Malam itu aku menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari nomor tak dikenal itu seolah menarikku kembali ke pusaran ketidakpastian. Namun, sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam pikiranku sendiri, Bang Sandi tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah, dengan senyum hangat yang membuat jantungku sedikit tenang. Dia duduk di sampingku di ranjang, mengusap punggung tanganku dengan penuh kasih. “Kamu kelihatan tegang. Ada apa, Sayang?” Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebelum aku bisa memikirkan alasan, Bang Sandi menarik ponsel dari genggamanku. Ekspresinya berubah tegas begitu melihat pesan yang baru saja masuk. “Ini dari siapa lagi?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Aku nggak tahu, Bang. Pesan ini sudah beberapa kali muncul,” jawabku jujur. Bang Sandi menghe
Pria tampan yang berdiri di sampingku itu menggenggam tanganku erat. “Rani, aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang pernah kita miliki, tapi itu masa lalu. Sekarang, aku adalah suami Adriana, dan dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai.” “Tapi Sandi, kita pernah punya mimpi bersama,” balas Rani dengan suara bergetar. “Mimpi itu sudah mati, Rani,” jawab Bang Sandi tegas, “aku sadar, perasaan itu hanya rasa sayang pada adik sebagai Kakak, bukan kepada pasangan yang diharapkan menjadi pendamping hidup. Aku bahagia dengan Adriana, Ran, dan aku tidak akan biarkan apa pun merusak hubungan kami.” Rani menatap kami dengan tatapan terluka. "Kamu jahat, Sandi! Kamu tega ninggalin aku demi wanita ini!" ucapnya menunjuk tanpa menoleh ke arahku. Bang Sandi melepaskan pegangan tangannya padaku dan berjalan mendekati Rani. "Ran, kamu wanita yang baik. Jujur, aku sayang sama kamu
Prang! Suara menggelegar terdengar ketika aku sedang menyendokkan nasi ke dalam piring. "Udah berapa tahun kamu belajar masak, Adriana?" Aku yang rasanya sudah muak memilih diam tak berniat membalas ataupun menjawab ucapan pria itu. Kembali duduk dan menikmati makanan yang sudah tersedia di atas meja makan. "Bertahun-tahun kerjaan cuma jadi tukang masak, tetap saja nggak becus!" Lagi-lagi cacian yang harus kuterima setiap kali ia ada di rumah. 'Aku benci sama kamu, Mas! Kenapa, sih, cepat sekali kamu kembali ke rumah?' bisik hatiku dalam diam. "Udah nggak bisa ngasih aku keturunan, nggak bisa ngatur uang belanja, masak pun nggak pernah bener!" Mendengar kata-kata tajamnya yang selalu menyalahkanku perihal anak, membuatku naik pitam. Aku berhenti mengunyah makanan yang ada di dalam mulut dan menelannya dengan susah payah. Meletakkan sendok ke atas piring dengan kasar dan memandang wajah pria yang sudah membersamaiku sejak tiga tahun yang lalu itu dengan berani tanpa pe
"Adriana!" panggil seseorang dari arah belakang. Suaranya seperti wanita, tapi ... siapa? Aku menoleh demi melihat siapa orang itu. 'Oh, dia. Pasti Mas Denny mengadu padanya ketika aku pergi tadi,' bisikku dalam hati. Tanpa memperdulikan wanita itu, aku kembali melanjutkan melipat mukena yang tadi aku pakai untuk salat. Setelah selesai, kuletakkan kembali pada tempat semula. "Heh, mantu kurang ajar! Berani-beraninya kamu menghina anakku! Apa maksudnya kamu bilang kalau kamu memberi makan orang satu rumah?!" Aku tak mempedulikan ocehan wanita yang berstatus sebagai ibu mertuaku dan berjalan keluar meninggalkan tempat ibadah itu. "Heh, wanita mandul!" Kakiku berhenti tepat di langkah ke lima. Aku yakin wanita itu masih berada di pelataran masjid ketika mengucapkan kata-kata keji itu. Terdengar langkah kakinya mendekat ke arahku. "Apa? Mau ngelak? Memang begitu, kan, kenyataannya?" "Maaf, ya, Ibu Mertua yang terhormat. Saya tidak mandul! Anda ingat, saya pernah memeri
