"Mama sama Kak Rossa mau nginep di sini kan?" tanya Rangga dengan senyum hangat di wajahnya, memecah keheningan yang sempat melingkupi ruang tamu.Mayang tersenyum tipis, melirik sekilas ke arah Rossa sebelum menjawab. “Mama dan Rossa memang mau nginep, tapi takut repotin, Rangga. Mungkin lebih baik kami nginap di hotel saja.” Nada suaranya halus, tetapi ada sedikit keraguan di dalamnya. Meski rumah Rangga sangat besar dan nyaman, Mayang tetap merasa tak enak merepotkan keluarga muda itu.Namun, Rangga menggeleng tegas. “Ngapain sih, Ma, di hotel? Di sini banyak kamar kosong. Gak bakal repot kok. Lagipula, Rangga mau ajak kalian sekalian makan malam. Sejak Febby melahirkan, kami hampir gak pernah keluar rumah, kecuali waktu imunisasi Elio dan Elina.” Rangga mengarahkan pandangannya ke arah istrinya, Febby, yang sedang menggendong salah satu bayi. Ada rasa bersalah di matanya karena ia belum sempat mengajak Febby untuk bersantai bersama di luar rumah.Rossa yang mendengar itu langsu
Rangga dan Febby akhirnya menitipkan Elina dan Elio pada kepala pelayan dan suster Barbara. Meski awalnya agak berat meninggalkan si kembar, mereka tahu malam ini adalah kesempatan langka untuk menghabiskan waktu berdua. Rangga, yang selalu ingin membuat istrinya bahagia, berharap kali ini Febby bisa rileks dan menikmati malam tanpa beban. Namun, tanpa Rangga sadari, kebahagiaan terbesar Febby sebenarnya adalah ketika ia berada di dekat buah hatinya.Febby sudah bersiap dengan mengenakan gaun malam berwarna merah yang anggun, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan kecantikannya yang tetap mempesona meski baru saja melahirkan. Rangga, yang mengenakan kemeja hitam dengan bawahan senada, terlihat begitu tampan dan gagah.Saat Febby sedang memperbaiki rambutnya di depan cermin, Rangga mendekatinya diam-diam dari belakang dan memeluknya erat. “Terima kasih ya, sayang, sudah melahirkan dua malaikat kecil kita,” ucapnya denga
Esok harinya tepat pukul 16.00 Mayang dan Rossa sudah kembali ke kota Sun City.Saat langkah kaki Rossa dan Mayang baru saja memasuki halaman rumah, mereka terkejut melihat sebuah mobil mewah terparkir di garasi. Sebuah mobil keluaran terbaru yang selama ini hanya mereka impikan. Berdampingan dengan mobil tua peninggalan almarhum papanya Febby, mobil baru itu tampak berkilau, begitu elegan, dan tampak asing sekaligus akrab.Rossa menatap ibunya dengan raut bingung. "Loh, Ma, ini mobil siapa?" tanyanya penuh keheranan.Mayang hanya bisa menggeleng, masih tercengang. "Mama tidak tahu, tapi… kok mobil ini mirip sekali dengan mobil impian kita?" gumamnya. Suaranya terdengar lirih, seolah-olah sedang menahan keterkejutan besar yang belum sepenuhnya bisa dipahami.Mereka berdiri mematung di depan mobil itu, seakan-akan sedang menanti jawaban dari benda mati yang tidak bisa bicara. Keduanya mulai menyatukan pikiran, teringat obrolan mereka semalam saat makan malam bersama Rangga dan Febby
