Disangka
Masih Hilang Ingatan
Part 5
"Mbok, Tuan Andri kok belum menikah?" tanyaku pada Mbok Mun yang sedang asyik memotong sayuran untuk kami masak. Lagi-lagi dia hanya diam dengan raut wajah tertekan. Sebenarnya aku sedang menyelidik. Berpihak pada siapakah Mbok Mun?
"Em, ya belum. Kan baru mau menikah sama non Maya," jawab Mbok Mun ragu-ragu. Sekali-kali ia kerutkan senyuman. Aku lihat pula tangannya gemetar.
"Menurut Mbok, apa tuan Andri dan non Maya cocok?" tanyaku sambil mengiris bawang putih menjadi potongan persegi. Namun tak beraturan, karena aku kurang ahli.
"Yo, kalau mereka sama-sama cinta to cocok wae. Tapi, memang non Maya iku agak jahat. Tapi cocok 'lah," jawabnya. Katanya kalau mereka sama-sama cinta ya cocok.
"Jahat gimana? Maksud Mbok agak kasar?" selidikku lagi. Mbok mengangguk pelan sambil tersenyum malu. Namun kudengar juga tarikan nafasnya.
"Emh. Lalu, apa menurut Mbok, tuan Andri itu baik? Aku masih penasaran. Sejak hilang ingatan aku tak tahu gimana sifat majikanku. Masak Yo Mbok, tuan Andri kayak suka godain saya. Kan saya risih!" jelasku berbisik di akhir. Si Mbok hanya menyeringai.
Mbok Mun malah diam. Ia seperti salah tingkah. Ingin jawab tapi takut. Dia terkesan seperti dikecam oleh Mas Andri dan Maya.
"Inah? Apa kamu memang hanya ingat namamu Inah?" kata Mbok tiba-tiba berkata demikian. Seorang asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sejak aku kecil. Pas aku lahir dan aku mulai tumbuh, Mbok sudah ada di rumah ini. Dia baik dan sangat menjagaku. Menjaga mama. Wanita berusia enam puluh tahunan kelahiran Salatiga itu kini belum tahu kalau ingatanku sudah kembali.
"Memangnya kenapa, Mbok?" tanyaku santai.
Kutatap wajah Mbok Mun dari sudut mata. Bola matanya seperti berkaca-kaca. Apa ia rindu padaku?
Irisan bawang telah selesai. "Mbok? Kenapa? Mbok kok gak jawab?" selidikku sambil mencuci tangan. Takutnya nanti perih pas tak sengaja menggaruk bagian mata.
"Eh, ora. Ora popo." Katanya tidak apa-apa. Bola mata Mbok Mun memperlihatkan kesedihan. Dia seperti menyayangkanku dengan amnesia ini. Apa aku cerita saja sama Mbok Mun? Kasihan juga. Dia kan sejak dulu amat melindungiku. Kali ini pun pasti. Maka dari itu ia tak pernah berani menyuruhku. Iris bawang pun aku yang agak memaksa.
"Mbok, kita ke taman belakang, yuk! Ada hal yang ingin aku bicarakan," ajakku pada Mbok Mun. Dia nampak kaget. "Opo? Bicara opo?" katanya bicara apa?
"Bicara soal tuan Andri." Aku menjawab santai. Mbok makin heran saja. Dia pasti bertanya-tanya. "Hah? Tuan?" Dia bicara sambil berjalan menyusuriku dengan penuh tanda tanya.
Aku tahu, kepulangan Mas Andri ke rumah masih lama. Ini baru pukul sepuluh, dan Maya mungkin pergi bersamanya. Aku ajak Mbok Mun ke taman belakang. Aku dan dia akan duduk menghadap ke arah pintu. Walaupun nanti ada orang tiba-tiba, kami akan segera mengetahuinya.
"Untuk apa Inah?" Mbok Mun masih penasaran saat aku menyuruhnya mengikuti langkahku ke arah taman belakang. Duduk di gazebo kecil yang dibuat karena keinginan almarhum papa.
"Duduk, Mbok," pintaku. Telapak tanganku menepuk lantai kayu bermaksud menyuruh Mbok Mun duduk.
"Iyo," jawabnya. Katanya, ya.
