Setelah menempuh perjalanan udara selama empat jam yang cukup melelahkan, disusul dengan satu jam perjalanan darat, akhirnya Mayang dan Rossa tiba di kediaman mewah Rangga Wijaya. Rumah itu berdiri megah di hadapan mereka, dengan halaman luas dan taman yang dirawat rapi. Mereka sempat terpana beberapa saat, melihat betapa megahnya rumah adik tiri mereka itu.Pintu utama rumah dibuka oleh kepala pelayan yang sudah menunggu."Silakan duduk, Nyonya, Nona. Saya akan panggilkan dulu Nyonya Febby," ucap sang kepala pelayan dengan sopan, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.Mayang mengangguk, “Iya, Bi, terima kasih,” jawabnya dengan nada puas. Sementara itu, Rossa ikut menambahkan, “Terima kasih, Bibi,” sambil tersenyum kecil.Mereka berdua kemudian duduk di sofa mewah yang sangat nyaman. Ruang tamu itu begitu luas, dilengkapi dengan dekorasi modern yang menambah kesan elegan. Rossa menyandarkan tubuhnya, merasa lega akhirnya bisa duduk setelah perjalanan yang cukup panjang.“
"Mama sama Kak Rossa mau nginep di sini kan?" tanya Rangga dengan senyum hangat di wajahnya, memecah keheningan yang sempat melingkupi ruang tamu.Mayang tersenyum tipis, melirik sekilas ke arah Rossa sebelum menjawab. “Mama dan Rossa memang mau nginep, tapi takut repotin, Rangga. Mungkin lebih baik kami nginap di hotel saja.” Nada suaranya halus, tetapi ada sedikit keraguan di dalamnya. Meski rumah Rangga sangat besar dan nyaman, Mayang tetap merasa tak enak merepotkan keluarga muda itu.Namun, Rangga menggeleng tegas. “Ngapain sih, Ma, di hotel? Di sini banyak kamar kosong. Gak bakal repot kok. Lagipula, Rangga mau ajak kalian sekalian makan malam. Sejak Febby melahirkan, kami hampir gak pernah keluar rumah, kecuali waktu imunisasi Elio dan Elina.” Rangga mengarahkan pandangannya ke arah istrinya, Febby, yang sedang menggendong salah satu bayi. Ada rasa bersalah di matanya karena ia belum sempat mengajak Febby untuk bersantai bersama di luar rumah.Rossa yang mendengar itu langsu
Rangga dan Febby akhirnya menitipkan Elina dan Elio pada kepala pelayan dan suster Barbara. Meski awalnya agak berat meninggalkan si kembar, mereka tahu malam ini adalah kesempatan langka untuk menghabiskan waktu berdua. Rangga, yang selalu ingin membuat istrinya bahagia, berharap kali ini Febby bisa rileks dan menikmati malam tanpa beban. Namun, tanpa Rangga sadari, kebahagiaan terbesar Febby sebenarnya adalah ketika ia berada di dekat buah hatinya.Febby sudah bersiap dengan mengenakan gaun malam berwarna merah yang anggun, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan kecantikannya yang tetap mempesona meski baru saja melahirkan. Rangga, yang mengenakan kemeja hitam dengan bawahan senada, terlihat begitu tampan dan gagah.Saat Febby sedang memperbaiki rambutnya di depan cermin, Rangga mendekatinya diam-diam dari belakang dan memeluknya erat. “Terima kasih ya, sayang, sudah melahirkan dua malaikat kecil kita,” ucapnya denga
Esok harinya tepat pukul 16.00 Mayang dan Rossa sudah kembali ke kota Sun City.Saat langkah kaki Rossa dan Mayang baru saja memasuki halaman rumah, mereka terkejut melihat sebuah mobil mewah terparkir di garasi. Sebuah mobil keluaran terbaru yang selama ini hanya mereka impikan. Berdampingan dengan mobil tua peninggalan almarhum papanya Febby, mobil baru itu tampak berkilau, begitu elegan, dan tampak asing sekaligus akrab.Rossa menatap ibunya dengan raut bingung. "Loh, Ma, ini mobil siapa?" tanyanya penuh keheranan.Mayang hanya bisa menggeleng, masih tercengang. "Mama tidak tahu, tapi… kok mobil ini mirip sekali dengan mobil impian kita?" gumamnya. Suaranya terdengar lirih, seolah-olah sedang menahan keterkejutan besar yang belum sepenuhnya bisa dipahami.Mereka berdiri mematung di depan mobil itu, seakan-akan sedang menanti jawaban dari benda mati yang tidak bisa bicara. Keduanya mulai menyatukan pikiran, teringat obrolan mereka semalam saat makan malam bersama Rangga dan Febby
