Kantin gudang penyimpanan Mirabella Mart sudah ramai oleh karyawan-karyawati saat Damian tiba di tempat itu. Suara sendok yang beradu dengan piring terdengar di sela-sela obrolan mereka yang nampaknya seru sekali.‘Seperti datang ke tempat asing.’ Damian berbalik dan menghentikan langkahnya. Ada suara yang mencegahnya pergi. Terdengar bersemangat dan menyenangkan saat memanggil nama lengkapnya.“Damian Airlangga...” Arinda berseru dari barisan meja dan kursi yang berjumlah belasan di kantin. Semua tempat sudah terisi oleh kebanyakan laki-laki yang mendominasi pegawai gudang Mirabella Mart. “Sini... gabung sama aku.” Arinda melambaikan tangannya.Damian memberikan senyum sebisanya karena kini semua mata yang sedari tadi tertuju pada piring pindah ke wajahnya. Beberapa orang masih mengenalnya sebagai laki-laki tawanan Hanung dan mereka mengernyit heran karena kedatangannya.“Damian.”“Ari...” Damian menyapa Arinda dengan kikuk karena wanita matang itu kini sudah ada di depannya dan mel
Hari kedua bekerja. Cuaca masih sama baiknya seperti hari kemarin ketika Damian menjumpai Arinda di teras kantor.“Gimana? Masih betah kerja di sini?” Arinda tersenyum kenes sembari mengulurkan segelas kopi susu yang dibuatnya saat menunggunya.“Kopi susu coklat, kamu suka?” Damian sudah tidak dapat merasakan kehangatan kopi di telapak tangannya. Sejenak, dia mengernyit, memandangi Arinda yang memakai gaun cheongsam. “Sudah dari jam berapa kamu di sini?” Damian bertanya lalu tatapannya tertuju pada kopi susu dalam gelas kertas di tangannya. “Ini sudah hampir dingin. Kamu menungguku terlalu lama?” Damian menyeringai lebar. “Untuk apa?”Arinda menatap langit-langit teras, di bagian pojoknya rata-rata terdapat sarang laba-laba.“Aku menunggumu untuk memastikan kamu terlambat atau tidak. Karena aku bisa memastikan jika kamu terlambat lima menit saja gajimu akan terpotong!” “Sangat menakutkan ancamanmu itu!” Damian geleng-geleng kepala seraya meneguk kopinya, kopi kedua pagi ini setela
Jingga telah mewarnai kaki langit setibanya jam kerja Damian telah berakhir. Tapi sore itu, dia masih memilih berdiam diri di kantor sambil memandangi kawan-kawannya yang pamit lalu pergi.“Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di pusat. Surat itu sungguh membuatku penasaran, Damian.” Arinda bertanya langsung setelah mengunci pintu kantor.“Ayo buka.” Arinda mendesaknya sebab sudah berjam-jam dia hidup dalam rasa penasaran yang menggelisahkan.Damian menatap ketidaksabaran Arinda dan menggelengkan kepalanya. “Untuk apa kamu peduli dengan surat ini?” Arinda menghela napas. “Hanya penasaran. Apa surat itu ada hubungannya dengan perusahaan atau...” “Atau apa?” Damian menelengkan kepala. “Apakah penting bagi seorang pengawas tau segalanya tentang tawanannya?” Lepas mengerucutkan bibirnya, Arinda menganggukkan kepala. “Kamu masih dalam tanggung jawabku!” Dia memelotot. Damian tersenyum. Itu terdengar seperti kabar baik dan menjadi lucu karena yang menanggungnya adalah seorang wan
