Pria tua itu berpikir sejenak sebelum menjawab, “kita bisa masuk melalui lorong di sisi barat. Jalur itu dulunya digunakan untuk keperluan darurat, jadi kemungkinan masih aman.” Tanpa membuang waktu, kami bergerak ke arah yang dimaksud. Jalanan semakin sepi dan udara terasa semakin berat. Drone-drone di langit tampak berpatroli lebih dekat, membuat kami harus beberapa kali berhenti untuk bersembunyi. Ketegangan ini hampir tak tertahankan, tapi pikiran tentang Bapak membuatku terus maju. Ketika akhirnya kami mencapai sisi barat gedung, lorong darurat yang dimaksud memang ada di sana. Pintu masuknya tersembunyi di balik semak belukar yang tumbuh liar, membuatnya sulit ditemukan jika tidak tahu letaknya. Aldo membuka pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada jebakan sebelum memberi isyarat kepada kami untuk masuk. Di dalam lorong itu, suasana berubah drastis. Udara pengap bercampur bau logam tua dan suara langkah kaki kami menggema di sepanjang koridor sempit. Lampu-lampu kecil
Malam itu, saat kami melangkah lebih dalam ke dalam lorong yang menuju kota, ketegangan terus menyelimuti. Jalur bawah tanah yang diikuti sesuai peta Bapak terasa seperti jebakan. Bau apek bercampur debu membuat napas terasa berat, tetapi tidak ada yang bersuara. Setelah hampir satu jam perjalanan, kami tiba di pintu baja yang mengarah ke inti sistem kendali. Ini adalah titik pertama yang harus kami lewati sebelum bisa mendekati pusat kendali mereka. Aldo memberi isyarat agar semua tetap diam. Dengan cepat, dia memeriksa pintu itu, lalu mengangguk ke arah Bapak. “Kodenya?” tanyanya pelan. Bapak mengangguk sambil mengeluarkan catatan kecil. “Kode sementara ini harusnya cukup. Mereka belum sempat mengubahnya sejak Bapak mencuri datanya.” Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan dengan jaringan kabel dan monitor yang berkedip. Suara dengung listrik memenuhi udara. Kami semua masuk dengan hati-hati, memastikan tidak ada penjaga. “Tugas kita adalah memasukkan virus ini ke s
Fajar menyambut kami dengan keheningan yang terasa asing, seperti napas pertama setelah lama tenggelam. Tidak ada lagi dengungan drone di atas kepala, suara tembakan yang memburu pun akhirnya terhenti. Udara yang tadinya dipenuhi ketegangan kini terasa lebih ringan, meskipun kami tahu ini hanya awal dari perjuangan. Di dalam gudang tempat kami berkumpul, Bapak menyusun peta dan dokumen di atas meja kayu yang hampir runtuh. Semua orang duduk melingkar, wajah mereka masih tegang tetapi ada secercah harapan di mata mereka. “Langkah selanjutnya adalah menghancurkan markas pusat mereka,” kata Bapak dengan nada tegas. Dia menunjuk sebuah titik di peta, lokasi yang menjadi jantung operasi musuh. “Mereka masih memiliki kekuatan militer dan teknologi yang tersisa, tapi sekarang mereka tidak lagi memiliki kontrol penuh.” Pria tua itu menyela, “kita juga berhasil menyusupkan virus untuk memperlambat pemulihan sistem mereka. Artinya, mereka butuh waktu lebih lama untuk kembali beroperasi. Ini
Ternyata orang itu adalah Reza yang muncul dengan napas tersengal. Dia menuruni bukit kecil menuju arah kami dengan langkah cepat, tangannya masih menggenggam senapan dengan erat. Aldo langsung berdiri dan memasang posisi siaga. Sementara aku tetap duduk, mencoba membaca ekspresi tegang di wajah Reza. "Ada apa, Za?" Aldo menurunkan pisaunya, meskipun matanya tetap waspada. "Gerakan mereka berubah," ujar Reza dengan suara berat. Dia berhenti di depan kami, menunduk sebentar untuk mengatur napas. "Di bekas markas utara, mereka sudah mulai memobilisasi pasukan. Tidak besar, tapi jelas ini ancaman." Aku dan Aldo saling berpandangan. "Mobilisasi seperti apa?" tanyaku cepat. "Mereka sedang membangun ulang barikade, mengumpulkan logistik, dan menyiapkan kendaraan berat. Aku juga melihat beberapa drone baru yang belum pernah kita temui sebelumnya," jelas Reza dengan nada mendesak, "ini lebih cepat dari yang kita prediksi." Darahku berdesir. Jika musuh bergerak lebih cepat dari yang kam
