Setelah menunggu beberapa menit di lobi, akhirnya Nabila turun dengan tas di tangannya. Mereka pun keluar dari gedung dan berjalan menuju tempat parkir.“Jadi, kita mau makan di mana, Arka?” tanya Nabila saat mereka sampai di depan mobil Arka.“Aku tahu restoran yang enak di dekat sini. Santai aja tempatnya, nggak terlalu ramai. Aku yakin kamu bakal suka,” jawab Arka sambil membuka pintu mobil untuk Nabila.“Aku tak rewel soal makanan, dan pasti akan menyukainya apalagi kalau gratis,” Nabila berkelakar. Mereka tertawa bersama.Mereka berdua pun menuju restoran yang cukup dekat dari kantor. Tempat itu nyaman dan tidak terlalu ramai, suasananya tenang dengan lampu-lampu redup yang memberi kesan intim. Arka memilih meja di sudut yang sedikit jauh dari keramaian, memberikan mereka ruang untuk berbicara lebih bebas.Setelah memesan makanan, mereka duduk berhadapan dengan senyum yang canggung. Awalnya, suasana terasa kikuk. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing, mencoba mencari topik
Arka merasa lega karena akhirnya bisa menghabiskan waktu berdua dengan Nabila, walau percakapan mereka masih dibayangi kenangan masa lalu. Perjalanan pulang dari restoran ke apartemen Nabila juga cukup tenang, dengan obrolan ringan yang mengalir tanpa beban. Mereka berbicara tentang pekerjaan, rekan kerja, dan kehidupan sehari-hari, mencoba menjauhkan diri dari topik yang terlalu emosional.Ketika mobil Arka berhenti di depan apartemen Nabila, keheningan mendadak menyelimuti keduanya. Mereka sama-sama tahu bahwa saat perpisahan sebentar lagi tiba, dan entah kenapa, meskipun sederhana, momen ini terasa berarti bagi keduanya.“Terima kasih, ya, Arka. Udah ngajak aku makan malam,” ujar Nabila sambil membuka seatbelt. Ia tersenyum lembut, namun masih ada sedikit rasa kikuk di wajahnya.Arka tersenyum balik, mencoba menenangkan perasaannya yang mulai gugup lagi. “Sama-sama. Aku yang harusnya terima kasih, udah mau diajak keluar. Seneng bisa ngobrol lagi sama kamu.”Nabila tertawa kecil,
"Mau ke mana, Sayang?" tanya Rangga setengah malas, sambil meregangkan tubuhnya di atas ranjang yang masih hangat dari kebersamaan mereka barusan. Pandangannya mengikuti langkah Febby yang turun dari tempat tidur dengan rambut acak-acakan, berjalan menuju kamar mandi. Malam itu terasa damai baginya, dan ia berpikir mereka bisa menikmati malam yang lebih tenang setelah malam yang begitu intens.Febby melirik ke arah Rangga sejenak, namun langkahnya tetap menuju kamar mandi. Wajahnya tampak serius, meskipun ia berusaha tetap tenang. "Kamu nggak dengar, Sayang? Elio menangis," jawab Febby tanpa banyak basa-basi, sambil memutar keran shower, membiarkan air panas mengalir.Rangga menghela napas pelan. Suara tangisan bayi memang samar-samar terdengar di telinganya, tapi ia masih yakin semuanya baik-baik saja."Tapi, kan sudah ada suster Barbara, Sayang," balasnya, mencoba meredam kekhawatiran istrinya. "Suster pasti lagi kasih susu ke anak-anak."Namun, Febby hanya membalas dengan diam.
