Rangga dengan langkah cepat dan dada bergemuruh, bergegas meninggalkan ruang penyidikan. Sinar matahari menyinari wajahnya yang dipenuhi kegelisahan. Dia harus bergegas, waktu terasa semakin mendesak. "Arka, kita harus pulang sekarang!" desak Rangga, suaranya serak oleh beban pikiran. Di dalam mobil yang dikemudikan oleh Arka, keheningan sesekali dipatahkan oleh suara mesin yang berdengung. Rangga terdiam, merenungkan kata-kata yang akan ia ungkapkan pada sang istri. Hatinya terasa berat, setiap detik terasa seperti menambah beban pada bahunya yang telah lelah. "Tuan, apakah Anda yakin akan mengungkap semuanya pada istri Anda malam ini?" tanya Arka, suaranya penuh kekhawatiran. "Harus, Arka. Tidak ada pilihan lain," jawab Rangga, tekadnya membara meski hatinya dilanda ragu. "Apa yang terjadi selanjutnya, hanya waktu yang akan menjawab." Mata Rangga tertuju pada jalan di depan, namun pikirannya melayang jauh, membayangkan berbagai skenario yang mungkin terjadi saat ia mengungkapk
Saat keributan terjadi di depan rumah, Rangga turun dari dalam mobil dibukakan pintu oleh Arka.“Silahkan Tuan,” ucap Arka.“Terima kasih, besok kita akan memulai semuanya. Kita harus tuntaskan sebelum kita kembali ke West Country,” kata Rangga.“Baik Tuan.”Rangga masuk ke dalam rumah suara tawa renyah Mayang menyambutnya penuh ejekan.“Tuan?” Mayang kembali tergelak, “mimpi jangan ketinggian. Tuan gembel!” seru Mayang.Rangga mengabaikannya memilih masuk ke dalam kamar. Ia mendapati istrinya menangis dan Rangga tahu hari ini bukan waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya.Rangga akan sabar menunggu hari itu tiba.Esok harinyaSuara langkah sepatu beradu dengan lantai dingin koridor sel tahanan, menggema di antara dinding-dinding sempit yang dipenuhi bau apek. Brian duduk di sudut ruangan yang serba terbatas, punggungnya bersandar pada tembok berlumut. Dia menatap lurus ke depan, namun pikirannya melayang jauh. Di hadapannya, ada secarik kertas dengan nomor telepon seorang penga
Sesuai dengan perintah Rangga, kantor Sejahtera Group dipenuhi aura ketidakpastian. Karyawan datang dan pergi dengan raut wajah yang tak biasa, cemas, bingung, dan bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Berita penangkapan Brian, mantan CEO mereka, telah menyebar seperti api di padang rumput kering. Hampir semua orang tahu bahwa perusahaan ini akan segera mengalami perubahan besar. Tapi belum ada yang tahu seberapa drastis perubahan itu.Di lantai tertinggi gedung, sebuah rapat darurat tengah disiapkan di ruang konferensi. Arkana, atau sering dipanggil Arka, berdiri di depan meja besar yang mengilap, memandang keluar jendela ke arah hiruk-pikuk kota Sun City. Pikirannya berlari, memetakan langkah-langkah yang harus ia ambil dengan cepat dan tepat. Hari ini adalah momen penting. Hari ini, dia akan mengambil alih kendali Sejahtera Group untuk sementara waktu, perusahaan besar yang selama ini dipimpin dengan tangan besi oleh Brian, sang tiran bisnis yang akhirnya terj
“Arka jemput aku satu jam lagi. Mood istriku berubah lagi dan aku belum mendapat izin pergi ke kantor. Atau kau jemput aku jam makan siang saja ya. Aku butuh waktu lama menenangkan istriku.”Suara itu membuat Arka mengulum senyum, atasannya mulai kewalahan menghadapi Febby yang moodnya suka berubah-ubah. “Baik Tuan.”Panggilan terputus. Rangga kembali ke dalam kamar mendekati istrinya yang masih merajuk.“Kalau mau kerja sana pergi.”“Boleh sayang?” tanya Rangga.“Boleh tapi jangan pulang sekalian.”Rangga menghela nafas berat, kondisi Febby jadi trauma sejak Mayang menyeretnya paksa ke luar rumah.“Ya sudah nggak jadi kerja. Mau tidur saja terus walau dompet kosong,” haab Rangga menyindir sambil memeluk istrinya dari belakang. Mengusap lembut perut istrinya tersebut.Tepat pukul 12.30 Rangga akhirnya mendapat izin dari istrinya untuk keluar rumah. Febby sama sekali belum mengetahui kisruh yang terjadi di luaran.Ruang rapat di lantai tertinggi gedung Wijaya Corporation di kantor an
