Tangan Alika bergetar hebat. Hampir saja benda pipih milik Raka---suaminya---yang sedang dia pegang, terjatuh, jika saja dia tidak segera memegangnya erat. Oh, sebaris kata dalam notifikasi pesan yang muncul di layar benar-benar membuat dadanya sesak.
Okay, Alika tidak ingin berprasangka buruk. Tetapi bagaimana bisa? Jelas-jelas sebaris kata itu terbaca oleh netranya. I love you, Mas. Begitu yang tertulis, dari sebuah nama, Risa. Siapa Risa ini. Dan ada hubungan apa dengan Raka. Kenapa dia mengucapkan kata-kata sakral itu pada suaminya, yang seharusnya hanya Alika yang berhak untuk mengucapkannya.
Satu menit, dua menit, Alika menunggu Raka keluar dari kamar mandi kamar luas mereka. Dan saat pria itu muncul dari balik pintu sambil mengeringkan rambut dengan handuk, Alika hanya bisa berdiri mematung. Gawai milik Raka masih berada di tangannya, sehingga membuat pria itu mengerutkan kening.
"Kamu periksa-periksa hape-ku, Lika?" Raka merebut ponsel dari tangan Alika dengan kasar, kemudian memeriksa layar. Sekilas, ya, sekilas, Alika melihat wajah pria itu terkesiap. Namun, sejurus kemudian wajah tampan itu menegang.
"Lancang banget kamu periksa-periksa hape-ku?" sembur Raka. Padahal Alika sedang menunggu penjelasan dari pesan yang baru saja dia lihat.
"I-itu tadi pesan dari siapa, Mas?"
"Pesan apa?" Suara Raka meninggi. Sepertinya dia pura-pura memeriksa gawainya dan kembali mengerutkan kening. "Kamu kok udah berani baca-baca pesan yang masuk ke hape-ku?"
"Jawab, Mas!" Alika tidak mampu membendung gelombang cemburu yang melanda hatinya. Sebaris kata I love you, Mas dari seseorang bernama Risa menari-nari di pelupuk matanya. "Siapa Risa dan kenapa dia kirim pesan kaya gitu sama kamu?"
"CK! Apa, sih? Dia temen. Emang biasa kirim-kirim pesan nggak jelas kaya gitu."
"Emang kamu ngelakuin apa ke dia sampai dia bilang I love you ke kamu, Mas?"
"Heh!" Raka mendorong bahu Alika hingga perempuan itu terduduk di tepi ranjang. Tentu Alika terkejut mendapat perlakuan seperti itu. Meskipun, sebenarnya sudah satu bulan ini Raka tidak lagi bersikap ramah padanya. Entah karena apa. Yang jelas Alika merasa Raka berubah.
Inikah alasannya.
"Kamu nggak usah mikir macem-macem. Kalau aku bilang dia cuma teman ya cuma teman. Males banget aku jelasin ke kamu panjang lebar." Dibentak seperti itu, Alika terdiam. Akhirnya, dia hanya bisa memandangi gerak-gerik suaminya mengenakan pakaian rumahan, melempar handuk basah ke sembarang arah, kemudian melangkah ke luar kamar.
Alika hanya bisa mengelus dada. Kemudian meraih handuk yang dilempar Raka beberapa detik lalu ke lantai, dan memasukkannya ke keranjang pakaian kotor. Ini waktunya makan malam, dan Raka sama sekali tidak mengajaknya turun ke ruang makan. Malah meninggalkannya begitu saja dengan pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi benaknya.
Dia pun akhirnya menyusul Raka ke meja makan. Dan yang dia dapati di sana adalah wajah judes sang ibu mertua---Marini---dan Raka yang sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Suaminya itu fokus dengan makanan yang sedang disantapnya. Sementara perempuan paruh baya di seberang meja, tersenyum sinis padanya.