Bapak terdiam, wajahnya mengeras mendengar jawabanku. Namun, tanpa membuang waktu, ia segera memerintahkan beberapa orang untuk kembali ke lorong mencari Aldo dan Reza. Aku ingin ikut, tapi Bapak mengangkat tangannya menghentikanku. "Jangan, kau sudah cukup berjuang. Biarkan mereka yang mencari," katanya dengan nada tegas, tapi aku bisa melihat kekhawatiran yang jelas di matanya. Aku menggigit bibir, merasa gelisah. Di kejauhan, suara tembakan sudah mulai mereda. Itu berarti serangan utama kami berjalan baik, tapi pikiranku tetap terfokus pada Aldo dan Reza. Mereka adalah alasan kami bisa mencapai titik ini. Jika mereka tidak kembali…. Tidak, aku menolak membiarkan pikiran itu menyusup lebih jauh. --- Beberapa menit terasa seperti jam. Aku duduk di tanah, mencoba menenangkan diri, ketika tiba-tiba seorang prajurit datang dengan napas tersengal. Wajahnya penuh debu dan darah, tapi ada kilatan lega di mata
"—Aku yang akan melakukannya."Aldo menggeleng keras. "Kak, jangan bodoh! Aku lebih cocok untuk ini. Aku sudah tahu medan pertempurannya.""Kamuu terluka, Do!" Aku menatap matanya dengan tajam. "Do, Kakak tahu kamu ingin melindungiku, tapi kali ini biarkan aku yang melindungimu.""Aku akan menemanimu!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang membuat kami menoleh ke arahnya secara bersamaan. "Reza?" ucapku memastikan. Reza mengangguk mantap. Sedangkan Aldo membuka mulutnya, mungkin untuk membantah lagi, tapi Bapak memotong. "Kalian tidak punya waktu untuk ini. Misi ini bukan soal ego. Ini soal siapa yang paling bisa menjamin keberhasilannya."Aku menatapnya lagi, mencoba membaca pikirannya. Dia menggenggam tongkatnya erat, wajahnya penuh frustrasi, tapi akhirnya dia menghela napas panjang."Baik," katanya pelan. Suaranya bergetar. "Kalau itu keputusanmu, aku akan menerima, tapi berjanjilah, Kak, Kakak akan kembali."
Malam itu, setelah kami kembali ke markas, suasana berubah. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam. Api unggun dinyalakan di tengah-tengah kamp dan wajah-wajah yang tadinya penuh kekhawatiran kini dipenuhi senyum. Meski lelah, ada perasaan lega yang menyelimuti kami semua. Berita tentang kehancuran jembatan musuh segera menyebar ke seluruh pasukan. Jalur logistik utama mereka kini telah terputus, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mendistribusikan pasokan makanan, senjata, dan bala bantuan. Dengan demikian, kekuatan mereka perlahan melemah, seperti ular yang kehilangan bisa. "Informasi dari pengintai kita pagi ini mengonfirmasi," kata Bapak berdiri di hadapan tim inti sambil memegang peta. "Musuh telah mundur ke wilayah selatan, menjauh dari desa kita. Mereka terpaksa meninggalkan banyak peralatan berat yang tidak bisa mereka bawa melintasi medan yang sulit tanpa jembatan itu." Reza, yang duduk di sampingku, menyeringai kecil. "Jadi, mereka sekarang hanya bisa mengandalkan
Beberapa bulan semenjak kemenangan itu telah berlalu dan meskipun tantangan baru terus datang, kami tetap berdiri teguh. Setiap hari adalah langkah baru menuju kebebasan mutlak. Kami terus bekerja untuk memastikan bahwa dunia yang kami bangun adalah dunia yang lebih baik, tempat di mana keadilan dan kedamaian adalah hak setiap orang, bukan sekadar impian. Kami telah memenangkan pertempuran ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa kami telah memperoleh kebebasan sejati—bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kami cintai. Kami tahu bahwa perjuangan akan terus berlanjut, tapi kini kami tidak lagi berperang untuk bertahan hidup. Kami berperang untuk menjaga apa yang telah kami capai. Di setiap langkah perjalanan itu, kami tahu satu hal: kebebasan yang sejati hanya bisa ditemukan melalui persatuan, pengorbanan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Kami akan melanjutkan perjuangan ini—bersama, selamanya. Sore ini, aku dan Aldo duduk termenung di bangku taman