"Mbok? Sejak kapan Mbok kerja di rumah ini?" tanyaku pelan. Sambil kuayunkan kedua kaki. Karena kami duduk dengan kaki terlonjor ke bawah.
"Me-memangnya ada apa? Kenapa sampeyan tanya seperti itu?" katanya kenapa aku bertanya demikian. Aku diam menunggu jawaban. "Jawab saja," ujarku lagi.
Si Mbok menatap kosong ke arah depan. Menatap tanaman bonsai yang dulu kubentuk bersamanya sewaktu kecil. Menjadi bentuk love.
"Aku sudah kerja lama, Inah. Sejak yang punya rumah ini meninggal," jawab si Mbok dengan tatapan kosong. Ia seperti terhipnotis oleh keindahan tanaman bonsai yang sudah besar itu. Sengaja. Biar ia mengingat memori kami.
"Orang tua tuan Andri?" tanyaku. Kepalanya spontan menggeleng-geleng. "Bukan," jawabnya. "Lalu?" tanyaku. Seketika dia terperanjat. "Astaghfirullah!" Ia kaget. Apa ia tadi menjawab tanpa sadar?
"Kenapa, Mbok?" tanyaku dengan wajah polos.
"Em, ora, ora. Kita lanjut kerja saja. Nanti tuan datang!" kata si Mbok was-was. Dia seperti ketakutan dan serba salah.
"Tuan yang mana, Mbok?" tanyaku. Ia menoleh. Pas di langkah kakinya yang kedua. Karena ia tadi buru-buru pergi.
"Ya tuan Andri," jawabnya. "Ayok!" pintanya mengajakku.
"Bukan aku?"
Hening.
Mbok tiba-tiba diam. Tubuhnya mematung tanpa menoleh balik menatapku seperti tadi. "Ma-maksud-nya?" Perlahan Mbok Mun kini menoleh. Tatapannya menyelidik dan berkaca-kaca.
"Maksudku apa? Apa Mbok tak ingat dengan pohon bonsai itu? Bukankah aku dan asisten rumah mama yang buat itu. Mbok, bukan?" Kalimat barusan keluar dari mulutku dengan santai. Aku yakin, Mbok akan berpihak padaku saat ia tahu kalau aku sudah pulih. Aku bisa melihat dari tatapannya tadi.
Dadanya ia tarik beriringan dengan tarikan nafas. "N-Non A-Au-, Non Aurel?" Ia terkejut. Mulutnya menganga dan kini kelima jarinya menutupi mulut yang menganga itu. Bola matanya makin berkaca-kaca. Dia mendekatiku perlahan. Aku tersenyum padanya. Senang sekali rasanya bisa mendengar si Mbok sebut lagi nama asliku.
"Mbok masih ingat aku Aurel? Bukan Inah 'kan?" tanyaku pelan.
Tes.
Kulihat air mata Mbok Mun menetes di pipi. Dia berjalan ke arahku dengan penuh rasa haru. Itu yang kulihat. Apa dia bahagia mendengar kepulihan ingatanku?
"Non?" Si Mbok langsung berlari. Ia refleks memelukku sambil menangis. "Non Aurel? Non sudah pulih? Sejak kapan, Non? Maafin si Mbok yang sudah jadikan Non seperti si Mbok. Huhuhu." Mbok Mun menangis. Tapi tetap ia tahan. Pasti takut ada yang mendengar.
Aku juga membalas pelukannya. Bola mata tak henti menyelidik ke arah pintu. Takutnya ada yang datang.
"Non? Maafin si Mbok! Si Mbok udah lancang jadiin Non pembantu. Bantu-bantu si Mbok di dapur. Maaf, Non. Si Mbok benar-benar nyesel. Tapi Mbok terpaksa. Ini karena keinginan tuan Andri dan non Maya." Si Mbok menjelaskan sambil terus memelukku. Bahkan kini ia malah merendahkan lututnya.
Kuberdirikan lagi ia. Aku sungguh terharu. Sampai air mata ini pun ikut menetes kala Mbok Mun kuraih tubuhnya. Lalu kupeluk dia kembali. Perawakan yang lebih jangkung darinya ini sangat bahagia bisa melihat kasih sayang si Mbok. Dia menangis dan terus mengucap syukur pada Tuhan.
