Tiba di restoran mewah yang mengusung konsep oriental di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Detak jantung Pamela kian berani menggedor-gedor dadanya hingga menimbulkan rasa cemas yang kentara.“Sudah kamu tenang saja, ini hanya makan malam biasa.” bujuk Ace, sudah berkali-kali ia menenangkannya. “Kamu nanti cukup bilang iya, dan tidak menampik jika kamu serius denganku, Mela. Sekarang tenang, tarik napas dalam-dalam dan hembuskan.” Pamela menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Benar hanya makan-makan?”Berlian meringis lebar sambil menggeleng mantap. “Papa dari tadi bohong, Mama. Papa itu mau...” Ace membekap mulut Berlian segera. Ia meringis, dan menjadi pengecut manakala kejutan yang ia siapkan hampir gagal. “Lebih baik kamu keluar dan membuktikan sendiri ucapanku benar atau salah.” Pamela hampir tidak mempercayai saran Ace, dan juga tingkah Berlian yang menunjukkan muslihat kecil itu. Kedua orang itu masih sering mengulang kesalahan-kesalahan seperti di bulan pertama mereka
“Jadi Ace sudah menikah?” Hanung mematikan ponselnya setelah melihat video dan foto yang dikirim beberapa rekan kerjanya seraya menatap sesosok pria yang memenjarakan kebebasannya. “Apakah aku dapat bertemu dengannya?” Anak buah Anang Brotoseno yang dituntut sebagai pengawasnya menggeleng. “Anda dan istri sudah terdaftar sebagai manusia yang tidak diperbolehkan bertemu Ace dan keluarganya! Itu sudah menjadi kesepakatan yang anda setujui.”Anak buah Anang Brotoseno melanjutkan penjelasan. Betapa seorang Ace sudah enggan mengakuinya sebagai ayah mertua yang perlu dihormati.Hanung menghela napas, memang tidak ada penjara baginya setelah kasus kemarin, hanya saja orang itu jauh lebih kejam saat menghukumnya. “Lalu di mana, Damian? Kenapa aku tidak mendapatkan informasi keberadaannya?” “Bukankah sudah jelas Damian di mana? Lelaki itu sedang di gembleng mertua Ace seperti yang anda nikmati sekarang.”Setengah nada bercanda anak buah Anang Brotoseno itu tidak berhasil membuat Hanung leg
“Sudah selesai observasinya?” Ace tidak dapat menyembunyikan kebahagiaannya yang meledak-ledak ketika Pamela melewati lima wanita yang memakai kaftan hitam dengan belahan tinggi menyambut kedatangan mereka di perusahaan Abdar yang mengusung warna emas di bagian fasad. Pamela mengeratkan genggaman tangannya untuk menegaskan bahwa ia sedang tidak mengobservasi, ia hanya melihat dan memastikan apa yang disebutkan Ace kemarin betul-betul nyata. “Mereka nyaris mirip cleopatra dan kamu tidak boleh setuju dengan ucapanku, Ace. Ayo bilang padaku kalau mereka jelek!” desak Pamela dengan suara resah dan wajah gelisah. Ace tertawa tanpa suara. Nada cemburu itu sudah lama ia tunggu-tunggu dan hanya perlu satu sentuhan lagi untuk membuat rasa cemburunya semakin memanas.“Sudah aku bilang, mereka cantik-cantik, Pamela. Sekalipun kamu juga blesteran, kamu kalah cantik.” “Aaa... nggak boleh ngomong itu... Kamu mendiskriminasi aku!” Pamela merengek sembari melepas tangannya. “Aku pokoknya marah, k
”Apa yang terjadi selama aku tidur, Ace?” Pamela menghalangi pintu mobil selagi ia masih belum menemukan jawaban atas pertanyaannya.“Aku nyesel karena ketiduran tadi jadi aku nggak tau apa yang dilakukan dua wanita itu! Ayo sekarang kamu jawab apa yang terjadi?”Ace mengambil ponselnya yang berdering seraya mengangkat telepon dari rekannya yang bekerja di rumah sakit. “Kami akan segera ke sana, tunggu. Ini tidak akan lama!” ucapnya lugas seraya menghela napas.“Ayo kita berangkat.”Pamela mendekatkan wajahnya ke sisi wajah Ace. “Kita mau ke mana?” “Rahasia.” “Ace!” Seketika Ace menahan napas, tubuhnya terpaku di tempat selagi Pamela tetap tidak menyingkir dari pintu mobil dua pintu yang diberikan Abrar untuk memudahkannya berkeliling di Abu Dhabi. “Kita akan ke rumah sakit, Sayangku. Konsultasi dengan dokter kandungan!” Pamela segera menyingkir dan mempersilakan Ace masuk ke dalam mobil. Senyumnya merekah manakala mereka benar-benar tiba di rumah sakit dan segera mendapatkan pel
Satu Tahun Kemudian.“Exhale... Inhale... Stay here... One, two...”Oekkk...Kelopak mata Pamela dan Ace sontak terbuka dan angan-angan pagi di bawah hangatnya sinar matahari sirna. Keduanya saling tatap sebelum beranjak dari matras yoga.“Pasti ada yang ganggu mereka!” Pamela bersungut-sungut, sementara tangis buah hati mereka semakin mirip petasan tahun baru. Terdengar meriah. “Itu sudah pasti!” Ace memakai kausnya dengan cekatan. “Kenapa mereka tidak memahami situasi kita?” Oekk... oekk... Mereka kontan lari tunggang langgang memasuki rumah yang ramai dikunjungi oleh keluarga besar Wiratmaja dan Anang Brotoseno.“Kenapa tidak ada yang menenangkan putri kami?” Ace mendorong bahu Karmen yang menghalangi jalan menuju ruang tengah. “Duduklah saat makan!” Ace menasihatinya dengan jengkel. “Kalian juga, apa-apaan ini.”Ace berkacak pinggang sembari menonton kegiatan pemotretan yang di lakukan seadanya tanpa sepengetahuannya. Putri kembarnya yang tercipta dari program bayi tabung mema
Seusai sarapan, Pamela tersenyum menatap wajah tua yang bersedih di depannya. “Santai, Pa.”Pamela memegang lembut lengan ayahnya, orang yang telah memberinya perlindungan hingga ia berstatus seorang ibu dan istri. Seseorang yang pernah dia benci karena kesibukannya dan seseorang yang pernah menelantarkannya demi sesuatu yang dimilikinya sekarang. Terlepas dari seseorang yang hidupnya keras dan terjal, dia tidak abai memperhatikannya selama ini meski harus melalui tangan-tangan hangat seseorang.“Aku sudah dewasa, Pa. Aku tidak takut lagi dengan Damian.” Pamela menegaskan bahwa membebaskan Damian sekarang bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Dia telah membuka lembaran baru, lembaran yang benar-benar indah dan tak tercoreng bekas masa lalu.Anang Brotoseno akhirnya mengangguk pelan. “Jika kamu membutuhkan sesuatu, Papa ada di rumah.” Pamela lekas memeluk ayahnya yang tampak enggan meninggalkan rumah hantu atau lebih tepatnya ia enggan meninggalkan cucu-cucunya yang telah membuatnya
Ace menuangkan anggur putih pada gelas berkaki seraya mengangsurnya ke hadapan Damian setelah mereka mendapatkan izin melalui perjalanan malam dengan ditemani Burhan sebagai satpam sekaligus sopirnya.“Apa yang ingin kamu lakukan setelah keluar dari penjara?” Ace bertanya sembari menuangkan minuman itu pada gelasnya sendiri. Ace sudah bersikukuh, Damian harus terikat dengannya meski risiko yang akan mengiringi perjalanan menuju kebahagiaan dan melampauinya tidak semudah rencana yang dia harapkan menjadi jalan keluar.“Setahun berlalu, banyak yang sudah berubah. Kamu ingin tahu ceritanya?” Ace menyesap anggurnya seraya menyilangkan kakinya. “Miranti dan Hanung bangkrut, seluruh usaha mereka aku ambil alih.” Ada senyum pongah yang tampak di wajah Ace seolah dia menunjukkan kepuasan yang diperolehnya dengan susah payah. “Aku sama sekali tidak menyangka mereka menjatuhkan pilihannya pada perusahaan ku untuk meneruskan perusahaan mereka yang hampir kolaps.”Damian terlihat tidak peduli p
Ace bersiul santai sambil mendorong kereta bayi kembarnya melangkah masuk ke ruang kerja. Dia baru akan memulai pekerjaannya dengan semangat empat lima di temani istri dan anaknya yang begitu menggemaskan hingga tidak sampai hati dia meninggalkannya di rumah.“Apa kamu yakin memperkerjakan Damian tidak akan merugikan perusahaan, Ace?” Armando menyambutnya dengan ekspresi kesal. “Jangan cari masalah! Sudah benar hidup kalian tenang setahun ini.” Armando memandangi Ace dan Pamela bergantian. “Nggak perlu repot-repot berbaik hati. Ntar ada masalah nangis, galau, perusahaan lagi yang kamu korbankan!”Armando meletakkan kopi di meja kerja Ace seraya memandangi kereta dorong berwarna putih yang terparkir di samping meja besar yang dipenuhi berkas dan arsip-arsip yang tersusun rapi. Armando menghela napas, ekspresinya yang sudah lelah dan jengkel kini terheran-heran.“Untuk apa juga kamu membawa bayi ke kantor, Ace? Apa kesibukanmu kurang banyak dan kamu berniat terus memutuskan untuk meli