"—Aku yang akan melakukannya."
Aldo menggeleng keras. "Kak, jangan bodoh! Aku lebih cocok untuk ini. Aku sudah tahu medan pertempurannya.""Kamuu terluka, Do!" Aku menatap matanya dengan tajam. "Do, Kakak tahu kamu ingin melindungiku, tapi kali ini biarkan aku yang melindungimu.""Aku akan menemanimu!" Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang membuat kami menoleh ke arahnya secara bersamaan."Reza?" ucapku memastikan.Reza mengangguk mantap. Sedangkan Aldo membuka mulutnya, mungkin untuk membantah lagi, tapi Bapak memotong. "Kalian tidak punya waktu untuk ini. Misi ini bukan soal ego. Ini soal siapa yang paling bisa menjamin keberhasilannya."Aku menatapnya lagi, mencoba membaca pikirannya. Dia menggenggam tongkatnya erat, wajahnya penuh frustrasi, tapi akhirnya dia menghela napas panjang."Baik," katanya pelan. Suaranya bergetar. "Kalau itu keputusanmu, aku akan menerima, tapi berjanjilah, Kak, Kakak akan kembali."Malam itu, setelah kami kembali ke markas, suasana berubah. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam. Api unggun dinyalakan di tengah-tengah kamp dan wajah-wajah yang tadinya penuh kekhawatiran kini dipenuhi senyum. Meski lelah, ada perasaan lega yang menyelimuti kami semua. Berita tentang kehancuran jembatan musuh segera menyebar ke seluruh pasukan. Jalur logistik utama mereka kini telah terputus, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mendistribusikan pasokan makanan, senjata, dan bala bantuan. Dengan demikian, kekuatan mereka perlahan melemah, seperti ular yang kehilangan bisa. "Informasi dari pengintai kita pagi ini mengonfirmasi," kata Bapak berdiri di hadapan tim inti sambil memegang peta. "Musuh telah mundur ke wilayah selatan, menjauh dari desa kita. Mereka terpaksa meninggalkan banyak peralatan berat yang tidak bisa mereka bawa melintasi medan yang sulit tanpa jembatan itu." Reza, yang duduk di sampingku, menyeringai kecil. "Jadi, mereka sekarang hanya bisa mengandalkan
Beberapa bulan semenjak kemenangan itu telah berlalu dan meskipun tantangan baru terus datang, kami tetap berdiri teguh. Setiap hari adalah langkah baru menuju kebebasan mutlak. Kami terus bekerja untuk memastikan bahwa dunia yang kami bangun adalah dunia yang lebih baik, tempat di mana keadilan dan kedamaian adalah hak setiap orang, bukan sekadar impian. Kami telah memenangkan pertempuran ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa kami telah memperoleh kebebasan sejati—bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kami cintai. Kami tahu bahwa perjuangan akan terus berlanjut, tapi kini kami tidak lagi berperang untuk bertahan hidup. Kami berperang untuk menjaga apa yang telah kami capai. Di setiap langkah perjalanan itu, kami tahu satu hal: kebebasan yang sejati hanya bisa ditemukan melalui persatuan, pengorbanan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Kami akan melanjutkan perjuangan ini—bersama, selamanya. Sore ini, aku dan Aldo duduk termenung di bangku taman