3"Baiklah, permisi!" Aku yang telah selesai memasukkan kembali pakaianku ke dalam koper, mulai melangkah menuju pintu. Belum sempat menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Mas Denny menarikku dengan kuat. Akibatnya, aku yang terhuyung harus merasakan perih di sekitar tulang pelipis. Samar-samar mendengar seseorang memanggil namaku, tapi aku tak bisa mengenali suara itu hingga akhirnya semuanya gelap dan aku tak bisa mendengar ataupun melihat apapun lagi. "Adriana, bangun, Nak! Apa kamu tidak lelah tertidur selama ini? Apa kamu tidak ingin bangun dan menikmati keindahan senja lagi?" "Siapa itu? Apa maksud dari ucapanmu?" teriakku pada orang itu. "Di mana aku? Ini ada di mana?" tanyaku ketika menyadari bahwa saat ini berada di tempat asing. "Bangunlah, Nak! Jika kamu bangun, maka Ibu akan membawamu pulang bersama kami. Kamu nggak akan terkena tekanan batin lagi tinggal bersama mereka. Ayo lah, Nak, bangun!" Lagi-lagi aku mendengar suara itu. Tunggu-tunggu, sepertinya aku tak asing deng
"Bu, sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku. Tak tahan lagi jika harus menunggu kembali ke rumah hanya untuk mendapatkan penjelasan tentang keadaanku. "Nak, sebenarnya kenapa kamu bisa ada di rumah sakit ini, semua karena suami dan mertua toxic kamu itu. Awalnya mereka tak mau mengakui perihal kecelakaan yang menimpa kamu, tapi keraguan menyelimuti hati kami. Hingga akhirnya Bapak turun tangan menyelidiki semuanya," jelas Ibu. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya yang cantik. "Kecelakaan? Tapi bagaimana bisa, Bu? Seingatku kemarin pas mau buka pintu, Mas Denny melarang, tapi setelah itu aku nggak tau lagi apa yang terjadi hingga saat ini." "Iya, Nak. Denny narik tangan kamu kuat sampai kepalamu terbentur sudut meja. Gara-gara kecelakaan itu, kamu harus menjalani operasi di bagian kepala dan akhirnya terbaring di rumah sakit ini sejak satu Minggu yang lalu," jedanya, "dan setelah di selidiki, ternyata awalnya mereka tak mau membawa kamu ke rumah sakit. Mereka sengaja merahasiaka
"Siapa orang yang Ibu katakan ingin bertemu denganku?" tanyaku penasaran. "Seseorang yang sangat dipercayai Bapak mampu membahagiakan kamu." Orang kepercayaan Bapak? Yang mampu membahagiakan aku? Apa maksud Ibu sebenarnya? "Apa maksud Ibu?" "Mksud Ibu—" Tok tok tok. Tiba-tiba pintu diketuk sebelum sempat Ibu menjelaskan. "Sebentar, ya, Sayang, Ibu bukain pintu dulu. Siapa tahu orang itu sudah datang." Wanita yang paling aku sayangi itu melangkah menjauhiku menuju ke arah pintu dengan senyum yang begitu mengembang. "Assalamualaikum," ucap seorang pria yang ada di depan pintu. "Waalaikumsalam," jawab Ibu menyambut uluran tangannya. Pria itu menyalami tangan Ibu dengan takzim. "Waalaikumsalam," jawabku dengan lirih. Mereka masuk setelah sedikit berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas. "Di, kenalin, ini Sandi. Dosen di salah satu universitas terkenal di Sulawesi Barat. Sandi ini termasuk dosen kebanggan universitas karena pr
Dering ponsel menyadarkanku dari tidur siang ini. Aku berusaha untuk kembali melanjutkan mimpi indah itu tanpa peduli siapa yang menghubungi. Namun, benda pipih itu kembali berdering sebelum sempat aku kembali ke alam bawah sadar. "Siapa, sih, telepon siang bolong begini?" tanyaku dengan suara khas orang yang baru bangun tidur. "Bangun, Dek! Kamu nggak rindu, kah, sama Abang?" Mendengar suara itu, mataku langsung terbuka dengan lebar. Rasa kantuk pun seakan menguap begitu saja. "Bang Renal? Ini beneran Abang?" tanyaku tak percaya. "Kebiasaan, deh, kalau jawab panggilan nggak di cek dulu," protes pria itu. "Ngantuk, Abang. Jadi nggak fokus buat ngecek panggilan. Mana lagi mimpi indah banget lagi tadi itu." "Jadi, Abang ganggu, nih? Yaudah, Abang matiin aja kalau gitu." Terdengar dari ucapannya bahwa pria itu sangat menyesal. "Eh, jangan, dong! Udah dari kemarin tauk aku nungguin telepon dari Abang." Kubuat suaraku semanja mungkin. Aku tahu, aku juga sadar, bahwa ini semua salah
Pria tampan yang berdiri di sampingku itu menggenggam tanganku erat. “Rani, aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang pernah kita miliki, tapi itu masa lalu. Sekarang, aku adalah suami Adriana, dan dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai.” “Tapi Sandi, kita pernah punya mimpi bersama,” balas Rani dengan suara bergetar. “Mimpi itu sudah mati, Rani,” jawab Bang Sandi tegas, “aku sadar, perasaan itu hanya rasa sayang pada adik sebagai Kakak, bukan kepada pasangan yang diharapkan menjadi pendamping hidup. Aku bahagia dengan Adriana, Ran, dan aku tidak akan biarkan apa pun merusak hubungan kami.” Rani menatap kami dengan tatapan terluka. "Kamu jahat, Sandi! Kamu tega ninggalin aku demi wanita ini!" ucapnya menunjuk tanpa menoleh ke arahku. Bang Sandi melepaskan pegangan tangannya padaku dan berjalan mendekati Rani. "Ran, kamu wanita yang baik. Jujur, aku sayang sama kamu
