Selapis kecemasan tampak menyelimuti wajah Pamela setelah kesadarannya menyeruak dari mimpi panjang yang menenangkan sebelum fajar menyingsing keesokan paginya. Namun, yang pertama-tama ia lakukan hanyalah termenung. Wajah Ace yang dianugerahi kesempurnaan menguasai pandangan matanya. Persinggahan terakhir itu memeluknya dengan erat. Leluasa dan terpejam dengan nyaman di sisinya seakan-akan prasasti yang bernama Natasha sudah raib dan tak mengganggu kemesraan.Pamela mengerjapkan mata. Kesempatan kemarin bersama Ace tidak terasa mengagumkan sebelum cerih-cerih kejadian semalaman mengalir deras di ingatannya.Pamela melempar sorot terima kasih. Ace memberi tempat melampiaskan kegundahannya karena kecemburuannya pada Sassy tanpa memberi nasihat seperti kebiasaannya saat melakukan kesalahan.“Selamat pagi, Ace.” Senyumnya yang ranum mengawali ritual paginya yang setara dengan menyirami tanaman kesayangan Joice.Pamela mengusap hidungnya yang bangir dengan ujung hidungnya sambil merasak
Ace mencondongkan badannya seraya mengecup sekilas dada Pamela Kandhita Kilmer. Ia terus tersenyum saat matanya menangkap gadis itu memejamkan mata. Mencoba untuk memahami raut gamang Pamela, Ace mengakhiri pengamatannya dengan mengecup rahangnya.“Ada bagian-bagian dari dirimu yang ingin aku biarkan tetap misterius! Seperti isi hatimu.”Ace kembali merebahkan diri. Dia belum siap memulai hari dengan kesibukan di luar kamar, dia belum siap membagi Pamela dengan dunia luar. Dia ingin... berlama-lama di sana untuk merenungkan masa depannya. “Aku tahu kita bersama karena satu dua sebab yang mengharuskan adanya jalan tengah, Mel.” Ace menggunakan kedua tangannya untuk bantalan kepala.“Jika aku tidak pernah mengucapkan cinta, bukan berarti aku tidak mencintaimu. Aku menempatkan segala tentangmu di ruang baru di hidupku. Aku membutuhkan pengertian.” Saat Pamela tidak mengatakan apa-apa, Ace merelakannya bergelut dengan isi kepalanya tanpa mendesaknya untuk mematuhinya ucapannya.Tapi mel
Mengenakan gaun putih bergaya bell-sleeve dari butik ternama yang di belikan Hamidah untuk lawatan ke restoran untuk acara lamarannya, Pamela menarik napasnya dalam-dalam dan menghentikan langkahnya di ambang pintu.“Aku deg-degan parah, Pa.”Anang Brotoseno heran, putrinya bertingkah aneh setelah pulang dari Bali. Pamela lebih banyak diam, tapi tersenyum-senyum lalu meragu, cemas, dan seperti ini. Keberaniannya pupus, seakan ia tidak mewarisi darah juang darinya. Anang Brotoseno melirik anak tirinya, dua laki-laki remaja yang menjadi pengawal pribadi Pamela malam itu. “Bawa kakak kalian ke dalam, jangan sampai dia kabur. Papa sudah bayar mahal restoran Itali ini hanya untuk panen cucu!”Dimas dan Kenzo sigap meraih lengan Pamela, merengek-rengek lah calon istri Ace itu. Bersama dua adik tirinya yang sudah merasakan bagaimana ayahnya memberi jadwal rutin ke gym untuk latihan fisik sebelum mereka masuk ke sekolah militer, Pamela tetap kalah meski adik tirinya lebih pendek darinya.“Mb
Ace melonggarkan dasinya dengan kesal. Bukan gerah karena cuaca Jakarta yang tidak henti-hentinya menebar kehangatan siang malam di musim kemarau. Ia sedang di belakang rumah, di taman keluarga dekat kolam renang untuk menemui Wiratmaja setelah menemani Berlian tidur di kamarnya.“Berhentilah membahas mantan mertuaku, Pa. Mereka bukan prioritas utamaku lagi, dan aku tidak punya kapasitas memberitahu mereka aku akan menikah!” bentak Ace sambil mencampakkan dasinya. Wiratmaja pun ikut melonggarkan dasinya, panas merajah dadanya setelah putranya resmi melamar gadis yang ia puji memiliki banyak kelebihan di beberapa bagian tubuhnya dan personalianya. “Baby strawberry adalah gadis yang panas, Ace.” Ace menggumamkan nama Tuhan dengan bola mata yang membulat. Setega itu ayahnya memuji kecantikan Pamela di depan mukanya langsung. Rasanya seperti dilempar kotoran ayam, walau ia bungkam, tak berniat merevisi ucapan ayahnya. “Akan sangat menyakitkan jika papa sampai membayangkan Pamela untuk