Rossa menyambut Monica di depan pintu dengan sedikit kebingungan. "Monica," panggilnya dengan nada ragu, "kok bisa tahu rumahku? Dari mana kamu dapat alamatnya?" tanyanya sambil mempersilakan Monica masuk ke dalam.Monica melangkah masuk ke ruang tamu, dan dengan cepat menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Sementara itu, Mayang, yang sejak awal tampak tak suka, memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Pandangannya pada Monica dingin dan penuh kewaspadaan. Ada sesuatu yang membuat Mayang tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu.Firasatnya selalu kuat ketika bertemu orang-orang yang menurutnya tidak membawa niat baik, terutama karena Mayang sudah kenyang dengan pengalaman masa lalunya yang penuh tipu daya.Rossa memperhatikan gerak-gerik ibunya dan merasa sedikit tidak enak. "Maaf ya, Mamaku mungkin lagi capek," ujarnya dengan sedikit canggung.Monica tersenyum tipis, tampak santai. "Gak apa-apa kok," jawabnya singkat. "Aku tahu rumahmu dari Bram," lanjutnya, seolah-olah hal itu
"Ya sudah, Rossa. Aku balik ke hotel dulu ya. Nanti aku hubungi lagi," ucap Monica sambil melangkah ke pintu."Oke," jawab Rossa singkat, meskipun hatinya sedikit ragu. Dia mengantarkan Monica sampai di depan rumah, memastikan wanita itu naik ke mobilnya dan meluncur pergi. Begitu mobil Monica menghilang dari pandangan, Rossa menutup pintu dan menghela napas panjang.Saat ia berbalik, Mayang sudah berdiri di ruang tamu, tampak tegang dan memancarkan aura khawatir. "Jangan mau berurusan dengan orang itu!" Mayang tiba-tiba bersuara, menatap tajam ke arah sang anak.Rossa terkejut dengan pernyataan itu. "Mama, tenang saja! Semua akan baik-baik saja. Percaya deh sama Rossa," tuturnya dengan nada meyakinkan, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit cemas.Mayang mendekat, masih mengamati Rossa dengan khawatir. "Kamu tahu kan siapa Monica? Dia bukan orang yang baik. Dia punya masa lalu yang kelam dan tidak bisa dipercaya. Mama hanya ingin kamu aman."Rossa mengangguk, meski ketidakpastian
Febby sedang menyiapkan meja makan ketika ia melihat suaminya, Rangga, tampak terkejut melihat pesan masuk di ponselnya. Tangannya yang awalnya mengangkat sendok, kini terhenti. Dia menatap suaminya dengan raut wajah penuh tanya.“Kenapa sayang?” tanya Febby lembut namun penuh perhatian, matanya memerhatikan perubahan ekspresi Rangga yang tampak mendadak serius.Rangga menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Besok ada meeting, sayang. Padahal tadi aku sudah minta izin sama Arka untuk datang terlambat ke kantor," ucapnya sambil menatap layar ponsel dengan kening berkerut."Oh." Febby menaruh sendoknya dan menatap suaminya dengan sedikit merajuk. “Jangan malas-malas lah, sayang. Nanti Elina dan Elio gak kebagian harta,” godanya dengan senyum tipis. Meski ia berkata begitu, dalam hatinya, Febby hanya ingin suaminya tetap fokus pada pekerjaan. Dia tahu betul, Rangga memiliki kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawabnya kepada orang lain, dan itu yang Febby hindari. Dia tidak ingin
“Tuan, Anda tenang saja, saya akan mengurus semuanya,” ucap Arkana dengan nada penuh kepastian. “Saya akan memperketat pengamanan di setiap perusahaan Anda, baik di kantor pusat maupun di seluruh cabang. Saya juga akan menyiapkan pengawal tambahan di kediaman Anda. Jadi, jangan khawatir soal itu.”Rangga berpikir beberapa saat sebelum merespons, tampak memikirkan langkah-langkah yang diusulkan oleh Arkana. “Terima kasih, Arka,” ucapnya dengan suara rendah. “Sama-sama Tuan,” jawab Arkana.“Aku nggak ngerti apa maunya mereka. Kenapa mereka nggak henti-henti bikin ulah? Kita nggak pernah bertindak di luar batas kewajaran; selalu pakai logika. Tapi mereka... Lihatlah, sepertinya mereka ingin sekali menghancurkan Wijaya Group. Aku takkan pernah membiarkan hal itu terjadi.”Arkana mengangguk pelan di ujung telepon. “Tenang saja, Tuan. Jangan terlalu dipikirkan, nanti Nyonya malah ikut kepikiran. Biar masalah ini saya yang nangani. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Apa pun yang merek