"Non? Non jadi tidak amnesia?" Mbok Mun menyelidik sambil meraba-raba pipi juga keningku. Kepalaku menggeleng-geleng. Tapi aku juga menyuruhnya untuk diam. Jangan bicara keras-keras. Nanti ada yang dengar.
"Mbok duduk lagi," pintaku. Si Mbok menyeka air matanya beberapa kali. Dia masih memandangku dengan haru.
"Non? Mbok masih gak ngerti. Terus Non kok diam saja lihat tuan Andri bawa wanita?" Si Mbok tak bisa menahan untuk tak mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memang membutuhkan jawaban.
"Suut! Jangan kenceng-kenceng, Mbok. Aku akan jelaskan." Aku berkata demikian. Si Mbok memgangguk-angguk dengan sumringah.
"Ya Gusti, Mbok bahagia, Non. Tapi Mbok juga minta maaf. Mbok udah lancang," kata si Mbok lagi. Air matanya kembali menetes. Lalu kembali ia seka.
Aku tahu Mas Andri belum pulang. Karena suara pintu gerbang pun belum terdengar. Itu artinya belum ada siapapun yang masuk.
"Jadi Non cuma pura-pura?" tanya si Mbok.
"Enggak," jawabku. Lantas si Mbok kaget.
"Ora? Lalu?" Ia makin penasaran.
"Enggak pada awalnya, Mbok. Aku memang sempat amnesia. Dan sejak Mbok bilang kalau aku terbentur karena Maya, sejak itu amnesiaku pulih mungkin, ya? Maka dari itu, pas aku bangun tanya hari apa pada Mbok. Itu karena aku ingin mengingat," jelasku. Si Mbok masih tak percaya.
"Tapi, jadi memang Non awalnya beneran amnesia?" Mbok menanyakan lagi.
"Iya. Dan aku tak tahu apa yang aku lakukan pas aku amnesia. Hingga akhirnya aku tahu, kalau mas Andri dan Maya sengaja mengubah identitasku. Dia jadikan aku pembantu di rumahku sendiri." Baru saja sampai sana, si Mbok sudah meraih lenganku dan memohon-mohon.
"Non, maafin si Mbok. Mbok hanya di suruh. Mbok menolak, tapi non Maya mengancam. Mbok tak tahu harus gimana lagi!" kata si Mbok sambil terus meminta maaf. "Mbok tak mau diusir. Dan itu artinya Mbok akan jauh dari Non. Setidaknya, meskipun Non ilang ingatane, Mbok tetap jagain si Non!" Nada Si Mbok terhentak diiringi isak tangis.
"Suut! Jangan kenceng-kenceng! Aku gak apa-apa, kok. Mbok santai saja," pintaku lagi. Si Mbok manggut-manggut. Kembali ia seka air matanya.
"Jadi gimana, Mbok? Awalnya aku ini gimana? Terus foto-fotoku di rumah juga tidak ada. Foto mama sama papa juga gak ada?" tanyaku kembali ingin mengetahui hal apa saja yang sudah kedua orang gil* itu lakukan.
Si Mbok masih menahan isak tangis. "Ya begitu, Non. Pas Mbok di dapur, tiba-tiba non Maya minta si Mbok buat panggil si Non sebagai Inah. Non Maya bilang Mbok harus samakan Non dengan si Mbok. Maaf, Non. Si Mbok tak bisa apa-apa." Sampai sana aku makin emosi dengan apa yang telah si Maya lakukan. Sok jadi pengatur.
"Lalu?" Aku masih penasaran.
"Yo, non Maya suruh Mbok bersandiwara jadikan Non pembantu mereka, dengan nama Inah. Mbok juga suruh umpetin semua foto-foto di gudang dulu. Sebelum membakarnya."
Aku kaget. "Mbok bakar foto aku? Atau mereka yang bakar?"
"Ora, Non. Tak mungkin si Mbok bakar foto Non dan almarhum tuan juga nyonya. Ora mungkin. Semua foto masih ada di gudang. Mungkin tuan Andri dan non Maya pun lupa tentang foto itu. Jadi fotonya masih baik-baik saja." Si Mbok terus menjelaskan.
