"Mau ke mana, Sayang?" tanya Rangga setengah malas, sambil meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang masih hangat dari kebersamaan mereka barusan. Pandangannya mengikuti langkah Febby yang turun dari tempat tidur dengan rambut acak-acakan, berjalan menuju kamar mandi. Malam itu terasa damai baginya, dan ia berpikir mereka bisa menikmati malam yang lebih tenang setelah malam yang begitu intens.Febby melirik ke arah Rangga sejenak, namun langkahnya tetap menuju kamar mandi. Wajahnya tampak serius, meskipun ia berusaha tetap tenang. "Kamu nggak dengar, Sayang? Elio menangis," jawab Febby tanpa banyak basa-basi, sambil memutar keran shower, membiarkan air panas mengalir.Rangga menghela napas pelan. Suara tangisan bayi memang samar-samar terdengar di telinganya, tapi ia masih yakin semuanya baik-baik saja."Tapi, kan sudah ada suster Barbara, Sayang," balasnya, mencoba meredam kekhawatiran istrinya. "Suster pasti lagi kasih susu ke anak-anak."Namun, Febby hanya membalas dengan diam.
Tepat pukul 09.00 di Sun City, Monica melangkah mantap menuju penjara tempat Brian ditahan. Suasana penjara itu dingin dan suram, di luar sana langit pagi cerah bertolak belakang dengan suasana menekan di dalam gedung. Setelah mengisi beberapa berkas dan melapor pada petugas, Monica dibawa ke sebuah ruangan khusus, ruang interogasi dengan dinding-dinding berwarna kelabu yang memisahkan para tahanan dari pengunjung.Ketika Monica memasuki ruangan itu, Brian sudah duduk di balik tembok besar yang memisahkan mereka, hanya ada celah kecil yang cukup untuk melihat wajah satu sama lain. Mata Brian yang tajam langsung menatap Monica penuh kecurigaan."Siapa kamu? Dan ada keperluan apa menemuiku?" tanya Brian dengan nada sinis. Suaranya dingin dan tak bersahabat, seakan ingin mengusir Monica sebelum pertemuan ini dimulai.Namun, Monica hanya tersenyum. Senyuman yang penuh arti, seolah ia tahu sesuatu yang Brian sendiri belum bisa tebak. Ia mengamati wajah Brian di balik celah kecil itu denga
“Rossa,” panggil Monica dengan nada hangat, meskipun dalam hatinya sedikit terkejut melihat sosok sahabat lamanya itu muncul tiba-tiba di tempat ini.Rossa menoleh cepat, mengenali suara yang sudah lama tak didengarnya. Matanya membulat seiring senyum lebar yang merekah di wajahnya.“Monica, ini beneran kamu?” tanyanya sambil tertawa kecil, tidak percaya bahwa di tengah kesibukannya hari ini, ia bertemu dengan sahabat dari masa lalu.Monica mengangguk, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Astaga, aku lupa kalau kau memang dari Sun City. Apa kabarmu?”Monica langsung merentangkan tangan, memberikan pelukan erat pada Rossa. Ada rasa nostalgia yang menguar di antara mereka, mengingatkan kembali pada masa-masa mereka pernah begitu dekat.Rossa membalas pelukan itu dengan antusias, tubuhnya sedikit terhuyung karena dorongan hangat dari Monica.“Aku juga sangat merindukanmu, Mon. Kamu ke sini ada urusan apa?”Monica tersenyum lebar, hatinya sedikit lega bisa bertemu seseorang yang mengenalnya
Setelah menempuh perjalanan udara selama empat jam yang cukup melelahkan, disusul dengan satu jam perjalanan darat, akhirnya Mayang dan Rossa tiba di kediaman mewah Rangga Wijaya. Rumah itu berdiri megah di hadapan mereka, dengan halaman luas dan taman yang dirawat rapi. Mereka sempat terpana beberapa saat, melihat betapa megahnya rumah adik tiri mereka itu.Pintu utama rumah dibuka oleh kepala pelayan yang sudah menunggu."Silakan duduk, Nyonya, Nona. Saya akan panggilkan dulu Nyonya Febby," ucap sang kepala pelayan dengan sopan, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.Mayang mengangguk, “Iya, Bi, terima kasih,” jawabnya dengan nada puas. Sementara itu, Rossa ikut menambahkan, “Terima kasih, Bibi,” sambil tersenyum kecil.Mereka berdua kemudian duduk di sofa mewah yang sangat nyaman. Ruang tamu itu begitu luas, dilengkapi dengan dekorasi modern yang menambah kesan elegan. Rossa menyandarkan tubuhnya, merasa lega akhirnya bisa duduk setelah perjalanan yang cukup panjang.“
