Share

Ancaman demi ancaman

Penulis: Rarha Ira
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 19:36:22
Keesokan Harinya, Pukul 07.00, aku bangun dengan perasaan yang masih kacau. Suara ancaman semalam terus terngiang di pikiranku. Setelah mandi dan sarapan singkat, aku dan Aldo bertemu di ruang tamu untuk mendiskusikan langkah selanjutnya. Wajahnya tampak lebih tegang dari biasanya.

"Aku udah mikir semalaman, Kak," ucap Aldo membuka percakapan. "Kita nggak bisa berhenti sekarang. Kalau kita mundur, mereka bisa menganggap kita ancaman, meskipun kita nggak melakukan apa-apa lagi. Kita harus tahu lebih banyak, tapi harus lebih hati-hati."

Aku mengangguk setuju meski dadaku masih bergemuruh. "Jadi, apa langkah pertama yang akan kita ambil?"

"RL7," jawabnya singkat. "Aku punya ide. Kita bisa manfaatin peta lokasi yang kita temukan, tapi kita harus cari tahu dulu apakah ada akses masuk yang aman. Kalau langsung masuk tanpa rencana, bisa bahaya."

"Aku setuju, tapi bagaimana kalau mereka sudah memantau kita?" tanyaku ragu.

"Itu risiko yang harus kita ambil," jawab Aldo, "lagipula, kal
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Menyusun rencana

    Aku dan Aldo mengintip dari balik tembok pagar. Kami menahan napas saat pria berjas hitam melangkah ke sisi lain mobil. Jantungku serasa berhenti ketika sosok yang keluar dari pintu itu adalah Bapak—Pak Ruslan."Apa yang Bapak lakukan bersama dia?" Aldo berbisik pelan, nada suaranya menyiratkan ketidakpercayaan.Bapak dan pria berjas hitam berjalan masuk ke rumah tanpa menyadari keberadaan kami. Ketika pintu utama tertutup, Aldo menarik lenganku dan kami segera mengendap ke dekat jendela ruang kerja Bapak.Kami mendengar suara mereka dari balik kaca jendela yang sedikit terbuka.“Waktu kita tidak banyak, Ruslan,” kata pria berjas hitam dengan suara tegas namun rendah, “pengiriman berikutnya akan melibatkan RL7, dan ini bisa membuka perhatian pihak yang tidak seharusnya.”“Sudah kubilang, aku hanya mau memastikan keluargaku aman,” jawab Bapak. Suaranya terdengar lelah, hampir seperti orang yang kalah. “Aku melakukan ini hanya untuk melunasi utang mereka.”“Tapi ini bukan tentang utang

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-23
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Sebuah Rahasia Besar yang Mulai Terungkap

    Selama beberapa hari berikutnya, kami bertiga bekerja dalam diam, tapi penuh kewaspadaan. Beruntung beberapa hari ke depan Ibu tak kan ada di rumah karena perjalanan umrahnya, jadi kamu tak perlu menjelaskan apapun padanya. Dan, jika pun terjadi sesuatu, kami tak perlu khawatir memikirkan dirinya. Aldo menghabiskan waktu menghubungi Reza, temannya yang bekerja di bidang elektronik. Reza berhasil menyediakan kamera kecil dengan pengaman sinyal dan alat pemindai frekuensi untuk melacak komunikasi penjaga di RL7. Sementara itu, Bapak terus menggali informasi tentang blueprint jalur bawah tanah melalui akses terbatas yang dimilikinya. Aku bertugas memantau RL7 dari kejauhan. Dengan bantuan teleskop dan notebook kecil, aku mencatat pola penjagaan di sana—berapa banyak orang yang masuk dan keluar, jam pergantian penjaga, serta kendaraan apa saja yang datang. Hari demi hari, fakta yang kami kumpulkan mulai membentuk gambaran besar. RL7 bukan hanya gudang, melainkan fasilitas rahasia den

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pelarian Mendebarkan

    Tiba-tiba, suara Bapak terdengar dari alat komunikasi yang ada di telingaku. “Pergi ke titik aman, koordinat yang sudah kuberi tahu. Aku akan menyusul kalian.” “Tapi—” Aldo mencoba memprotes, tapi Bapak memotongnya. “Tidak ada waktu! Pergi sekarang, atau semuanya akan sia-sia!” Dengan berat hati, kami berlari menuju titik pertemuan yang sudah direncanakan sebelumnya: sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Di tengah kegelapan malam, aku terus memikirkan Bapak. Apakah dia bisa lolos? Ataukah ini terakhir kalinya kami melihatnya? Ketika kami tiba di tempat aman, Aldo segera menghubungi Reza. “Kita butuh kendaraan untuk keluar kota sekarang. Mereka sudah menemukan kita.” Reza, yang suaranya terdengar tegang, menjawab, “aku akan mengatur sesuatu, tapi kalian harus bertahan di sana dulu.” Aku memandang Aldo dengan putus asa. “Bagaimana dengan Bapak?”