"Dan sejak saat itu, Non tidur di kamar pembantu. Atas perintah tuan dan non Maya. Maaaaaf sekali, Non. Mbok siap di hukum. Asal jangan pecat si Mbok, Non. Mbok sudah betah kerja di rumah ini." Si Mbok merintih di akhir.
"Iya, Mbok aku maafin, Mbok. Tapi, apa Mbok janji, Mbok tak akan bocorkan rahasia ini. Kalau aku sudah tak amnesia?" ujarku.
Si Mbok kaget. "Maksud, Non?"
Kuaraih telapak tangannya. "Mbok, aku ingin Mbok tetap bersandiwara. Tapi, Mbok bersandiwara di pihakku. Mbok harus tetap pastikan kalau mereka tidak tahu aku sudah tak amnesia. Pak Nasir dan semuanya juga tak boleh tahu. Hanya Mbok saja."
Si Mbok makin kaget. "Hah? Ta-tapi, non Maya piye? Non ora bakal usir dia?" ujar si Mbok.
"Gak. Aku gak bakalan usir dia. Ntar sandiwara kita ketahuan dong, Mbok. Pokoknya, Mbok harus tetap seakan-akan aku ini masih hilang ingatan. Mbok ngerti, kan?" Aku memastikan.
"Jadi? Mbok harus sandiwara di depan mereka? Tapi biar apa, Non? Lebih baik Non usir saja mereka," usul si Mbok. "Hati ini sakit sekali lihat Non di tikung blak-blakan. Piye, Non?"
Aku terdiam. "Hemh. Tak segampang itu, Mbok. Aku akan membalas perbuatan mereka berdua dengan sandiwara ini. Apalagi mas Andri berusaha ingin mengambil alih hartaku. Aku akan biarkan mereka merasa menang. Hingga nanti, pada saat yang tepat, akan kujatuhkan mereka."
"Mbok siap bantu aku 'kan?" Si Mbok tersenyum dan manggut-manggut.
"Siap-siap! Kalau itu memang rencana si Non. Pokoke, Mbok dukung si Non. Jadi si Mbok kayak lagi main film?" ujarnya penasaran. Si Mbok kegirangan.
"Tapi jangan salah-salah aktingnya. Ini gak ada di 'cut' ya!" Aku memastikan dia mengerti.
"Aduh!" Si Mbok menggaruk pelipis. Air matanya tak lagi berderai. Aku sengaja membuat dirinya terhibur.
"Yo. Mbok siap! Mbok juga udah pengen tendang tuh si non Maya. Kasar, sok jadi ratu. Mbok gak suka. Apalagi dia iku pelakor 'kan, Non!" Si Mbok nampaknya antusias sekali.
"Oke. Jadi mulai sekarang, aku ini Inah lagi. Awas, jangan kelepasan panggil aku Aurel. Mbok bisa 'kan?"
Si Mbok manggut-manggut lagi. Dan akhirnya kami tos. Tanda sepakat.
"Yuk, kalau gitu kita ke dapur lagi. Kita mulai sandiwaranya!"
Akhirnya, Mbok Mun kini akan jadi partner sandiwaraku. Untuk apa? Untuk perlahan membalaskan sakit hatiku pada Andri dan Maya. Mereka orang yang tak punya malu. Tinggal gratisan di rumahku. Akan kutendang dengan penuh kelembutan dia dari rumah ini.