Informasi tentang kecelakaan istrinya yang jatuh di kamar mandi saat mengandung anak kembar mereka yang baru berusia tiga bulan seketika menyulut api kepanikan dalam diri Rangga. "Suster, cepat bawa istri saya ke rumah sakit! Cari bantuan segera, saya akan segera menyusul!" teriak Rangga, getar suaranya menggambarkan kecemasan yang mendalam. "Sudah, Pak Rangga. Ada tetangga yang mau membantu, kami sudah di perjalanan menuju rumah sakit," jawab suster dengan tenang. Hati Rangga berdegup kencang, takut akan keselamatan istrinya dan anak-anak yang belum lahir. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ia ingat betul telah meminta pelayan membersihkan kamar mandi agar tak licin. Dengan buru-buru, Rangga melompat ke dalam mobil, di mana Arka sudah menunggu di belakang kemudi. Arka menginjak pedal gas, membawa mobil melaju kencang, mendadak lampu lalu lintas berubah hijau di jalanan. Rangga terus merasakan jantungnya yang seolah hendak meloncat keluar. Saat tiba di rumah sakit, tubuhnya seke
"Tutup mulutmu! Sebenci-bencinya aku pada anak tiriku, tak mungkin aku akan melukainya!" Seru Mayang dengan nada tinggi dan tajam. Geram tak terbendung terpancar dari setiap kata yang dilontarkannya. Mayang, tak terima dituduh sebagai penyebab kecelakaan sang anak tiri di kamar mandi oleh Rangga. Namun, Rangga, semakin tidak percaya kepada mertuanya, melihat reaksi tajam dan defensif dari sang Mama mertua. "Santai saja, Ma. Jika memang Mama tidak melakukannya, biarlah waktu yang menjawab. Namun, jika kecurigaanku benar, siapapun pelakunya akan merasakan akibat dari perbuatannya yang keji. Jangan coba-coba ingin mencelakakan istri dan calon anakku, karena aku tidak akan pernah membiarkannya!" seru Rangga dengan suara penuh ancaman, matanya bersinar tajam menunjukkan keteguhan hatinya. Dengan langkah cepat, ia pun bergegas masuk ke dalam kamar, sementara istrinya yang sudah lebih dulu berada di sana, ditemani oleh suster yang siaga menjaga Febby saat Rangga tidak ada. "Suster, tolo
Rangga memilih merebahkan dirinya di samping sang istri, tubuhnya seolah terbeban dengan masalah yang tiada akhir. "Kau ini, selalu saja mencari perkara dengan Mama. Sudah tahu dia tak akan pernah mengalah atau mau disalahkan, tapi kau masih saja melawan," ujar sang istri dengan nada kesal. Namun, Rangga tak bisa menyembunyikan rasa frustasinya, "Sayang, kita tidak bisa terus-terusan diam saja. Dia juga harus mengerti, bahwa dia tinggal di rumah warisan orang tua kandungku. Bahkan informasi tentang di mana sertifikat rumah ini digadaikan pun dia tutupi dari kita." Desah napas Rangga terdengar berat."Entahlah, mungkin aku harus melepaskan saja rumah ini. Aku lelah dengan semua ini. Mobil yang biasa ada di garasi kini raib entah kemana, tanpa sepengetahuan kita. Itu juga mobil warisan dari mendiang papa. Bahkan semua perhiasan peninggalan Mama kandungku juga lenyap, diambil oleh Mama tiri. Tapi apa daya, berbicara dengan dia hanya sia-sia, hanya membuang waktu." “Ikhlaskan sayang, k
Seiring langkahnya melintas di koridor ruang tahanan , Komandan Adam mendengar suara Brian memanggilnya. Matanya bertemu dengan pandangan putus asa Brian, yang terkurung di balik jeruji besi. "Komandan, bisakah kita bicara sebentar?" suara Brian bergetar, mencoba menahan rasa takut yang menggelayuti dirinya. Komandan Adam berhenti, mengarahkan sorot tajamnya kepada Brian. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Adam, suaranya keras dan tegas. Dengan napas berat, Brian memohon, "Saya mohon, ringankan hukuman saya. Saya siap membayar berapa pun, berikan apa pun yang kalian minta. Saya berjanji akan menghujani keluarga kalian dengan kemewahan tanpa batas." Komandan Adam mendengus, amarah dan sindiran terasa nyata di kata-katanya. "Membayar dengan apa, Pak Brian? Hartamu kini sudah menjadi hak Rangga Wijaya. Bagaimana kau bisa membayar saya? Jangan jadikan kami polisi yang dapat kau beli dengan mudah!" "Di dunia ini, tidak semua polisi bisa kau suap, Pak Brian. Kau sudah tidak berdaya