"Giliran makanan sudah siap, baru muncul. Bukannya bantuin pembantu menyiapkan makan malam." Baru saja menyentuhkan pantat ke kursi, ucapan sinis dari sang ibu mertua menyambutnya.
"Maaf, Ma. Tadi aku ketiduran nunggu Mas Raka pulang kerja."
"Ngapain pake nunggu Raka pulang kerja segala. Toh, kalau waktunya pulang ya pulang. Kamu ini alasan saja. Aku perhatikan kok tambah malas saja kamu. Mentang-mentang semua kebutuhanmu sudah dicukupi sama anakku, kerajaanmu cuma ongkang-ongkang kaki saja!"
Ongkang-ongkang kaki. Astaga. Seharian Alika sudah mengerjakan pekerjaan rumah yang seharusnya adalah tugas pembantu. Itu juga masih kena semprot Marini yang menganggap pekerjaannya tidak becus.
Kini Alika mengalihkan pandang pada Raka yang bergeming saja melihatnya diintimidasi oleh Marini. Biasanya, Raka akan membelanya dan menegur sang ibu agar jangan menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah. Apa gunanya pembantu jika istrinya ini juga harus repot-repot ikut mengerjakan semuanya.
Tetapi, sebulan terakhir ini, sejak Alika merasa sikap Raka berubah, pria itu sama sekali tidak peduli dengan apa yang dilakukan Marini terhadapnya. Dan tentu saja hal itu seperti angin segar bagi perempuan itu. Sikap semena-menanya pada Alika semakin menjadi-jadi.
Ya, Alika sadar. Sedari dulu, awal Raka mengenalkan Alika pada Marini sebagai calon istri, perempuan itu sudah memperlihatkan sikap tidak sukanya. Atau lebih tepatnya dia tidak setuju Alika menjadi pendamping putra semata wayangnya.
Alika dari keluarga yang tidak mampu. Tidak sepadan dengan keluarga Goenarto yang kaya raya. Tetapi dulu, Raka bersikeras menentang mamanya atas nama cinta yang selalu dia ucapkan untuknya. Alika dan Raka berpacaran sejak kuliah. Raka menunjukkan keseriusannya saat hubungan mereka menginjak lima tahun dan menikahinya tepat beberapa bulan papanya meninggal dan mewariskan perusahaan keluarga padanya.
"Beresin, tuh!" seru Marini membuyarkan lamunan Alika. Rupanya dia dan Raka sudah selesai menyantap makan malam, sementara Alika sibuk melamun sehingga belum sempat menyentuh makanan di piringnya.
Raka berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hal itu membuat hati Alika terasa perih. Rasanya tidak ada lagi yang mendukungnya di rumah ini. Padahal, Alika bertahan dari kebencian ibu mertuanya karena ada Raka yang selalu menenangkannya.
"Sini mbok bantu, Non." Alika menoleh ke arah seorang perempuan paruh baya berhijab yang sudah berdiri di sampingnya. Mbok Ratmi, asisten rumah tangga yang menjadi saksi sikap semena-mena Marini terhadapnya.
"Nggak usah, Mbok. Biar aku aja." Alika mencegah Mbok Ratmi membereskan piring-piring kotor di atas meja.
"Non Alika belum makan loh ini. Masih utuh. Makan saja dulu, yang lain biar mbok yang beresin." Setelah sedikit perdebatan dengan Mbok Ratmi, akhirnya Alika menyerah dan duduk kembali menikmati makan malamnya. Meskipun rasanya perutnya sudah kenyang dengan sikap Marini dan Raka, tentu saja.
Selesai makan malam, Alika pergi ke kamarnya dan mendapati Raka sudah bergelung dalam selimutnya. Perempuan itu pelan naik ke ranjang dan memandangi punggung suaminya dengan hati perih.
"Mas ...," panggilnya pelan.
"Hmm." Hanya itu yang terdengar dari arah suaminya. Raka sama sekali tidak berniat untuk memutar badan, dan menyambutnya dalam pelukan. Seperti dulu.