***
"Mbok, menurut Mbok, bagusnya si Maya diapain ya?" tanyaku pada Simbok. Ia yang sedang mencuci piring dan aku sedang duduk sambil memainkan pisau."Aduh, itu pisau buat apa?" kata Simbok ketakutan. Ia yang sedang mencuci piring pun segera meraih pisau di tanganku."Apa sih, Mbok?" ulasku halus."Non jangan nekad ah. Mending kita jahilin aja tuh si non Maya. Jangan dengan benda tajam kayak gitu." Wajah Simbok parno. Memangnya aku fikir aku akan berbuat nekad dengan pisau di tanganku?Aku terkekeh. Pisau sudah ada di genggaman Simbok. "Ya ampun, Mbok, aku masih waras kali. Kalau yang adanya pisau di meja, ya yang aku raba pisau, lah," jawabku masih terkekeh."Syukurlah. Simbok pikir Non mau ....""Enggaklah, Mbok. Aku kan gak jahat. Tindakan kriminal mah aku gak suka. Lebih suka ke, menjahili gitu. B
Sebuah benda kecil yang bertugas merekam percakapan Mas Andri di kamar sudah kutempel sejak satu hari yang lalu. Kusuruh Simbok membelinya. Supaya aku tak keluar rumah.Barusan Mas Andri marah sekali saat pulang. Dia yang tak berhasil mendapatkan tanda tanganku untuk ia berikan pada pengacara keluarga, langsung membanting pintu dengan keras. Dia mungkin kecewa. Mas Andri, Mas Andri.Segera aku berlari ke kamar yang selama ini kutempati. Sebuah kamar berukuran kecil. Petak dan tak ber-AC. Namun aku nikmati saja. Demi kelancaran sandiwara ini.Langsung kudekatkan headset ke telinga. Dimana aku bisa mendengar percakapan Mas Andri atau apapun menggunakan benda yang sudah kubeli. Seperti seorang detektif saja."Bod*h! Si Aurel hilang ingatan. Mana mungkin ia ingat soal tanda tangannya? Dan aku? Aku sama sekali tak tahu tanda tangan dia seperti apa. Kalau
"Bu Aurel? Coba beritahu saya, apa yang anda ingat?" Dokter bertanya. Baru saja ia datang. Tak lama setelah aku pura-pura terbangun dokter pun tiba. Pasti Mas Andri tak sabar ingin mengetahui kondisiku sebenarnya.Kulihat Maya masih mematung dengan wajah pucat. Tapi ia juga pasti percaya dengan sandiwaraku. Maka dari itu ia tak langsung pergi. Ia pasti sedang menyelidiki semua yang terjadi padaku."Seingat saya ...." Sengaja kupangkas kalimat. Sejenak kutatap Mas Andri, lalu kutatap Maya. Ketiga jari memegangi kening tanda aku masih merasa pusing. Saat kutatap Maya, wajahnya makin pucat saja. Mas Andri seperti menelan ludah melihatku yang tak henti menatap Maya. Namun tatapan ini bukan tatapan Amarah. Hanya tatapan menyelidik.Lalu kutatap Mas Andri lagi. Kini butiran keringat kecil mulai muncul di keningnya. Nafasnya pula naik turun tertahan. Dia
Bukan tak sakit harus bersandiwara seperti ini. Cintaku pada Mas Andri bukan sekedar cinta monyet kaum remaja. Tapi, cinta ini murni dari dalam hati dengan itikad menjalankan rumah tangga yang harmonis. Karena Allah.Dia yang sedari dulu kulabuhkan cinta, kini telah berkhianat. Amat sangat menusuk sanubari. Bukan sekedar mainan atau kebohongan belaka. Cinta suci ini telah ia nodai. Bahkan ingin ia nodai sampai ingin memusnahkan aku dari dunia ini. Setelah mendapatkan semua hartaku.Tidak.Kamu tak bisa lakukan itu, Mas. Kalian berdua amat menyakiti pikiran ini. Apalagi kudengar kalau aku akan segera kalian musnahkan. Pedih. Perih. Tubuh ini mengguncang hebat kala mendengar pembicaraan kejimu itu. Aku seperti benalu yang ingin kalian singkirkan sejak lama, mungkin. Tapi alasan harta dan tahta, itulah yang memperlambat laju kalian. Kalau itu cara kalian, aku juga puny
DisangkaMasih Hilang IngatanDeg!"Kemana dana ini di luncurkan? Hah?" Rudi kutatapi dengan nanar. Wajahnya amat pucat. Bahkan makin pucat."Em, a-anu, Bu, pak Andri. Pak Andri yang pakai uang itu. Saya tak tahu untuk apa. Yang pasti saya hanya di perintah saja," jawabnya gagap. Amat ketakutan.Aku geram. Geram sekali padanya. Pada Rudi dan juga pada Mas Andri."Kamu masih ingin bekerja?" tanyaku. Biar kuberi dia harapan."Mau, Bu, saya masih sangat mau bekerja disini. Tolong Ibu jangan pecat saya." Dia meringis. Bahkan memohon-mohon.Mulai kuatur nafas ini, meskipun sulit, tapi aku berusaha. Heurkh. "Oke, siapa yang barusan kamu telepon?" tanyaku.Dia diam. Perlahan dengan penuh tekanan mulai angkat bicara. "Ta-tadi, pak Andri, Bu," jawabnya ketakutan. Dasar tukang adu.