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Terowongan pelarian

    Kami berlari menembus kegelapan malam, napas terengah-engah dan langkah tergesa-gesa menyusuri lorong sempit di belakang gudang. Suara langkah berat di belakang kami semakin dekat—mereka pasti mendengar suara pintu belakang terbuka. “Arah sini!” Aldo menarik tanganku, memimpin ke sebuah gang kecil yang hampir tertutup reruntuhan dinding. Jalan itu begitu sempit sehingga kami harus merunduk untuk melewatinya. Dari kejauhan, terdengar suara teriakan dan perintah yang menggema. Aku berusaha fokus pada langkah kakiku, tetapi tubuhku gemetar. Aku melirik Aldo, yang tetap tenang meskipun napasnya tersengal. Keteguhan itu memberiku sedikit keberanian. “Reza,” Aldo berbicara dengan nada datar, menekan alat komunikasi di telinganya, “beri kami arah keluar tercepat.” Ada jeda sebelum suara Reza terdengar. “Ada terowongan tua di dekatmu. Ikuti jalan utama ke kiri, lalu cari pintu baja dengan tanda ‘H’. Itu pintu masuknya.” Aku menatap Aldo bingung. “Terowongan? Kau yakin?” “Kita tida

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-24
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Gubug Persembunyian

    Malam itu terasa panjang. Meski tubuhku lelah, pikiranku terus berputar. Suara langkah di terowongan masih membekas di telinga seperti bayangan yang enggan pergi. Aku memandang Aldo yang duduk di dekat jendela dengan mata terjaga. Ia memegang pisau kecilnya, bersiap jika sesuatu terjadi. "Apa kau benar-benar yakin kita aman di sini?" tanyaku lirih, mencoba memecah kesunyian. Aldo menoleh, wajahnya tetap tenang seperti biasa. "Tidak ada tempat yang benar-benar aman, tapi untuk sekarang, ini cukup. Kita hanya perlu waspada." Aku menghela napas panjang, lalu bersandar di kursi kayu yang mulai terasa keras di punggungku. "Aku hanya ingin semua ini berakhir." "Semua orang menginginkan itu," jawab Aldo datar, "tapi kita tidak punya pilihan untuk berhenti sekarang." Pagi datang terlalu cepat, membawa kabut tebal yang menyelimuti hutan. Aku hampir tidak tidur semalaman, tetapi Aldo sudah berdiri di dapur kecil, menyiapkan sesuatu yang terlihat seperti teh. Bau dedaunan yang diseduh

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pelarian Yang Kesekian kalinya

    Kabut pagi mulai menipis saat kami melangkah lebih jauh ke dalam hutan. Setiap langkah terasa berat, bukan hanya karena medan yang sulit, tetapi juga tekanan yang terus membayangi. Kami tahu waktu kami semakin sempit. Suara kendaraan tadi bukan sekadar peringatan; itu adalah bukti bahwa mereka mendekat. "Kita tidak bisa terus seperti ini," gumamku, berusaha mengatur napas. "Mereka pasti punya cara untuk melacak kita." Aldo menoleh sejenak, matanya tajam meski wajahnya tampak kelelahan. "Itu sebabnya kita harus bergerak cepat. Kalau kita berhenti terlalu lama, mereka akan mengepung kita." Kami berjalan lagi, menyusuri jalur sempit di antara pepohonan. Udara dingin menusuk kulit, tetapi aku hampir tidak merasakannya. Aku hanya bisa memikirkan satu hal: bagaimana caranya mengakhiri semua ini. Aku tahu flash drive itu penting, tetapi rasa takut selalu menahan langkahku. Setelah beberapa jam berjalan, kami tiba di sebuah gubuk t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pelarian yang Mendebarkan