Saat Damian dan Arinda menjenguk Prihadi dengan membawa sekeranjang apel dan pisang ambon, alangkah senangnya pria paruh baya itu melihat anak perempuan satu-satunya membawa seorang lelaki setelah patah hatinya bersama Anjasmoro dulu.“Siapa namanya, Ari?” Sorot mata rapuh dan lelah itu nampak lebih bercahaya saat melihat keramahan yang Damian tujukan. “Kamu tidak mau mengenalkannya, Ari?” Arinda perlahan-lahan melepas kepalan tangannya yang mengerat di sisi tubuh. Dia sudah menduga jika kedatangan Damian akan membuat ayahnya bertanya-tanya mengapa kini tiba-tiba membawa seorang pria ke hadapan ayahnya yang mengalami gagal ginjal.Arinda menatap Damian dan Prihadi, tersenyum simpul. “Namanya Damian, Pa. Teman kantor.”“Oalah, teman kantor. Sudah lama kenal sama Arinda?” Prihadi bertanya sambil mengulurkan tangannya yang sedang diinfus.Damian menyalaminya, tersenyum menatap wajah Prihadi yang bahagia. “Sudah satu tahun, Om.” “Sudah lama sekali.” Tatapan Prihadi pindah ke Arinda. Lih
Damian tahu dan Damian sadar kemarahan Arinda adalah bukti dari keengganannya bekerja sama meruntuhkan kegelisahan-kegelisahan yang amat besar merongrong jiwanya setiap hari, setiap minggu hingga sampai hari ini genap satu bulan Arinda terus memandanginya penuh permusuhan.“Dia benar-benar memiliki keputusan yang tangguh! Sulit sekali menebus batas keras kepalanya.” Damian menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan kepala. “Mau sampai kapan dia marah. Padahal setiap hari kerja bareng mengembangkan perusahaan. Apa pendiriannya memang sekeras batu sampai orang tuanya frustasi?”Damian meluruskan kakinya ke pinggiran meja. Siang itu dia memilih tinggal lebih lama di kantor daripada pergi ke kantin, urusan dengan Arinda menambah beban hidupnya alih-alih lega karena dia tidak perlu mengencani wanita galak dan angkuh seperti dirinya.“Apa aku harus menyewa wanita penghibur kalau saja aku tidak mendapatkan kekasih? Sial... Aku kehilangan keberanian mendekati wanita-wanita itu.” Damian men
Tidak ada yang lebih menyebalkan dan melelahkan menjalani pekerjaan hari ini. Tentu saja. Bagi Arinda yang harus tetap tampil prima dan independen di hadapan Secret Man yang entah di mana orangnya dan bagiamana wujudnya, itu sangat-sangat menguras energi.Setiap detik dan jam yang bergulir, semakin meredupkan senyum yang gampang terukir dalam beberapa kali kesempatan tegur sapa dengan bawahan atau rekan kerja. ”Harusnya hari ini aku izin sakit! Pura-pura flu atau pilek daripada harus bersikap seperti ini. Aku capek banget.” Arinda melenguh seraya mencengkeram rambutnya. Merasakan panas karena isi kepalanya yang bergemuruh. “Apa mungkin nanti malam Secret Man datang di lokasi yang aku kirim? Kalau iya, bagaimana aku harus menyelesaikannya dan bertingkah?” Arinda nampaknya terus meracau lalu menghentak-hentak kakinya di lantai berulang kali sampai peluh muncul di keningnya.“Aku setreees. Selain itu, Damian kenapa terlalu wangi. Wanginya ganggu banget.” Arinda menggeram sampai Damian
Tetes air turun membasuh kota Jakarta ketika perhelatan pesta ulang tahun Berlian sedang di mulai. Hanya gerimis memang, tetapi angin kencang menyebabkan permukaan wajah Damian dan sepatu pantofelnya basah kuyup.“Hari ini harus bertemu Asih dan aku sedang tidak dalam keadaan prima.” Damian melepas jas hujannya setelah tiba di basemen gedung Kandjaya Company. Wajahnya terlihat kacau, seperti enggan tapi harus datang untuk menghargai mereka yang telah berbaik hati memberinya ruang kebaikan dan pekerjaan. “Asih... kembang desa yang sudah kadaluarsa itu apa mungkin mau bicara denganku?” Damian mengendikkan bahu, membayangkan wujudnya saja dia sudah dapat tersenyum geli karena pasti dia juga tertekan oleh peraturan sinting Ace.”Kira-kira penampilannya sekarang seperti apa, ya?” Damian nyengir dan tepat dengan kegiatannya mengelap sepatunya dengan kanebo kering, mobil Arinda melewatinya. Damian menatapnya sampai mobil itu berhenti di ujung basemen, berjejeran dengan mobil-mobil mewah l
