatu, tapi kalian harus bertahan di sana dulu.”

Aku memandang Aldo dengan putus asa. “Bagaimana dengan Bapak?”

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Terowongan pelarian

    Kami berlari menembus kegelapan malam, napas terengah-engah dan langkah tergesa-gesa menyusuri lorong sempit di belakang gudang. Suara langkah berat di belakang kami semakin dekat—mereka pasti mendengar suara pintu belakang terbuka. “Arah sini!” Aldo menarik tanganku, memimpin ke sebuah gang kecil yang hampir tertutup reruntuhan dinding. Jalan itu begitu sempit sehingga kami harus merunduk untuk melewatinya. Dari kejauhan, terdengar suara teriakan dan perintah yang menggema. Aku berusaha fokus pada langkah kakiku, tetapi tubuhku gemetar. Aku melirik Aldo, yang tetap tenang meskipun napasnya tersengal. Keteguhan itu memberiku sedikit keberanian. “Reza,” Aldo berbicara dengan nada datar, menekan alat komunikasi di telinganya, “beri kami arah keluar tercepat.” Ada jeda sebelum suara Reza terdengar. “Ada terowongan tua di dekatmu. Ikuti jalan utama ke kiri, lalu cari pintu baja dengan tanda ‘H’. Itu pintu masuknya.” Aku menatap Aldo bingung. “Terowongan? Kau yakin?” “Kita tida

    Last Updated : 2024-11-24
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Gubug Persembunyian

    Malam itu terasa panjang. Meski tubuhku lelah, pikiranku terus berputar. Suara langkah di terowongan masih membekas di telinga seperti bayangan yang enggan pergi. Aku memandang Aldo yang duduk di dekat jendela dengan mata terjaga. Ia memegang pisau kecilnya, bersiap jika sesuatu terjadi. "Apa kau benar-benar yakin kita aman di sini?" tanyaku lirih, mencoba memecah kesunyian. Aldo menoleh, wajahnya tetap tenang seperti biasa. "Tidak ada tempat yang benar-benar aman, tapi untuk sekarang, ini cukup. Kita hanya perlu waspada." Aku menghela napas panjang, lalu bersandar di kursi kayu yang mulai terasa keras di punggungku. "Aku hanya ingin semua ini berakhir." "Semua orang menginginkan itu," jawab Aldo datar, "tapi kita tidak punya pilihan untuk berhenti sekarang." Pagi datang terlalu cepat, membawa kabut tebal yang menyelimuti hutan. Aku hampir tidak tidur semalaman, tetapi Aldo sudah berdiri di dapur kecil, menyiapkan sesuatu yang terlihat seperti teh. Bau dedaunan yang diseduh

    Last Updated : 2024-11-25
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pelarian Yang Kesekian kalinya

    Kabut pagi mulai menipis saat kami melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena medan yang sulit, tetapi juga tekanan yang terus membayangi. Kami tahu waktu kami semakin sempit. Suara kendaraan tadi bukan sekadar peringatan; itu adalah bukti bahwa mereka mendekat. "Kita tidak bisa terus seperti ini," gumamku, berusaha mengatur napas. "Mereka pasti punya cara untuk melacak kita." Aldo menoleh sejenak, matanya tajam meski wajahnya tampak kelelahan. "Itu sebabnya kita harus bergerak cepat. Kalau kita berhenti terlalu lama, mereka akan mengepung kita." Kami berjalan lagi, menyusuri jalur sempit di antara pepohonan. Udara dingin menusuk kulit, tetapi aku hampir tidak merasakannya. Aku hanya bisa memikirkan satu hal: bagaimana caranya mengakhiri semua ini. Aku tahu flash drive itu penting, tetapi rasa takut selalu menahan langkahku. Setelah beberapa jam berjalan, kami tiba di sebuah gubuk t

    Last Updated : 2024-11-25
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pelarian yang Mendebarkan

    Cahaya lampu kendaraan menyapu bagian luar bangunan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak di dinding. Suara pintu kendaraan dibuka disertai langkah kaki cepat semakin mendekat. Aldo melirik Reza dengan tajam. "Kau tidak bilang flash drive ini memancarkan sinyal!" katanya. Suaranya rendah, tapi penuh tekanan. Reza mengangkat kedua tangan sedikit, isyarat meminta maaf. "Itu bagian dari perlindungannya. Hanya timku yang tahu cara melacaknya, tapi sepertinya mereka berhasil merebut teknologi itu lebih cepat dari perkiraanku." "Kita perlu mematikan sinyalnya sekarang," balas Aldo. Ia menoleh ke arahku. "Flash drive itu, mana?" Aku ragu-ragu sejenak, lalu merogoh tas kecilku dan mengeluarkan benda yang menjadi sumber semua kekacauan ini. Aldo menerimanya dengan cepat, matanya tidak pernah lepas dari Reza. "Kau tahu caranya?" tanyaku. Reza menggeleng, lalu menunjuk ke meja tempat peta dan dokumen-dokumen tadi. "Ada alat pemutus sinyal di sana, tapi kita hanya punya beberapa detik