"Aku salah apa sebenarnya? Kenapa rasanya akhir-akhir ini kamu berubah?"
"CK! Masih mau bahas pesan di hape-ku?"
"Ya, itu juga jadi salah satu yang mengganggu pikiranku."
"Makanya nggak usah kepo!" tukas Raka ketus. "Nggak usah ganggu aku lah. Aku ngantuk!"
"Tapi, Mas ...."
"Kamu punya kuping, nggak? Denger, nggak aku ngomong apa? Aku ngantuk!"
Astaghfirullah. Alika hanya bisa mengelus dadanya yang terasa perih. Raka memang bukan Raka yang dulu. Yang selalu lembut dan memanjakannya. Raka kini begitu kasar padanya. Seakan-akan lupa dengan ikrar cinta yang dulu pernah terucap dari bibirnya. Bahwa dia akan selalu berusaha untuk tidak membuatnya menangis.
Tetapi nyatanya, buliran-buliran bening itu kini jatuh membasahi pipinya.
*******
Chat berisi kata-kata mesra di ponsel Raka memang bukan isapan jempol belaka. Raka memang memiliki hubungan dengan seorang perempuan bernama Risa, yang sudah terjalin selama dua bulan terakhir. Perempuan itu adalah sekretaris di perusahaan kolega Raka. Dan pertemuan pertama terjadi tatkala Risa ikut bosnya meeting dengan Raka untuk membicarakan proyek kerjasama antar dua perusahaan.Pembawaan Risa yang luwes dan menyenangkan membuat Raka terpesona pada pandangan pertama. Selain perempuan itu begitu cantik, tubuhnya pun seksi dengan lekuk-lekuknya yang mampu membuat mata lelaki mengerjap-ngerjap.Dan yang pasti, permainannya di atas ranjang mampu membuat Raka ampun-ampun. Hot bukan main.Dan di sebuah kamar hotel bintang tiga di tengah kota Jakarta yang sedang padat-padatnya siang itu, Raka justru menghabiskan istirahat siangnya dengan menikmati hidangan terlezat yang disajikan oleh Risa.Perempuan bertubuh sintal ini selalu membuatnya menggila. Sampai-sampai dirinya merasa hambar saat
"Mau ke mana kamu?" Marini menatap sinis Alika yang baru saja menuruni tangga. Melihat sang menantu yang dibencinya itu berpakaian rapi mirip orang kantoran, membuatnya penasaran."Aku mau melamar kerja, Ma.""Kerja? Kerja apa?" Marini bersidekap sambil memandang remeh pada Alika. "Biasa apa kamu memangnya? Paling-paling melamar kerja jadi babu," ejeknya.Alika menghela napas dalam-dalam menahan gemuruh di dada. "Ada lowongan pekerjaan di sebuah perusahaan pengembang, Bu."Marini mencebik. "Memangnya jatah dari Raka kurang? Sampai-sampai mau melamar kerja."Maunya perempuan ini apa sebenarnya. Berdiam diri di rumah saja, dibilangnya ongkang-ongkang. Giliran ingin bekerja, dibilangnya jatah suami kurang. Susah memang kalau orang sudah benci, semua akan terlihat salah di matanya."Aku pamit dulu, Bu," ucap Alika sambil meraih tangan sang mertua, namun dia tidak diizinkan untuk menyentuhnya."Naik taksi saja, atau ngojek sekalian. Nggak usah pake mobil apalagi minta diantar sopir!"Alika
Alika pulang dengan hati riang. Akhirnya dirinya memiliki pekerjaan. Memang tidak disangka akan semudah ini. Sedikit aneh juga karena mengingat dirinya belum pernah punya pengalaman kerja sama sekali.Tetapi, untuk apa dipikirkan. Yang penting, dirinya sudah memiliki pekerjaan sekarang dan tidak harus berdiam diri saja di rumah meratapi nasib. Dan, yang membuat Alika senang adalah, dia tidak harus meminta uang bulanan pada Raka untuk dikirim pada ibu dan adiknya.Alika tidak sabar ingin memberitahu kabar gembira