Malam itu aku menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari nomor tak dikenal itu seolah menarikku kembali ke pusaran ketidakpastian. Namun, sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam pikiranku sendiri, Bang Sandi tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah, dengan senyum hangat yang membuat jantungku sedikit tenang. Dia duduk di sampingku di ranjang, mengusap punggung tanganku dengan penuh kasih. “Kamu kelihatan tegang. Ada apa, Sayang?” Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebelum aku bisa memikirkan alasan, Bang Sandi menarik ponsel dari genggamanku. Ekspresinya berubah tegas begitu melihat pesan yang baru saja masuk. “Ini dari siapa lagi?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Aku nggak tahu, Bang. Pesan ini sudah beberapa kali muncul,” jawabku jujur. Bang Sandi menghe
Setelah akad selesai dan para tamu mulai menikmati hidangan di resepsi, Bang Sandi tetap menggenggam tanganku, tidak pernah melepasnya meskipun kami sibuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman. Tatapannya tak pernah berpaling dariku, seolah ingin memastikan aku tahu betapa berharganya aku baginya. Saat jeda sejenak, kami duduk di pelaminan. Aku menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia tiba-tiba berbisik, “Abang punya sesuatu untuk kamu.” Aku mengernyit bingung. “Apa, Bang? Di sini, sekarang?” Dia tersenyum kecil, lalu merogoh saku jasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru. Aku mengerutkan kening, terkejut. “Bang, ini apa lagi? Bukannya kita sudah banyak hadiah hari ini?” Dia membuka kotak itu, menampakkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran nama kami di bagian dalamnya. “Ini bukan sekadar cincin, Di. Ini simbol dari janji Abang. Cincin ini akan selalu ada di tangan Abang, sebagai penging
Malam itu, setelah pesan misterius pertama masuk, aku berusaha untuk mengabaikannya. Namun, rasa tidak tenang tetap menghantuiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan membaca ulang pesan-pesan dari Bang Sandi yang selalu penuh cinta dan perhatian. Baru saja aku meletakkan ponsel di meja, getarannya kembali membuatku tersentak. Pesan lain dari nomor yang sama muncul: [Pernikahan sempurna? Hati-hati, tidak semua yang terlihat indah benar-benar seperti itu.] Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mulai menyeruak. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, tapi kalimat itu terasa seperti ancaman. Keesokan harinya, saat aku sedang sibuk di butik kebaya, ponselku kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Foto itu menunjukkan aku dan Bang Sandi sedang fitting baju kemarin sore—diambil dari sudut yang jelas-jelas bukan dari orang yang kami kenal. Pesan menyusul beberap
Beberapa hari menjelang pernikahan, Bang Sandi semakin sering menunjukkan kebucinan yang membuat hatiku serasa meleleh. Pagi itu, saat aku sedang sibuk dengan persiapan terakhir, dia datang ke kamarku dengan segelas coklat panas di tangannya, senyum lebarnya menghiasi wajah tampannya. “Ini, buat kamu,” katanya, menyodorkan gelas itu, “Abang tahu kamu suka coklat panas di pagi hari.” Aku tersenyum, menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bang. Abang benar-benar perhatian, ya.” Dia duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan tatapan penuh kelembutan. “Abang akan selalu berusaha membuat hari-harimu lebih baik, Di. Kamu nggak tahu betapa berartinya kamu buat Abang.” Hatiku berdebar. Meskipun kami sudah lama saling mengenal, rasa cinta yang ia tunjukkan seolah terus tumbuh, membuatku semakin merasa dihargai dan dicintai. Aku meletakkan gelas coklat di meja samping tempat tidur dan meraih tangannya. “Bang, aku … aku nggak tahu bagaimana menggambarkan
