Di ruangan yang sama tepatnya setelah Rossa pergi, suara bisikan-bisikan penuh perhitungan terdengar, menggema di antara dinding-dinding yang menjadi saksi dari rencana gelap yang akan segera mereka eksekusi. Monica duduk di ujung meja, wajahnya yang tegas namun dingin menatap satu per satu anggota tim yang masih tersisa. Sorot matanya penuh determinasi, dan aura keyakinan yang terpancar darinya membuat semua yang hadir tidak berani berbicara sembarangan.Seorang pria yang duduk di dekatnya membuka percakapan dengan nada skeptis, “Jadi, kau benar-benar akan membayar nominal yang dia minta?” Pria itu menatap Monica tajam, mengisyaratkan ketidaksetujuannya. “Menurutku, dia sama sekali tidak pantas mendapatkan uang sebanyak itu untuk tugas sederhana ini.”Monica menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Tak ada pilihan lain,” ucapnya dengan nada penuh perhitungan. “Rossa harus dibayar lebih dulu. Nanti, kita akan cari cara untuk mengambil uang itu kembali. Dan yang pasti, setela
Saat Monica dan timnya bersiap meninggalkan ruangan rahasia tempat mereka baru saja menyusun strategi, suasana tegang masih terasa di udara. Langkah-langkah mereka terdengar teratur di koridor sempit itu, namun, di dalam hati, masing-masing dari mereka masih menyimpan antusiasme dan juga kekhawatiran terhadap rencana besar yang baru saja mereka sepakati.Namun, tiba-tiba, dari ujung lorong, suara langkah cepat menghentikan langkah mereka. Sekelompok pria berbaju seragam biru tua dengan lambang kepolisian tiba-tiba muncul di depan mereka, senjata api teracung dan terarah langsung ke masing-masing anggota tim. Semua terkejut, wajah-wajah yang tadi dipenuhi keyakinan dan kesombongan kini berubah pucat. Monica menatap polisi di hadapannya dengan mata membelalak, tak percaya bahwa situasi bisa berubah secepat ini.“Semua berdiri diam! Jangan coba-coba melarikan diri atau melawan!” salah seorang polisi berteriak, memecah kesunyian dengan suara lantangnya. Anggota tim lainnya saling pandang,
Rossa menoleh ke belakang, penasaran dengan siapa pria yang menyentuh bahunya tadi. Senyuman manis dari Arkana, asisten pribadi Rangga, menyambutnya begitu hangat hingga Rossa merasakan kedamaian yang tak biasa.“Terima kasih ya, sudah menyelamatkan Tuan Rangga dan keluarganya dari niat jahat Monica,” ucap Arkana dengan nada lembut, sambil menatap Rossa penuh rasa kagum.Rossa tersenyum tipis. “Sama-sama. Bukankah sudah tugasku untuk melindungi mereka?” katanya tenang. “Setelah semua yang Rangga lakukan, bagaimana mungkin aku berdiam diri saja? Dia telah mengubah hidup kami menjadi jauh lebih baik.”Arkana mengangguk perlahan. Ada kekaguman yang sulit disembunyikan dalam pandangannya. “Aku akui, kamu benar-benar pemberani. Bahkan tanpa ragu kamu meninggalkan alat penyadap di ruang rapat itu. Itu tindakan yang luar biasa berani, Rossa. Berkat bukti yang kamu kumpulkan, kita bisa menuntut Monica dan komplotannya dengan seberat-beratnya,” pujinya, matanya berbinar penuh kekaguman.Rossa
"Mama, ada tamu," ucap Rossa lembut saat baru saja masuk ke dalam rumah bersama Arka.Dari dalam kamar, Mayang segera keluar. Wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang dipadu dengan senyum ramah khas seorang ibu. "Oh, ternyata Arka! Lama tidak bertemu," ujarnya dengan senyum lebar, sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Arka."Iya, Nyonya," jawab Arka sopan, membalas uluran tangan Mayang dengan sedikit menunduk hormat. "Saya hanya mengantarkan Rossa pulang."Mayang mengangguk, menatap Arka dengan tatapan hangat dan mempersilakannya masuk. "Duduklah, Arka. Jangan berdiri saja di sana," ujarnya sambil menunjuk sofa di ruang tamu."Terima kasih, Nyonya," sahut Arka, tetap menjaga sikap sopannya.Mayang mengamati wajah Arka yang tampak sedikit tegang. "Sudahlah, Arka. Jangan panggil saya 'Nyonya', panggil saja 'Tante'."Arka tampak bingung sejenak. "Tidak mungkin, Nyonya," jawabnya dengan ragu. "Bagaimanapun juga, Anda adalah ibu mertua dari atasan saya. Jadi, saya harus mengh