Rossa menyambut Monica di depan pintu dengan sedikit kebingungan. "Monica," panggilnya dengan nada ragu, "kok bisa tahu rumahku? Dari mana kamu dapat alamatnya?" tanyanya sambil mempersilakan Monica masuk ke dalam.Monica melangkah masuk ke ruang tamu, dan dengan cepat menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Sementara itu, Mayang, yang sejak awal tampak tak suka, memilih untuk segera masuk ke kamarnya. Pandangannya pada Monica dingin dan penuh kewaspadaan. Ada sesuatu yang membuat Mayang tidak nyaman dengan kehadiran wanita itu.Firasatnya selalu kuat ketika bertemu orang-orang yang menurutnya tidak membawa niat baik, terutama karena Mayang sudah kenyang dengan pengalaman masa lalunya yang penuh tipu daya.Rossa memperhatikan gerak-gerik ibunya dan merasa sedikit tidak enak. "Maaf ya, Mamaku mungkin lagi capek," ujarnya dengan sedikit canggung.Monica tersenyum tipis, tampak santai. "Gak apa-apa kok," jawabnya singkat. "Aku tahu rumahmu dari Bram," lanjutnya, seolah-olah hal itu
"Ya sudah, Rossa. Aku balik ke hotel dulu ya. Nanti aku hubungi lagi," ucap Monica sambil melangkah ke pintu."Oke," jawab Rossa singkat, meskipun hatinya sedikit ragu. Dia mengantarkan Monica sampai di depan rumah, memastikan wanita itu naik ke mobilnya dan meluncur pergi. Begitu mobil Monica menghilang dari pandangan, Rossa menutup pintu dan menghela napas panjang.Saat ia berbalik, Mayang sudah berdiri di ruang tamu, tampak tegang dan memancarkan aura khawatir. "Jangan mau berurusan dengan orang itu!" Mayang tiba-tiba bersuara, menatap tajam ke arah sang anak.Rossa terkejut dengan pernyataan itu. "Mama, tenang saja! Semua akan baik-baik saja. Percaya deh sama Rossa," tuturnya dengan nada meyakinkan, meskipun dalam hatinya ia merasa sedikit cemas.Mayang mendekat, masih mengamati Rossa dengan khawatir. "Kamu tahu kan siapa Monica? Dia bukan orang yang baik. Dia punya masa lalu yang kelam dan tidak bisa dipercaya. Mama hanya ingin kamu aman."Rossa mengangguk, meski ketidakpastian
Febby sedang menyiapkan meja makan ketika ia melihat suaminya, Rangga, tampak terkejut melihat pesan masuk di ponselnya. Tangannya yang awalnya mengangkat sendok, kini terhenti. Dia menatap suaminya dengan raut wajah penuh tanya.“Kenapa sayang?” tanya Febby lembut namun penuh perhatian, matanya memerhatikan perubahan ekspresi Rangga yang tampak mendadak serius.Rangga menghela napas sejenak sebelum menjawab, "Besok ada meeting, sayang. Padahal tadi aku sudah minta izin sama Arka untuk datang terlambat ke kantor," ucapnya sambil menatap layar ponsel dengan kening berkerut."Oh." Febby menaruh sendoknya dan menatap suaminya dengan sedikit merajuk. “Jangan malas-malas lah, sayang. Nanti Elina dan Elio gak kebagian harta,” godanya dengan senyum tipis. Meski ia berkata begitu, dalam hatinya, Febby hanya ingin suaminya tetap fokus pada pekerjaan. Dia tahu betul, Rangga memiliki kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawabnya kepada orang lain, dan itu yang Febby hindari. Dia tidak ingin
“Tuan, Anda tenang saja, saya akan mengurus semuanya,” ucap Arkana dengan nada penuh kepastian. “Saya akan memperketat pengamanan di setiap perusahaan Anda, baik di kantor pusat maupun di seluruh cabang. Saya juga akan menyiapkan pengawal tambahan di kediaman Anda. Jadi, jangan khawatir soal itu.”Rangga berpikir beberapa saat sebelum merespons, tampak memikirkan langkah-langkah yang diusulkan oleh Arkana. “Terima kasih, Arka,” ucapnya dengan suara rendah. “Sama-sama Tuan,” jawab Arkana.“Aku nggak ngerti apa maunya mereka. Kenapa mereka nggak henti-henti bikin ulah? Kita nggak pernah bertindak di luar batas kewajaran; selalu pakai logika. Tapi mereka... Lihatlah, sepertinya mereka ingin sekali menghancurkan Wijaya Group. Aku takkan pernah membiarkan hal itu terjadi.”Arkana mengangguk pelan di ujung telepon. “Tenang saja, Tuan. Jangan terlalu dipikirkan, nanti Nyonya malah ikut kepikiran. Biar masalah ini saya yang nangani. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Apa pun yang merek