"Nah, Sayang, ini adalah hunian yang aku belikan buat kamu. Untuk istriku tercinta. Taraaa!" Mas Andri membawaku ke sebuah apartemen yang mewah dan megah. Dengan desain baru yang pengerjaannya baru selesai beberapa bulan yang lalu.Aku amat terkejut. Bukan karena bahagia, tapi karena dia akan berikan apartemen mewah ini tadinya untuk wanita yang kini ikut bersama kami. Jangan harap."Ya ampun, Mas. Ini bagus banget. Kamu memang pria yang paaaaling sempurna. Kamu mapan, kamu juga sayang istri." Aku memujinya habis-habisan di depan Maya pula. Karena Maya ikut. Mas Andri yang mengusulkan."Gimana? Kamu suka?" tanya Mas Andri sembari melayangkan kedua lengan tanda aku harus mengagumi pemberiannya.Maya seperti ikut bahagia. Tapi tetap saja, aku melihat tatapan kesal di netranya. Amat lekat. Dia sedang bersandiwara. Pastinya, karena Mas
___________"Jadi Ibu, Ibu mertua saya?" Mertuaku langsung kaget setengah mati kala kalimat itu muncul dari indra pengecap ini.Kulihat wajahnya syok tapi ada raut gembira. Pastinya, selama ini mereka hidup pas-pasan, sudah kuduga, ada niat menggelitik dibalik kedatangannya.Ia meraih kedua bahuku. "A-Aurel, ini Ibu. Bu Lasmi, Ibu mertua kamu. Kamu beneran gak inget? Ibu dapat kabar dari Andri, dan dia yang suruh Ibu buat datang kesini, dan juga suruh urus kamu," kata ibu mertuaku dengan kebahagaiaan histeris dibalik batinnya. Aku merasakan itu. Walaupun tatapanku polos, tapi ini adalah sebuah tatapan penyelidikan.Kening mengernyit dengan cepat."Aurel, kamu itu menantu Ibu. Kamu di persunting oleh anak Ibu yang tampan dan mapan. Kamu itu harus bangga." Seratus delapan puluh derajat ekspresi ibu mertua berubah. Raut bahagia mulai terpancar.
______"Ja-jadi? Mas Andri sendiri yang sabotase hotel?" Aku terkejut kala melihat semua bukti dan rekaman pembicaraan antara Irlan dengan pengunjung hotel. Mereka menjelaskan ciri-ciri beberapa pria yang sengaja membuat citra hotel menjadi buruk. Bahkan sampai sekarang pun keadaan itu belum pulih. Hotel masih tak seramai awal."Iya, Bu. Ada oknum lain yang sengaja perburuk citra hotel. Dan setelah di selidiki, ternyata pak Andri sendiri yang menyuruh oknum-oknum itu. Saya gak ngerti, Bu, kenapa pak Andri lakukan ini? Bukankah kemajuan hotel juga kemajuan baginya?" kata Irlan menjelaskan. Aku masih syok dan tak percaya, suamiku sendiri malah memperburuk citra perusahaanku sendiri. Padahal selama ini uang yang ia dapat dari hotel kami."Oh ya, Bu. Ini juga ada data hotel yang sepi namun kian mulai ramai. Dan sepertinya perhatian mereka di alihkan kesana. Seperti di sengaja." Irlan kembali memperlihat
"Aurel? Feri?"Maya terkejut dengan kedatangan kami ke rutan bermaksud mengunjunginya. "Kalian jenguk aku lagi?" tanyanya. Kini Maya sudah duduk di kursi berhadapan dengan aku dan Feri. Wajahnya lumayan lusuh. Ya, namanya jiga di dalam sel tahanan. Tak seindah di rumah sendiri walaupun rumah itu amatlah kecil dan sederhana."Iya. Apa kabar kamu, May?" tanyaku sambil getar-getar kaki di bawah meja. Sontak bola mata Maya gelagapan mendengar tanya kabar dariku. Padahal ini bukan kali pertama kami bertemu. Tapi, mungkin dia masih belum terbiasa saja bertemu denganku."Baik, Rel. Makasih kamu udah kali ke duanya mengunjungi aku ke sini." Kata-kata Maya mulai memperlihatkan kalau dia sudah berubah menjadi lebih baik. Syukurlah. Memang seperti apa yang pernah aku ceritakan. Sebelumnya pernah mengunjungi Maya."Rel? Perut kamu?" Maya terkejut dengan kondisi perut