Saat mobil Arka perlahan menjauh dan akhirnya hilang dari pandangan, Rossa tetap memandang ke arah jalan, seolah berharap bisa melihatnya lebih lama. Mayang, yang menyadari hal itu, melirik putrinya dengan senyum penuh arti."Apa kamu menyukai Arka?" tanya Mayang tiba-tiba, membuat Rossa tersentak dan segera mengalihkan pandangannya."Mama bicara apa sih?" Rossa mengelak sambil tertawa kecil, berusaha menutupi kegugupannya. Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, dia segera berjalan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Mayang yang masih tersenyum sambil mengikuti langkah putrinya.Setelah mereka masuk, Rossa berusaha menyibukkan diri dengan mengambil minuman dingin dari kulkas dan duduk di sofa ruang tamu, berharap pembicaraan itu berlalu begitu saja. Namun, Mayang duduk di sebelahnya, tidak menyerah begitu saja."Rossa, Mama ini bukan anak kecil yang tidak paham perasaan anak-anaknya," ucap Mayang dengan nada lembut namun serius. "Akhir-akhir ini setiap kali kalian bertemu, Mama bisa meli
Selama seminggu terakhir, Rossa telah menghabiskan banyak waktu bersama Arka lebih banyak dari biasanya. Hampir setiap hari, mereka berangkat bersama-sama untuk mengurus kasus Monica di Sun City, bertemu berbagai pihak, hingga mengecek setiap perkembangan yang diperlukan. Rossa merasa nyaman berada di samping Arka, dan kehadiran pria itu membuatnya merasa terlindungi dan didengarkan.Hari ini, seperti biasanya, Arka datang untuk sarapan di rumah Rossa sebelum mereka berangkat mengurus semuanya. Suasana meja makan hangat dengan obrolan ringan di antara mereka, ditemani hidangan yang sederhana tapi penuh keakraban."Saya pasti akan merindukan sarapan di sini, Tante," ucap Arka sambil tersenyum, menatap Rossa dan Mayang dari seberang meja.“Tante juga pasti merindukan kebersamaan kita ini,” sahut Mayang.Rossa menatapnya dengan tatapan tak mengerti. "Kenapa begitu? Besok kamu masih bisa sarapan di sini kalau mau," jawab Rossa ringan.Arka tersenyum tipis, namun kali ini ada kesedihan ya
“Neneeeeeeek!” teriak Elina dan Elio sambil berlari ke arah Mayang begitu mereka melihatnya tiba di rumah mereka. Suara keduanya terdengar riang, penuh kebahagiaan, seakan sudah lama menunggu momen ini.Mayang tersenyum lebar, hatinya hangat melihat semangat cucu-cucunya yang selalu ceria setiap kali mereka bertemu. Meski bukan cucu kandungnya, ia telah menganggap Elina dan Elio sebagai darah dagingnya sendiri. “Cucu nenek yang cantik dan yang tampan!” serunya penuh sayang, merentangkan kedua tangannya untuk menyambut mereka. “Nenek kangen sama kalian!”Elina dan Elio segera masuk ke dalam pelukan nenek mereka, tawa riang terdengar saat Mayang mencium pipi mereka bergantian, memberikan kecupan bertubi-tubi yang membuat keduanya terkikik. “Neneek, geli!” seru Elio sambil tertawa, mencoba menghindar dari ciuman-ciuman sang nenek, meskipun wajahnya menunjukkan bahwa dia sebenarnya sangat senang.Sudah empat tahun berlalu sejak Mayang pertama kali bertemu dengan si kembar, dan esok adal
"Ini beneran untuk Elina dan Elio?" tanya si kembar sambil menatap kotak kado yang dipegang Arka dengan mata berbinar. Wajah mereka penuh antusias, seolah tidak percaya bahwa hadiah itu benar-benar untuk mereka.Arka mengangguk sambil tersenyum hangat. "Beneran dong, lihat saja, jumlahnya ada dua! Jadi, kalian mau atau nggak?" tanyanya dengan nada menggoda.Elina dan Elio segera mengangguk penuh semangat. Senyum mereka makin lebar, dan mata mereka tak bisa lepas dari kotak-kotak kado yang dihias dengan pita merah menyala."Cium dulu dong baru boleh lihat isi dalam kotak ini," ucap Arka, memberikan syarat dengan nada penuh godaan.Tanpa ragu, si kembar langsung menghujani pipi kanan dan kiri Arka dengan ciuman manis, membuat pria itu tertawa senang. "Nah, itu baru keponakan kesayangan Om Arka!" katanya dengan penuh kegembiraan, memandang keduanya dengan kasih sayang. Arka sudah menganggap Elina dan Elio sebagai keponakannya sendiri, terlebih sejak hubungannya dengan Rossa semakin seri