    Cahaya lampu kendaraan menyapu bagian luar bangunan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak di dinding. Suara pintu kendaraan dibuka disertai langkah kaki cepat semakin mendekat. Aldo melirik Reza dengan tajam. "Kau tidak bilang flash drive ini memancarkan sinyal!" katanya. Suaranya rendah, tapi penuh tekanan. Reza mengangkat kedua tangan sedikit, isyarat meminta maaf. "Itu bagian dari perlindungannya. Hanya timku yang tahu cara melacaknya, tapi sepertinya mereka berhasil merebut teknologi itu lebih cepat dari perkiraanku." "Kita perlu mematikan sinyalnya sekarang," balas Aldo. Ia menoleh ke arahku. "Flash drive itu, mana?" Aku ragu-ragu sejenak, lalu merogoh tas kecilku dan mengeluarkan benda yang menjadi sumber semua kekacauan ini. Aldo menerimanya dengan cepat, matanya tidak pernah lepas dari Reza. "Kau tahu caranya?" tanyaku. Reza menggeleng, lalu menunjuk ke meja tempat peta dan dokumen-dokumen tadi. "Ada alat pemutus sinyal di sana, tapi kita hanya punya beberapa detik

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-26
  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bertemu Pria Tua

    Air sungai dingin menggigit kulitku, membuat tubuhku menggigil tak terkendali. Arusnya begitu kuat hingga aku kesulitan menjaga kepala tetap di atas permukaan. Aldo memimpin di depan, tangannya sesekali melambai, memberi isyarat untuk tetap mengikuti arus. Reza berada di belakangku, terdengar terengah-engah tetapi terus bertahan. Lampu dari helikopter masih menyapu area sekitar, sesekali menyentuh permukaan sungai. Aku berusaha keras untuk tidak panik, tetapi setiap sorotan yang mendekat membuat jantungku melompat ke tenggorokan. Kami tidak bisa melawan arus. Pilihan satu-satunya adalah menyerahkan tubuh pada aliran deras ini dan berharap sungai akan membawa kami cukup jauh dari jangkauan mereka. Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, arus mulai melambat. Aldo melambai ke arah tepian yang dipenuhi bebatuan besar dan pohon-pohon rimbun. Aku mengikuti, dengan tenaga yang tersisa, berenang menuju daratan. Ketika akhirnya aku berhasil mencengkeram akar pohon besar di t

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27

Bab terbaru

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Paket Misterius

    Pria tampan yang berdiri di sampingku itu menggenggam tanganku erat. “Rani, aku ingin kamu tahu, aku menghargai apa yang pernah kita miliki, tapi itu masa lalu. Sekarang, aku adalah suami Adriana, dan dia adalah satu-satunya wanita yang aku cintai.” “Tapi Sandi, kita pernah punya mimpi bersama,” balas Rani dengan suara bergetar. “Mimpi itu sudah mati, Rani,” jawab Bang Sandi tegas, “aku sadar, perasaan itu hanya rasa sayang pada adik sebagai Kakak, bukan kepada pasangan yang diharapkan menjadi pendamping hidup. Aku bahagia dengan Adriana, Ran, dan aku tidak akan biarkan apa pun merusak hubungan kami.” Rani menatap kami dengan tatapan terluka. "Kamu jahat, Sandi! Kamu tega ninggalin aku demi wanita ini!" ucapnya menunjuk tanpa menoleh ke arahku. Bang Sandi melepaskan pegangan tangannya padaku dan berjalan mendekati Rani. "Ran, kamu wanita yang baik. Jujur, aku sayang sama kamu

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Bertemu dengan Rani

    Malam itu aku menggenggam ponsel dengan tangan gemetar. Pesan dari nomor tak dikenal itu seolah menarikku kembali ke pusaran ketidakpastian. Namun, sebelum aku tenggelam terlalu jauh dalam pikiranku sendiri, Bang Sandi tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Rambutnya basah, dengan senyum hangat yang membuat jantungku sedikit tenang. Dia duduk di sampingku di ranjang, mengusap punggung tanganku dengan penuh kasih. “Kamu kelihatan tegang. Ada apa, Sayang?” Aku menunduk, tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebelum aku bisa memikirkan alasan, Bang Sandi menarik ponsel dari genggamanku. Ekspresinya berubah tegas begitu melihat pesan yang baru saja masuk. “Ini dari siapa lagi?” tanyanya. Suaranya rendah, tapi penuh amarah yang ia coba sembunyikan. “Aku nggak tahu, Bang. Pesan ini sudah beberapa kali muncul,” jawabku jujur. Bang Sandi menghe