“Sumpah... aku muak dengan kostum squidward ini.” Ace mencampakkan kostum itu dengan kesal setelah pesta berakhir meski gedung serbaguna Kandjaya Company masih menyisakan kemeriahan pesta karena lagu Happy Birthday To You tidak berhenti berputar.“Sejak pesta dimulai senyumku palsu. Astaga, apa kata partner bisnisku nanti? Aku yakin mereka akan membicarakan kekonyolanku.”Ace menendang kostum itu seraya menutup wajahnya. “Aku besok mau libur kerja. Dua Minggu!”Pamela tertawa melihat Ace yang tiada hentinya melolong nada frustasi. Kostumnya memang paling lucu dan antik ketimbang kostum para bodyguard yang tampil gagah menggunakan kostum hiu.“Sudahlah, Ace. Ini kan demi kebahagiaan Berlian dan kekompakan keluarga.” Pamela mengelus lengannya. “Yang sabar deh, ini akan cepat berlalu.” “Tidak akan cepat berlalu!” sergah Ace. “Mereka membidik kita berulang kali dengan hp sialan yang harusnya sejak awal aku memakai peraturan dilarang membawa hp!” Pamela semakin tergelak karena dia perlu
Pamela siap menjumpai Damian di tengah kebahagiaan pria itu. Mau tak mau, penantian panjang atas getirnya sebuah perasaan lama harus dia sanjung dengan senyuman dan pujian kepada mereka yang mengambil sebagian isi pikirannya dalam beberapa bulan.Pamela melewati jalan setapak yang membelah kebun pisang sebelum memberi seulas senyum pada sebagian besar tamu Asih yang merupakan keluarganya sendiri dan teman kerja di Jakarta.Ada Burhan dan Wulan, mereka akan menyusul ke jenjang pernikahan satu bulan lagi untuk memberi jeda bagi Ace mengatur keuangannya yang luber-luber. Ada pula Arinda dan Seno, puzzle-puzzle yang berserakan membuat mereka perlu mencocokkan satu persatu kesamaan dengan percekcokan, marahan, dan rayuan, meski begitu mereka tetap berada di dalam pengawasan mak comblang—Ace—hingga membuat kedekatan mereka tetap terjalin secara terus menerus. Di dekat meja prasmanan, Anang Brotoseno bersama anak-anaknya mirip juri ajang lomba masak-memasak, mereka menyantap semua makanan
Damian dan Asih tidak mempunyai waktu yang begitu lama untuk mengumumkan keberhasilan cintanya. Maka pada pukul lima sore. Dua bulan setelah mereka memastikan tidak ada lagi yang menghalangi pendekatan mereka, Asih menagih janji Ace di ruang kerjanya.Ace tersenyum lebar setelah menaruh ponselnya. Dengan hangat dia memberikan selamat atas keberhasilannya mengambil hati Damian. Dekatnya hubungan kekeluargaan mereka menandakan prospek bagus. Usahanya berhasil, Asih tidak menjadi beban sepenuhnya, tidak di goda ayahnya, tidak menjadi perawan tua. Itu hebat, dan Asih membalas ucapan selamat itu dengan senyum ceria.“Bapak tidak lupa dengan hadiah kemarin, kan?””Mau nikah di mana?” kata Ace.“Di rumah.” Asih berkata sebelum menyunggingkan senyum. “Bapak ibuku mau semua rangkaian acaranya di rumah, katanya biar jadi kenangan terindah mereka melihatku nikah.” Ace mengangguk. “Kamu sendiri sudah yakin sepenuhnya menikah dengan Damian?” “Kalau aku tidak yakin sudah lama aku minta bubar, Pak