Seminggu sebelum acara lamaran, rumah kami kembali dipenuhi kesibukan yang berbeda. Bukan hanya karena persiapan keluarga, tetapi juga karena kedatangan keluarga Bang Sandi dari Sulawesi. Bu Putri, ibunya Bang Sandi, adalah sosok yang ramah dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Silvia dan Sundari, dua adik perempuannya, membawa energi ceria yang segera menghangatkan suasana rumah. “Kak Diana, senang sekali bisa ketemu lagi. Bang Sandi selalu mikirin Kakak selama beberapa bulan tragedi itu,” ujar Silvia, sambil memelukku dengan hangat. Sundari, yang tampak lebih pemalu, hanya tersenyum kecil, tapi matanya bersinar. “Iya, Kak Diana. Bang Sandi sering bilang kalau dia khawatir sekaligus rindu banget sama Kakak.” Aku hanya bisa tersenyum kikuk, merasakan wajahku mulai memanas. “Ah, masa sih?” Bu Putri mendekat, menggenggam tanganku dengan lembut. “Nak Diana, terima kasih sudah menerima Sandi kembali. Ibu tahu perjalanan kalian nggak mudah, tapi Sandi bilang, kamu
Malam itu, aku masih duduk di beranda. Udara dingin yang menyentuh kulitku terasa menenangkan, tapi pikiranku jauh dari kata tenang. Kembalinya Ibu ke rumah, kehangatan keluarga yang kembali menyatu, dan … kehadiran Bang Sandi. Semua itu bercampur menjadi satu yang membuatku sulit memejamkan mata. “Diana." Suara lembut Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku menoleh, melihatnya berdiri dengan selimut di tangan. “Udara di luar dingin. Jangan sampai sakit.” Aku tersenyum tipis dan menerima selimut itu. “Terima kasih, Bu.” Ibu duduk di sebelahku, memperhatikan langit berbintang. Hening menyelimuti kami beberapa saat sebelum wanita paruh baya itu membuka suara. “Kamu tahu, Nak, kebahagiaan itu nggak selalu datang dua kali. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah meskipun perasaan kita masih takut.” Aku menatapnya. “Maksud Ibu?” Ibu tersenyum penuh arti. “Ibu tahu hubunganmu dengan Sandi dulu berakhir karena keputusanmu, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia masih ada di sini, di
Beberapa bulan semenjak kemenangan itu telah berlalu dan meskipun tantangan baru terus datang, kami tetap berdiri teguh. Setiap hari adalah langkah baru menuju kebebasan mutlak. Kami terus bekerja untuk memastikan bahwa dunia yang kami bangun adalah dunia yang lebih baik, tempat di mana keadilan dan kedamaian adalah hak setiap orang, bukan sekadar impian. Kami telah memenangkan pertempuran ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa kami telah memperoleh kebebasan sejati—bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kami cintai. Kami tahu bahwa perjuangan akan terus berlanjut, tapi kini kami tidak lagi berperang untuk bertahan hidup. Kami berperang untuk menjaga apa yang telah kami capai. Di setiap langkah perjalanan itu, kami tahu satu hal: kebebasan yang sejati hanya bisa ditemukan melalui persatuan, pengorbanan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Kami akan melanjutkan perjuangan ini—bersama, selamanya. Sore ini, aku dan Aldo duduk termenung di bangku taman
Malam itu, setelah kami kembali ke markas, suasana berubah. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam. Api unggun dinyalakan di tengah-tengah kamp dan wajah-wajah yang tadinya penuh kekhawatiran kini dipenuhi senyum. Meski lelah, ada perasaan lega yang menyelimuti kami semua. Berita tentang kehancuran jembatan musuh segera menyebar ke seluruh pasukan. Jalur logistik utama mereka kini telah terputus, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mendistribusikan pasokan makanan, senjata, dan bala bantuan. Dengan demikian, kekuatan mereka perlahan melemah, seperti ular yang kehilangan bisa. "Informasi dari pengintai kita pagi ini mengonfirmasi," kata Bapak berdiri di hadapan tim inti sambil memegang peta. "Musuh telah mundur ke wilayah selatan, menjauh dari desa kita. Mereka terpaksa meninggalkan banyak peralatan berat yang tidak bisa mereka bawa melintasi medan yang sulit tanpa jembatan itu." Reza, yang duduk di sampingku, menyeringai kecil. "Jadi, mereka sekarang hanya bisa mengandalkan