Satu Tahun Kemudian.“Exhale... Inhale... Stay here... One, two...”Oekkk...Kelopak mata Pamela dan Ace sontak terbuka dan angan-angan pagi di bawah hangatnya sinar matahari sirna. Keduanya saling tatap sebelum beranjak dari matras yoga.“Pasti ada yang ganggu mereka!” Pamela bersungut-sungut, sementara tangis buah hati mereka semakin mirip petasan tahun baru. Terdengar meriah. “Itu sudah pasti!” Ace memakai kausnya dengan cekatan. “Kenapa mereka tidak memahami situasi kita?” Oekk... oekk... Mereka kontan lari tunggang langgang memasuki rumah yang ramai dikunjungi oleh keluarga besar Wiratmaja dan Anang Brotoseno.“Kenapa tidak ada yang menenangkan putri kami?” Ace mendorong bahu Karmen yang menghalangi jalan menuju ruang tengah. “Duduklah saat makan!” Ace menasihatinya dengan jengkel. “Kalian juga, apa-apaan ini.”Ace berkacak pinggang sembari menonton kegiatan pemotretan yang di lakukan seadanya tanpa sepengetahuannya. Putri kembarnya yang tercipta dari program bayi tabung mema
Seusai sarapan, Pamela tersenyum menatap wajah tua yang bersedih di depannya. “Santai, Pa.”Pamela memegang lembut lengan ayahnya, orang yang telah memberinya perlindungan hingga ia berstatus seorang ibu dan istri. Seseorang yang pernah dia benci karena kesibukannya dan seseorang yang pernah menelantarkannya demi sesuatu yang dimilikinya sekarang. Terlepas dari seseorang yang hidupnya keras dan terjal, dia tidak abai memperhatikannya selama ini meski harus melalui tangan-tangan hangat seseorang.“Aku sudah dewasa, Pa. Aku tidak takut lagi dengan Damian.” Pamela menegaskan bahwa membebaskan Damian sekarang bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Dia telah membuka lembaran baru, lembaran yang benar-benar indah dan tak tercoreng bekas masa lalu.Anang Brotoseno akhirnya mengangguk pelan. “Jika kamu membutuhkan sesuatu, Papa ada di rumah.” Pamela lekas memeluk ayahnya yang tampak enggan meninggalkan rumah hantu atau lebih tepatnya ia enggan meninggalkan cucu-cucunya yang telah membuatnya
Ace menuangkan anggur putih pada gelas berkaki seraya mengangsurnya ke hadapan Damian setelah mereka mendapatkan izin melalui perjalanan malam dengan ditemani Burhan sebagai satpam sekaligus sopirnya.“Apa yang ingin kamu lakukan setelah keluar dari penjara?” Ace bertanya sembari menuangkan minuman itu pada gelasnya sendiri. Ace sudah bersikukuh, Damian harus terikat dengannya meski risiko yang akan mengiringi perjalanan menuju kebahagiaan dan melampauinya tidak semudah rencana yang dia harapkan menjadi jalan keluar.“Setahun berlalu, banyak yang sudah berubah. Kamu ingin tahu ceritanya?” Ace menyesap anggurnya seraya menyilangkan kakinya. “Miranti dan Hanung bangkrut, seluruh usaha mereka aku ambil alih.” Ada senyum pongah yang tampak di wajah Ace seolah dia menunjukkan kepuasan yang diperolehnya dengan susah payah. “Aku sama sekali tidak menyangka mereka menjatuhkan pilihannya pada perusahaan ku untuk meneruskan perusahaan mereka yang hampir kolaps.”Damian terlihat tidak peduli p
Ace bersiul santai sambil mendorong kereta bayi kembarnya melangkah masuk ke ruang kerja. Dia baru akan memulai pekerjaannya dengan semangat empat lima di temani istri dan anaknya yang begitu menggemaskan hingga tidak sampai hati dia meninggalkannya di rumah.“Apa kamu yakin memperkerjakan Damian tidak akan merugikan perusahaan, Ace?” Armando menyambutnya dengan ekspresi kesal. “Jangan cari masalah! Sudah benar hidup kalian tenang setahun ini.” Armando memandangi Ace dan Pamela bergantian. “Nggak perlu repot-repot berbaik hati. Ntar ada masalah nangis, galau, perusahaan lagi yang kamu korbankan!”Armando meletakkan kopi di meja kerja Ace seraya memandangi kereta dorong berwarna putih yang terparkir di samping meja besar yang dipenuhi berkas dan arsip-arsip yang tersusun rapi. Armando menghela napas, ekspresinya yang sudah lelah dan jengkel kini terheran-heran.“Untuk apa juga kamu membawa bayi ke kantor, Ace? Apa kesibukanmu kurang banyak dan kamu berniat terus memutuskan untuk meli