"Mama sama Kak Rossa mau nginep di sini kan?" tanya Rangga dengan senyum hangat di wajahnya, memecah keheningan yang sempat melingkupi ruang tamu.Mayang tersenyum tipis, melirik sekilas ke arah Rossa sebelum menjawab. “Mama dan Rossa memang mau nginep, tapi takut repotin, Rangga. Mungkin lebih baik kami nginap di hotel saja.” Nada suaranya halus, tetapi ada sedikit keraguan di dalamnya. Meski rumah Rangga sangat besar dan nyaman, Mayang tetap merasa tak enak merepotkan keluarga muda itu.Namun, Rangga menggeleng tegas. “Ngapain sih, Ma, di hotel? Di sini banyak kamar kosong. Gak bakal repot kok. Lagipula, Rangga mau ajak kalian sekalian makan malam. Sejak Febby melahirkan, kami hampir gak pernah keluar rumah, kecuali waktu imunisasi Elio dan Elina.” Rangga mengarahkan pandangannya ke arah istrinya, Febby, yang sedang menggendong salah satu bayi. Ada rasa bersalah di matanya karena ia belum sempat mengajak Febby untuk bersantai bersama di luar rumah.Rossa yang mendengar itu langsu
Rangga dan Febby akhirnya menitipkan Elina dan Elio pada kepala pelayan dan suster Barbara. Meski awalnya agak berat meninggalkan si kembar, mereka tahu malam ini adalah kesempatan langka untuk menghabiskan waktu berdua. Rangga, yang selalu ingin membuat istrinya bahagia, berharap kali ini Febby bisa rileks dan menikmati malam tanpa beban. Namun, tanpa Rangga sadari, kebahagiaan terbesar Febby sebenarnya adalah ketika ia berada di dekat buah hatinya.Febby sudah bersiap dengan mengenakan gaun malam berwarna merah yang anggun, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan kecantikannya yang tetap mempesona meski baru saja melahirkan. Rangga, yang mengenakan kemeja hitam dengan bawahan senada, terlihat begitu tampan dan gagah.Saat Febby sedang memperbaiki rambutnya di depan cermin, Rangga mendekatinya diam-diam dari belakang dan memeluknya erat. “Terima kasih ya, sayang, sudah melahirkan dua malaikat kecil kita,” ucapnya denga
Esok harinya tepat pukul 16.00 Mayang dan Rossa sudah kembali ke kota Sun City.Saat langkah kaki Rossa dan Mayang baru saja memasuki halaman rumah, mereka terkejut melihat sebuah mobil mewah terparkir di garasi. Sebuah mobil keluaran terbaru yang selama ini hanya mereka impikan. Berdampingan dengan mobil tua peninggalan almarhum papanya Febby, mobil baru itu tampak berkilau, begitu elegan, dan tampak asing sekaligus akrab.Rossa menatap ibunya dengan raut bingung. "Loh, Ma, ini mobil siapa?" tanyanya penuh keheranan.Mayang hanya bisa menggeleng, masih tercengang. "Mama tidak tahu, tapi… kok mobil ini mirip sekali dengan mobil impian kita?" gumamnya. Suaranya terdengar lirih, seolah-olah sedang menahan keterkejutan besar yang belum sepenuhnya bisa dipahami.Mereka berdiri mematung di depan mobil itu, seakan-akan sedang menanti jawaban dari benda mati yang tidak bisa bicara. Keduanya mulai menyatukan pikiran, teringat obrolan mereka semalam saat makan malam bersama Rangga dan Febby
Rossa menyambut Monica di depan pintu dengan sedikit kebingungan. "Monica," panggilnya dengan nada ragu, "kok bisa tahu rumahku? Dari mana kamu dapat alamatnya?" tanyanya sambil mempersilakan Monica masuk ke dalam.Monica melangkah masuk ke ruang tamu, dan dengan cepat menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Sementara itu, Mayang, yang sejak awal tampak tak suka, memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Pandangannya pada Monica dingin dan penuh kewaspadaan. Ada sesuatu yang membuat Mayang tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu.Firasatnya selalu kuat ketika bertemu orang-orang yang menurutnya tidak membawa niat baik, terutama karena Mayang sudah kenyang dengan pengalaman masa lalunya yang penuh tipu daya.Rossa memperhatikan gerak-gerik ibunya dan merasa sedikit tidak enak. "Maaf ya, Mamaku mungkin lagi capek," ujarnya dengan sedikit canggung.Monica tersenyum tipis, tampak santai. "Gak apa-apa kok," jawabnya singkat. "Aku tahu rumahmu dari Bram," lanjutnya, seolah-olah hal itu