Pria tampan yang berdiri di sampingku itu menggenggam tanganku erat. “Rani, aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang pernah kita miliki, tapi itu masa lalu. Sekarang, aku adalah suami Adriana, dan dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai.” “Tapi Sandi, kita pernah punya mimpi bersama,” balas Rani dengan suara bergetar. “Mimpi itu sudah mati, Rani,” jawab Bang Sandi tegas, “aku sadar, perasaan itu hanya rasa sayang pada adik sebagai Kakak, bukan kepada pasangan yang diharapkan menjadi pendamping hidup. Aku bahagia dengan Adriana, Ran, dan aku tidak akan biarkan apa pun merusak hubungan kami.” Rani menatap kami dengan tatapan terluka. "Kamu jahat, Sandi! Kamu tega ninggalin aku demi wanita ini!" ucapnya menunjuk tanpa menoleh ke arahku. Bang Sandi melepaskan pegangan tangannya padaku dan berjalan mendekati Rani. "Ran, kamu wanita yang baik. Jujur, aku sayang sama kamu
Malam itu aku menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari nomor tak dikenal itu seolah menarikku kembali ke pusaran ketidakpastian. Namun, sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam pikiranku sendiri, Bang Sandi tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah, dengan senyum hangat yang membuat jantungku sedikit tenang. Dia duduk di sampingku di ranjang, mengusap punggung tanganku dengan penuh kasih. “Kamu kelihatan tegang. Ada apa, Sayang?” Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebelum aku bisa memikirkan alasan, Bang Sandi menarik ponsel dari genggamanku. Ekspresinya berubah tegas begitu melihat pesan yang baru saja masuk. “Ini dari siapa lagi?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Aku nggak tahu, Bang. Pesan ini sudah beberapa kali muncul,” jawabku jujur. Bang Sandi menghe
Setelah akad selesai dan para tamu mulai menikmati hidangan di resepsi, Bang Sandi tetap menggenggam tanganku, tidak pernah melepasnya meskipun kami sibuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman. Tatapannya tak pernah berpaling dariku, seolah ingin memastikan aku tahu betapa berharganya aku baginya. Saat jeda sejenak, kami duduk di pelaminan. Aku menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia tiba-tiba berbisik, “Abang punya sesuatu untuk kamu.” Aku mengernyit bingung. “Apa, Bang? Di sini, sekarang?” Dia tersenyum kecil, lalu merogoh saku jasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru. Aku mengerutkan kening, terkejut. “Bang, ini apa lagi? Bukannya kita sudah banyak hadiah hari ini?” Dia membuka kotak itu, menampakkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran nama kami di bagian dalamnya. “Ini bukan sekadar cincin, Di. Ini simbol dari janji Abang. Cincin ini akan selalu ada di tangan Abang, sebagai penging
Malam itu, setelah pesan misterius pertama masuk, aku berusaha untuk mengabaikannya. Namun, rasa tidak tenang tetap menghantuiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan membaca ulang pesan-pesan dari Bang Sandi yang selalu penuh cinta dan perhatian. Baru saja aku meletakkan ponsel di meja, getarannya kembali membuatku tersentak. Pesan lain dari nomor yang sama muncul: [Pernikahan sempurna? Hati-hati, tidak semua yang terlihat indah benar-benar seperti itu.] Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mulai menyeruak. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, tapi kalimat itu terasa seperti ancaman. Keesokan harinya, saat aku sedang sibuk di butik kebaya, ponselku kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Foto itu menunjukkan aku dan Bang Sandi sedang fitting baju kemarin sore—diambil dari sudut yang jelas-jelas bukan dari orang yang kami kenal. Pesan menyusul beberap
Beberapa hari menjelang pernikahan, Bang Sandi semakin sering menunjukkan kebucinan yang membuat hatiku serasa meleleh. Pagi itu, saat aku sedang sibuk dengan persiapan terakhir, dia datang ke kamarku dengan segelas coklat panas di tangannya, senyum lebarnya menghiasi wajah tampannya. “Ini, buat kamu,” katanya, menyodorkan gelas itu, “Abang tahu kamu suka coklat panas di pagi hari.” Aku tersenyum, menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bang. Abang benar-benar perhatian, ya.” Dia duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan tatapan penuh kelembutan. “Abang akan selalu berusaha membuat hari-harimu lebih baik, Di. Kamu nggak tahu betapa berartinya kamu buat Abang.” Hatiku berdebar. Meskipun kami sudah lama saling mengenal, rasa cinta yang ia tunjukkan seolah terus tumbuh, membuatku semakin merasa dihargai dan dicintai. Aku meletakkan gelas coklat di meja samping tempat tidur dan meraih tangannya. “Bang, aku … aku nggak tahu bagaimana menggambarkan