Asih masih mengingat dengan jelas percakapan antara dirinya dengan Pamela saat mereka bersama-sama menenangkan si kembar sambil membahas orang tua Damian. Tetapi tidak ada satupun percakapan yang meredakan kegalauan di hatinya. Asih dapat membayangkan sosok galak bermata tajam Ayah Damian, dia juga dapat membayangkan mulut besar dan cerewet ibunya. Sekarang, selagi masih dalam perjalanan ke rumahnya, dengan keluwesan yang bersifat grogi, Asih memeluknya. Damian memberikan penegasan bahwa memeluknya boleh saja dengan meremas punggung tangan Asih. “Tumben... Kenapa? Grogi mau ketemu mama?” kata Damian. Suaranya terdengar riang apalagi waktu merasakan tangan Asih begitu dingin.Asih ingat ketika Damian mengatakan bahwa Ibunya santai. Tapi tetap saja kan bertemu dengan seseorang yang akan menjadi ibu mertua itu rasanya seperti sensasi naik rollercoaster. Jantung deg-degan parah, adrenalin terpacu, dan grogi itu sudah pasti. “Itu pertama kali bagiku, Mas. Emangnya kamu sudah keseringan
Damian dan Asih sampai di parkiran gudang penyimpanan Mirabella Mart ketika jam makan siang baru di mulai. Kedatangan Damian yang sangat terlambat pun memancing rasa tidak suka Arinda yang melihat kedua orang itu masuk kantor dengan keadaan semringah."Professional bisa nggak sih, Dam?" katanya lantang. "Tanggal ini kamu sudah janji handle pengepakan barang dan pengiriman ke toko cabang, tapi mana? Ini kamu makan gaji buta setengah hari."Damian memberikan tempat duduknya untuk Asih. "Aku mulai dulu pekerjaanku, ya. Kamu tidak masalah aku tinggal-tinggal?" Asih jelas tidak mempermasalahkan hal itu. Mereka sudah menghabiskan waktu dengan sarapan dan makan siang bersama sambil menonton film di home teather rumah Ace. Dan itu sesungguhnya sangat bagus karena dia bisa bernapas dengan tenang."Kamu dibikinin kopi dulu?" Asih menawarkan. Damian mengangguk seraya mencari kursi nganggur di dekat Seno. "Bentar lagi kamu dapat projects bagus dari Pak Ace, di terima, jangan di tolak." bisiknya
Perjuangan apa yang hendak Arinda lakukan? Damian tidak habis pikir mengapa wanita selalu saja bertindak sesuai kebutuhannya sendiri daripada menerima ajakan yang jelas-jelas sudah membuka usaha yang begitu enak menuju terangnya kejelasan.Damian menatap halaman rumah Ace ketika pagi telah mengganti malam yang begitu dingin dan rangsang. Awan putih terlihat menggantung di langit biru dan cerah. Kendati begitu, Asih masih tetap terlelap seakan menikmati waktu istirahatnya tanpa mengingat kegiatannya ketika pagi. "Apa dia terlalu lelah sampai alarm di tubuhnya tidak menyala?" Damian menatap wajah Asih dengan teliti. "Waktu muda dulu kamu memang terlihat seperti kembang desa. Cantik dan menarik. Sekarang masih sama, tapi seperti kembang gaceng." Seketika Asih membuka matanya seperti langsung sadar dari tidur lelapnya. "Apa itu kembang gaceng?" Damian menyunggingkan senyum, wanita lain pasti akan sebal mendengar arti kembang gaceng sesungguhnya, tapi Asih tidak. Dia justru tertawa sam
Damian mengulum senyum sewaktu Asih muncul di depan pintu. "Ganggu waktu istirahatmu?" tanyanya lembut. Asih menanggapinya dengan meringis sebentar sebab ada kecanggungan yang amat besar sekarang, terutama ketika Ace menatapnya sambil tersenyum-senyum senang seolah dia mengolok-oloknya punya kekasih baru."Aku itu nunggu ini selesai dan belum istirahat. Jadi tidak ganggu kok." Asih menyunggingkan senyum. "Maaf, ya. Mas Damian ini pasti terpaksa terima perjodohan ini.""Nggak, nggak terpaksa. Aku sudah menimbangnya selama sebulan untuk memilihmu atau bersama yang lain." Damian mengaku, "Ini pengakuan jujur, kamu boleh percaya atau tidak."Hidung Asih terlihat membesar, mau percaya atau tidak itu bukan urusan yang gawat lagi baginya. Damian berani ke rumah Ace tanpa membawa seorang wanita itu saja sudah menjawab pernyataan itu. "Terus ini mau bagaimana?" Asih terlihat sungkan ketika duduk di sebelah Damian. Ace yang menyuruh."Kalian bisa pacaran dulu atau langsung menikah." saran Ace