ini pada Raka. Maka, sore hari saat suaminya itu pulang, dia segera memberitahukan padanya."Apa?!" seru Raka. Matanya nanar menahan kesal. Reaksi Raka di luar dugaan Alika."Kenapa kamu kerja di perusahaan Darmawangsa? Kamu sengaja pingin bikin aku kesel, ya?"Alika melongo. Dia tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Raka. "M-memangnya kenapa, Mas?""Kenapa, kenapa. Kamu tahu Darmawangsa itu kompetitor besar perusahaan Goenarto!"Alika terperangah. Tentu saja dirinya tidak ta
Saking banyaknya pekerjaan pertama Alika hari ini, dia harus lembur hingga jam tujuh malam. Raka tidak menelepon sama sekali. Hal itu sedikit membuatnya kecewa. Tetapi, Alika sudah menduga sebelumnya. Mungkin, jika dirinya tidak pulang ke rumah, Raka tidak akan mempermasalahkannya."Loh, Lika, masih di sini?" tanya Dave saat melintas di depan ruangannya dengan pintu terbuka."Aku baru aja selesai." Alika sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam tas selempangnya. "Kamu juga masih di sini, Dave?" tanyanya heran."Iya, baru selesai juga," kekehnya. "Pulang bareng, yuk?""Aku naik ojek aja," sahut Alika seraya berjalan ke arah Dave yang berdiri di ambang pintu. Keduanya pun berjalan bersama menuju lift yang akan membawa mereka turun ke lobi."Jangan, dong. Aku anter aja, ya, rumahnya searah, kok.""Beneran nggak usah." Alika menggulir layar ponsel untuk memesan ojek."Takut suamimu marah, ya?" tanya Dave."Nggak, sih, cuma nggak mau ngerepotin aja.""Nggak repot, dong. Udah, ya, aku an
Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan wakt
Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya."Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya."Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri."Wah, aku bikin kenyang, ya?"Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya."Seminggu nggak makan aku, Lika."Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur."Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap."Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir sema
Bu Kayla menugaskan Alika untuk mempersiapkan rapat hari itu. Maka sedari pagi, Alika begitu sibuk melakukan koordinasi dengan tempat yang akan dipakai untuk menyelenggarakan rapat. Sebuah hotel bintang empat yang ada di pinggir kota.Pokoknya, Alika hari itu harus bolak-balik hotel-kantor untuk menyiapkan dokumen, transportasi dan juga memastikan semua peserta rapat hadir. Dia cukup kerepotan kalau saja Dave tidak membantunya. Pemuda itu yang mengantarnya ke mana-mana.Tetapi, yang membuatnya heran adalah, saat mengantar dokumen untuk bahan rapat ke ruangan Pak Bagas, Alika mendapati Dave sudah ada di sana. Dan yang membuatnya semakin heran adalah, yang akan memimpin rapat adalah pemuda itu.Lalu, siangnya, Alika pun berangkat ke hotel bersama Dave dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya."Dave, kok bisa kamu yang mimpin rapat? Kenapa bukan Pak Bagas?" tanya Alika saat berada di dalam mobil Dave."Ya, nggak tahu," kekeh Dave."Serius kamu cuma karyawan biasa?" tanya Alika k
