Arka mendongak, matanya membulat kaget. Perempuan itu... Nabila?Wanita itu berdiri dengan senyum lembut yang masih sama seperti dulu. Nabila, cinta pertamanya, yang terakhir kali dilihatnya bertahun-tahun lalu saat mereka masih SMA. Dia tidak percaya matanya. Bagaimana mungkin wanita ini tiba-tiba muncul di depan matanya lagi? Dan di tempat ini?Arka mencoba menenangkan diri, meski tubuhnya terasa kaku. "N-Nabila?" suaranya terdengar bergetar, namun ia berusaha tetap tenang.Nabila tersenyum lebih lebar, lalu melangkah masuk ke ruangan dengan anggun. "Hai, Arka. Lama tidak bertemu." Suaranya masih terdengar sehangat dulu, dan itu membuat jantung Arka berdetak lebih cepat dari yang diharapkannya.Arka langsung berdiri dari kursinya, masih setengah tak percaya. "Iya, lama sekali," gumamnya. Pikirannya langsung berputar-putar, mencoba memahami situasi ini. "Apa yang kamu lakukan di sini?"Nabila tertawa kecil, senyum di wajahnya tak pernah pudar. "Aku dapat panggilan kerja, Arka. Pek
Tepat pukul 01.00, Monica duduk di meja kerjanya dengan gelisah, lampu meja kecil menerangi ruangan yang sunyi. Di tangannya, sebuah telepon yang terus dipelototi. Wajahnya tegang, alisnya berkerut, menunjukkan betapa frustrasinya dia. Sudah berhari-hari Monica menyusun rencana untuk mengacaukan bisnis Rangga, khususnya dengan menghancurkan salah satu gudang milik suami Febby itu. Namun, berita yang baru saja diterimanya membuat kemarahannya meledak.Ponselnya bergetar, dan pesan dari anak buahnya masuk. Saat membacanya, Monica mengepalkan tangannya dengan kuat."Bos, kami nggak bisa masuk ke gudangnya. Keamanannya ketat, lebih dari yang kami duga."Monica meremas ponselnya, lalu membantingnya ke meja. "Apa-apaan ini!" desisnya penuh amarah.Selama ini, Monica selalu berusaha untuk menjatuhkan Rangga secara perlahan, menggunakan cara-cara licik dan diam-diam. Dia merasa sudah merencanakan segalanya dengan baik, mulai dari mengamati sistem keamanan gudang, mempelajari pola penjagaann
Dengan perasaan hangat di hatinya, Rangga berangkat ke kantor. Hari ini dia merasa lebih siap, lebih segar, dan lebih fokus. Perasaannya terhadap keluarga kecilnya membuatnya semakin semangat untuk menjalani hari. Setelah beberapa hari merasa kewalahan dengan tanggung jawab di rumah dan di kantor, pagi ini semuanya terasa lebih ringan. Dia tahu bahwa tak ada yang lebih penting daripada kebersamaan dengan orang-orang yang ia cintai.Setelah sampai di kantor, Rangga langsung disambut oleh asistennya, Arka, yang sudah menunggu di meja depan ruang CEO. "Selamat pagi, Tuan," sapa Arka dengan penuh hormat."Pagi, Arka," jawab Rangga sambil mengangguk. "Gimana? Udah siap untuk meeting nanti?""Sudah siap, Tuan. Semua dokumen dan presentasi sudah saya siapkan. Tinggal menunggu arahan anda," jawab Arka dengan sigap.Rangga mengangguk puas. "Bagus. Saya harap semuanya berjalan lancar hari ini."“Di mana Nabila?” tanya Rangga.“Masih di ruang HRD, Tuan.”Rangga mengangguk, lalu masuk ke dalam
Saat Rangga sedang sibuk di ruang kerjanya, dia mendapat telepon dari tim IT di kantornya, sementara Arka masih mengerjakan tugas lain.“Tuan, ini dari keamanan. Ada sesuatu yang perlu anda lihat,” suara dari tim keamanan terdengar sedikit tegang.Rangga mengerutkan kening. "Ada apa?"“Baru saja kami cek rekaman CCTV di pabrik utama. Sepertinya ada penyusup masuk tadi malam.”Hati Rangga langsung berdegup lebih cepat. "Penyusup? Oke, saya turun ke ruang kontrol sekarang. Kirim rekamannya ke saya juga."Tanpa berpikir dua kali, Rangga segera meninggalkan meja kerjanya dan berjalan cepat menuju ruang kontrol di lantai bawah. Sesampainya di sana, tim keamanan sudah menyiapkan monitor dengan rekaman yang siap diputar."Ini, Tuan," kata salah satu petugas sambil memutar rekaman. Dalam layar, terlihat bayangan beberapa orang masuk ke area pabrik pada dini hari, saat aktivitas pabrik sudah berhenti. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan bergerak dengan sangat hati-hati.Rangga memperhati