    Last Updated : 2024-11-26
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bertemu Pria Tua

    Air sungai dingin menggigit kulitku, membuat tubuhku menggigil tak terkendali. Arusnya begitu kuat hingga aku kesulitan menjaga kepala tetap di atas permukaan. Aldo memimpin di depan, tangannya sesekali melambai, memberi isyarat untuk tetap mengikuti arus. Reza berada di belakangku, terdengar terengah-engah tetapi terus bertahan. Lampu dari helikopter masih menyapu area sekitar, sesekali menyentuh permukaan sungai. Aku berusaha keras untuk tidak panik, tetapi setiap sorotan yang mendekat membuat jantungku melompat ke tenggorokan. Kami tidak bisa melawan arus. Pilihan satu-satunya adalah menyerahkan tubuh pada aliran deras ini dan berharap sungai akan membawa kami cukup jauh dari jangkauan mereka. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, arus mulai melambat. Aldo melambai ke arah tepian yang dipenuhi bebatuan besar dan pohon-pohon rimbun. Aku mengikuti, dengan tenaga yang tersisa, berenang menuju daratan. Ketika akhirnya aku berhasil mencengkeram akar pohon besar di t

    Last Updated : 2024-11-27
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pengiriman Data

    Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sebelum aku bisa mengatakan apapun, suara Aldo memecah keheningan. "Ssst! Ada gerakan di utara!" Aku dan Reza segera merapatkan diri ke arah Aldo. Dia berdiri di balik pohon besar, matanya tajam mengamati ke arah yang dia maksud. Aku mengikuti pandangannya. Di kejauhan, samar-samar aku bisa melihat lampu senter yang bergerak mendekat. "Mereka menemukannya," gumam Aldo. Dia menggenggam pisaunya lebih erat. "Kita harus melambatkan mereka. Kalau tidak, kita tidak punya waktu untuk mengirim data itu." Aku merasa panik mulai merayap lagi, tetapi Aldo tetap tenang. Dia memandang kami berdua. "Dengarkan aku. Reza, kau tetap di sini untuk menjaga. Kau harus pastikan siapa pun yang mendekat tidak sampai ke rumah. Aku akan ke depan untuk mencoba mengalihkan perhatian mereka." "Dan aku?" tanyaku. Aldo menatapku sejenak. "Kak, kemba

    Last Updated : 2024-11-28
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Misi Pencarian Bapak

    Di tengah keheningan pondok kecil itu, pikiranku tak berhenti memutar ulang kenangan tentang Bapak. Sejak kami berpisah di perbatasan kota beberapa hari lalu, aku selalu bertanya-tanya apa yang terjadi padanya. Bukankah Reza bilang bahwa Bapak akan menghubungi kami? Namun, sampai saat ini, kami belum mendengar kabar apapun. Semakin lama aku berpikir, semakin berat dadaku. Apakah dia baik-baik saja di luar sana? Aku menatap Aldo dan Reza yang tampak kelelahan dan tetap waspada. Pria tua itu duduk di sudut, memeriksa perangkat kecil yang dibawanya. Sesekali dia mengetik sesuatu, entah apa. “Aldo,” kataku pelan, “apa menurutmu kita masih bisa menghubungi Bapak?” Aldo mengangkat wajahnya, menatapku dengan ekspresi bingung sejenak. Dia kemudian mengangguk pelan. “Kalau kita bisa menemukan sinyal yang cukup kuat, mungkin kita bisa mencobanya, tapi itu bukan prioritas sekarang. Kita masih dalam bahaya.” “Bapak juga bisa dalam bahaya,” sahutku cepat. Nada suaraku sedikit meninggi. “Di

    Last Updated : 2024-11-29
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Memulai Perlawanan