Malam itu, aku masih duduk di beranda. Udara dingin yang menyentuh kulitku terasa menenangkan, tapi pikiranku jauh dari kata tenang. Kembalinya Ibu ke rumah, kehangatan keluarga yang kembali menyatu, dan … kehadiran Bang Sandi. Semua itu bercampur menjadi satu yang membuatku sulit memejamkan mata. “Diana." Suara lembut Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku menoleh, melihatnya berdiri dengan selimut di tangan. “Udara di luar dingin. Jangan sampai sakit.” Aku tersenyum tipis dan menerima selimut itu. “Terima kasih, Bu.” Ibu duduk di sebelahku, memperhatikan langit berbintang. Hening menyelimuti kami beberapa saat sebelum wanita paruh baya itu membuka suara. “Kamu tahu, Nak, kebahagiaan itu nggak selalu datang dua kali. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah meskipun perasaan kita masih takut.” Aku menatapnya. “Maksud Ibu?” Ibu tersenyum penuh arti. “Ibu tahu hubunganmu dengan Sandi dulu berakhir karena keputusanmu, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia masih ada di sini, di
Seminggu sebelum acara lamaran, rumah kami kembali dipenuhi kesibukan yang berbeda. Bukan hanya karena persiapan keluarga, tetapi juga karena kedatangan keluarga Bang Sandi dari Sulawesi. Bu Putri, ibunya Bang Sandi, adalah sosok yang ramah dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Silvia dan Sundari, dua adik perempuannya, membawa energi ceria yang segera menghangatkan suasana rumah. “Kak Diana, senang sekali bisa ketemu lagi. Bang Sandi selalu mikirin Kakak selama beberapa bulan tragedi itu,” ujar Silvia, sambil memelukku dengan hangat. Sundari, yang tampak lebih pemalu, hanya tersenyum kecil, tapi matanya bersinar. “Iya, Kak Diana. Bang Sandi sering bilang kalau dia khawatir sekaligus rindu banget sama Kakak.” Aku hanya bisa tersenyum kikuk, merasakan wajahku mulai memanas. “Ah, masa sih?” Bu Putri mendekat, menggenggam tanganku dengan lembut. “Nak Diana, terima kasih sudah menerima Sandi kembali. Ibu tahu perjalanan kalian nggak mudah, tapi Sandi bilang, kamu
Beberapa hari menjelang pernikahan, Bang Sandi semakin sering menunjukkan kebucinan yang membuat hatiku serasa meleleh. Pagi itu, saat aku sedang sibuk dengan persiapan terakhir, dia datang ke kamarku dengan segelas coklat panas di tangannya, senyum lebarnya menghiasi wajah tampannya. “Ini, buat kamu,” katanya, menyodorkan gelas itu, “Abang tahu kamu suka coklat panas di pagi hari.” Aku tersenyum, menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bang. Abang benar-benar perhatian, ya.” Dia duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan tatapan penuh kelembutan. “Abang akan selalu berusaha membuat hari-harimu lebih baik, Di. Kamu nggak tahu betapa berartinya kamu buat Abang.” Hatiku berdebar. Meskipun kami sudah lama saling mengenal, rasa cinta yang ia tunjukkan seolah terus tumbuh, membuatku semakin merasa dihargai dan dicintai. Aku meletakkan gelas coklat di meja samping tempat tidur dan meraih tangannya. “Bang, aku … aku nggak tahu bagaimana menggambarkan
Malam itu, setelah pesan misterius pertama masuk, aku berusaha untuk mengabaikannya. Namun, rasa tidak tenang tetap menghantuiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan membaca ulang pesan-pesan dari Bang Sandi yang selalu penuh cinta dan perhatian. Baru saja aku meletakkan ponsel di meja, getarannya kembali membuatku tersentak. Pesan lain dari nomor yang sama muncul: [Pernikahan sempurna? Hati-hati, tidak semua yang terlihat indah benar-benar seperti itu.] Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mulai menyeruak. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, tapi kalimat itu terasa seperti ancaman. Keesokan harinya, saat aku sedang sibuk di butik kebaya, ponselku kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Foto itu menunjukkan aku dan Bang Sandi sedang fitting baju kemarin sore—diambil dari sudut yang jelas-jelas bukan dari orang yang kami kenal. Pesan menyusul beberap