"Pernikahan itu bukan untuk main-main, Dave. Kalau aku udah mutusin menikah dengan seseorang, artinya, seburuk apapun dia, aku harus terima.""Tapi, suami kamu itu udah jelas-jelas main serong. Nyakitin kamu, ngasarin kamu, bikin kamu nangis. Ngapain dipertahankan? Lagian kalian belum ada anak, kan?"Dave semakin berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sejak dia melihat suami Alika bersama perempuan lain dan bersikap kasar padanya, rasanya dia tidak ingin diam saja."Dave!" Suara Alika sedikit meninggi. "Aku baik-baik aja, okay?"Dave mendecak. Baik-baik saja katanya. Dari ekspresi wajahnya saja memperlihatkan kalau Alika sedang menanggung beban berat dalam hidupnya."Mau sampai kapan pura-pura, Lika?""Dave, kamu nggak tahu apa-apa. Mendingan kamu nggak usah ikut campur!" seru Alika seraya beranjak dari duduknya. Selera makannya sudah hilang dan dia kini berjalan keluar restauran, diikuti oleh Dave."Lika, tunggu!" Dave meraih lengan Alika dan memaksa perempuan itu berhenti. Alik
Raka tidak tahu apa yang sedang dia rasakan. Seharusnya dia tidak lagi peduli dengan Alika. Sejak dia jatuh cinta dan menjalin cinta dengan Risa, perasaannya pada Alika telah memudar. Rasanya dia tidak lagi memiliki gairah dengan Alika. Risa jauh lebih seksi dan lebih liar di ranjang. Dia senang memperlihatkan kemesraannya dengan Risa pada Alika. Dia senang melihat istri pertamanya itu menderita. Raka merasa memiliki kuasa. Namun, saat tahu Alika baik-baik saja dan malah dekat dengan Davian Dharmawangsa, hatinya merasa tidak rela. Dia tidak rela melepaskan Alika begitu saja. Risa yang sedang hamil menjadi sangat manja dan cerewet. Dia juga sudah resign dari pekerjaannya dan hanya bermalas-malasan di rumah. Pelayanan Risa di atas ranjang pun berkurang drastis karena kehamilannya. Hal ini sedikit membuat Raka frustrasi. Raka tidak tahu kenapa justru sekarang Alika yang tampak lebih menarik. Jauh lebih menarik dari pada saat awal-awal pernikahannya dengan Alika dulu. Wajah Alika bahka
Alika hampir saja tersedak pizza yang sedang dikunyahnya. Buru-buru dia mengambil botol minum dan meneguk isinya. "Kamu dengar kan aku ngomong apa?" Dave menatap Alika lekat meskipun gadis itu mencoba menghindar. "Aku sudah menikah, Dave." Berapa kali Alika harus mengatakan hal itu pada pemuda tampan di hadapannya ini. Walaupun, lagi-lagi, pernikahan yang sudah di ambang kehancuran. "Emangnya kamu mau dicap perebut bini orang?" kekehnya, untuk mengusir ketegangan di antara dirinya dn Dave. Dave menggeleng. "Aku serus, Lika." Tatapan Dave tetap tajam menusuk relung hati Alika. Tidak ada senyum di bibir tipisnya. Pemuda ini benar-benar dalam mode serius.Alika menghela napasnya berat. "Aku nggak mau ngomongin ini." Dipalingkannya wajah ke arah lain. "Pokoknya aku bakalan nunggu sampai kamu bilang iya dan sampai kamu ceraiin si Raka brengsek itu." "Kamu emang bebal banget, ya?" "Biarin." Dave menyahut dengan santainya. Alika mengibaskan tangan sambil meggeleng pelan. "Terserah kam