Ruangan berasap tipis itu dipenuhi suasana tegang. Pria bertubuh tegap yang duduk di ujung meja kembali memelototi Rossa, seolah mengukur apakah perempuan itu layak menerima bayaran sebesar dua miliar. Rossa, yang mengenakan setelan blazer hitam, duduk santai dengan kaki menyilang, tersenyum seolah tak terganggu sedikit pun oleh tatapan tajam dari orang-orang di sekitarnya.“Tugasmu sangat mudah, Rossa. Tapi kamu minta bayaran sampai dua miliar. Apa itu tidak keterlaluan?” Pria itu akhirnya berbicara, nada suaranya penuh dengan ketidakpuasan.Rossa tertawa kecil, tanpa gentar sedikit pun. “Terserah aku dong,” jawabnya dingin sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kalau kalian memang nggak siap untuk membayar, ya sudah. Aku baru mau bekerja kalau sudah ada uangnya. Kalau kalian belum punya uang, aku nggak akan buang-buang tenaga untuk melakukan hal sia-sia tanpa bayaran,” lanjutnya dengan nada menyindir, sambil melirik ke arah Monica, yang duduk di sampingnya.Monica terdiam sejenak,
Arka masih berdiri dengan ekspresi serius, berhadapan dengan Nabila yang tampak gugup. Sebuah kesalahan fatal baru saja terjadi, membuat Nabila harus menghadapi amarah Arka, rekan kerjanya yang juga dikenal sebagai tangan kanan Rangga.“Ma–maaf,” ucap Nabila dengan nada terbata-bata. Matanya menatap meja, tak berani menatap langsung ke arah Arka. “Aku akan memperbaikinya.”Arka menyilangkan tangan di depan dada, ekspresinya tetap tegas. “Sudah seharusnya begitu, Nabila. Jangan campur adukkan masalah pribadi dengan urusan kantor,” tegurnya. “Data ini sangat penting. Kita dibayar untuk bekerja, bukan untuk mengecewakan pemilik perusahaan.”Nada suaranya yang dingin membuat Nabila merasa semakin bersalah. Rekan kerja lain di tempat itu, yang mendengar percakapan mereka, memilih untuk mengabaikannya.Nabila menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu Arka benar, dan ia harus memperbaiki kesalahan ini secepat mungkin. “Baik, Arka,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan. “Unt
Arka mengetuk pintu ruang kerja Rangga dengan hati yang sudah terasa berat sejak tadi. Ia tahu, percakapan ini akan melibatkan Nabila, yang terlihat semakin berusaha mendekatinya belakangan ini. Setelah mendengar suara Rangga mempersilakan masuk, Arka membuka pintu dan melangkah masuk bersama Nabila. Mereka duduk berdampingan, meskipun suasana di antara keduanya terasa canggung.Rangga menatap mereka sejenak, matanya tajam namun tetap ramah. Ia memulai pembicaraan, “Arka, saya akan segera mempersiapkan penggantimu-”Belum selesai kalimat itu terucap, Nabila langsung memotong, “Maksud Anda bagaimana, Tuan?”Nada suaranya terdengar penuh rasa ingin tahu, namun juga sedikit ketakutan. Ia menatap Rangga, mencoba mencari penjelasan dari kalimat yang setengah terucap itu.Rangga tersenyum tipis, mengalihkan pandangannya pada Arka yang tampak tenang. “Arka kan sebentar lagi akan menikah,” lanjut Rangga, nadanya penuh pengertian. “Dia akan menjadi pimpinan salah satu anak cabang Wijaya Group