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Pesan Misterius

    Setelah akad selesai dan para tamu mulai menikmati hidangan di resepsi, Bang Sandi tetap menggenggam tanganku, tidak pernah melepasnya meskipun kami sibuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan teman-teman. Tatapannya tak pernah berpaling dariku, seolah ingin memastikan aku tahu betapa berharganya aku baginya. Saat jeda sejenak, kami duduk di pelaminan. Aku menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Namun, sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia tiba-tiba berbisik, “Abang punya sesuatu untuk kamu.” Aku mengernyit bingung. “Apa, Bang? Di sini, sekarang?” Dia tersenyum kecil, lalu merogoh saku jasnya. Dari sana, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru. Aku mengerutkan kening, terkejut. “Bang, ini apa lagi? Bukannya kita sudah banyak hadiah hari ini?” Dia membuka kotak itu, menampakkan sebuah cincin sederhana dengan ukiran nama kami di bagian dalamnya. “Ini bukan sekadar cincin, Di. Ini simbol dari janji Abang. Cincin ini akan selalu ada di tangan Abang, sebagai penging

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Akhirnya Akad

    Malam itu, setelah pesan misterius pertama masuk, aku berusaha untuk mengabaikannya. Namun, rasa tidak tenang tetap menghantuiku. Aku mencoba untuk menenangkan diri dengan membaca ulang pesan-pesan dari Bang Sandi yang selalu penuh cinta dan perhatian. Baru saja aku meletakkan ponsel di meja, getarannya kembali membuatku tersentak. Pesan lain dari nomor yang sama muncul: [Pernikahan sempurna? Hati-hati, tidak semua yang terlihat indah benar-benar seperti itu.] Aku menggigit bibir, mencoba menahan rasa takut yang mulai menyeruak. Aku tidak ingin berpikir macam-macam, tapi kalimat itu terasa seperti ancaman. Keesokan harinya, saat aku sedang sibuk di butik kebaya, ponselku kembali bergetar. Kali ini, sebuah foto masuk. Foto itu menunjukkan aku dan Bang Sandi sedang fitting baju kemarin sore—diambil dari sudut yang jelas-jelas bukan dari orang yang kami kenal. Pesan menyusul beberap

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Hanya Masalah Kecil

    Beberapa hari menjelang pernikahan, Bang Sandi semakin sering menunjukkan kebucinan yang membuat hatiku serasa meleleh. Pagi itu, saat aku sedang sibuk dengan persiapan terakhir, dia datang ke kamarku dengan segelas coklat panas di tangannya, senyum lebarnya menghiasi wajah tampannya. “Ini, buat kamu,” katanya, menyodorkan gelas itu, “Abang tahu kamu suka coklat panas di pagi hari.” Aku tersenyum, menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. “Terima kasih, Bang. Abang benar-benar perhatian, ya.” Dia duduk di tepi tempat tidur, menatapku dengan tatapan penuh kelembutan. “Abang akan selalu berusaha membuat hari-harimu lebih baik, Di. Kamu nggak tahu betapa berartinya kamu buat Abang.” Hatiku berdebar. Meskipun kami sudah lama saling mengenal, rasa cinta yang ia tunjukkan seolah terus tumbuh, membuatku semakin merasa dihargai dan dicintai. Aku meletakkan gelas coklat di meja samping tempat tidur dan meraih tangannya. “Bang, aku … aku nggak tahu bagaimana menggambarkan

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Kesibukan Menjelang Pernikahan

    Seminggu sebelum acara lamaran, rumah kami kembali dipenuhi kesibukan yang berbeda. Bukan hanya karena persiapan keluarga, tetapi juga karena kedatangan keluarga Bang Sandi dari Sulawesi. Bu Putri, ibunya Bang Sandi, adalah sosok yang ramah dengan senyum lembut yang selalu menghiasi wajahnya. Silvia dan Sundari, dua adik perempuannya, membawa energi ceria yang segera menghangatkan suasana rumah. “Kak Diana, senang sekali bisa ketemu lagi. Bang Sandi selalu mikirin Kakak selama beberapa bulan tragedi itu,” ujar Silvia, sambil memelukku dengan hangat. Sundari, yang tampak lebih pemalu, hanya tersenyum kecil, tapi matanya bersinar. “Iya, Kak Diana. Bang Sandi sering bilang kalau dia khawatir sekaligus rindu banget sama Kakak.” Aku hanya bisa tersenyum kikuk, merasakan wajahku mulai memanas. “Ah, masa sih?” Bu Putri mendekat, menggenggam tanganku dengan lembut. “Nak Diana, terima kasih sudah menerima Sandi kembali. Ibu tahu perjalanan kalian nggak mudah, tapi Sandi bilang, kamu