PoV Aurel***"Sayang, hari ini aku kepengen makan ketoprak, tapi yang di ujung jalan sana itu loh!" Suamiku Feri merangkulku dari belakang. Saat ini aku sedang minum air mineral sambil berdiri. Hari ini dia dan aku libur ngantor karena hari Minggu. Seperti biasa ia simpan dagunya di bahuku. Dan itu membuatku geli. Momen manja-manja kami tak pernah henti."Ih, geli!""Gimana? Mau gak? Ayok dong!" Ia kekeh ingin ketoprak. Sejak aku hamil, sama sekali aku tak pernah ngidam apapun. Alhamdulillah mual pun hanya di awal-awal saja. Dan ngidam, full dia yang tangani. Kok bisa? Aku pun tak tahu. Tapi biarlah."Iya, sebentar." Aku kembali minum. Dia masih memelukku dari belakang sambil elus-elus perut."Kamu apaan sih? Nanti ada simbok atau bibi, malu," ucapku terkekeh geli. Kadanga Simbok dan Bibi suk
PoV Putri***Namaku Annata Putri Salsabila. Anak satu-satunya dari Papa dan Mamaku. Mereka sudah almarhum. Kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu telah merenggut nyawa mereka. Singkat sekali perjumpaan kami. Semoga kelak di surga aku dan mereka bisa kembali berkumpul.Aku tinggal bersama Tante Sandra, ia adalah Kakak dari almarhum Papa. Jadi, aku dan Mas Feri sepupuan. Ah, tak kusangka, ia kini sudah menikah dan akan segera mempunyai momongan dari wanita yang di cintainya, Mbak Aurel.Aku mengambil sekolah menengah atas jurusan keperawatan, hingga aku kuliah dan lulus menjadi seorang perawat. Aku lebih memilih menjadi perawat para korban bencana. Termasuk korban kecelakaan pesawat. Ah, itu semua aku lakukan karena kekecewaanku yang tak bisa merawat Papa dan Mama. Hingga aku bertekad ingin menjadi seorang perawat dan memb
PoV Aurel***Hari ini aku sangat bahagia. Tepat di hari ulang tahun pengacara keceku, yaitu suamiku sendiri, Feri, ternyata perutku sudah berisi janin yang kata dokter usianya baru enam minggu. Ah, aku bahagia sekali. Sejak dulu menikah dengan Mas Andri, aku menunda dulu soal momongan, tapi sekarang, setelah menikah dengan Feri, aku tak menggunakan alat kontrasepsi apapun. Itu mauku, juga mau Feri. Kami sudah tak sabar ingin menjadi orang tua. Dan Alhamdulillah, akan segera kesampaian."Sayang? Malam ini kita diner, yuk!" pintanya sambil memeluk tubuhku dari belakang. Dia selalu bertingkah manja."Memang boleh keluar malam?" tanyaku."Boleh, asalkan udah shalat isya. Aku udah siapkan tempat yang spesial untuk kita." Dia bicara lalu mengecup pipiku."Ish! Curi-curi kecupan. Gimana kalau ada simbok?" Aku mencub
PoV Feri***Hari ini, setelah Aurel terbangun dari koma, akad nikah akan kami langsungkan saja. Aku tak mau menunggu lagi hari esok atau lusa. Aku tak mau sampai acara ini di tunda lagi.Hari ini dia sudah membuat jantungku terasa copot. Pas bangun dari koma, dia malah tidak mengenalku. Eh, ternyata dia hanya sandiwara. Dasar Aurel. Di suasana sedih pun dia masih bisa bercanda. Entah apa yang terjadi bila ya, dia hilang ingatan lagi. Ah, aku mungkin sudah tak bisa lagi bicara. Tadi saja, aku sudah merasa tak punya harapan apapun lagi. Dia benar-benar berhasil membuatku kaget setengah mati. Tak hanya aku, tapi semuanya. Bahkan Simbok sampai mau pingsan.Akad nikah akan segera berlangsung. Sebelum mengucap qobul, kutatap wajahnya dengan penuh cinta. Aurel cantik sekali. Benarkah hari ini kami akan menikah? Akad