“Kalian ini berani-beraninya, ya, ngomongin Mama,” ujar Febby pura-pura marah sambil memandang mereka dengan alis terangkat.Elina dan Elio hanya tertawa kecil, tampak tak terpengaruh oleh wajah pura-pura serius mamanya. “Kami hanya bercanda, Mama!” jawab mereka serempak dengan wajah polos dan senyum lebar, seperti berusaha meyakinkan bahwa mereka tidak bersalah.Febby menggeleng, lalu tersenyum. “Ya sudah, ayo cepat sarapan dulu. Nanti keburu terlambat ke sekolah,” katanya dengan suara lembut, namun tetap tegas.“Siap, Mama!” balas mereka, masih dalam nada polos dan penuh semangat.Tak lama kemudian, Elina dan Elio mengambil tas mereka, dan bersiap turun ke lantai bawah. Di ruang makan, Rangga, sudah duduk dengan rapi dan tampan dalam setelan kerjanya, menunggu mereka dengan sabar. Di meja itu juga sudah ada nenek mereka, dan Rossa, yang duduk menunggu sambil tersenyum melihat keceriaan anak-anak itu.Melihat kedatangan mereka, Rangga segera berdiri dari kursinya dan dengan penuh kas
Malam telah larut ketika Mayang dan Rossa memasuki kamar. Setelah percakapan hangat bersama keluarga, mereka kini berdua, bersiap untuk beristirahat. Namun, suasana hati Rossa tampak tidak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur dengan pandangan menerawang, sementara Mayang mengamati anaknya dengan lembut dari sudut ruangan."Ma," Rossa akhirnya membuka suara dengan nada pelan, tapi penuh rasa takjub, "Rossa sama sekali nggak menyangka, ternyata Arka bakal mendapatkan hadiah sebesar itu dari Rangga. Padahal tadi kami sempat diskusi, setelah menikah mungkin dia hanya akan pulang ke Sun City setiap akhir pekan. Tapi sekarang… hadiah itu mengubah segalanya. Kami bahkan bisa tinggal di sana bersama Mama."Mayang mendekati anaknya dan duduk di sebelahnya. Ia menggenggam tangan Rossa dengan lembut. "Iya, Sayang. Mama juga nggak pernah menyangka. Kalau Mama ingat-ingat lagi… Mama malu sekali atas apa yang pernah Mama lakukan ke Rangga dulu." Suara Mayang mulai serak. "Mama dulu menghina dia
Setelah Arka pamit pulang, Febby, Rangga, dan Mayang masih duduk bersama. Di samping mereka, Rossa duduk tenang, menyimak obrolan sambil tersenyum kecil, namun di wajahnya ada keraguan yang tersirat.Febby yang duduk di sebelah Rossa menatapnya dengan penuh perhatian. "Kakak, rencananya mau menikah di sini atau di kota Sun City?" tanyanya lembut, ingin tahu keputusan kakak tirinya itu. Pertanyaan itu sontak membuat semua mata di ruangan tertuju pada Rossa, menunggu jawabannya.Rossa tersenyum tipis, lalu menghela napas panjang. "Kak Rossa sih inginnya di Sun City saja," jawabnya akhirnya, memandangi mereka satu per satu. "Di sana banyak kenangan yang ingin kami pertahankan, tempat-tempat yang istimewa untukku dan Arka. Lagipula, kami juga akan tinggal di sana setelah menikah... meskipun harus berpisah jarak dan waktu dengan Arka yang akan tetap bekerja di sini." Ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya, seakan-akan perpisahan itu adalah pengorbanan yang tak mudah baginya.Rangga ya
“Kamu serius, sayang?” tanya Arka.Rossa mengangguk, “aku serius sayang. Kapanpun aku siap,” ulang Rossa.“Dua bulan lagi ada hari baik, apa kamu mau?”Rossa mengangguk.Arka kembali masuk ke dalam rumah sang atasan, dia minta Rangga dan febby kembali turun sebentar. Mereka pun berkumpul di ruang keluarga rumah mewah Rangga.Suasana hangat penuh kekeluargaan begitu terasa, terutama dengan adanya Febby yang tengah mengandung anak kedua, membawa kebahagiaan tersendiri bagi seluruh keluarga. Melihat Arka yang tampak ragu-ragu, Rangga segera menepuk punggungnya dan mempersilakannya duduk di samping."Ada apa, Ark? Kok wajahmu serius banget?" tanya Rangga, berusaha mencairkan suasana.Arka menarik napas dalam-dalam, memandangi ketiganya satu per satu, lalu berkata, "Saya ingin minta izin, Sama tante, Tuan dan Nyonya. Setelah berdiskusi dengan Rossa, kami memutuskan untuk menikah dua bulan lagi."Pernyataan itu mengejutkan semua orang, terutama Mayang, yang tidak menyangka rencana pernika