Kantin gudang penyimpanan Mirabella Mart sudah ramai oleh karyawan-karyawati saat Damian tiba di tempat itu. Suara sendok yang beradu dengan piring terdengar di sela-sela obrolan mereka yang nampaknya seru sekali.‘Seperti datang ke tempat asing.’ Damian berbalik dan menghentikan langkahnya. Ada suara yang mencegahnya pergi. Terdengar bersemangat dan menyenangkan saat memanggil nama lengkapnya.“Damian Airlangga...” Arinda berseru dari barisan meja dan kursi yang berjumlah belasan di kantin. Semua tempat sudah terisi oleh kebanyakan laki-laki yang mendominasi pegawai gudang Mirabella Mart. “Sini... gabung sama aku.” Arinda melambaikan tangannya.Damian memberikan senyum sebisanya karena kini semua mata yang sedari tadi tertuju pada piring pindah ke wajahnya. Beberapa orang masih mengenalnya sebagai laki-laki tawanan Hanung dan mereka mengernyit heran karena kedatangannya.“Damian.”“Ari...” Damian menyapa Arinda dengan kikuk karena wanita matang itu kini sudah ada di depannya dan mel
Hari kedua bekerja. Cuaca masih sama baiknya seperti hari kemarin ketika Damian menjumpai Arinda di teras kantor.“Gimana? Masih betah kerja di sini?” Arinda tersenyum kenes sembari mengulurkan segelas kopi susu yang dibuatnya saat menunggunya.“Kopi susu coklat, kamu suka?” Damian sudah tidak dapat merasakan kehangatan kopi di telapak tangannya. Sejenak, dia mengernyit, memandangi Arinda yang memakai gaun cheongsam. “Sudah dari jam berapa kamu di sini?” Damian bertanya lalu tatapannya tertuju pada kopi susu dalam gelas kertas di tangannya. “Ini sudah hampir dingin. Kamu menungguku terlalu lama?” Damian menyeringai lebar. “Untuk apa?”Arinda menatap langit-langit teras, di bagian pojoknya rata-rata terdapat sarang laba-laba.“Aku menunggumu untuk memastikan kamu terlambat atau tidak. Karena aku bisa memastikan jika kamu terlambat lima menit saja gajimu akan terpotong!” “Sangat menakutkan ancamanmu itu!” Damian geleng-geleng kepala seraya meneguk kopinya, kopi kedua pagi ini setela
Jingga telah mewarnai kaki langit setibanya jam kerja Damian telah berakhir. Tapi sore itu, dia masih memilih berdiam diri di kantor sambil memandangi kawan-kawannya yang pamit lalu pergi.“Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di pusat. Surat itu sungguh membuatku penasaran, Damian.” Arinda bertanya langsung setelah mengunci pintu kantor.“Ayo buka.” Arinda mendesaknya sebab sudah berjam-jam dia hidup dalam rasa penasaran yang menggelisahkan.Damian menatap ketidaksabaran Arinda dan menggelengkan kepalanya. “Untuk apa kamu peduli dengan surat ini?” Arinda menghela napas. “Hanya penasaran. Apa surat itu ada hubungannya dengan perusahaan atau...” “Atau apa?” Damian menelengkan kepala. “Apakah penting bagi seorang pengawas tau segalanya tentang tawanannya?” Lepas mengerucutkan bibirnya, Arinda menganggukkan kepala. “Kamu masih dalam tanggung jawabku!” Dia memelotot. Damian tersenyum. Itu terdengar seperti kabar baik dan menjadi lucu karena yang menanggungnya adalah seorang wan
Saat Damian dan Arinda menjenguk Prihadi dengan membawa sekeranjang apel dan pisang ambon, alangkah senangnya pria paruh baya itu melihat anak perempuan satu-satunya membawa seorang lelaki setelah patah hatinya bersama Anjasmoro dulu.“Siapa namanya, Ari?” Sorot mata rapuh dan lelah itu nampak lebih bercahaya saat melihat keramahan yang Damian tujukan. “Kamu tidak mau mengenalkannya, Ari?” Arinda perlahan-lahan melepas kepalan tangannya yang mengerat di sisi tubuh. Dia sudah menduga jika kedatangan Damian akan membuat ayahnya bertanya-tanya mengapa kini tiba-tiba membawa seorang pria ke hadapan ayahnya yang mengalami gagal ginjal.Arinda menatap Damian dan Prihadi, tersenyum simpul. “Namanya Damian, Pa. Teman kantor.”“Oalah, teman kantor. Sudah lama kenal sama Arinda?” Prihadi bertanya sambil mengulurkan tangannya yang sedang diinfus.Damian menyalaminya, tersenyum menatap wajah Prihadi yang bahagia. “Sudah satu tahun, Om.” “Sudah lama sekali.” Tatapan Prihadi pindah ke Arinda. Lih