    Pria tua itu berpikir sejenak sebelum menjawab, “kita bisa masuk melalui lorong di sisi barat. Jalur itu dulunya digunakan untuk keperluan darurat, jadi kemungkinan masih aman.” Tanpa membuang waktu, kami bergerak ke arah yang dimaksud. Jalanan semakin sepi dan udara terasa semakin berat. Drone-drone di langit tampak berpatroli lebih dekat, membuat kami harus beberapa kali berhenti untuk bersembunyi. Ketegangan ini hampir tak tertahankan, tapi pikiran tentang Bapak membuatku terus maju. Ketika akhirnya kami mencapai sisi barat gedung, lorong darurat yang dimaksud memang ada di sana. Pintu masuknya tersembunyi di balik semak belukar yang tumbuh liar, membuatnya sulit ditemukan jika tidak tahu letaknya. Aldo membuka pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada jebakan sebelum memberi isyarat kepada kami untuk masuk. Di dalam lorong itu, suasana berubah drastis. Udara pengap bercampur bau logam tua dan suara langkah kaki kami menggema di sepanjang koridor sempit. Lampu-lampu kecil

    Last Updated : 2024-11-30

Latest chapter

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Masalah Baru Lagi

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    mulai terkuaknya sebuah misteri

    ---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kembali Menemui Arman

    --- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pria Berjaket Hitam

    --- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Petunjuk Baru

    ---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    perempuan misterius

    Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Sebuah petunjuk

    Malam semakin larut, tapi kami semua masih terjaga di ruang tamu. Iqbal terus sibuk dengan laptopnya, mencoba menggali lebih dalam tentang petunjuk yang ia temukan. Bang Sandi duduk di sampingku, tangannya tak pernah lepas menggenggamku seolah takut aku menghilang. "Ini dia," kata Iqbal tiba-tiba, membuat kami berdua terlonjak, "aku nemu sesuatu yang menarik." "Apa?" tanyaku, mendekat ke arahnya. Iqbal memutar layar laptopnya ke arah kami. "Email kalian sempat menerima pesan mencurigakan sebulan lalu, tapi langsung terhapus. Untungnya, ada log yang tersimpan." Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kalian nggak akan bisa lari dari masa lalu." Aku merasakan darahku membeku. "Masa lalu? Maksudnya apa?" Iqbal menggeleng. "Itu yang harus kita cari tahu. Pesan ini dikirim dari jaringan umum di sekitar kampus, sama seperti alamat IP yang tadi." Bang Sandi tampak berpikir keras. "Jaringan umum? Berarti pelaku bisa siapa saja." "Tepat," sahut Iqbal, "tapi ada satu hal aneh. Aku

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Log aktivitas

    Pagi itu, suasana rumah terasa tegang. Aku duduk di meja makan memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Bang Sandi berada di seberangku, menatapku dengan pandangan penuh perhatian. Dia tahu aku masih terguncang oleh foto-foto yang kami temukan tadi malam. "Sayang, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanyanya dengan suaranya yang lembut. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak lapar, Bang" Ia mendesah, lalu bangkit dari kursinya dan berjongkok di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat. "Kamu harus kuat, Sayang. Abang janji kita akan selesaikan ini sama-sama. Abang nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu." Aku menatapnya, mataku mulai berkaca-kaca, "tapi aku takut, Bang. Orang ini tahu segalanya tentang kita. Dia bahkan masuk ke rumah kita, ke kamar kita .…"Bang Sandi mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Abang nggak akan biarin dia nyakitin kamu. Kamu percaya sama Abang, kan?" Aku mengangguk pelan, tapi rasa takut itu tetap ada, seperti duri yang menancap di hatiku. Iqbal

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Amplop Coklat

    --- Aku menggenggam erat tangan Bang Sandi saat kami kembali ke kantor polisi membawa bukti baru, foto pernikahan yang dirusak dan rekaman kamera pengawas. Pak Ridwan memeriksa semuanya dengan wajah serius, sesekali berdiskusi dengan rekan-rekannya. "Ini jelas tindakan yang disengaja dan terencana," ujarnya sambil menatap kami, "kami akan mencoba melacak orang ini dari jejak yang ditinggalkannya, tapi butuh waktu." Iqbal yang ikut menemani kami ke kantor polisi dan tampak tak sabar. "Pak, apa nggak ada cara lebih cepat? Orang ini udah terlalu berani!" Pak Ridwan menghela napas. "Kami akan memprioritaskan kasus ini, tapi kalian juga harus membantu kami. Ada sesuatu yang mencurigakan atau siapa saja yang pernah bermasalah dengan kalian?" Aku dan Bang Sandi saling berpandangan. Pertanyaan itu menggantung seperti beban di udara. "Aku nggak tahu, Pak," jawabku akhirnya, "kami nggak punya musuh. Kehidupan kami biasa saja." Di sisi lain, Bang Sandi tampak berpikir keras. Ia m

DMCA.com Protection Status