Tepat pukul delapan malam. Damian mendatangi rumah Ace dalam keadaan rapi jali dan wangi serta membawa segenggam mawar putih untuk Asih.Ace yang menantinya di teras rumah mewahnya karena harus meninggalkan rumah hantu demi kenyamanan semuanya tersenyum geli saat menyambutnya."Kamu memilih Asih dan tidak bisa meluluhkan hati Arinda, Damian?" Damian menatap sekeliling, hanya ada Ace dan Burhan di teras meski suara tangis bayi mengiringi kedatangan. "Kamu tidak membantu Pamela mengurus anak kembar kalian?" tanyanya dengan ekspresi heran.Ace ingin tertawa, tapi rasa peduli Damian itu kadang membuatnya resah. Masihkah ada perasaan tertentu untuk Pamela? Ace menyunggingkan senyum setelah menepis anggapannya sendiri dengan cepat karena tidak mungkin Damian masih menyayangi Pamela setelah Ayahnya menghukumnya dengan kasar."Dia bersama dua pengasuh si kembar, kamu tidak perlu cemas Pamela kerepotan." "Bukan masalah kerepotan atau cemas. Kamu tidak ingin berada di dekat mereka untuk mel
Damian mengamati perubahan yang terjadi pada Arinda setelah mengungkapkan identitasnya sebagai Secret Man setiap hari, sepanjang sisa waktunya mencari pacar untuk menenangkan hati Ace dan Pamela. Tetapi setiap kali tatapannya tertuju padanya tanpa sekat, wanita itu tetap saja bersikap cuek, tidak terpengaruh. Arinda tetap memiliki dunianya sendiri yang tidak dapat dia masuki tanpa izin.Damian menyugar rambutnya dengan kasar. Dua bulan waktu yang diberikan tidak cukup membuatnya bebas bergaul dengan wanita. Pikirannya hanya ada Asih dan Arinda, dua wanita itu sudah membuatnya pusing dan sibuk, apalagi tiga, empat dan lima wanita lain?Damian mengeram, akhir-akhir ini dia terlihat sering marah dan cemas. ”Nanti malam aku benar-benar harus datang dan menerima Asih sebagai pacarku terus nikah dan... Sial... Asih baik, tapi dia cuma menjadikanku alat. Terus rumah tangga apaan yang aku jalani sama dia?” Damian mengepalkan tangan seraya menepuk-nepuk keningnya berulang kali. ”Apa harus nye
Keesokan harinya. Damian mendorong pintu kantor dan menemukan Arinda sudah duduk di meja kerjanya meski baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Damian menyunggingkan senyum manakala jas kerjanya yang dia pinjamkan saat gaun pesta Arinda ketumpahan sesuatu di pesta semalam sudah rapi jali di mejanya. Terbungkus plastik seolah habis di bawa ke penatu. Penatu dua puluh empat jam? Damian menanggapi ketegasan Arinda mengembalikan senyum “Buru-buru banget datang ke kantor? Banyak kerjaan?” tanya Damian. “Acara semalam lancar? Apa ada yang mengkritik kinerjamu dan membuatmu kepikiran?”Arinda melenguh sembari bersandar. “Kenapa kamu cerewet banget, Damian. Sepagi ini? Sarapan apa kamu? Asih?” ‘Kenapa bawa-bawa Asih?’ Damian meringis sembari menghidupkan komputernya. “Sambel tongkol buatan Mama, ada petainya.” Dengan iseng Damian menyemburkan bau mulutnya ke udara. “Apat kamu mencium aroma petainya?” Arinda mengapit batang hidungnya dengan muka sebal. Sebal sekali melihat Damian sep