PoV Feri***"Gimana kabar Aurel, Fer?" Arjuna bertanya mengenai kabar Aurel. Dia sudah makin membaik, kini untuk berjalan pun tidak memakai bantuan kruk."Masih sama." Kuhempas tubuh ini ke sofa. Lalu melonggarkan dasi dan simpan tas di atas meja. Arjuna ikut duduk. Putri datang membawakan kami minuman. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Selesai meeting tadi aku langsung pulang. Nanti akan ke rumah sakit lagi. Sekarang katanya ada Bi Atun di sana. Menunggu Aurel sebelum aku datang."Kasihan ya, Mbak Aurel, Mas. Aku masih gak ngerti kenapa ini harus terjadi. Apalagi ... pernikahan kalian 'kan tinggal beberapa hari lagi." Putri berkomentar dengan lesu."Iya." Aku mendenguskan nafas kembali dorong punggung ke sofa. Netra ini hanya menatap langit-langit rumah yang terasa suram."Sabar, Fer, gue yakin Aurel akan s
Disangka Masih Hilang IngatanPart 91❤️❤️❤️PoV 3***Jadi sebenarnya siapa yang tertembak di keributan halaman hotel?Sebelumnya flashback dulu. Maya adalah anak dari Pak Nadimin dan Bu Samsiah. Ia pergi meninggalkan orang tuanya bermaksud mengadu nasib. Maya tak bicara pada orang tuanya perihal dirinya yang ternyata berangkat keluar negeri sepuluh tahun yang lalu.Maya lewat penyalur tenaga kerja Indonesia sepuluh tahun yang lalu telah di berangkatkan ke negeri gajah putih atau itu adalah sebutan untuk negara Thailand. Ia bekerja hingga akhirn
Siang ini aku dan Feri memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu. Ingin temui wanita yang bernama Maya itu, takutnya ia masih istirahat. Jadi setelah makan siang aku putuskan untuk menemuinya."Sayang, besok kita fitting baju pengantin. Besok aku jemput kamu, ya? Hari ini, em maksudnya siang ini aku ada meeting. Tapi nanti jam satu. Setelah zuhur," kata kekasihku Feri. Ah, ini masih seperti mimpi."Oke. Em, Fer, kamu jangan panggil aku sayang dong. Agak gimana gitu! Aurel aja ya?" Aku masih malu-malu."Loh? Kenapa? Ya sudah, aku panggil kamu Aurel. Aurel Sayang." Dia malah tersenyum.Aku merasa malu. "Ah, terserah lah. Asal sayangnya jangan cuma di bibir," ucapku."Lalu harus dimana lagi?" tanyanya."Ya ... hati sama ucapan kamu harus selaras. Jangan bohong.""Lalu, bagaimana ka
"Siapa itu, Pak?" Aku bertanya pada Pak Satpam. Ada dua buah mobil ternyata. Bukan cuma satu saja yang datang.Feri masih ada di dalam mobil. Hati ini masih agak senyam-senyum karena Feri ternyata telah mengungkapkan perasaannya padaku. Dan ternyata aku baru sadar, perasaanku selama ini adalah rasa nyaman yang berakhir mencintainya pula.Mobil itu berhenti di sampingku. Pintu mobil mulai membuka.Benar-benar kaget."Hah? Tante Sandra? Putri? Itu, siapa lagi?" ucapku heran.Lalu, Feri keluar. Ia malah senyam-senyum seperti tahu dengan apa yang terjadi. Bola mata ini malirik kesana kemari. Ke arah dua mobil itu, juga ke arah Feri."Silahkan masuk, silahkan!"Teg!Tiba-tiba Simbok dan Bi Atun menyuruh mereka masuk. Aku nyatanya masih heran. "Fer?" Aku menegur Feri.