Monica mengumpulkan seluruh anak buahnya. Ia tak terima diancam oleh Rangga. Ia juga bingung bagaimana Rangga bisa mengetahui kalau orang-orang itu adalah kirimannya. Setelah mereka semua berkumpul, Monica pun mulai bertanya pada orang suruhannya itu."Kalian ini bagaimana, sih? Kenapa bisa tertangkap CCTV? Kalian tahu tidak, Rangga mengancam saya akan melaporkan saya ke polisi kalau sampai ada apa-apa dengan pabriknya. Dia melihat wajah kalian! Kalian ini bodoh apa gimana, sih? Mengerjakan tugas yang biasa kalian lakukan sampai lalai seperti ini!" teriaknya penuh emosi.Monica merasa bahwa dia sudah membayar harga yang fantastis, namun justru dirinya kecewa atas tindakan anak buahnya yang kurang hati-hati dalam bekerja."Maaf, Nona. Kami sudah berusaha untuk berhati-hati. Kami juga sudah mulai memakai topeng sebelum memasuki pabrik itu. Seperti yang saya bilang sebelumnya, ternyata pengamanannya di pabrik tersebut sangat ketat dan tidak seperti dulu lagi. Kami bahkan hampir tertangka
Aku sangat merindukanmu, Sayang," ucap Rangga seakan mereka sudah beberapa hari tidak pernah bertemu.Rangga mendorong pelan tubuh sang istri hingga terjatuh di sofa empuk dalam kamar mereka. Bagian dada sang istri yang terlihat sangat besar membuat Rangga semakin bergairah dan ingin menyentuh bagian favoritnya itu secara tergesa-gesa."Boleh aku meminum ASI-nya, Sayang? Habis nggak kalau aku minum sedikit aja?" ucapnya sambil mendongak setelah berlutut di hadapan sang istri."Asal jangan dihabisin, Sayang," jawab istrinya, membuat Rangga tersenyum penuh kemenangan. Pria itu mulai melabuhkan bibirnya di atas puncak dada sang istri di sebelah kanan, lidahnya bermain di sana hingga membuat sang istri terus mendesah kenikmatan. Namun, justru suara itu membuat Rangga semakin bergairah.Sementara dada bagian kiri istrinya dimainkan puncaknya dengan menggunakan jari. Setiap lantunan desahan yang terucap dari mulut sang istri seolah membawa hawa panas, sehingga menuntut Rangga untuk melakuka
Setelah menunggu beberapa menit di lobi, akhirnya Nabila turun dengan tas di tangannya. Mereka pun keluar dari gedung dan berjalan menuju tempat parkir.“Jadi, kita mau makan di mana, Arka?” tanya Nabila saat mereka sampai di depan mobil Arka.“Aku tahu restoran yang enak di dekat sini. Santai aja tempatnya, nggak terlalu ramai. Aku yakin kamu bakal suka,” jawab Arka sambil membuka pintu mobil untuk Nabila.“Aku tak rewel soal makanan, dan pasti akan menyukainya apalagi kalau gratis,” Nabila berkelakar. Mereka tertawa bersama.Mereka berdua pun menuju restoran yang cukup dekat dari kantor. Tempat itu nyaman dan tidak terlalu ramai, suasananya tenang dengan lampu-lampu redup yang memberi kesan intim. Arka memilih meja di sudut yang sedikit jauh dari keramaian, memberikan mereka ruang untuk berbicara lebih bebas.Setelah memesan makanan, mereka duduk berhadapan dengan senyum yang canggung. Awalnya, suasana terasa kikuk. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, mencoba mencari topik
Arka merasa lega karena akhirnya bisa menghabiskan waktu berdua dengan Nabila, walau percakapan mereka masih dibayangi kenangan masa lalu. Perjalanan pulang dari restoran ke apartemen Nabila juga cukup tenang, dengan obrolan ringan yang mengalir tanpa beban. Mereka berbicara tentang pekerjaan, rekan kerja, dan kehidupan sehari-hari, mencoba menjauhkan diri dari topik yang terlalu emosional.Ketika mobil Arka berhenti di depan apartemen Nabila, keheningan mendadak menyelimuti keduanya. Mereka sama-sama tahu bahwa saat perpisahan sebentar lagi tiba, dan entah kenapa, meskipun sederhana, momen ini terasa berarti bagi keduanya.“Terima kasih, ya, Arka. Udah ngajak aku makan malam,” ujar Nabila sambil membuka seatbelt. Ia tersenyum lembut, namun masih ada sedikit rasa kikuk di wajahnya.Arka tersenyum balik, mencoba menenangkan perasaannya yang mulai gugup lagi. “Sama-sama. Aku yang harusnya terima kasih, udah mau diajak keluar. Seneng bisa ngobrol lagi sama kamu.”Nabila tertawa kecil,