Tepat pukul 09.00 di Sun City, Monica melangkah mantap menuju penjara tempat Brian ditahan. Suasana penjara itu dingin dan suram, di luar sana langit pagi cerah bertolak belakang dengan suasana menekan di dalam gedung. Setelah mengisi beberapa berkas dan melapor pada petugas, Monica dibawa ke sebuah ruangan khusus, ruang interogasi dengan dinding-dinding berwarna kelabu yang memisahkan para tahanan dari pengunjung.Ketika Monica memasuki ruangan itu, Brian sudah duduk di balik tembok besar yang memisahkan mereka, hanya ada celah kecil yang cukup untuk melihat wajah satu sama lain. Mata Brian yang tajam langsung menatap Monica penuh kecurigaan."Siapa kamu? Dan ada keperluan apa menemuiku?" tanya Brian dengan nada sinis. Suaranya dingin dan tak bersahabat, seakan ingin mengusir Monica sebelum pertemuan ini dimulai.Namun, Monica hanya tersenyum. Senyuman yang penuh arti, seolah ia tahu sesuatu yang Brian sendiri belum bisa tebak. Ia mengamati wajah Brian di balik celah kecil itu denga
“Rossa,” panggil Monica dengan nada hangat, meskipun dalam hatinya sedikit terkejut melihat sosok sahabat lamanya itu muncul tiba-tiba di tempat ini.Rossa menoleh cepat, mengenali suara yang sudah lama tak didengarnya. Matanya membulat seiring senyum lebar yang merekah di wajahnya.“Monica, ini beneran kamu?” tanyanya sambil tertawa kecil, tidak percaya bahwa di tengah kesibukannya hari ini, ia bertemu dengan sahabat dari masa lalu.Monica mengangguk, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Astaga, aku lupa kalau kau memang dari Sun City. Apa kabarmu?”Monica langsung merentangkan tangan, memberikan pelukan erat pada Rossa. Ada rasa nostalgia yang menguar di antara mereka, mengingatkan kembali pada masa-masa mereka pernah begitu dekat.Rossa membalas pelukan itu dengan antusias, tubuhnya sedikit terhuyung karena dorongan hangat dari Monica.“Aku juga sangat merindukanmu, Mon. Kamu ke sini ada urusan apa?”Monica tersenyum lebar, hatinya sedikit lega bisa bertemu seseorang yang mengenalnya
Setelah menempuh perjalanan udara selama empat jam yang cukup melelahkan, disusul dengan satu jam perjalanan darat, akhirnya Mayang dan Rossa tiba di kediaman mewah Rangga Wijaya. Rumah itu berdiri megah di hadapan mereka, dengan halaman luas dan taman yang dirawat rapi. Mereka sempat terpana beberapa saat, melihat betapa megahnya rumah adik tiri mereka itu.Pintu utama rumah dibuka oleh kepala pelayan yang sudah menunggu."Silakan duduk, Nyonya, Nona. Saya akan panggilkan dulu Nyonya Febby," ucap sang kepala pelayan dengan sopan, menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.Mayang mengangguk, “Iya, Bi, terima kasih,” jawabnya dengan nada puas. Sementara itu, Rossa ikut menambahkan, “Terima kasih, Bibi,” sambil tersenyum kecil.Mereka berdua kemudian duduk di sofa mewah yang sangat nyaman. Ruang tamu itu begitu luas, dilengkapi dengan dekorasi modern yang menambah kesan elegan. Rossa menyandarkan tubuhnya, merasa lega akhirnya bisa duduk setelah perjalanan yang cukup panjang.“
"Mama sama Kak Rossa mau nginep di sini kan?" tanya Rangga dengan senyum hangat di wajahnya, memecah keheningan yang sempat melingkupi ruang tamu.Mayang tersenyum tipis, melirik sekilas ke arah Rossa sebelum menjawab. “Mama dan Rossa memang mau nginep, tapi takut repotin, Rangga. Mungkin lebih baik kami nginap di hotel saja.” Nada suaranya halus, tetapi ada sedikit keraguan di dalamnya. Meski rumah Rangga sangat besar dan nyaman, Mayang tetap merasa tak enak merepotkan keluarga muda itu.Namun, Rangga menggeleng tegas. “Ngapain sih, Ma, di hotel? Di sini banyak kamar kosong. Gak bakal repot kok. Lagipula, Rangga mau ajak kalian sekalian makan malam. Sejak Febby melahirkan, kami hampir gak pernah keluar rumah, kecuali waktu imunisasi Elio dan Elina.” Rangga mengarahkan pandangannya ke arah istrinya, Febby, yang sedang menggendong salah satu bayi. Ada rasa bersalah di matanya karena ia belum sempat mengajak Febby untuk bersantai bersama di luar rumah.Rossa yang mendengar itu langsu
Rangga dan Febby akhirnya menitipkan Elina dan Elio pada kepala pelayan dan suster Barbara. Meski awalnya agak berat meninggalkan si kembar, mereka tahu malam ini adalah kesempatan langka untuk menghabiskan waktu berdua. Rangga, yang selalu ingin membuat istrinya bahagia, berharap kali ini Febby bisa rileks dan menikmati malam tanpa beban. Namun, tanpa Rangga sadari, kebahagiaan terbesar Febby sebenarnya adalah ketika ia berada di dekat buah hatinya.Febby sudah bersiap dengan mengenakan gaun malam berwarna merah yang anggun, kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Gaun itu memeluk tubuhnya dengan sempurna, memperlihatkan kecantikannya yang tetap mempesona meski baru saja melahirkan. Rangga, yang mengenakan kemeja hitam dengan bawahan senada, terlihat begitu tampan dan gagah.Saat Febby sedang memperbaiki rambutnya di depan cermin, Rangga mendekatinya diam-diam dari belakang dan memeluknya erat. “Terima kasih ya, sayang, sudah melahirkan dua malaikat kecil kita,” ucapnya denga