Rangga dan keluarganya bersiap untuk malam spesial mereka. Ia merangkul bahu istrinya, Febby, yang sedang hamil, dengan lembut sembari mengajak kedua anak kembar mereka, Elina dan Elio."Ayo, sayang, kita bersiap," ucapnya dengan suara hangat yang penuh semangat.Bocah kembar berusia empat tahun yang energik, tidak bisa menahan kebahagiaan mereka. Setiap kali diajak makan di luar, mereka tahu pasti bisa memilih menu yang mereka inginkan tanpa batasan. Restoran mewah dengan berbagai pilihan hidangan daging adalah favorit mereka.Si kembar masuk ke dalam kamarnya bersama suster Barbara."Kamu mau daging apa nanti?" tanya Elina sambil memandang adik kembarnya, dengan mata berbinar. Mereka sedang dibantu mengganti pakaian oleh suster Barbara, yang setia menemani mereka setiap hari."Aku mau daging sapi saja, kamu daging ayam saja, nanti kita bagi," jawab Elio, mencoba memberi saran."Oke, tos dulu dong!" Elina mengulurkan tangannya, dan keduanya melakukan tos sambil tertawa kecil.Suster
Rangga menatap Febby dengan perasaan yang tak menentu, dia nyaris tak percaya dengan berita yang baru saja ia dengar. Matanya menatap lekat-lekat wajah istrinya, seolah mencari kepastian lebih dalam dari sekadar kata-kata.“Ka—kamu beneran hamil, sayang?” tanyanya dengan suara terbata, penuh harap dan ketidakpercayaan.Febby tersenyum hangat, lalu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, sayang. Kita akan punya anak lagi,” jawabnya lembut, seolah kata-katanya itu adalah musik indah yang meresap ke dalam hati Rangga.Seolah tak mampu menahan luapan rasa bahagianya, Rangga menarik tubuh Febby ke dalam pelukan. Air mata jatuh tanpa malu-malu dari kedua matanya, namun ia tak peduli. Dalam hatinya, ia terus-menerus bersyukur pada Tuhan atas anugerah ini. Ia mengusap wajah Febby dengan jemari lembutnya, lalu menghujani pipi, kening, dan bibir istrinya dengan ciuman bertubi-tubi.“Aku bahagia sekali, sayang. Aku benar-benar nggak menyangka kalau Tuhan memberi kita kepercayaan lagi,” ucap Ra
"Nabila!" panggil Rangga ketika ia sudah ada di lobi. Kebetulan, Nabila juga masih berada di sekitar lobi. Dengan cepat, Nabila mendekati Rangga."Iya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan."Harusnya sih, saya tidak perlu bicara seperti ini. Saya minta maaf sebelumnya kalau apa yang akan saya ucapkan ini menyinggung perasaanmu," ucap Rangga mengawali kalimatnya, membuat jantung Nabila berdebar semakin kencang."I-iya, Tuan. Ada apa?" tanya Nabila dengan suara lirih."Tolong jangan berharap apa pun lagi pada Arka, apalagi mengejarnya secara berlebihan. Dia bisa menjadi orang yang paling membencimu karena dia sangat tidak menyukai wanita agresif. Dan sekarang, Arka sudah memiliki calon istri, dan mereka akan segera menikah. Calon istrinya itu adalah kakak iparku sendiri. Jadi, jangan coba-coba untuk mengganggu hubungan mereka lagi. Kamu sudah pernah melewatkan kesempatan emas, di mana saat itu Arka benar-benar ingin mengulang kembali hubungan kalian yang pernah terputus," uca