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Keputusan Besar

    Malam itu, aku masih duduk di beranda. Udara dingin yang menyentuh kulitku terasa menenangkan, tapi pikiranku jauh dari kata tenang. Kembalinya Ibu ke rumah, kehangatan keluarga yang kembali menyatu, dan … kehadiran Bang Sandi. Semua itu bercampur menjadi satu yang membuatku sulit memejamkan mata. “Diana." Suara lembut Ibu memanggilku dari dalam rumah. Aku menoleh, melihatnya berdiri dengan selimut di tangan. “Udara di luar dingin. Jangan sampai sakit.” Aku tersenyum tipis dan menerima selimut itu. “Terima kasih, Bu.” Ibu duduk di sebelahku, memperhatikan langit berbintang. Hening menyelimuti kami beberapa saat sebelum wanita paruh baya itu membuka suara. “Kamu tahu, Nak, kebahagiaan itu nggak selalu datang dua kali. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah meskipun perasaan kita masih takut.” Aku menatapnya. “Maksud Ibu?” Ibu tersenyum penuh arti. “Ibu tahu hubunganmu dengan Sandi dulu berakhir karena keputusanmu, tapi kamu lihat sendiri, kan? Dia masih ada di sini, di

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Datangnya dua orang yang selalu dirindukan

    Beberapa bulan semenjak kemenangan itu telah berlalu dan meskipun tantangan baru terus datang, kami tetap berdiri teguh. Setiap hari adalah langkah baru menuju kebebasan mutlak. Kami terus bekerja untuk memastikan bahwa dunia yang kami bangun adalah dunia yang lebih baik, tempat di mana keadilan dan kedamaian adalah hak setiap orang, bukan sekadar impian. Kami telah memenangkan pertempuran ini, tetapi yang lebih penting adalah bahwa kami telah memperoleh kebebasan sejati—bukan hanya untuk diri kami sendiri, tetapi untuk seluruh dunia yang kami cintai. Kami tahu bahwa perjuangan akan terus berlanjut, tapi kini kami tidak lagi berperang untuk bertahan hidup. Kami berperang untuk menjaga apa yang telah kami capai. Di setiap langkah perjalanan itu, kami tahu satu hal: kebebasan yang sejati hanya bisa ditemukan melalui persatuan, pengorbanan, dan tekad yang tak tergoyahkan. Kami akan melanjutkan perjuangan ini—bersama, selamanya. Sore ini, aku dan Aldo duduk termenung di bangku taman

  • Disia-siakan Suami Toxic, Diratukan Dosen Bucin    Keberhasilan meraih kemenangan

    Malam itu, setelah kami kembali ke markas, suasana berubah. Tidak ada lagi ketegangan yang mencekam. Api unggun dinyalakan di tengah-tengah kamp dan wajah-wajah yang tadinya penuh kekhawatiran kini dipenuhi senyum. Meski lelah, ada perasaan lega yang menyelimuti kami semua. Berita tentang kehancuran jembatan musuh segera menyebar ke seluruh pasukan. Jalur logistik utama mereka kini telah terputus, membuat mereka kehilangan kemampuan untuk mendistribusikan pasokan makanan, senjata, dan bala bantuan. Dengan demikian, kekuatan mereka perlahan melemah, seperti ular yang kehilangan bisa. "Informasi dari pengintai kita pagi ini mengonfirmasi," kata Bapak berdiri di hadapan tim inti sambil memegang peta. "Musuh telah mundur ke wilayah selatan, menjauh dari desa kita. Mereka terpaksa meninggalkan banyak peralatan berat yang tidak bisa mereka bawa melintasi medan yang sulit tanpa jembatan itu." Reza, yang duduk di sampingku, menyeringai kecil. "Jadi, mereka sekarang hanya bisa mengandalkan

DMCA.com Protection Status