Seminggu sebelum acara lamaran, rumah kami kembali dipenuhi kesibukan yang berbeda. Bukan hanya karena persiapan keluarga, tetapi juga karena kedatangan keluarga Bang Sandi dari Sulawesi. Bu Putri, ibunya Bang Sandi, adalah sosok yang ramah dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Silvia dan Sundari, dua adik perempuannya, membawa energi ceria yang segera menghangatkan suasana rumah. “Kak Diana, senang sekali bisa ketemu lagi. Bang Sandi selalu mikirin Kakak selama beberapa bulan tragedi itu,” ujar Silvia, sambil memelukku dengan hangat. Sundari, yang tampak lebih pemalu, hanya tersenyum kecil, tapi matanya bersinar. “Iya, Kak Diana. Bang Sandi sering bilang kalau dia khawatir sekaligus rindu banget sama Kakak.” Aku hanya bisa tersenyum kikuk, merasakan wajahku mulai memanas. “Ah, masa sih?” Bu Putri mendekat, menggenggam tanganku dengan lembut. “Nak Diana, terima kasih sudah menerima Sandi kembali. Ibu tahu perjalanan kalian nggak mudah, tapi Sandi bilang, kamu
Malam itu, aku masih duduk di beranda. Udara dingin yang menyentuh kulitku terasa menenangkan, tapi pikiranku jauh dari kata tenang. Kembalinya Ibu ke rumah, kehangatan keluarga yang kembali menyatu, dan … kehadiran Bang Sandi. Semua itu bercampur menjadi satu yang membuatku sulit memejamkan mata. “Diana." Suara lembut Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku menoleh, melihatnya berdiri dengan selimut di tangan. “Udara di luar dingin. Jangan sampai sakit.” Aku tersenyum tipis dan menerima selimut itu. “Terima kasih, Bu.” Ibu duduk di sebelahku, memperhatikan langit berbintang. Hening menyelimuti kami beberapa saat sebelum wanita paruh baya itu membuka suara. “Kamu tahu, Nak, kebahagiaan itu nggak selalu datang dua kali. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah meskipun perasaan kita masih takut.” Aku menatapnya. “Maksud Ibu?” Ibu tersenyum penuh arti. “Ibu tahu hubunganmu dengan Sandi dulu berakhir karena keputusanmu, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia masih ada di sini, di
Beberapa bulan semenjak kemenangan itu telah berlalu dan meskipun tantangan baru terus datang, kami tetap berdiri teguh. Setiap hari adalah langkah baru menuju kebebasan mutlak. Kami terus bekerja untuk memastikan bahwa dunia yang kami bangun adalah dunia yang lebih baik, tempat di mana keadilan dan kedamaian adalah hak setiap orang, bukan sekadar impian. Kami telah memenangkan pertempuran ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa kami telah memperoleh kebebasan sejati—bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kami cintai. Kami tahu bahwa perjuangan akan terus berlanjut, tapi kini kami tidak lagi berperang untuk bertahan hidup. Kami berperang untuk menjaga apa yang telah kami capai. Di setiap langkah perjalanan itu, kami tahu satu hal: kebebasan yang sejati hanya bisa ditemukan melalui persatuan, pengorbanan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Kami akan melanjutkan perjuangan ini—bersama, selamanya. Sore ini, aku dan Aldo duduk termenung di bangku taman
Malam itu, setelah kami kembali ke markas, suasana berubah. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam. Api unggun dinyalakan di tengah-tengah kamp dan wajah-wajah yang tadinya penuh kekhawatiran kini dipenuhi senyum. Meski lelah, ada perasaan lega yang menyelimuti kami semua. Berita tentang kehancuran jembatan musuh segera menyebar ke seluruh pasukan. Jalur logistik utama mereka kini telah terputus, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mendistribusikan pasokan makanan, senjata, dan bala bantuan. Dengan demikian, kekuatan mereka perlahan melemah, seperti ular yang kehilangan bisa. "Informasi dari pengintai kita pagi ini mengonfirmasi," kata Bapak berdiri di hadapan tim inti sambil memegang peta. "Musuh telah mundur ke wilayah selatan, menjauh dari desa kita. Mereka terpaksa meninggalkan banyak peralatan berat yang tidak bisa mereka bawa melintasi medan yang sulit tanpa jembatan itu." Reza, yang duduk di sampingku, menyeringai kecil. "Jadi, mereka sekarang hanya bisa mengandalkan