Setelah akad selesai dan para tamu mulai menikmati hidangan di resepsi, Bang Sandi tetap menggenggam tanganku, tidak pernah melepasnya meskipun kami sibuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman. Tatapannya tak pernah berpaling dariku, seolah ingin memastikan aku tahu betapa berharganya aku baginya. Saat jeda sejenak, kami duduk di pelaminan. Aku menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia tiba-tiba berbisik, “Abang punya sesuatu untuk kamu.” Aku mengernyit bingung. “Apa, Bang? Di sini, sekarang?” Dia tersenyum kecil, lalu merogoh saku jasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru. Aku mengerutkan kening, terkejut. “Bang, ini apa lagi? Bukannya kita sudah banyak hadiah hari ini?” Dia membuka kotak itu, menampakkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran nama kami di bagian dalamnya. “Ini bukan sekadar cincin, Di. Ini simbol dari janji Abang. Cincin ini akan selalu ada di tangan Abang, sebagai penging
Malam itu aku menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari nomor tak dikenal itu seolah menarikku kembali ke pusaran ketidakpastian. Namun, sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam pikiranku sendiri, Bang Sandi tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah, dengan senyum hangat yang membuat jantungku sedikit tenang. Dia duduk di sampingku di ranjang, mengusap punggung tanganku dengan penuh kasih. “Kamu kelihatan tegang. Ada apa, Sayang?” Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebelum aku bisa memikirkan alasan, Bang Sandi menarik ponsel dari genggamanku. Ekspresinya berubah tegas begitu melihat pesan yang baru saja masuk. “Ini dari siapa lagi?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Aku nggak tahu, Bang. Pesan ini sudah beberapa kali muncul,” jawabku jujur. Bang Sandi menghe
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah rumah Iqbal, mengatur rencana untuk masuk ke apartemen Melisa. Sebelum Arman atau siapa pun yang berkepentingan dengan dokumen itu bertindak lebih jauh, kami harus bergerak cepat. Iqbal mengetik sesuatu di laptopnya sementara aku dan Bang Sandi duduk di sofa, memerhatikan.“Jadi, apartemennya ada di lantai 5, dan berdasarkan data yang aku dapat, dia tinggal sendirian sebelum menikah,” kata Iqbal tanpa mengalihkan pandangan dari layar.“Keamanan di sana seperti apa?” tanya Bang Sandi.Iqbal menyeringai kecil. “Standar. Ada petugas di lobi dan kamera di beberapa sudut, tapi aku sudah mengatur sesuatu untuk memutus kamera selama 15 menit. Itu waktu yang kita punya.”Aku menatap Iqbal dengan khawatir. “Kalau ketahuan, bagaimana?”Iqbal menoleh padaku. “Makanya kita harus hati-hati. Aku nggak bilang ini aman, tapi kita nggak punya banyak pilihan.”Bang Sandi menghela napas, lalu menatapku. “Kamu nggak harus ikut, Sayang.”“Aku ikut,” jawabku te
---Malam itu, kami berkumpul di ruang tengah. Iqbal masih sibuk dengan laptopnya, sementara aku dan Bang Sandi duduk saling berhadapan. Setelah pertemuan dengan Arman di taman, suasana di rumah kami berubah. Ada keheningan yang menggantung, penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.“Aku nggak yakin apa yang Arman inginkan benar-benar cuma soal balas dendam,” kata Iqbal tiba-tiba, memecah keheningan.Bang Sandi menatapnya. “Maksudmu?”Iqbal menatap layar laptopnya sebelum menjawab, “Aku memeriksa lagi akun media sosialnya, dan ada sesuatu yang aneh. Arman sering menulis tentang keadilan, tapi di antara semua itu, dia juga menyebutkan sesuatu tentang dokumen penting.”“Dokumen?” tanyaku, bingung.Iqbal mengangguk. “Aku belum tahu dokumen apa yang dia maksud, tapi kelihatannya itu ada hubungannya dengan Melisa, orang yang dia sebutkan tadi.”Bang Sandi menghela napas panjang. “Jadi dia bukan cuma marah. Dia mencari sesuatu.”“Aku pikir begitu,” kata Iqbal. “Kita mungkin bisa mulai da