Usai sarapan, Pamela berpamitan untuk pergi ke halaman rumah. Di sana ia menemukan Ace sudah berdiri di dekat mobil, menantinya sembari membawa buket bunga mawar merah yang merekah sempurna. Pamela mengulum senyum seraya meneruskan langkahnya menyisir halaman rumah untuk menubruk tatapan Ace dari dekat. Dan ia melakukannya dengan dramatis sekaligus praktis.Pamela mengendus kelopak-kelopak bunga yang menguarkan pekatnya aroma ke udara sebelum mengecup pipinya.“Selamat pagi.” tuturnya pada Ace. ”Ganteng banget sih hari ini. Lebih ganteng dari tadi malam. Cie... yang mau ketemu mantan.”Ace sampai memalingkan wajahnya untuk meraih dan menghirup udara segar saat Pamela menatapnya dengan takjub.“Mel, hentikan. Sesak dadaku.” keluh Ace saat Pamela mencuri-curi pandang ke padanya. Ace seakan tidak sanggup menerima kenakalan kekasihnya di pagi itu. Kenakalan yang dapat mengubah perasaannya pagi itu.“Terima kasih.” Pamela meraih buket mawar yang Ace berikan. “Romantis banget sih, pasti ad
Pamela menoleh sewaktu pintu ruang kerja Ace berbunyi, menandakan kekasihnya telah kembali dari rapat kerja mingguan bersama para direksi dan komisaris perusahaan. “Bosan?” Ace memeluknya dari belakang, mengistirahatkan dagunya di puncak kepalanya sambil menatap pemandangan gedung-gedung di sekelilingnya dari jendela panjang yang terpatri di beton.“Kondisi seperti ini yang menyebabkan Natasha bosan dan membisu.” Pamela menangkup tangannya yang melingkari pinggangnya dengan lembut. “Natasha bucin banget kali sama kamu, Ace. Jadi dia maunya sama kamu terus.” “Bucin?” Ace menaikkan kedua alisnya. “Sepertimu dengan Damian? Cinta buta? Budak cinta?” godanya sebelum mencium ubun-ubunnya dan terkekeh karena Pamela mencubit kecil punggung tangannya. “Hubungan kita gimana sih? Kenapa kita mudah sekali membahas masa lalu tanpa rasa cemburu!”“Masa lalu yang mempertemukan kita, kenapa harus cemburu? Atau...” Ace memutar tubuhnya, kini ia menatap Pamela. “Kamu diam-diam cemburu?”“Ya kali-ka
Lima jam setelah Pamela pamitan dari kantor sambil membawa serta mobil gratis dan pengawal pribadinya. Ace hijrah ke rumah sore harinya menggunakan mobil operasional perusahaan yang tak di kenali dua satpam yang berjaga-jaga di pos satpam. Ace keluar dari kendaraannya, alih-alih kesal tidak mendapatkan sambutan penuh menyelidik, Ace menyulut rokoknya dengan korek api yang di pinjamnya dari petugas yang melototi mobilnya tadi.“Sejak kapan mereka datang?” tanya Ace sambil memandangi mobil Natasha yang ia hadiahkan saat ulang tahunnya ke tiga puluh. Gerbang di buka, petugas kedua mengambil kemudi dan membawa mobil itu parkir di samping mobil Natasha yang kini menjadi milik orang tuanya. “Jam empatan, Pak. Mau ketemu Berlian katanya.” ‘Mau ketemu Berlian atau tanya-tanya soal Pamela?’ Ace memberi senyum kecut selagi mulutnya masih mengapit batang rokok. “Berlian jadi di jemput papa? Pulang jam berapa mereka?”“Sama, jam empatan. Selisih setengah jam paling, Pak. Nggak lama mereka da
Pamela meminta Wulan agar tidak membuka pintu mobilnya setelah mereka tiba di pelataran parkir kelab Hotwings di jam yang sudah di sepakati dengan Ace.“Jangan membantah tugasku, nona muda. Ace... sudah membayarku untuk memberi pelayanan terbaik bagimu!” Pamela angkat tangan, Wulan terlalu tegas sebagai perempuan dan ia merasa slalu terintimidasi oleh suaranya yang berat.”Oke... jangan galak-galak, atau aku minta ganti pengawal nanti?” ancamnya sambil mendelik. Wulan mendorong pintu kendaraannya. “Silakan saja melakukan protes, Ace tahu apa yang aku lakukan benar!” Pamela mengumpat panjang pendek seraya bersedekap. Menunggu Wulan menarik pintu kendaraannya. “Silakan keluar, Ace sudah di dalam.” “Dia mau ngapain sih ke sini malam-malam? Emangnya besok gak kerja? Gak capek? Aku aja yang nganggur capek banget.” keluh Pamela seraya mengikuti Wulan melangkah di antara mobil-mobil yang terparkir.”Kenapa juga harus kelab ini? Dengar-dengar setiap jam dua belas malam cewek-cewek bersay
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep