Rossa menyambut Monica di depan pintu dengan sedikit kebingungan. "Monica," panggilnya dengan nada ragu, "kok bisa tahu rumahku? Dari mana kamu dapat alamatnya?" tanyanya sambil mempersilakan Monica masuk ke dalam.Monica melangkah masuk ke ruang tamu, dan dengan cepat menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Sementara itu, Mayang, yang sejak awal tampak tak suka, memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Pandangannya pada Monica dingin dan penuh kewaspadaan. Ada sesuatu yang membuat Mayang tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu.Firasatnya selalu kuat ketika bertemu orang-orang yang menurutnya tidak membawa niat baik, terutama karena Mayang sudah kenyang dengan pengalaman masa lalunya yang penuh tipu daya.Rossa memperhatikan gerak-gerik ibunya dan merasa sedikit tidak enak. "Maaf ya, Mamaku mungkin lagi capek," ujarnya dengan sedikit canggung.Monica tersenyum tipis, tampak santai. "Gak apa-apa kok," jawabnya singkat. "Aku tahu rumahmu dari Bram," lanjutnya, seolah-olah hal itu
"Ya sudah, Rossa. Aku balik ke hotel dulu ya. Nanti aku hubungi lagi," ucap Monica sambil melangkah ke pintu."Oke," jawab Rossa singkat, meskipun hatinya sedikit ragu. Dia mengantarkan Monica sampai di depan rumah, memastikan wanita itu naik ke mobilnya dan meluncur pergi. Begitu mobil Monica menghilang dari pandangan, Rossa menutup pintu dan menghela napas panjang.Saat ia berbalik, Mayang sudah berdiri di ruang tamu, tampak tegang dan memancarkan aura khawatir. "Jangan mau berurusan dengan orang itu!" Mayang tiba-tiba bersuara, menatap tajam ke arah sang anak.Rossa terkejut dengan pernyataan itu. "Mama, tenang saja! Semua akan baik-baik saja. Percaya deh sama Rossa," tuturnya dengan nada meyakinkan, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit cemas.Mayang mendekat, masih mengamati Rossa dengan khawatir. "Kamu tahu kan siapa Monica? Dia bukan orang yang baik. Dia punya masa lalu yang kelam dan tidak bisa dipercaya. Mama hanya ingin kamu aman."Rossa mengangguk, meski ketidakpastian
Febby sedang menyiapkan meja makan ketika ia melihat suaminya, Rangga, tampak terkejut melihat pesan masuk di ponselnya. Tangannya yang awalnya mengangkat sendok, kini terhenti. Dia menatap suaminya dengan raut wajah penuh tanya.“Kenapa sayang?” tanya Febby lembut namun penuh perhatian, matanya memerhatikan perubahan ekspresi Rangga yang tampak mendadak serius.Rangga menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Besok ada meeting, sayang. Padahal tadi aku sudah minta izin sama Arka untuk datang terlambat ke kantor," ucapnya sambil menatap layar ponsel dengan kening berkerut."Oh." Febby menaruh sendoknya dan menatap suaminya dengan sedikit merajuk. “Jangan malas-malas lah, sayang. Nanti Elina dan Elio gak kebagian harta,” godanya dengan senyum tipis. Meski ia berkata begitu, dalam hatinya, Febby hanya ingin suaminya tetap fokus pada pekerjaan. Dia tahu betul, Rangga memiliki kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawabnya kepada orang lain, dan itu yang Febby hindari. Dia tidak ingin
“Tuan, Anda tenang saja, saya akan mengurus semuanya,” ucap Arkana dengan nada penuh kepastian. “Saya akan memperketat pengamanan di setiap perusahaan Anda, baik di kantor pusat maupun di seluruh cabang. Saya juga akan menyiapkan pengawal tambahan di kediaman Anda. Jadi, jangan khawatir soal itu.”Rangga berpikir beberapa saat sebelum merespons, tampak memikirkan langkah-langkah yang diusulkan oleh Arkana. “Terima kasih, Arka,” ucapnya dengan suara rendah. “Sama-sama Tuan,” jawab Arkana.“Aku nggak ngerti apa maunya mereka. Kenapa mereka nggak henti-henti bikin ulah? Kita nggak pernah bertindak di luar batas kewajaran; selalu pakai logika. Tapi mereka... Lihatlah, sepertinya mereka ingin sekali menghancurkan Wijaya Group. Aku takkan pernah membiarkan hal itu terjadi.”Arkana mengangguk pelan di ujung telepon. “Tenang saja, Tuan. Jangan terlalu dipikirkan, nanti Nyonya malah ikut kepikiran. Biar masalah ini saya yang nangani. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Apa pun yang merek
Ruangan berasap tipis itu dipenuhi suasana tegang. Pria bertubuh tegap yang duduk di ujung meja kembali memelototi Rossa, seolah mengukur apakah perempuan itu layak menerima bayaran sebesar dua miliar. Rossa, yang mengenakan setelan blazer hitam, duduk santai dengan kaki menyilang, tersenyum seolah tak terganggu sedikit pun oleh tatapan tajam dari orang-orang di sekitarnya.“Tugasmu sangat mudah, Rossa. Tapi kamu minta bayaran sampai dua miliar. Apa itu tidak keterlaluan?” Pria itu akhirnya berbicara, nada suaranya penuh dengan ketidakpuasan.Rossa tertawa kecil, tanpa gentar sedikit pun. “Terserah aku dong,” jawabnya dingin sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kalau kalian memang nggak siap untuk membayar, ya sudah. Aku baru mau bekerja kalau sudah ada uangnya. Kalau kalian belum punya uang, aku nggak akan buang-buang tenaga untuk melakukan hal sia-sia tanpa bayaran,” lanjutnya dengan nada menyindir, sambil melirik ke arah Monica, yang duduk di sampingnya.Monica terdiam sejenak,
Di ruangan yang sama tepatnya setelah Rossa pergi, suara bisikan-bisikan penuh perhitungan terdengar, menggema di antara dinding-dinding yang menjadi saksi dari rencana gelap yang akan segera mereka eksekusi. Monica duduk di ujung meja, wajahnya yang tegas namun dingin menatap satu per satu anggota tim yang masih tersisa. Sorot matanya penuh determinasi, dan aura keyakinan yang terpancar darinya membuat semua yang hadir tidak berani berbicara sembarangan.Seorang pria yang duduk di dekatnya membuka percakapan dengan nada skeptis, “Jadi, kau benar-benar akan membayar nominal yang dia minta?” Pria itu menatap Monica tajam, mengisyaratkan ketidaksetujuannya. “Menurutku, dia sama sekali tidak pantas mendapatkan uang sebanyak itu untuk tugas sederhana ini.”Monica menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Tak ada pilihan lain,” ucapnya dengan nada penuh perhitungan. “Rossa harus dibayar lebih dulu. Nanti, kita akan cari cara untuk mengambil uang itu kembali. Dan yang pasti, setela
Saat Monica dan timnya bersiap meninggalkan ruangan rahasia tempat mereka baru saja menyusun strategi, suasana tegang masih terasa di udara. Langkah-langkah mereka terdengar teratur di koridor sempit itu, namun, di dalam hati, masing-masing dari mereka masih menyimpan antusiasme dan juga kekhawatiran terhadap rencana besar yang baru saja mereka sepakati.Namun, tiba-tiba, dari ujung lorong, suara langkah cepat menghentikan langkah mereka. Sekelompok pria berbaju seragam biru tua dengan lambang kepolisian tiba-tiba muncul di depan mereka, senjata api teracung dan terarah langsung ke masing-masing anggota tim. Semua terkejut, wajah-wajah yang tadi dipenuhi keyakinan dan kesombongan kini berubah pucat. Monica menatap polisi di hadapannya dengan mata membelalak, tak percaya bahwa situasi bisa berubah secepat ini.“Semua berdiri diam! Jangan coba-coba melarikan diri atau melawan!” salah seorang polisi berteriak, memecah kesunyian dengan suara lantangnya. Anggota tim lainnya saling pandang,
Rossa menoleh ke belakang, penasaran dengan siapa pria yang menyentuh bahunya tadi. Senyuman manis dari Arkana, asisten pribadi Rangga, menyambutnya begitu hangat hingga Rossa merasakan kedamaian yang tak biasa.“Terima kasih ya, sudah menyelamatkan Tuan Rangga dan keluarganya dari niat jahat Monica,” ucap Arkana dengan nada lembut, sambil menatap Rossa penuh rasa kagum.Rossa tersenyum tipis. “Sama-sama. Bukankah sudah tugasku untuk melindungi mereka?” katanya tenang. “Setelah semua yang Rangga lakukan, bagaimana mungkin aku berdiam diri saja? Dia telah mengubah hidup kami menjadi jauh lebih baik.”Arkana mengangguk perlahan. Ada kekaguman yang sulit disembunyikan dalam pandangannya. “Aku akui, kamu benar-benar pemberani. Bahkan tanpa ragu kamu meninggalkan alat penyadap di ruang rapat itu. Itu tindakan yang luar biasa berani, Rossa. Berkat bukti yang kamu kumpulkan, kita bisa menuntut Monica dan komplotannya dengan seberat-beratnya,” pujinya, matanya berbinar penuh kekaguman.Rossa