--- Pagi itu, setelah kejadian di jalan besar, kami kembali ke rumah dengan hati penuh kecemasan. Arman sudah pergi, tapi ancamannya masih menggema di pikiranku. Rasanya seperti bayangan gelap yang selalu mengikuti kami. Iqbal mengunci pintu dengan lebih ketat, memastikan semua jendela tertutup rapat. Sementara itu, Bang Sandi membantuku duduk di sofa. Dia berlutut di hadapanku, menggenggam kedua tanganku erat. “Sayang, kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. Aku mengangguk perlahan, meskipun dada ini terasa sesak. “Aku cuma takut, Bang. Dia benar-benar serius dengan ancamannya.” Bang Sandi mengusap tanganku dengan penuh kasih. “Abang nggak akan biarin dia menyakiti kamu, Sayang. Ini janji Abang.” Ucapan itu seharusnya membuatku tenang, tapi aku tahu situasi ini lebih rumit dari yang bisa kami kendalikan. Arman bukan hanya seseorang yang mar
--- Bang Sandi memelukku erat setelah Iqbal melontarkan pernyataan itu. Aku merasakan detak jantungnya yang cepat, namun tangannya tetap kokoh menggenggam pundakku. Seolah ingin memastikan aku tetap aman di sisinya. “Sayang, tenang. Abang di sini. Apa pun yang terjadi, nggak akan ada yang menyentuh kamu,” katanya, suaranya penuh ketegasan. Aku mengangguk meski tubuhku gemetar. Kehangatan pelukannya menjadi satu-satunya hal yang membuatku merasa sedikit lebih tenang di tengah ketakutan yang semakin nyata. “Iqbal, apa kita bisa memastikan dia nggak bisa melacak kita lagi?” tanya Bang Sandi sambil menoleh ke arah Iqbal. Iqbal sibuk mengetik di laptopnya, wajahnya serius. “Aku sudah memutus koneksi dia sementara ini, tapi ini hanya solusi sementara. Kalau dia benar-benar ada di sekitar sini, kita harus lebih waspada.” Aku menghela napas panjang,
---Setelah percakapan dengan Satrio berakhir, ruang tamu menjadi hening. Aku menatap Bang Sandi dan Iqbal bergantian, mencoba mencerna apa yang baru saja kami dengar. Perempuan misterius yang mendatangi Satrio … siapa dia? Dan, kenapa dia begitu tertarik pada Bang Sandi?“Apa kamu ingat perempuan lain yang mungkin terlibat dalam kejadian itu, Bang?” tanyaku dengan suara bergetar.Bang Sandi menggeleng pelan. “Setahu Abang, waktu itu cuma Satrio yang terlibat langsung. Nggak ada keluarga korban lain yang datang ke rumah sakit atau tempat kejadian.”“Tapi kalau perempuan itu benar-benar ada,” sela Iqbal sambil mengetik sesuatu di laptopnya, “mungkin dia punya hubungan dengan tempat kejadian kecelakaan. Bisa jadi dia pernah kehilangan seseorang di lokasi itu.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih terasa kusut. “Kalau begitu, kita harus cari tahu lebih banyak tentang lokasi kecelakaan itu. Mungkin ada laporan atau artikel lama yang menyebut
Bang Sandi dan Iqbal yang sedang fokus ikut terkejut dan memandangku dengan tatapan penuh rasa keingintahuan. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas meja dengan segera memeriksa sang penelepon. Di layar ponsel, terlihat nama Aldo yang muncul. Aku pun menjawab panggilan itu dengan penuh semangat. Belum sempat aku mengucapkan salam, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang terasa asing di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Suara itu ... Itu bukan suara Aldo! Bang Sandi yang melihatku mendadak lemah langsung berlari dan memeluk tubuhku. "Sayang, kamu kenapa?" tanya Bang Sandi menepuk pelan pipi kiriku. Aku menggenggam erat ponselku dengan tangan gemetar, dan pandanganku mulai kabur. Suara itu masih terngiang-ngiang di telingaku. "Luka fisik bisa diobati, luka hati sulit mendapatkan penawar." Apa maksudnya? "Sayang, apa yang dia bilang?" desak Bang Sandi, matanya penuh kekhawatiran. Aku mencoba berbicara, tapi suaraku te