"Loh, kamu tinggal di sini sekarang?" tanya Dave keheranan, setelah Alika memintanya berhenti di depan sebuah rumah sederhana."Iya, aku tinggal sama ibuku sementara, beliau lagi sakit.""Oh," ucap Dave. Tetapi, dia merasa bukan hanya alasan ibunya sakit, Alika pindah kemari. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Namun, dia tidak akan menanyakannya langsung, karena dia yakin Alika pasti tidak akan berkata jujur. Dia memutuskan untuk menyelidiki sendiri saja."Sur, aku mau kamu selidiki Raka Goenarto," ucap Dave pada Surya---orang kepercayaannya---sekembalinya dia dari mengantar Alika."Bukannya aku sudah jadi mata-mata di sana, Bos? Perintah menyelidiki perusahaan itu sudah dari dulu bos kasih?" kekeh Surya. Dia sudah setahun ini menyamar menjadi pegawai di perusahaan Goenarto. Dan bukan tidak mungkin pula, di perusahaan Dharmawangsa ada penyusup dari sana."Kali ini Raka Goenarto yang harus kamu selidiki. Maksudku, kehidupan pribadinya. Istrinya dan semua yang berhubungan dengan ruma
Menjadi sekretaris Dave nyatanya bukan hanya sebuah tawaran untuk Alika, tetapi adalah sebuah keharusan. Bu Kayla pun tidak keberatan dan malah menggodainya kalau Dave diam-diam menyukainya."Nggak mungkin lah, Bu," ujar Alika sembari membereskan barang-barangnya di meja. Hari itu juga mejanya pindah ke dekat ruangan di seberang ruangan Dave."Apanya yang nggak mungkin? Aku sudah perhatikan beberapa hari ini loh, Lika. Pak Davian itu selalu merhatiin kamu."Alika terkekeh. "Saya sudah punya suami, Bu. Pak Davian juga tahu itu.""Sekedar mengagumi kan nggak papa, Lika."Terserah Bu Kayla saja lah, pikir Alika. Dia pun berpamitan pada mantan atasannya itu untuk menuju ruangannya yang baru. Sebuah ruangan yang cukup luas, khusus untuknya. Dia belum tahu tugas apa saja yang akan Dave berikan padanya, yang jelas hari itu, Dave tidak memberikannya tugas apapun selain menemaninya ke sana kemari, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Contohnya, sore itu, dia harus menemani D
Entah kenapa Alika begitu kesal dengan ucapan Dave tadi siang di mal, meskipun hati kecilnya membenarkan. Dia tahu, dirinya bodoh menerima semua perlakuan Raka. Tetapi apa mau dikata? Dia masih sangat mencintai suaminya.Alika masih memiliki harapan, suaminya akan kembali seperti dulu. Tapi, apa mungkin? Sedang Raka memang harus menikahi Risa, karena perempuan itu sedang hamil.Dan hari di mana Raka menikahi Risa pun tiba. Alika mencoba untuk tegar. Meskipun hatinya sakit bukan main.Dia memilih untuk mengurung diri di kamar sementara Raka dan Risa---ditemani oleh Marini---pergi ke kantor urusan agama, atau ke masjid, atau ke manapun untuk melangsungkan pernikahan.Mbok Narti yang prihatin dengan keadaan Alika, membuatkan perempuan itu teh hangat. Lalu menawarkan diri untuk memijit badan Alika agar lebih rileks.Sambil berbaring menelungkup, air mata Alika tidak henti-hentinya mengalir hingga sprei kasurnya basah kuyub."Sabar, ya, Non. Mbok cuma bisa bilang itu.""Apa aku bisa ya, Mb
"Pernikahan itu bukan untuk main-main, Dave. Kalau aku udah mutusin menikah dengan seseorang, artinya, seburuk apapun dia, aku harus terima.""Tapi, suami kamu itu udah jelas-jelas main serong. Nyakitin kamu, ngasarin kamu, bikin kamu nangis. Ngapain dipertahankan? Lagian kalian belum ada anak, kan?"Dave semakin berani mengungkapkan apa yang dirasakannya. Sejak dia melihat suami Alika bersama perempuan lain dan bersikap kasar padanya, rasanya dia tidak ingin diam saja."Dave!" Suara Alika sedikit meninggi. "Aku baik-baik aja, okay?"Dave mendecak. Baik-baik saja katanya. Dari ekspresi wajahnya saja memperlihatkan kalau Alika sedang menanggung beban berat dalam hidupnya."Mau sampai kapan pura-pura, Lika?""Dave, kamu nggak tahu apa-apa. Mendingan kamu nggak usah ikut campur!" seru Alika seraya beranjak dari duduknya. Selera makannya sudah hilang dan dia kini berjalan keluar restauran, diikuti oleh Dave."Lika, tunggu!" Dave meraih lengan Alika dan memaksa perempuan itu berhenti. Alik