Malam semakin larut, tapi kami semua masih terjaga di ruang tamu. Iqbal terus sibuk dengan laptopnya, mencoba menggali lebih dalam tentang petunjuk yang ia temukan. Bang Sandi duduk di sampingku, tangannya tak pernah lepas menggenggamku seolah takut aku menghilang. "Ini dia," kata Iqbal tiba-tiba, membuat kami berdua terlonjak, "aku nemu sesuatu yang menarik." "Apa?" tanyaku, mendekat ke arahnya. Iqbal memutar layar laptopnya ke arah kami. "Email kalian sempat menerima pesan mencurigakan sebulan lalu, tapi langsung terhapus. Untungnya, ada log yang tersimpan." Pesan itu hanya berisi satu kalimat: "Kalian nggak akan bisa lari dari masa lalu." Aku merasakan darahku membeku. "Masa lalu? Maksudnya apa?" Iqbal menggeleng. "Itu yang harus kita cari tahu. Pesan ini dikirim dari jaringan umum di sekitar kampus, sama seperti alamat IP yang tadi." Bang Sandi tampak berpikir keras. "Jaringan umum? Berarti pelaku bisa siapa saja." "Tepat," sahut Iqbal, "tapi ada satu hal aneh. Aku
Pagi itu, suasana rumah terasa tegang. Aku duduk di meja makan memandangi secangkir kopi yang hampir dingin. Bang Sandi berada di seberangku, menatapku dengan pandangan penuh perhatian. Dia tahu aku masih terguncang oleh foto-foto yang kami temukan tadi malam. "Sayang, kamu yakin nggak mau makan dulu?" tanyanya dengan suaranya yang lembut. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak lapar, Bang" Ia mendesah, lalu bangkit dari kursinya dan berjongkok di sampingku. Tangannya menggenggam tanganku erat. "Kamu harus kuat, Sayang. Abang janji kita akan selesaikan ini sama-sama. Abang nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu." Aku menatapnya, mataku mulai berkaca-kaca, "tapi aku takut, Bang. Orang ini tahu segalanya tentang kita. Dia bahkan masuk ke rumah kita, ke kamar kita .…"Bang Sandi mengusap pipiku dengan ibu jarinya. "Abang nggak akan biarin dia nyakitin kamu. Kamu percaya sama Abang, kan?" Aku mengangguk pelan, tapi rasa takut itu tetap ada, seperti duri yang menancap di hatiku. Iqbal
--- Aku menggenggam erat tangan Bang Sandi saat kami kembali ke kantor polisi membawa bukti baru, foto pernikahan yang dirusak dan rekaman kamera pengawas. Pak Ridwan memeriksa semuanya dengan wajah serius, sesekali berdiskusi dengan rekan-rekannya. "Ini jelas tindakan yang disengaja dan terencana," ujarnya sambil menatap kami, "kami akan mencoba melacak orang ini dari jejak yang ditinggalkannya, tapi butuh waktu." Iqbal yang ikut menemani kami ke kantor polisi dan tampak tak sabar. "Pak, apa nggak ada cara lebih cepat? Orang ini udah terlalu berani!" Pak Ridwan menghela napas. "Kami akan memprioritaskan kasus ini, tapi kalian juga harus membantu kami. Ada sesuatu yang mencurigakan atau siapa saja yang pernah bermasalah dengan kalian?" Aku dan Bang Sandi saling berpandangan. Pertanyaan itu menggantung seperti beban di udara. "Aku nggak tahu, Pak," jawabku akhirnya, "kami nggak punya musuh. Kehidupan kami biasa saja." Di sisi lain, Bang Sandi tampak berpikir keras. Ia m