Bu Kayla menugaskan Alika untuk mempersiapkan rapat hari itu. Maka sedari pagi, Alika begitu sibuk melakukan koordinasi dengan tempat yang akan dipakai untuk menyelenggarakan rapat. Sebuah hotel bintang empat yang ada di pinggir kota.Pokoknya, Alika hari itu harus bolak-balik hotel-kantor untuk menyiapkan dokumen, transportasi dan juga memastikan semua peserta rapat hadir. Dia cukup kerepotan kalau saja Dave tidak membantunya. Pemuda itu yang mengantarnya ke mana-mana.Tetapi, yang membuatnya heran adalah, saat mengantar dokumen untuk bahan rapat ke ruangan Pak Bagas, Alika mendapati Dave sudah ada di sana. Dan yang membuatnya semakin heran adalah, yang akan memimpin rapat adalah pemuda itu.Lalu, siangnya, Alika pun berangkat ke hotel bersama Dave dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya."Dave, kok bisa kamu yang mimpin rapat? Kenapa bukan Pak Bagas?" tanya Alika saat berada di dalam mobil Dave."Ya, nggak tahu," kekeh Dave."Serius kamu cuma karyawan biasa?" tanya Alika k
Dave melahap sepiring gado-gado yang tadi diantar office boy ke ruangan Bu Kayla, di mana dirinya dan Alika berada saat ini. Tampaknya pemuda itu memang sedang sangat lapar. Sampai-sampai Alika hanya bengong menyaksikan Dave begitu menikmati makanannya."Loh, nggak makan kamu, Lika?" tanya Dave tatkala melihat Alika hanya bengong memandanginya."Aku kayaknya udah kenyang duluan lihat kamu makan, Dave," kekeh Alika. Tetapi perempuan itu mulai menyuapi dirinya sendiri."Wah, aku bikin kenyang, ya?"Alika terbahak. "Kamu makannya lahap banget. Kelaparan, ya?" selorohnya."Seminggu nggak makan aku, Lika."Kembali Alika terbahak. Dave ini ada-ada saja. Pemuda itu lucu dan menyenangkan. Dia selalu bisa menghidupkan suasana. Sejujurnya, tingkah Dave yang jenaka sedikit banyak membuatnya terhibur."Kamu habis nangis, ya, semalam?" tanya Dave membuat Alika terkesiap."Enggak, kenapa emangnya?" Alika berusaha menyembunyikan wajahnya. Dia tahu, matanya pasti terlihat sembab sekarang. Hampir sema
Alika masih meratapi kesedihannya di tepi ranjang. Berkali-kali menyusut air mata tetapi buliran bening itu susul menyusul jatuh di pipi tak berkesudahan.Ini pertama kalinya Raka berbuat kasar padanya secara fisik. Sebelum-sebelumnya, dia hanya melontarkan kata-kata menyedihkan, namun tidak sampai mengangkat tangan. Kenapa begini. Bukankah seharusnya dirinya yang marah karena melihat dengan mata kepala sendiri, Raka bermesraan dengan perempuan lain. Kenapa malah sekarang dibalik, dirinya yang dituduh oleh suaminya itu, dekat dengan lelaki lain.Dan yang membuatnya heran, kenapa Raka bisa tahu dirinya tadi siang pergi makan ke kantin dengan Dave. Apakah ada salah satu karyawan yang mengenal Raka dan melaporkan hal itu padanya.Raka marah bukan karena cemburu dirinya berinteraksi dengan lelaki lain. Dia hanya menjaga nama baik keluarga Goenarto. Dan itu membuat hatinya bertambah perih.Malam ini, Raka pergi entah ke mana. Sungguh sesak dada Alika membayangkan suaminya menghabiskan wakt